"Yang penting kalian nyambung menjalani hubungan?" tanya Papanya Pak Akhtara memastikan dengan menatapku lekat.
Hingga kedua alisnya berkerut seperti mencari pembenaran atas apa yang beliau dengar.
"Eh ... iya, Om. Yang penting ... kami bisa memahami kekurangan satu sama lain," jawabku gugup dan seadanya."Itu artinya kalian menjalani hubungan ini dengan landasan yang nggak tepat, Sabrina. Orang kalau mau menikah itu nggak cuma butuh perasaan saling nyambung aja, tapi saling melengkapi, tahu satu sama lain, dan penuh kasih sayang. Bukan asal memahami kekurangan tapi nggak ada cinta."Aduh! Apa lagi ini?Berbicara cinta itu bukanlah prioritasku! Sungguh yang kubutuhkan saat ini adalah uang! Bukan cinta! Karena itu tidak akan membuatku keyang atau bisa melunasi cicilan rumah!
Benar kan?!
Juga, aku malas memiliki hubungan serius dengan lelaki manapun sehingga tidak mengerti apa yang papanya Pak Akhtara katakan."Tara, bisa kamu jelasin apa yang sebenarnya terjadi antara kamu dan Sabrina?! Papa merasa ada yang nggak beres sama hubungan kalian ini."Firasat orang tua memang tidak bisa dipungkiri. Tidak salah jika beliau menganggap aku dan Pak Akhtara memiliki rahasian yang sengaja disembunyikan dari keluarga besarnya.Kini beliau memandang Pak Akhtara yang masih menunduk dengan memainkan isi minuman dinginnya.
"Intinya kami masih butuh waktu untuk saling mengenal satu sama lain, Pa. Jadi jangan maksa kami harus segera nikah," ucapnya dengan tetap menunduk."Adikmu itu udah nikah, Tar! Kalau kamu masih ogah-ogahan nanti itu bisa bikin kamu ogah nikah beneran!" ucap papanya tegas dengan menunjuk adiknya yang tengah berbahagia di pelaminan.Lalu Pak Akhtara menatap papanya."Jodoh seseorang itu nggak bisa ditebak, Pa. Jangan samain aku sama Abid. Takdir kami nggak sama."Di depan keluarga besarnya, Pak Akhtara dikonfrontasi oleh papanya. Tanpa mengindahkan suasana bahagia resepsi pernikahan adiknya."Lalu, berapa lama kamu butuh waktu lagi untuk mengenal Sabrina? Satu tahun lagi? Tiga tahun lagi? Lima tahun lagi? Atau sepuluh tahun lagi?!" sindir beliau."Hubungan kami biarkan mengalir dulu lah, Pa. Tolong jangan dipaksa. Nggak enak banget jadinya.""Mengalir kayak air sungai begitu? Gimana kalau muara yang akan jadi tujuan terakhirmu justru jaraknya masih puluhan tahun lagi? Apa itu yang namanya membiarkan takdir mengalir seperti air?!"Aku hanya bisa menunduk mendengar perdebatan ayah dan anak itu. Sedang mama dan tantenya Pak Akhtara justru memilih diam dan memperhatikan saja.
"Pa, itu cuma perumpamaan. Kenapa harus Papa anggap arti sebenarnya?""Cukup, Tar! Dari sini Papa udah mulai tahu gimana jalan pikiranmu dan Sabrina. Kalian kayak kompak nggak serius membawa hubungan ini menuju ke pernikahan."Pak Akhtara hanya menghela nafas lalu membuang pandangan."Kalau memang hubungan kalian udah nggak bisa diselamatkan lagi, Papa juga punya solusi atas masalah ini."Semua menatap ke arah papanya Pak Akhtara yang duduk bersandar di kursi sambil melipat kedua tangan di depan dada. Matanya menatap Pak Akhtara tajam."Aku harap Papa nggak ngasih solusi yang mustahil untuk kami jalani," ucapk Pak Akhtara tenang meski rona kegugupan itu kentara di wajahnya."Kamu anak Papa, Tar. Dan udah jadi kewajiban orang tua untuk mencarikan anaknya jodoh kalau masih membujang. Sekalipun umurmu udah banyak. Karena nggak semua anak itu bisa nyari jodoh meski udah hampir kepala empat sekalipun!""Maksud Papa apa?" tanya Pak Akhtara dengan menyipitkan mata.Papanya Pak Akhtara menghela nafas lalu menatap kami berdua bergantian dengan tangan bersedekap di depan dada."Kalau kamu dan Sabrina hubungannya nggak jelas kayak gini, berarti orang tua berhak ngasih kamu solusi. Salah satunya ... menjodohkan kamu sama anak teman Papa."Kedua bola mata Pak Akhtara membola sempurna menatap wajah papanya. Mulutnya terkatup rapat tanpa seulas senyum apapun mendengar ucapan beliau. "Pa, aku bukan lelaki yang nggak laku!" tegasnya."Papa tahu, tapi betah menjomblomu itu harus segera diakhiri. Umurmu udah tiga puluh delapan tahun. Mau bujang sampai kapan? Berapa lama lagi, heh?! Emang kamu mau punya anak umur berapa?""Jangan sampai anak masih kecil tapi kamu udah tua, udah nggak kuat kerja, bahkan nggak kuat sekedar ngajak main! Apa itu yang kamu mau?! Sumpah demi Tuhan, itu nggak enak banget, Tar!"
Tebakan beliau sangat tepat sekali bahwa berumah tangga saat usia tidak lagi muda itu tidak menyenangkan sekali dan Pak Akhtara tidak bisa berkutik."Kamu mau nikah sama Sabrina atau Papa jodohin? Pilihannya cuma itu, Tar."Kini, justru aku yang menatap beliau dengan mata membola dan mulut sedikit terbuka. Mana sudi aku menikah dengan manajerku sendiri yang lumayan tegas dan tidak punya hati saat menegur karyawannya."Itu bukan pilihan, Pa. Ini pemaksaan dan aku nggak suka!" tolak Pak Akhtara tegas."Menikah sama Sabrina atau Papa jodohin?""Pa! Jangan gegabah begini!""Menikah sama Sabrina dua minggu lagi atau Papa jodohin?!"----
"Jihan! Tunggu!"
Aku tidak mempedulikan teriakan Pak Akhtara dan terus melangkah. Hingga beliau berhasil menggapai lenganku ketika kami sudah berada di luar hotel.Lalu aku menghempaskan tangan Pak Akhtara sekuat tenaga kemudian berbalik menatapnya nyalang.
"Udah cukup, Pak! Jangan libatin saya lagi! Kita ini cuma pasangan pura-pura! Nggak harus nikah betulan!" ucapku tegas dengan nada sedikit meninggi di hadapannya. "Saya juga nggak nyangka kalau Papa bakal nodong pertanyaan kayak gitu, Han! Kamu pikir saya nggak kaget?!" balas Pak Akhtara tidak mau mengalah."Ya udah kita tinggal jujur aja sama keluarganya Bapak kalau hubungan kita ini cuma pura-pura! Kalau saya ini pacar sewaan Bapak! Nggak usah sok menerima tantangan Papanya Pak Akhtara gitu!" ucapku kesal.Bagaimana tidak kesal jika Pak Akhtara pada akhirnya mengiyakan ucapan papanya untuk menikahiku dua minggu lagi.Oh Tuhan, pernikahan itu bukan hal main-main. Itu sangat sakral dan aku tidak siap memiliki suami atau berumah tangga untuk saat ini. Fokusku masih pada pemulihan finansial keluarga agar tidak terlunta-lunta.Jika aku menikah, bukankah fokusku hanya pada keluarga saja?Lagi pula Pak Akhtara bukanlah tipe suami idamanku. Dia terlalu tua untukku meski wajahnya terlihat seperti lelaki berusia tiga puluh tahun. Tapi bukan beliau yang kuinginkan menjadi suami."Kamu pikir saya nggak pengen jujur, heh?!" tanya Pak Akhtara kesal dengan berkacak pinggang sambil menatapku kesal."Lalu gimana sekarang? Pak Akhtara udah bilang iya akan menikah dengan saya dua minggu lagi. Mana mungkin tiba-tiba saya datang ke rumah orang tua lalu minta restu menikah? Bisa-bisa saya dikira hamil duluan, Pak!"Pak Akhtara tampak bingung lalu tangannya meninju udara."Memangnya kemana sih si Sabrina, pacar Bapak yang asli itu? Kok ngilang kayak diambil jelangkung?"enjoy reading ...
Lalu angin malam berhembus di parkiran tempat resepsi pernikahan adiknya. Pak Akhtara hanya menghela nafas kesal sambil menyugar rambut berulang kali. Kentara sekali jika manajerku itu memiliki rahasia yang tidak ingin dibagi. "Sudahlah, nggak usah bahas dia lagi. Bagi saya, hubungan kami udah selesai!" "Menurut Bapak udah selesai, tapi gimana nasib saya? Gimana ini, Pak? Pokoknya saya nggak mau menikah sama Bapak! Kesepakatan kita hanya jadi pacar sewaan aja! Nggak lebih! Karena saya nggak mau nikah sebelum punya ekonomi yang mapan!" "Kamu pikir saya mau nikah sama kamu? Yang nggak pernah saya ketahui seluk belukmu kayak apa? Asal kamu tahu, Han, yang pasti saya ngelakuin ini karena terpaksa!" Dinikahi lelaki mapan dan berkharisma seperti Pak Akhtara itu tidak ada salahnya. Dia menawan dengan kulit eksotisnya yang bersih. Belum lagi bulu-bulu halus yang memenuhi permukaan kulit tangannya. Tubuhnya tinggi dan ideal. Hanya saja di usianya hampir mendekati kepala empat. Sungguh buka
Aku menggigit bibir bawah sambil berpikir keras menanggapi permintaan manajerku ini. Karena aku berani bertaruh, gajinya yang tidak sedikit itu pasti telah menghasilkan pundi-pundi rupiah yang tebal di dalam rekening tabungannya. Bagai menemukan harta karun! Namun, mengapa hatiku berteriak tidak siap jika satu atap dengannya juga peraturan seperti apa yang ditawarkan dalam pernikahan kontrak ini? "Saya ... bingung, Pak," jawabku teramat polos. Pak Akhtara berdecak kesal lalu manatapku kesal, "Katanya kamu butuh uang. Sekarang udah saya tawarkan uang lima puluh juta, kamu bingung. Gimana sih kamu ini, Han?!" "Wajar lah saya bingung, Pak. Tiba-tiba disuruh menikah sama Bapak padahal kita nggak pernah kenal akrab. Cuma satu kantor jadi atasan bawahan." "Namanya juga nikah kontrak, Han. Nggak perlu pakai acara kenalan atau apa lah. Ini tuh nikah palsu istilahnya. Nggak ngapa-ngapain. Nggak ada bulan madu atau malam pertama. Kamu tetap utuh kayak semula saya nyewa kamu. Paham?" Aku
Ada dua pertanyaan. Apakah datang ke rumah orang tuaku lalu meminta restu karena mau menikah dengan Pak Akhtara? Atau aku mencari solusi yang lain demi mendapatkan wali nikah? Tapi solusi seperti apa? "Halo, Han? Ada apa?" tanya Rara, pemilik agensi pacar sewaan yang menaungiku. Suaranya terdengar serak. Sepertinya ia sudah terlelap ketika aku menghubungi. Wajar, karena ini sudah pukul sebelas malam. Baru saja Pak Akhtara mengantarkanku sampai kosan setelah kami berdebat panjang lebar di parkiran hotel tempat resepsi pernikahan adiknya. Membahas rencana pernikahan palsu dadakan kami dan apa saja yang sangat dibutuhkan dalam prosesi ijab kabul itu nantinya. "Hai, Ra. Maaf ganggu malam-malam. Gue mau tanya." "Tanya apaan?" tanyanya lagi dengan suara khas mengantuk. "Ehm ... siapa ya yang kerjaannya jadi wali nikah palsu, Ra? Lo tahu nggak? Maksud gue kenal nggak?" Rara tidak segera menjawab lalu aku memanggilnya kembali. "Ra? Halo?" "Emang ngapain lo pengen nyari wali nikah
Lega rasanya usai membayar cicilan rumah yang ditinggali kedua orang tuaku di kampung halaman. Meski rumah itu tidak megah dan besar karena hanya berdiri di atas lahan perumahan sederhana, namun ada kebanggan tersendiri bisa membuat mereka bahagia. Yang terpenting kedua orang tuaku nyaman menempatinya. Tanpa mobil mewah yang berjajar di garasi seperti dulu. Hanya sebuah motor bebek bekas yang terparkir di teras. "Halo, Ma. Aku barusan kirim untuk jatah makan minggu ini," ucapku dari sambungan telfon sambil duduk di depan gerai minimarket. Dengan sekaleng minuman dingin yang menemani langkah takdirku detik ini. "Iya, Han. Makasih banyak ya, Nak. Meski nggak kamu kirim nggak apa-apa kok. Mama masih ada uang." Aku mengerutkan kedua alis menanggapi ucapan Mama. Sebab ini sudah jadwalnya aku mengirim uang jatah makan karena Mama dan Papa tidak bekerja. Menggantungkan seluruh hidupnya padaku usai kalah pemilihan dan jatuh miskin. "Papamu sekarang bisnis bikin tempe, Han. Lumayan dijua
"Menikah?" tanya Papa dengan raut tidak percaya. Kedua alisnya menyatu dengan tatapan terpusat padaku. Lalu melihat Pak Akhtara yang duduk di sebelahku. "Iya, Pa. Kami ... mau menikah. Makanya aku pulang kemari lalu minta doa restu dari Papa dan Mama." Dengan wajah masih dipenuhi keterkejutan, Papa menoleh ke Mama yang duduk di sampingnya. Keduanya hanya bisa saling bertukar ekspresi terkejut. Sedang Pak Akhtara yang duduk di sebelahku hanya diam seribu bahasa seperti kesepakatan. Bahwa beliau tidak akan berkata apapun jika tidak mendapat kode dariku. "Jihan, Papa masih nggak ngerti, Nak. Kamu tiba-tiba pulang, lalu bawa laki-laki, dan ... minta nikah. Semuanya mendadak banget, Han. Memangnya ada apa?" Aku membasahi bibir sambil mengatur kegugupan dengan menghela nafas. Sungguh meminta restu menikah itu tidak main-main gugupnya hingga kedua telapak tangan terasa dingin. Padahal ini hanya meminta restu menikah kontrak. Tapi mengapa auranya seperti akan menikah sungguhan? "Kit
"Jihan, malam ini biar Akhtara tidur di kamarmu ya? Kamu sama Mama dan Papa tidur di kamar satunya."Tanganku yang akan meraih ponsel Pak Akhtara yang berdering dari Sabrina akhirnya batal karena seruan dari Mama. Duh ... Mama! Kenapa datang di saat yang salah?!"Lha? Kok gitu?" Aku menunjukkan sisi keberatan."Lalu Akhtara kamu suruh tidur di mana?"Lalu muncul Pak Akhtara dari belakang Mama dengan senyum setipis tisyu. Entah racun internet apa lagi yang beliau lancarkan untuk membuat Mama mengikuti permainannya."Lho, Ma? Memangnya kamar kita muat untuk bertiga?" tanya Papa. "Papa ini gimana sih? Masak tamu disuruh tidur ruang tamu? Nggak etis banget apalagi Akhtara udah belanja banyak untuk keluarga kita loh."Nah kan?! Hati Mama luluh hanya karena belanjaan yang Pak Akhtara berikan. Di rumah kami yang sederhana dengan dua kamar inilah Pak Akhtara tidur untuk pertama kalinya. Usai dari kamar mandi, tiba-tiba aku mendengar percakapan diam-diam Papa dan Pak Akhtara di dalam kamar
Sesuai kesepakatan, Mama dan Papa datang ke Jakarta menggunakan travel agensi lalu menginap di sebuh hotel. Semua itu dibiayai oleh Pak Akhtara karena beliau lah yang paling membutuhkan pernikahan ini. Aku dan Pak Akhtara sepakat untuk menggelar akad nikah ini ketika malam hari. Karena tidak mungkin jika kami mengambil izin cuti kantor untuk menikah. Selain itu pernikahan ini terikat oleh waktu tertentu sesuai perjanjian dan tidak boleh sampai diketahui siapapun apalagi orang kantor, kecuali keluarga besar. Pernikahan ini hanya formalitas di depan keluarga Pak Akhtara saja. Bukan untuk konsumsi publik. Tidak ada resepsi mewah karena semuanya disediakan mendadak sekali. Usai dirias secantik mungkin di hotel tempat kedua orang tuaku menginap, sebuah gaun putih dengan payet indah itu disodorkan padaku. Ukurannya begitu pas dan penampilanku begitu cantik jelita dengan sanggul paes ageng dan bunga melati yang menjuntai sampai di depan dada. "Han, kamu dan Akhtara itu mau menikah. Ma
Benar sekali tebakanku! Pak Akhtara nampak terkejut dan bingung bagaimana menjelaskannya. Tentang orang tuaku yang belum kami sepakati agar merubah nama panggilanku menjadi Sabrina. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Orang tuaku tetap memanggilku dengan nama Jihan, seperti biasanya di hadapan kedua orang tua Pak Akhtara. Wajah lelah Pak Akhtara makin tertekan karena rencana kami kurang matang. Sudah barang pasti aku dan Pak Akhtara sama-sama dilanda kecemasan saat ini. Jika sudah begini, aku harus memainkan peran sebagai Sabrina palsu dan istri kontrak dengan baik. Jangan sampai rahasia kami terkuak. Karena aku juga tidak mau kedua orang tuaku mengetahui skenario pernikahan bohongan kami. Aku segera meraih lengan Pak Akhtara dan merangkulnya mesra di hadapan kedua orang tuanya. Beruntung Pak Akhtara langsung bisa mengerti maksudku. "Saya kalau di kantor dipanggil Sabrina, Ma, Pa. Soalnya nama Jihan itu ada tiga. Seringnya kalau manggil Sabira itu kayak beribet. Jadi lebih terbia