Jika sebelum-sebelumnya Tiffany akan segera meminta maaf, tetapi kali ini tidak. Dia membiarkan Damien menyumpah serapah, membuang kosong ketika isi pesan terngiang-ngiang di pikiran.
Ekspresi tersebut membuat Damien langsung berhenti bicara. Merasa ada yang tidak beres, dia pun segera membuka ponsel, lalu membaca pesan yang tertera di layar. Detik itu juga pandangan memelotot lebar. Kembali menoleh ke Tiffany, sekarang Damien tahu apa yang membuat asistennya tak merasa takut.
"Terserah mau percaya atau tidak, tapi aku tidak melakukannya. Jangankan membunuh, kenali ayahmu pun tidak. Lagipula, aku tak membunuh sembarang orang. Mereka yang ku bunuh, karena mereka layak dibunuh," ucap Damien penuh penegasan.
Tanpa menunggu respon dari Tiffany, dia melangkah ke arah pintu. Membawa sendal rumahan dari rak sepatu, setelah dipasang langsung keluar entah kemana.
Di tempatnya berdiri, Tiffany masih mematung memandangi punggung kokoh Damien yang menghilang disembunyikan, meninggalkan dirinya dalam kebingungan. Perasaan marah sesaat di dekatnya tak mampu berkata apa-apa di depan lelaki itu.
"Jadi dia yang membunuh ayahku? Dia ... dalang dibalik perang dua belas tahun yang lalu?" Menarik napas dalam, "Tidak, tidak mungkin. Sejauh yang kulihat, Tuan Damien ini baik, meskipun sikap dan tutur katanya cenderung tajam. Sebelum ada bukti kuat, aku takkan percaya," lanjutnya penuh keyakinan.
Malam hari.
Mereka sedang duduk di luar balkon. Tiffany sedikit menuangkan ketika menuangkan teh hangat untuk Damien. Aroma teh melati rendah gula tercium lembut bercampur semilir angin malam. Ujung matanya melirik Damien yang tampak berteleponan. Tangan kiri memegang ponsel, sedangkan tangan kanan memegang dokumen penting.
Sesekali terdengar tawa kecil, "Baiklah. Sampai bertemu besok."
Panggilan terputus.
Menaruh kembali ponsel di atas meja, seraya menyandarkan punggung ke sofa. Setelah menyeruput teh yang disajikan, Damien menatap Tiffany penuh keseriusan.
“Bersiap-siaplah, besok kita akan berangkat ke Amerika,” ucapnya memberitahu, suaranya tegas seperti biasa.
"Ke Amerika? Untuk apa?"
“Mencari kebohongan baru,” jawabnya santai, seolah itu hal wajar, bahkan biasa-biasa saja.
Hening.
Tiffany tak lagi menjawab, percuma melakukan tanya-jawab. Toh takkan membuat keputusan Damien berubah. Agar selamat, lebih baik menurut saja.
Bahasa Indonesia: ____________
Bandara Fiumicino
Sejak 30 menit lalu, mereka sudah tiba di bandara yang tampak sibuk dengan hiruk pikuk penumpang maupun keberangkatan yang menggema. Di tengah-tengahnya ada Damien yang berjalan penuh percaya diri, hingga tak seorang pun berani mengganggu. Dan didampingi oleh Tiffany yang menyeret kopernya.
Mereka masuk ke dalam ruang tunggu ekslusif, di sana Tiffany terkesima merasakan kenyamanan ruangan itu. Namun, ia tidak berani bersantai karena harus mengikuti Damien yang langsung menuju kursi di sudut ruangan.
"Besar sekali," pujinya takjub, lantas hendak duduk di kursi kosong.
Namun tidak sempat karena Damien meraih pinggangnya dengan sekali tarikan. Gerakan itu membuat Tiffany terkesiap, tak dapat melawan, dan sejurus kemudian terduduk di pangkuan Damien.
"Tuan, apa yang Tuan lakukan? A-aku malu," bisik Tiffany terperanjat, kedua tangannya mendorong dada Damien, meminta agar dibiarkan. Tetapi Damien justru semakin mengencangkan dekapannya.
"Ini hukuman untuk orang yang lancang menyentuh barangku," kata Damien rendah, tepat di telinga Tiffany.
Bisikan tersebut membuat rasa panas menjalar ke wajah, kedua pipinya merona diperlakukan seperti itu. Tiffany merasa lidahnya kelu, tak dapat menggerakkan manakala bertatapan dengan Damien yang memandangnya begitu melekat.
"Satu lagi, aku tak suka kau jauh dariku."
Kedua tangan Tiffany memegang ujung roknya, mencoba meredakan rasa gugup yang menyiksa. Sepersekian detik kemudian dia dibuat terhenyak, karena tangan nakal Damien menyusup ke dalam rok yang dikenakannya, disusul remasan-remasan kasar.
"T-Tuan," lenguh Tiffany, mencoba tetap sadar tetapi rasanya sulit. "J-jangan lakukan itu. Kumohon."
Damien tidak menjawab, tetapi menuruti permintaan wanitanya, lalu berkata, "Tiffany."
"Ya, Tuan?"
“Kenapa kamu tidak kabur dariku setelah membaca pesan kemarin?”
Sejenak, Tiffany memandang wajah Damien yang juga merawat. Menghela napas panjang, menjawab, "Karena aku sudah terjebak di duniamu, Tuan. Selain itu, tidak ada bukti akurat yang bisa kupercaya. Pesan itu bisa saja hanya gertakan kecil."
Alis tebal Damien terangkat, "Itu alasan yang membuatmu tetap tinggal?"
"Mungkin." Tiffany sesaat, memikirkan kata-katanya, "Aku merasa tidak ada perbedaan ketika memilih pergi atau menetap. Apa yang bisa kulakukan dengan hidup sebatang kara?" Menggeleng sedih, “Tidak ada.”
Keheningan menyapa, baik Damien maupun Tiffany larut dalam pikiran masing-masing. Tapi tak berselang lama, wanita itu kembali bersuara.
“Apakah isi pesan itu benar, Tuan?”
Damien menoleh, menatapnya cukup lama, lalu menjawab, "Ya."
Pupil mata Tiffany melebar, terkejut mendengar jawaban Damien. "Y-ya?" Damien tersenyum sinis, "Ya atau tidak, tergantung dirimu. Jika kau mempercayainya, berarti ya. Tetapi jika tidak, maka tidak. Percuma ku jelaskan panjang lebar, jika kau saja tak memiliki kepercayaan padaku."Adalah benar apa yang dia ucapkan, Tiffany memang belum mempercayai apapun yang dilihatnya sampai detik ini. Namun, meski ragu-ragu wanita itu pun bersuara. "Em ... mungkin dunia kita berbeda, tapi aku akan berusaha percaya padamu, Tuan. Entah kenapa aku yakin Tuan memiliki sisi baik yang tak diketahui banyak orang." Jawabannya membuat Damien tertegun, seolah tak percaya dengan apa yang didengar. "Kau yakin? Aku bukan orang baik, Tiffany. Aku dibesarkan dengan cara berbeda. Penuh kebohongan, kekerasan, dan penghianatan, orang seperti aku tak pantas kau percaya," katanya dengan nada rendah. "Dunia ini kejam. Bahkan orang yang paling dekat denganmu, bisa menjadi musuh dalam selimut," imbuh Damien. "Aku ta
"Ka—" Kalimat Tiffany menggantung di udara, saat mengangkat wajah tak ia temukan lelaki misterius itu lagi. Mengedarkan pandangan ke sekitar, sunyi. Hanya ada dirinya seorang sambil memegang secarik kertas berisi alamat cafe. "Ke-kemana dia pergi?" Napasnya memburu semakin cepat, rasa takut menjalar ke seluruh tubuh. Sebelum rasa takutnya bertambah, cepat-cepat Tiffany berjalan ke luar, menuju ruang VIP dimana Damien dan Freedy bertemu. Sesampainya di sana, Tiffany sedikit kaget melihat Freedy tidak ada, hanya menyisakan Damien yang bersantai di sofa sambil memainkan ponsel genggamnya. "Kau lama sekali," komentar Damien tanpa menoleh, namun ia menyadari kedatangan wanita itu. Tiffany menunduk dalam, "Ma-maafkan aku, Tuan. Tadi, aku ... mules, jadi ...." "Aku mengerti," s
Malam itu, Damien berdiri di tepi dok pemuatan, mengamati kontainer-kontainer besar yang sedang dipindahkan ke dalam truk. Gudang itu diterangi cahaya kuning redup, menciptakan bayangan panjang di lantai beton yang dingin. Di sebelah kanannya berdiri Dorio, yang memastikan segalanya berjalan lancar. "Bagaimana dengan paket terakhir?" tanya Damien menoleh Dorio. Pria dengan tato naga di lehernya itu mengangguk, "Sudah dikirim, Tuan. Semua berjalan sesuai rencana," jelas Dorio. Damien tak lagi menyahut, selain mengangguk kecil. Kemudian menyalakan rokok seperti biasa, menghirupnya dalam-dalam sebelum membuang ke lantai lantas menginjaknya hingga hancur. "Kau memang bisa diandalkan," pujinya menepuk-nepuk pundak Dorio, sedang asistennya itu menanggapi dengan senyum tipis. "Terima kasih, Tuan." "Hm." Damien berjal
Tiffany terpaku menatap kemunculan Damien yang tiba-tiba, bercak darah tampak mengering menyerap kemeja putih yang ia kenakan. Sorot mata yang tajam dan penuh selidik, menandakan ia sedang menunggu jawaban atas pertanyaannya barusan. Detik demi detik terasa begitu lambat berlalu. Tegukan liur menjadi bukti betapa gugupnya Tiffany saat ini. Namun, Tiffany sadar, ia harus berpikir cepat sebelum Damien bertindak agresif. "Teman lama," ucapnya cepat, menarik napas diam-diam guna menenangkan diri, "Dia baru saja membuka usaha kecil-kecilan, dan mengundangku datang ke grand opening-nya," imbuh Tiffany memasang ekspresi wajah seyakin mungkin. Dua hingga tiga menit berlalu, Damien masih memandanginya penuh intimidasi. Mata kelamnya seakan mencoba membaca kebohongan dari balik sorot mata asistennya tersebut. "Kau tidak berbohong?" Menggeleng pelan, "Tidak, Tuan." Selama beberapa detik mereka saling bertatapan, cukup lama dan intens,
Setelah beberapa hari di Amerika, Damien dan Tiffany akhirnya kembali ke Italia. Mansion megah milik Damien berdiri kokoh di atas bukit, menghadap ke arah kota yang gemerlap. Meski tempat itu begitu luas dan mewah, bagi Tiffany rasanya seperti penjara tak kasat mata. Pagi ini, Tiffany berdiri di balkon kamarnya, memandang hamparan taman yang hijau. Namun, pikirannya berkecamuk. Semakin lama ia tinggal di bawah kendali Damien, semakin ia merasa kehilangan kebebasan. Menarik napas panjang, "Aku tidak bisa terus begini, aku harus bergerak mencari tau kebenaran tentang Tuan Damien. Sekarang aku sudah di Italia, dan alamat cafe yang diberikan pria misterius itu ... ada di negara ini," lirihnya. "Malam ini, aku harus menemuinya," ujar Tiffany penuh tekad, tapi sebelum itu ada satu hal yang ingin ia lakukan. Wanita itu berjalan ke ruang kerja Damien yang ada di sebelah timur. "Permisi, Tuan." "Masuk."
Udara malam terasa dingin saat Tiffany melangkah masuk ke dalam restoran kecil yang terletak di sudut kota. Tempat ini cukup terpencil, jauh dari keramaian, hanya diterangi lampu-lampu kuning redup yang memberi kesan hangat namun misterius.Ia berjalan perlahan, matanya menelusuri setiap sudut ruangan, mencari seseorang yang sudah menunggunya. Suasana di dalam restoran cukup sepi. Hanya ada beberapa pelanggan yang duduk menikmati makanan mereka dalam keheningan.Di pojok ruangan, duduk seorang pria dengan rambut gondrong, mengenakan jaket kulit hitam yang terlihat sudah lusuh. Ia mengangkat wajahnya begitu melihat Tiffany mendekat."Akhirnya kau datang juga," sapa lelaki itu pelan, suaranya dalam dan sedikit serak seperti saat mereka teleponan. Tiffany berhenti di hadapannya, menatap pria itu dengan waspada. "Jasper?" panggilnya memastikan.Pria itu menyunggingkan senyum tipis, lalu mengangguk. "Duduklah."Sejenak, Tiffany menel
"Belum mati? M-maksudmu, ayahku masih ...?" Tiffany mengangkat kepalanya, memandang ke arah Jasper. "Ya." Jasper mengangguk, tahu apa yang ingin Tiffany ucapkan. Menyandarkan punggungnya ke kursi, Jasper kembali melanjutkan, "Ayahmu disekap oleh Damien di mansionnya. Tepat di sebuah ruangan khusus yang tak bisa dimasuki sembarang orang." Spontan saja pernyataan itu membuat Tiffany menggeleng, serasa tidak percaya, "Bagaimana mungkin, Jasper? Ayahku sudah lama meninggal, aku sendiri yang menyaksikan berita kematiannya —""Sayangnya itu hanya rekayasa, Fanny," potong Jasper cepat, "Itu semua adalah rencana Damien yang ingin semua orang tahu bahwa ayahmu sudah mati, termasuk kau." Menggigit bibir bawahnya kuat-kuat, hatinya serasa diremas-remas, Tiffany ingin menangis kencang, "Jika benar ayahku masih hidup, itu artinya selama ini aku dibohongi oleh tuan Damien?" lirihnya nampak tersiksa. "Tapi, kenapa dia menyekap ayahku, Jas?"Jasp
Tiffany memandang intens sederet angka yang tertera di layar ponsel Jasper. Deretan angkanya terlihat acak, yakni '596870'. "I-ini kode untuk apa?" tanya Tiffany kebingungan. Raut wajah Jasper berubah serius, ia menautkan jari jemarinya seraya berkata, "Kode ini akan membuka pintu menuju ruangan tempat ayahmu disekap. Damien menguncinya menggunakan sistem keypad elektronik. Kau hanya punya satu kesempatan. Jika salah memasukkan kode lebih dari tiga kali, alarm mansion akan berbunyi, dan mereka akan tahu ada penyusup." Jantung Tiffany berdegup lebih kencang. Ia menggenggam kertas itu erat, seakan takut informasi itu tiba-tiba menghilang dari genggamannya. "Bagaimana kau bisa mendapatkan kode ini, Jasper?" tanyanya dengan suara nyaris berbisik. Jasper tersenyum tipis, tetapi senyumnya tidak membawa ketenangan. "Kami memiliki orang dalam di jaringan Damien. Tidak banyak yang tahu tentang ruangan itu, bahkan an
"Kenapa aku harus memberitahu Tuan setiap orang yang kutemui? Aku hanya ingin bersantai sebentar, Tuan. Lagipula, aku tahu Tuan mengawasi ku. Kalau aku melakukan sesuatu yang mencurigakan, pasti Tuan sudah tahu lebih dulu, 'kan?" Bukannya mengalah atau takut, Tiffany justru melontarkan kalimat di luar ekspektasinya sendiri. Sungguh, dia tidak bermaksud lancang, hanya saja lidahnya mendadak sulit di kontrol. Sejurus kemudian ia langsung menundukkan wajah, "Ma-maaf, Tuan. Aku tidak bermaksud tidak sopan," katanya lirih, merapatkan mata berharap Damien memaklumi. Tetapi, reaksi lelaki itu justru lebih jauh dari yang ia duga. Alih-alih puas atau membiarkannya, pria itu justru tampak semakin kesal. Tatapan tajamnya menembus Tiffany seperti belati, rahangnya mengeras, dan nafasnya terdengar lebih berat dari sebelumnya. "Kau sudah berani membentakku?" dengus Damien, tanpa peringatan meraih pergelangan t
Tiffany memandang intens sederet angka yang tertera di layar ponsel Jasper. Deretan angkanya terlihat acak, yakni '596870'. "I-ini kode untuk apa?" tanya Tiffany kebingungan. Raut wajah Jasper berubah serius, ia menautkan jari jemarinya seraya berkata, "Kode ini akan membuka pintu menuju ruangan tempat ayahmu disekap. Damien menguncinya menggunakan sistem keypad elektronik. Kau hanya punya satu kesempatan. Jika salah memasukkan kode lebih dari tiga kali, alarm mansion akan berbunyi, dan mereka akan tahu ada penyusup." Jantung Tiffany berdegup lebih kencang. Ia menggenggam kertas itu erat, seakan takut informasi itu tiba-tiba menghilang dari genggamannya. "Bagaimana kau bisa mendapatkan kode ini, Jasper?" tanyanya dengan suara nyaris berbisik. Jasper tersenyum tipis, tetapi senyumnya tidak membawa ketenangan. "Kami memiliki orang dalam di jaringan Damien. Tidak banyak yang tahu tentang ruangan itu, bahkan an
"Belum mati? M-maksudmu, ayahku masih ...?" Tiffany mengangkat kepalanya, memandang ke arah Jasper. "Ya." Jasper mengangguk, tahu apa yang ingin Tiffany ucapkan. Menyandarkan punggungnya ke kursi, Jasper kembali melanjutkan, "Ayahmu disekap oleh Damien di mansionnya. Tepat di sebuah ruangan khusus yang tak bisa dimasuki sembarang orang." Spontan saja pernyataan itu membuat Tiffany menggeleng, serasa tidak percaya, "Bagaimana mungkin, Jasper? Ayahku sudah lama meninggal, aku sendiri yang menyaksikan berita kematiannya —""Sayangnya itu hanya rekayasa, Fanny," potong Jasper cepat, "Itu semua adalah rencana Damien yang ingin semua orang tahu bahwa ayahmu sudah mati, termasuk kau." Menggigit bibir bawahnya kuat-kuat, hatinya serasa diremas-remas, Tiffany ingin menangis kencang, "Jika benar ayahku masih hidup, itu artinya selama ini aku dibohongi oleh tuan Damien?" lirihnya nampak tersiksa. "Tapi, kenapa dia menyekap ayahku, Jas?"Jasp
Udara malam terasa dingin saat Tiffany melangkah masuk ke dalam restoran kecil yang terletak di sudut kota. Tempat ini cukup terpencil, jauh dari keramaian, hanya diterangi lampu-lampu kuning redup yang memberi kesan hangat namun misterius.Ia berjalan perlahan, matanya menelusuri setiap sudut ruangan, mencari seseorang yang sudah menunggunya. Suasana di dalam restoran cukup sepi. Hanya ada beberapa pelanggan yang duduk menikmati makanan mereka dalam keheningan.Di pojok ruangan, duduk seorang pria dengan rambut gondrong, mengenakan jaket kulit hitam yang terlihat sudah lusuh. Ia mengangkat wajahnya begitu melihat Tiffany mendekat."Akhirnya kau datang juga," sapa lelaki itu pelan, suaranya dalam dan sedikit serak seperti saat mereka teleponan. Tiffany berhenti di hadapannya, menatap pria itu dengan waspada. "Jasper?" panggilnya memastikan.Pria itu menyunggingkan senyum tipis, lalu mengangguk. "Duduklah."Sejenak, Tiffany menel
Setelah beberapa hari di Amerika, Damien dan Tiffany akhirnya kembali ke Italia. Mansion megah milik Damien berdiri kokoh di atas bukit, menghadap ke arah kota yang gemerlap. Meski tempat itu begitu luas dan mewah, bagi Tiffany rasanya seperti penjara tak kasat mata. Pagi ini, Tiffany berdiri di balkon kamarnya, memandang hamparan taman yang hijau. Namun, pikirannya berkecamuk. Semakin lama ia tinggal di bawah kendali Damien, semakin ia merasa kehilangan kebebasan. Menarik napas panjang, "Aku tidak bisa terus begini, aku harus bergerak mencari tau kebenaran tentang Tuan Damien. Sekarang aku sudah di Italia, dan alamat cafe yang diberikan pria misterius itu ... ada di negara ini," lirihnya. "Malam ini, aku harus menemuinya," ujar Tiffany penuh tekad, tapi sebelum itu ada satu hal yang ingin ia lakukan. Wanita itu berjalan ke ruang kerja Damien yang ada di sebelah timur. "Permisi, Tuan." "Masuk."
Tiffany terpaku menatap kemunculan Damien yang tiba-tiba, bercak darah tampak mengering menyerap kemeja putih yang ia kenakan. Sorot mata yang tajam dan penuh selidik, menandakan ia sedang menunggu jawaban atas pertanyaannya barusan. Detik demi detik terasa begitu lambat berlalu. Tegukan liur menjadi bukti betapa gugupnya Tiffany saat ini. Namun, Tiffany sadar, ia harus berpikir cepat sebelum Damien bertindak agresif. "Teman lama," ucapnya cepat, menarik napas diam-diam guna menenangkan diri, "Dia baru saja membuka usaha kecil-kecilan, dan mengundangku datang ke grand opening-nya," imbuh Tiffany memasang ekspresi wajah seyakin mungkin. Dua hingga tiga menit berlalu, Damien masih memandanginya penuh intimidasi. Mata kelamnya seakan mencoba membaca kebohongan dari balik sorot mata asistennya tersebut. "Kau tidak berbohong?" Menggeleng pelan, "Tidak, Tuan." Selama beberapa detik mereka saling bertatapan, cukup lama dan intens,
Malam itu, Damien berdiri di tepi dok pemuatan, mengamati kontainer-kontainer besar yang sedang dipindahkan ke dalam truk. Gudang itu diterangi cahaya kuning redup, menciptakan bayangan panjang di lantai beton yang dingin. Di sebelah kanannya berdiri Dorio, yang memastikan segalanya berjalan lancar. "Bagaimana dengan paket terakhir?" tanya Damien menoleh Dorio. Pria dengan tato naga di lehernya itu mengangguk, "Sudah dikirim, Tuan. Semua berjalan sesuai rencana," jelas Dorio. Damien tak lagi menyahut, selain mengangguk kecil. Kemudian menyalakan rokok seperti biasa, menghirupnya dalam-dalam sebelum membuang ke lantai lantas menginjaknya hingga hancur. "Kau memang bisa diandalkan," pujinya menepuk-nepuk pundak Dorio, sedang asistennya itu menanggapi dengan senyum tipis. "Terima kasih, Tuan." "Hm." Damien berjal
"Ka—" Kalimat Tiffany menggantung di udara, saat mengangkat wajah tak ia temukan lelaki misterius itu lagi. Mengedarkan pandangan ke sekitar, sunyi. Hanya ada dirinya seorang sambil memegang secarik kertas berisi alamat cafe. "Ke-kemana dia pergi?" Napasnya memburu semakin cepat, rasa takut menjalar ke seluruh tubuh. Sebelum rasa takutnya bertambah, cepat-cepat Tiffany berjalan ke luar, menuju ruang VIP dimana Damien dan Freedy bertemu. Sesampainya di sana, Tiffany sedikit kaget melihat Freedy tidak ada, hanya menyisakan Damien yang bersantai di sofa sambil memainkan ponsel genggamnya. "Kau lama sekali," komentar Damien tanpa menoleh, namun ia menyadari kedatangan wanita itu. Tiffany menunduk dalam, "Ma-maafkan aku, Tuan. Tadi, aku ... mules, jadi ...." "Aku mengerti," s
Pupil mata Tiffany melebar, terkejut mendengar jawaban Damien. "Y-ya?" Damien tersenyum sinis, "Ya atau tidak, tergantung dirimu. Jika kau mempercayainya, berarti ya. Tetapi jika tidak, maka tidak. Percuma ku jelaskan panjang lebar, jika kau saja tak memiliki kepercayaan padaku."Adalah benar apa yang dia ucapkan, Tiffany memang belum mempercayai apapun yang dilihatnya sampai detik ini. Namun, meski ragu-ragu wanita itu pun bersuara. "Em ... mungkin dunia kita berbeda, tapi aku akan berusaha percaya padamu, Tuan. Entah kenapa aku yakin Tuan memiliki sisi baik yang tak diketahui banyak orang." Jawabannya membuat Damien tertegun, seolah tak percaya dengan apa yang didengar. "Kau yakin? Aku bukan orang baik, Tiffany. Aku dibesarkan dengan cara berbeda. Penuh kebohongan, kekerasan, dan penghianatan, orang seperti aku tak pantas kau percaya," katanya dengan nada rendah. "Dunia ini kejam. Bahkan orang yang paling dekat denganmu, bisa menjadi musuh dalam selimut," imbuh Damien. "Aku ta