Malam itu, Damien berdiri di tepi dok pemuatan, mengamati kontainer-kontainer besar yang sedang dipindahkan ke dalam truk. Gudang itu diterangi cahaya kuning redup, menciptakan bayangan panjang di lantai beton yang dingin. Di sebelah kanannya berdiri Dorio, yang memastikan segalanya berjalan lancar. "Bagaimana dengan paket terakhir?" tanya Damien menoleh Dorio. Pria dengan tato naga di lehernya itu mengangguk, "Sudah dikirim, Tuan. Semua berjalan sesuai rencana," jelas Dorio. Damien tak lagi menyahut, selain mengangguk kecil. Kemudian menyalakan rokok seperti biasa, menghirupnya dalam-dalam sebelum membuang ke lantai lantas menginjaknya hingga hancur. "Kau memang bisa diandalkan," pujinya menepuk-nepuk pundak Dorio, sedang asistennya itu menanggapi dengan senyum tipis. "Terima kasih, Tuan." "Hm." Damien berjal
Tiffany terpaku menatap kemunculan Damien yang tiba-tiba, bercak darah tampak mengering menyerap kemeja putih yang ia kenakan. Sorot mata yang tajam dan penuh selidik, menandakan ia sedang menunggu jawaban atas pertanyaannya barusan. Detik demi detik terasa begitu lambat berlalu. Tegukan liur menjadi bukti betapa gugupnya Tiffany saat ini. Namun, Tiffany sadar, ia harus berpikir cepat sebelum Damien bertindak agresif. "Teman lama," ucapnya cepat, menarik napas diam-diam guna menenangkan diri, "Dia baru saja membuka usaha kecil-kecilan, dan mengundangku datang ke grand opening-nya," imbuh Tiffany memasang ekspresi wajah seyakin mungkin. Dua hingga tiga menit berlalu, Damien masih memandanginya penuh intimidasi. Mata kelamnya seakan mencoba membaca kebohongan dari balik sorot mata asistennya tersebut. "Kau tidak berbohong?" Menggeleng pelan, "Tidak, Tuan." Selama beberapa detik mereka saling bertatapan, cukup lama dan intens,
Setelah beberapa hari di Amerika, Damien dan Tiffany akhirnya kembali ke Italia. Mansion megah milik Damien berdiri kokoh di atas bukit, menghadap ke arah kota yang gemerlap. Meski tempat itu begitu luas dan mewah, bagi Tiffany rasanya seperti penjara tak kasat mata. Pagi ini, Tiffany berdiri di balkon kamarnya, memandang hamparan taman yang hijau. Namun, pikirannya berkecamuk. Semakin lama ia tinggal di bawah kendali Damien, semakin ia merasa kehilangan kebebasan. Menarik napas panjang, "Aku tidak bisa terus begini, aku harus bergerak mencari tau kebenaran tentang Tuan Damien. Sekarang aku sudah di Italia, dan alamat cafe yang diberikan pria misterius itu ... ada di negara ini," lirihnya. "Malam ini, aku harus menemuinya," ujar Tiffany penuh tekad, tapi sebelum itu ada satu hal yang ingin ia lakukan. Wanita itu berjalan ke ruang kerja Damien yang ada di sebelah timur. "Permisi, Tuan." "Masuk."
Udara malam terasa dingin saat Tiffany melangkah masuk ke dalam restoran kecil yang terletak di sudut kota. Tempat ini cukup terpencil, jauh dari keramaian, hanya diterangi lampu-lampu kuning redup yang memberi kesan hangat namun misterius.Ia berjalan perlahan, matanya menelusuri setiap sudut ruangan, mencari seseorang yang sudah menunggunya. Suasana di dalam restoran cukup sepi. Hanya ada beberapa pelanggan yang duduk menikmati makanan mereka dalam keheningan.Di pojok ruangan, duduk seorang pria dengan rambut gondrong, mengenakan jaket kulit hitam yang terlihat sudah lusuh. Ia mengangkat wajahnya begitu melihat Tiffany mendekat."Akhirnya kau datang juga," sapa lelaki itu pelan, suaranya dalam dan sedikit serak seperti saat mereka teleponan. Tiffany berhenti di hadapannya, menatap pria itu dengan waspada. "Jasper?" panggilnya memastikan.Pria itu menyunggingkan senyum tipis, lalu mengangguk. "Duduklah."Sejenak, Tiffany menel
"Belum mati? M-maksudmu, ayahku masih ...?" Tiffany mengangkat kepalanya, memandang ke arah Jasper. "Ya." Jasper mengangguk, tahu apa yang ingin Tiffany ucapkan. Menyandarkan punggungnya ke kursi, Jasper kembali melanjutkan, "Ayahmu disekap oleh Damien di mansionnya. Tepat di sebuah ruangan khusus yang tak bisa dimasuki sembarang orang." Spontan saja pernyataan itu membuat Tiffany menggeleng, serasa tidak percaya, "Bagaimana mungkin, Jasper? Ayahku sudah lama meninggal, aku sendiri yang menyaksikan berita kematiannya —""Sayangnya itu hanya rekayasa, Fanny," potong Jasper cepat, "Itu semua adalah rencana Damien yang ingin semua orang tahu bahwa ayahmu sudah mati, termasuk kau." Menggigit bibir bawahnya kuat-kuat, hatinya serasa diremas-remas, Tiffany ingin menangis kencang, "Jika benar ayahku masih hidup, itu artinya selama ini aku dibohongi oleh tuan Damien?" lirihnya nampak tersiksa. "Tapi, kenapa dia menyekap ayahku, Jas?"Jasp
Tiffany memandang intens sederet angka yang tertera di layar ponsel Jasper. Deretan angkanya terlihat acak, yakni '596870'. "I-ini kode untuk apa?" tanya Tiffany kebingungan. Raut wajah Jasper berubah serius, ia menautkan jari jemarinya seraya berkata, "Kode ini akan membuka pintu menuju ruangan tempat ayahmu disekap. Damien menguncinya menggunakan sistem keypad elektronik. Kau hanya punya satu kesempatan. Jika salah memasukkan kode lebih dari tiga kali, alarm mansion akan berbunyi, dan mereka akan tahu ada penyusup." Jantung Tiffany berdegup lebih kencang. Ia menggenggam kertas itu erat, seakan takut informasi itu tiba-tiba menghilang dari genggamannya. "Bagaimana kau bisa mendapatkan kode ini, Jasper?" tanyanya dengan suara nyaris berbisik. Jasper tersenyum tipis, tetapi senyumnya tidak membawa ketenangan. "Kami memiliki orang dalam di jaringan Damien. Tidak banyak yang tahu tentang ruangan itu, bahkan an
"Kenapa aku harus memberitahu Tuan setiap orang yang kutemui? Aku hanya ingin bersantai sebentar, Tuan. Lagipula, aku tahu Tuan mengawasi ku. Kalau aku melakukan sesuatu yang mencurigakan, pasti Tuan sudah tahu lebih dulu, 'kan?" Bukannya mengalah atau takut, Tiffany justru melontarkan kalimat di luar ekspektasinya sendiri. Sungguh, dia tidak bermaksud lancang, hanya saja lidahnya mendadak sulit di kontrol. Sejurus kemudian ia langsung menundukkan wajah, "Ma-maaf, Tuan. Aku tidak bermaksud tidak sopan," katanya lirih, merapatkan mata berharap Damien memaklumi. Tetapi, reaksi lelaki itu justru lebih jauh dari yang ia duga. Alih-alih puas atau membiarkannya, pria itu justru tampak semakin kesal. Tatapan tajamnya menembus Tiffany seperti belati, rahangnya mengeras, dan nafasnya terdengar lebih berat dari sebelumnya. "Kau sudah berani membentakku?" dengus Damien, tanpa peringatan meraih pergelangan t
Aroma kopi hitam menguar ke udara saat Tiffany dengan cekatan menuangkan kopi ke dalam cangkir Damien. Sejak tadi malam hingga pagi ini, tidak ada obrolan yang terjadi antara mereka, tepat setelah Tiffany menolak memberi jawaban atas pertanyaan terakhir tuannya. "Silakan, Tuan," ucap Tiffany menyodorkan cangkir ke depan pria yang duduk dengan singkat angkuh tak pernah luntur. Kemudian, Tiffany menyajikan roti panggang dan telur setengah matang, dilengkapi buah potong yang tersusun rapi di piring porselen putih. "Ini sarapannya," imbuhnya. Sekilas, ekor mata Damien melirik cangkirnya. Kemudian meraih, meniup uap panas yang mengepul sebelum akhirnya menyeruput beberapa kali. Dirasa cukup, ia taruh kembali kopi ke tempatnya. "Hari ini aku akan pulang terlambat, banyak urusan yang harus diselesaikan," ucap Damien memecah keheningan di antara mereka. "Iya, Tuan," jawab Tiffany dengan tenang, k
Sesampainya di lokasi spa bernama "La Belle Luxe", Tiffany melirik keluar jendela mobil dengan tatapan tak percaya. Bangunan yang berdiri megah di hadapannya tampak begitu eksklusif, dengan arsitektur modern yang didominasi kaca dan emas. Pintu masuknya menjulang tinggi, dengan papan nama elegan yang menunjukkan tempat ini bukanlah spa sembarangan.Tiffany turun dari mobil dengan langkah ragu. Matanya masih terpaku pada kemewahan tempat itu, pikirannya dipenuhi pertanyaan. Kenapa Damien sampai repot-repot mengirimnya ke sini? Apakah semua ini benar-benar hanya soal "menyambutnya dengan cantik"? "Silakan Nona," ujar pengawal mempersilakan Tiffany berjalan lebih dulu. "Terima kasih." Tiffany pun berjalan memasuki lobby, namun belum sempat melangkah lebih jauh, suara nyaring dari dalam tasnya menghentikan langkah. Tiffany langsung merogoh tas dan melihat layar ponselnya menyala.Hatinya berdegup lebih cepat. Ia segera menoleh ke
"Oke, pelan-pelan saja. Jangan sampai ketahuan," ujarnya setelah tiba di dapur, dan berbelok memasuki satu ruangan. Namun, belum sempat bergerak lebih dalam. Terdengar suara langkah kaki mendekat. Hal itu membuat jantung Tiffany serasa ingin melompat dari sarang. Cepat-cepat ia bersembunyi di balik rak kayu besar. "Belum apa-apa, sudah ada saja yang mengejutkan." Tap! Tap! Tap! Suara langkah itu kian mendekat, dan tak lama kemudian terdengar suara knop pintu terbuka. "Apakah aman?" "Tentu saja." Mati-matian Tiffany menahan napas saat mendengar dua suara dari lelaki berbeda, ia tahu betul siapa mereka. Tidak lain anak buah Damien yang berjaga di ruang penyimpanan anggur tersebut. "Ya Tuhan, apa yang harus kulakukan? Bagaimana kalau mereka menemukan ku?" Menggeleng kecil, "Tidak tidak, tidak boleh. Jangan sampai aku ketahuan, Tuan Damien pasti akan curiga nanti." Akan tetapi, sepertinya semesta m
Sekarang, Tiffany berdiri di tengah aula utama mansion. Matanya memindai setiap sudut dengan seksama. Megah, satu kata yang cukup untuk mendefinisikan nuansa bangunan seluas seribu hektar itu.Langit-langitnya tinggi dihiasi lampu kristal yang menggantung, menerangi ruangan dengan sinar keemasan. "Ah, aku baru sadar bahwa tempat ini bukan hunian biasa," gumamnya pelan. Puas memandangi, kini Tiffany mulai menyusuri salah satu koridor panjang di sisi kanan mansion. Langkahnya pelan, hanya suara gesekan lembut antara sol sepatu dan lantai yang terdengar. Sudah lama tinggal di sana, namun baru detik ini Tiffany menyadari keberadaan lukisan-lukisan besar dalam bingkai emas, yang membuatnya terasa semakin kecil. Menoleh ke kiri kanan secara bergantian, untuk mengingat detail yang diharapakan dapat membantunya menemukan penjara rahasia. "Rasanya aku sudah berjalan sangat jauh, tapi kenapa jalurnya membuatku semakin bingung?" Tiffany mengerny
Aroma kopi hitam menguar ke udara saat Tiffany dengan cekatan menuangkan kopi ke dalam cangkir Damien. Sejak tadi malam hingga pagi ini, tidak ada obrolan yang terjadi antara mereka, tepat setelah Tiffany menolak memberi jawaban atas pertanyaan terakhir tuannya. "Silakan, Tuan," ucap Tiffany menyodorkan cangkir ke depan pria yang duduk dengan singkat angkuh tak pernah luntur. Kemudian, Tiffany menyajikan roti panggang dan telur setengah matang, dilengkapi buah potong yang tersusun rapi di piring porselen putih. "Ini sarapannya," imbuhnya. Sekilas, ekor mata Damien melirik cangkirnya. Kemudian meraih, meniup uap panas yang mengepul sebelum akhirnya menyeruput beberapa kali. Dirasa cukup, ia taruh kembali kopi ke tempatnya. "Hari ini aku akan pulang terlambat, banyak urusan yang harus diselesaikan," ucap Damien memecah keheningan di antara mereka. "Iya, Tuan," jawab Tiffany dengan tenang, k
"Kenapa aku harus memberitahu Tuan setiap orang yang kutemui? Aku hanya ingin bersantai sebentar, Tuan. Lagipula, aku tahu Tuan mengawasi ku. Kalau aku melakukan sesuatu yang mencurigakan, pasti Tuan sudah tahu lebih dulu, 'kan?" Bukannya mengalah atau takut, Tiffany justru melontarkan kalimat di luar ekspektasinya sendiri. Sungguh, dia tidak bermaksud lancang, hanya saja lidahnya mendadak sulit di kontrol. Sejurus kemudian ia langsung menundukkan wajah, "Ma-maaf, Tuan. Aku tidak bermaksud tidak sopan," katanya lirih, merapatkan mata berharap Damien memaklumi. Tetapi, reaksi lelaki itu justru lebih jauh dari yang ia duga. Alih-alih puas atau membiarkannya, pria itu justru tampak semakin kesal. Tatapan tajamnya menembus Tiffany seperti belati, rahangnya mengeras, dan nafasnya terdengar lebih berat dari sebelumnya. "Kau sudah berani membentakku?" dengus Damien, tanpa peringatan meraih pergelangan t
Tiffany memandang intens sederet angka yang tertera di layar ponsel Jasper. Deretan angkanya terlihat acak, yakni '596870'. "I-ini kode untuk apa?" tanya Tiffany kebingungan. Raut wajah Jasper berubah serius, ia menautkan jari jemarinya seraya berkata, "Kode ini akan membuka pintu menuju ruangan tempat ayahmu disekap. Damien menguncinya menggunakan sistem keypad elektronik. Kau hanya punya satu kesempatan. Jika salah memasukkan kode lebih dari tiga kali, alarm mansion akan berbunyi, dan mereka akan tahu ada penyusup." Jantung Tiffany berdegup lebih kencang. Ia menggenggam kertas itu erat, seakan takut informasi itu tiba-tiba menghilang dari genggamannya. "Bagaimana kau bisa mendapatkan kode ini, Jasper?" tanyanya dengan suara nyaris berbisik. Jasper tersenyum tipis, tetapi senyumnya tidak membawa ketenangan. "Kami memiliki orang dalam di jaringan Damien. Tidak banyak yang tahu tentang ruangan itu, bahkan an
"Belum mati? M-maksudmu, ayahku masih ...?" Tiffany mengangkat kepalanya, memandang ke arah Jasper. "Ya." Jasper mengangguk, tahu apa yang ingin Tiffany ucapkan. Menyandarkan punggungnya ke kursi, Jasper kembali melanjutkan, "Ayahmu disekap oleh Damien di mansionnya. Tepat di sebuah ruangan khusus yang tak bisa dimasuki sembarang orang." Spontan saja pernyataan itu membuat Tiffany menggeleng, serasa tidak percaya, "Bagaimana mungkin, Jasper? Ayahku sudah lama meninggal, aku sendiri yang menyaksikan berita kematiannya —""Sayangnya itu hanya rekayasa, Fanny," potong Jasper cepat, "Itu semua adalah rencana Damien yang ingin semua orang tahu bahwa ayahmu sudah mati, termasuk kau." Menggigit bibir bawahnya kuat-kuat, hatinya serasa diremas-remas, Tiffany ingin menangis kencang, "Jika benar ayahku masih hidup, itu artinya selama ini aku dibohongi oleh tuan Damien?" lirihnya nampak tersiksa. "Tapi, kenapa dia menyekap ayahku, Jas?"Jasp
Udara malam terasa dingin saat Tiffany melangkah masuk ke dalam restoran kecil yang terletak di sudut kota. Tempat ini cukup terpencil, jauh dari keramaian, hanya diterangi lampu-lampu kuning redup yang memberi kesan hangat namun misterius.Ia berjalan perlahan, matanya menelusuri setiap sudut ruangan, mencari seseorang yang sudah menunggunya. Suasana di dalam restoran cukup sepi. Hanya ada beberapa pelanggan yang duduk menikmati makanan mereka dalam keheningan.Di pojok ruangan, duduk seorang pria dengan rambut gondrong, mengenakan jaket kulit hitam yang terlihat sudah lusuh. Ia mengangkat wajahnya begitu melihat Tiffany mendekat."Akhirnya kau datang juga," sapa lelaki itu pelan, suaranya dalam dan sedikit serak seperti saat mereka teleponan. Tiffany berhenti di hadapannya, menatap pria itu dengan waspada. "Jasper?" panggilnya memastikan.Pria itu menyunggingkan senyum tipis, lalu mengangguk. "Duduklah."Sejenak, Tiffany menel
Setelah beberapa hari di Amerika, Damien dan Tiffany akhirnya kembali ke Italia. Mansion megah milik Damien berdiri kokoh di atas bukit, menghadap ke arah kota yang gemerlap. Meski tempat itu begitu luas dan mewah, bagi Tiffany rasanya seperti penjara tak kasat mata. Pagi ini, Tiffany berdiri di balkon kamarnya, memandang hamparan taman yang hijau. Namun, pikirannya berkecamuk. Semakin lama ia tinggal di bawah kendali Damien, semakin ia merasa kehilangan kebebasan. Menarik napas panjang, "Aku tidak bisa terus begini, aku harus bergerak mencari tau kebenaran tentang Tuan Damien. Sekarang aku sudah di Italia, dan alamat cafe yang diberikan pria misterius itu ... ada di negara ini," lirihnya. "Malam ini, aku harus menemuinya," ujar Tiffany penuh tekad, tapi sebelum itu ada satu hal yang ingin ia lakukan. Wanita itu berjalan ke ruang kerja Damien yang ada di sebelah timur. "Permisi, Tuan." "Masuk."