Tiffany tersentak mundur ketika sorot tajam Damien mengunci pandangannya. Dia segera menundukkan kepala, menghindari tatapan menghunus lelaki itu.
"Ma-maaf, Tuan. Aku tidak bermaksud lancang, a-a-aku hanya ingin memastikan Tuan merasa nyaman. T-tadi Tuan terlihat lelah jadi ku pikir, a-aku hanya ... aku hanya coba membantu. Aku tau itu tidak sopan, tapi tadi Tuan tertidur dan aku ... a-aku tidak bermaksud buruk—"
"Diam!" Dengan tegas Damien memotong kata-kata Tiffany yang sulit dimengerti. "Banyak sekali bicaramu," sambungnya dingin menusuk ke dalam hati.
Tiffany tersentak kaget, napasnya tertahan, dan tubuhnya membeku. Kepalanya menunduk dengan cepat, menahan rasa malu dan takut yang bercampur.
"Maaf, Tuan," ucapnya lirih, hampir tak terdengar. Terdengar getaran di setiap kalimatnya, seakan berusaha keras menenangkan diri meski jantungnya berdebar sangat kencang.
Damien tidak mengatakan apa-apa lagi setelah kalimat terakhirnya. Keheningan menyelimuti kamar mewah itu. Hingga tak lama berselang, Damien menggeser tubuh sedikit, memberi ruang kosong di sisi tempat tidur.
"Tidurlah di sini, di depanku," titahnya.
"Hah?" Tiffany ternganga lebar, terkejut, "Tu-tuan—"
"Jangan buat aku mengulanginya. Tidur di sini, sekarang," potong Damien penuh penekanan.
Jantungnya serasa hendak melompat dari sarang. Akan tetapi, Tiffany tidak punya pilihan selain menurut. Sebab ia tahu, Damien bukan manusia biasa. Dia predator berbahaya yang suka memangsa apabila ego dan keinginannya tak diindahkan.
Akhirnya, Tiffany merangkak naik ke pembaringan. Merebahkan diri dengan posisi miring. Baru saja kepalanya menyentuh bantal, Damien langsung merengkuhnya seolah bantal guling, membuat empunya membeku di tempat.
"Jangan bergerak, aku tau kau menginginkan ini," kata Damien pelan.
"Iya," jawab Tiffany, spontan ia melotot, "Astaga, apa yang kukatakan?" batinnya merutuk.
Terdengar kekehan kecil dari belakang, itu adalah suara Damien yang sedang meledeknya. Tetapi Damien tak mengatakan apa-apa lagi, hingga keheningan menyelimuti.
Merasa punggungnya pegal akibat terlalu lama miring, Tiffany membalikkan badan, menelentangkan tubuh perlahan. Ekor mata melirik ke samping kiri, terlihat napas Damien yang semula berat kini menjadi dalam dan teratur. Tiffany dapat mendengar suara dengkuran halusnya.
"Dia tertidur lagi?"
Tidak seperti sebelumnya, kali ini Tiffany lebih berani memandangi wajah tampan Damien. Satu hal yang membuatnya terpana, yakni tangan besar pria itu masih melingkar di perutnya. Entah kenapa Tiffany dibuat canggung karenanya, juga ada rasa aman yang mengalir.
Sejenak, ia lupa akan ketakutan dan kebingungan yang tadi memenuhi pikiran. Hanya ada Damien yang tidur dengan damai, dan tangan pria itu yang terasa hangat di tubuhnya.
"Ya Tuhan, kenapa aku harus terjebak menjadi asistennya? Aku tidak tahu apakah Tuan Damien orang baik atau jahat, tetapi yang jelas dia pasti menyimpan banyak misteri. Lindungi aku Tuhan, hanya Engkau yang tahu setiap baik-buruknya seseorang." Dalam keheningan itu, Tiffany berdoa dalam hati.
Puas berbaring, Tiffany mencoba mengangkat tangan Damien. Sejenak menahan napas, agar pria itu tidak terganggu. Setelah berhasil, dia pun menuruni ranjang dengan sangat pelan agar tak menimbulkan suara.
Berniat ke kamar mandi untuk buang air kecil. Namun baru beberapa langkah, suara notifikasi pesan masuk terdengar nyaring, yang berasal dari ponsel Damien.
"Biarkan sajalah, toh bukan urusanku," katanya.
Persis ketika hendak melanjutkan langkah, notifikasi itu berbunyi lagi. Kali ini lebih cepat disusul getaran yang menandakan panggilan masuk. Tiffany menoleh dengan cemas, rasa keingintahuannya pun semakin besar.
"Baiklah, akan ku cek. Siapa tahu penting. Lagipula, kalau pesannya memang mendesak, bukankah itu bagus, karena aku bisa langsung memberitahu Tuan Damien?"
Meskipun demikian, Tiffany tetap berhati-hati, dia melangkah pelan ke arah nakas. Harapannya Damien tidak langsung bangun, karena konsekuensinya sangat besar.
Dengan tangan yang sedikit gemetar, Tiffany meraih benda pipih itu. Menatap layar yang terus berkedip, terlihat serangkaian notifikasi pesan dan panggilan.
Menggigit bibir seraya menarik napas panjang, sebelum akhirnya menggeser layar ke atas.
"Setelah membunuh ayahnya, sekarang anaknya kau jadikan asisten pribadi? Kau memang licik, Damien!"
"Hentikan aktifitas busukmu itu jika kau masih ingin hidup! Dasar pembunuh berdarah dingin!"
"Kau lihat saja, keangkuhanmu tidak akan bertahan lama. Manusia penuh dosa dan aib sepertimu lebih pantas mati daripada menguasai dunia. Ingat! Pada dasarnya kau hanyalah rakyat jelata, tapi karena bisnis gila mu itu, kau pun menjadi kaya! Kelak kau akan menjadi penghuni neraka paling kekal, Damien!"
Spontan saja Tiffany ternganga, matanya membelalak, terpana dengan isi pesan yang baru saja dibaca. Pikirannya melalang buana, bercampur aduk antara ketakutan dan kegelisahan.
Belum sempat dia menyusun pikiran, sebuah tangan besar menyambar ponsel dari genggamannya. Tiffany terlonjak kaget, matanya langsung bertemu dengan tatapan Damien yang entah sejak kapan berdiri di belakangnya.
"Berani sekali kau menyentuh barang milikku tanpa izin. Kau memang sangat pembangkang, Tiffany."
Jika sebelum-sebelumnya Tiffany akan segera meminta maaf, tetapi kali ini tidak. Dia membiarkan Damien menyumpah serapah, membuang kosong ketika isi pesan terngiang-ngiang di pikiran. Ekspresi tersebut membuat Damien langsung berhenti bicara. Merasa ada yang tidak beres, dia pun segera membuka ponsel, lalu membaca pesan yang tertera di layar. Detik itu juga pandangan memelotot lebar. Kembali menoleh ke Tiffany, sekarang Damien tahu apa yang membuat asistennya tak merasa takut. "Terserah mau percaya atau tidak, tapi aku tidak melakukannya. Jangankan membunuh, kenali ayahmu pun tidak. Lagipula, aku tak membunuh sembarang orang. Mereka yang ku bunuh, karena mereka layak dibunuh," ucap Damien penuh penegasan. Tanpa menunggu respon dari Tiffany, dia melangkah ke arah pintu. Membawa sendal rumahan dari rak sepatu, setelah dipasang langsung keluar entah kemana. Di tempatnya berdiri, Tiffany masih mematung memandangi punggung kokoh Damien yang menghilang disembunyikan, meninggalkan diriny
Pupil mata Tiffany melebar, terkejut mendengar jawaban Damien. "Y-ya?" Damien tersenyum sinis, "Ya atau tidak, tergantung dirimu. Jika kau mempercayainya, berarti ya. Tetapi jika tidak, maka tidak. Percuma ku jelaskan panjang lebar, jika kau saja tak memiliki kepercayaan padaku."Adalah benar apa yang dia ucapkan, Tiffany memang belum mempercayai apapun yang dilihatnya sampai detik ini. Namun, meski ragu-ragu wanita itu pun bersuara. "Em ... mungkin dunia kita berbeda, tapi aku akan berusaha percaya padamu, Tuan. Entah kenapa aku yakin Tuan memiliki sisi baik yang tak diketahui banyak orang." Jawabannya membuat Damien tertegun, seolah tak percaya dengan apa yang didengar. "Kau yakin? Aku bukan orang baik, Tiffany. Aku dibesarkan dengan cara berbeda. Penuh kebohongan, kekerasan, dan penghianatan, orang seperti aku tak pantas kau percaya," katanya dengan nada rendah. "Dunia ini kejam. Bahkan orang yang paling dekat denganmu, bisa menjadi musuh dalam selimut," imbuh Damien. "Aku ta
"Ka—" Kalimat Tiffany menggantung di udara, saat mengangkat wajah tak ia temukan lelaki misterius itu lagi. Mengedarkan pandangan ke sekitar, sunyi. Hanya ada dirinya seorang sambil memegang secarik kertas berisi alamat cafe. "Ke-kemana dia pergi?" Napasnya memburu semakin cepat, rasa takut menjalar ke seluruh tubuh. Sebelum rasa takutnya bertambah, cepat-cepat Tiffany berjalan ke luar, menuju ruang VIP dimana Damien dan Freedy bertemu. Sesampainya di sana, Tiffany sedikit kaget melihat Freedy tidak ada, hanya menyisakan Damien yang bersantai di sofa sambil memainkan ponsel genggamnya. "Kau lama sekali," komentar Damien tanpa menoleh, namun ia menyadari kedatangan wanita itu. Tiffany menunduk dalam, "Ma-maafkan aku, Tuan. Tadi, aku ... mules, jadi ...." "Aku mengerti," s
Malam itu, Damien berdiri di tepi dok pemuatan, mengamati kontainer-kontainer besar yang sedang dipindahkan ke dalam truk. Gudang itu diterangi cahaya kuning redup, menciptakan bayangan panjang di lantai beton yang dingin. Di sebelah kanannya berdiri Dorio, yang memastikan segalanya berjalan lancar. "Bagaimana dengan paket terakhir?" tanya Damien menoleh Dorio. Pria dengan tato naga di lehernya itu mengangguk, "Sudah dikirim, Tuan. Semua berjalan sesuai rencana," jelas Dorio. Damien tak lagi menyahut, selain mengangguk kecil. Kemudian menyalakan rokok seperti biasa, menghirupnya dalam-dalam sebelum membuang ke lantai lantas menginjaknya hingga hancur. "Kau memang bisa diandalkan," pujinya menepuk-nepuk pundak Dorio, sedang asistennya itu menanggapi dengan senyum tipis. "Terima kasih, Tuan." "Hm." Damien berjal
Tiffany terpaku menatap kemunculan Damien yang tiba-tiba, bercak darah tampak mengering menyerap kemeja putih yang ia kenakan. Sorot mata yang tajam dan penuh selidik, menandakan ia sedang menunggu jawaban atas pertanyaannya barusan. Detik demi detik terasa begitu lambat berlalu. Tegukan liur menjadi bukti betapa gugupnya Tiffany saat ini. Namun, Tiffany sadar, ia harus berpikir cepat sebelum Damien bertindak agresif. "Teman lama," ucapnya cepat, menarik napas diam-diam guna menenangkan diri, "Dia baru saja membuka usaha kecil-kecilan, dan mengundangku datang ke grand opening-nya," imbuh Tiffany memasang ekspresi wajah seyakin mungkin. Dua hingga tiga menit berlalu, Damien masih memandanginya penuh intimidasi. Mata kelamnya seakan mencoba membaca kebohongan dari balik sorot mata asistennya tersebut. "Kau tidak berbohong?" Menggeleng pelan, "Tidak, Tuan." Selama beberapa detik mereka saling bertatapan, cukup lama dan intens,
Setelah beberapa hari di Amerika, Damien dan Tiffany akhirnya kembali ke Italia. Mansion megah milik Damien berdiri kokoh di atas bukit, menghadap ke arah kota yang gemerlap. Meski tempat itu begitu luas dan mewah, bagi Tiffany rasanya seperti penjara tak kasat mata. Pagi ini, Tiffany berdiri di balkon kamarnya, memandang hamparan taman yang hijau. Namun, pikirannya berkecamuk. Semakin lama ia tinggal di bawah kendali Damien, semakin ia merasa kehilangan kebebasan. Menarik napas panjang, "Aku tidak bisa terus begini, aku harus bergerak mencari tau kebenaran tentang Tuan Damien. Sekarang aku sudah di Italia, dan alamat cafe yang diberikan pria misterius itu ... ada di negara ini," lirihnya. "Malam ini, aku harus menemuinya," ujar Tiffany penuh tekad, tapi sebelum itu ada satu hal yang ingin ia lakukan. Wanita itu berjalan ke ruang kerja Damien yang ada di sebelah timur. "Permisi, Tuan." "Masuk."
Udara malam terasa dingin saat Tiffany melangkah masuk ke dalam restoran kecil yang terletak di sudut kota. Tempat ini cukup terpencil, jauh dari keramaian, hanya diterangi lampu-lampu kuning redup yang memberi kesan hangat namun misterius.Ia berjalan perlahan, matanya menelusuri setiap sudut ruangan, mencari seseorang yang sudah menunggunya. Suasana di dalam restoran cukup sepi. Hanya ada beberapa pelanggan yang duduk menikmati makanan mereka dalam keheningan.Di pojok ruangan, duduk seorang pria dengan rambut gondrong, mengenakan jaket kulit hitam yang terlihat sudah lusuh. Ia mengangkat wajahnya begitu melihat Tiffany mendekat."Akhirnya kau datang juga," sapa lelaki itu pelan, suaranya dalam dan sedikit serak seperti saat mereka teleponan. Tiffany berhenti di hadapannya, menatap pria itu dengan waspada. "Jasper?" panggilnya memastikan.Pria itu menyunggingkan senyum tipis, lalu mengangguk. "Duduklah."Sejenak, Tiffany menel
"Belum mati? M-maksudmu, ayahku masih ...?" Tiffany mengangkat kepalanya, memandang ke arah Jasper. "Ya." Jasper mengangguk, tahu apa yang ingin Tiffany ucapkan. Menyandarkan punggungnya ke kursi, Jasper kembali melanjutkan, "Ayahmu disekap oleh Damien di mansionnya. Tepat di sebuah ruangan khusus yang tak bisa dimasuki sembarang orang." Spontan saja pernyataan itu membuat Tiffany menggeleng, serasa tidak percaya, "Bagaimana mungkin, Jasper? Ayahku sudah lama meninggal, aku sendiri yang menyaksikan berita kematiannya —""Sayangnya itu hanya rekayasa, Fanny," potong Jasper cepat, "Itu semua adalah rencana Damien yang ingin semua orang tahu bahwa ayahmu sudah mati, termasuk kau." Menggigit bibir bawahnya kuat-kuat, hatinya serasa diremas-remas, Tiffany ingin menangis kencang, "Jika benar ayahku masih hidup, itu artinya selama ini aku dibohongi oleh tuan Damien?" lirihnya nampak tersiksa. "Tapi, kenapa dia menyekap ayahku, Jas?"Jasp
"Kenapa aku harus memberitahu Tuan setiap orang yang kutemui? Aku hanya ingin bersantai sebentar, Tuan. Lagipula, aku tahu Tuan mengawasi ku. Kalau aku melakukan sesuatu yang mencurigakan, pasti Tuan sudah tahu lebih dulu, 'kan?" Bukannya mengalah atau takut, Tiffany justru melontarkan kalimat di luar ekspektasinya sendiri. Sungguh, dia tidak bermaksud lancang, hanya saja lidahnya mendadak sulit di kontrol. Sejurus kemudian ia langsung menundukkan wajah, "Ma-maaf, Tuan. Aku tidak bermaksud tidak sopan," katanya lirih, merapatkan mata berharap Damien memaklumi. Tetapi, reaksi lelaki itu justru lebih jauh dari yang ia duga. Alih-alih puas atau membiarkannya, pria itu justru tampak semakin kesal. Tatapan tajamnya menembus Tiffany seperti belati, rahangnya mengeras, dan nafasnya terdengar lebih berat dari sebelumnya. "Kau sudah berani membentakku?" dengus Damien, tanpa peringatan meraih pergelangan t
Tiffany memandang intens sederet angka yang tertera di layar ponsel Jasper. Deretan angkanya terlihat acak, yakni '596870'. "I-ini kode untuk apa?" tanya Tiffany kebingungan. Raut wajah Jasper berubah serius, ia menautkan jari jemarinya seraya berkata, "Kode ini akan membuka pintu menuju ruangan tempat ayahmu disekap. Damien menguncinya menggunakan sistem keypad elektronik. Kau hanya punya satu kesempatan. Jika salah memasukkan kode lebih dari tiga kali, alarm mansion akan berbunyi, dan mereka akan tahu ada penyusup." Jantung Tiffany berdegup lebih kencang. Ia menggenggam kertas itu erat, seakan takut informasi itu tiba-tiba menghilang dari genggamannya. "Bagaimana kau bisa mendapatkan kode ini, Jasper?" tanyanya dengan suara nyaris berbisik. Jasper tersenyum tipis, tetapi senyumnya tidak membawa ketenangan. "Kami memiliki orang dalam di jaringan Damien. Tidak banyak yang tahu tentang ruangan itu, bahkan an
"Belum mati? M-maksudmu, ayahku masih ...?" Tiffany mengangkat kepalanya, memandang ke arah Jasper. "Ya." Jasper mengangguk, tahu apa yang ingin Tiffany ucapkan. Menyandarkan punggungnya ke kursi, Jasper kembali melanjutkan, "Ayahmu disekap oleh Damien di mansionnya. Tepat di sebuah ruangan khusus yang tak bisa dimasuki sembarang orang." Spontan saja pernyataan itu membuat Tiffany menggeleng, serasa tidak percaya, "Bagaimana mungkin, Jasper? Ayahku sudah lama meninggal, aku sendiri yang menyaksikan berita kematiannya —""Sayangnya itu hanya rekayasa, Fanny," potong Jasper cepat, "Itu semua adalah rencana Damien yang ingin semua orang tahu bahwa ayahmu sudah mati, termasuk kau." Menggigit bibir bawahnya kuat-kuat, hatinya serasa diremas-remas, Tiffany ingin menangis kencang, "Jika benar ayahku masih hidup, itu artinya selama ini aku dibohongi oleh tuan Damien?" lirihnya nampak tersiksa. "Tapi, kenapa dia menyekap ayahku, Jas?"Jasp
Udara malam terasa dingin saat Tiffany melangkah masuk ke dalam restoran kecil yang terletak di sudut kota. Tempat ini cukup terpencil, jauh dari keramaian, hanya diterangi lampu-lampu kuning redup yang memberi kesan hangat namun misterius.Ia berjalan perlahan, matanya menelusuri setiap sudut ruangan, mencari seseorang yang sudah menunggunya. Suasana di dalam restoran cukup sepi. Hanya ada beberapa pelanggan yang duduk menikmati makanan mereka dalam keheningan.Di pojok ruangan, duduk seorang pria dengan rambut gondrong, mengenakan jaket kulit hitam yang terlihat sudah lusuh. Ia mengangkat wajahnya begitu melihat Tiffany mendekat."Akhirnya kau datang juga," sapa lelaki itu pelan, suaranya dalam dan sedikit serak seperti saat mereka teleponan. Tiffany berhenti di hadapannya, menatap pria itu dengan waspada. "Jasper?" panggilnya memastikan.Pria itu menyunggingkan senyum tipis, lalu mengangguk. "Duduklah."Sejenak, Tiffany menel
Setelah beberapa hari di Amerika, Damien dan Tiffany akhirnya kembali ke Italia. Mansion megah milik Damien berdiri kokoh di atas bukit, menghadap ke arah kota yang gemerlap. Meski tempat itu begitu luas dan mewah, bagi Tiffany rasanya seperti penjara tak kasat mata. Pagi ini, Tiffany berdiri di balkon kamarnya, memandang hamparan taman yang hijau. Namun, pikirannya berkecamuk. Semakin lama ia tinggal di bawah kendali Damien, semakin ia merasa kehilangan kebebasan. Menarik napas panjang, "Aku tidak bisa terus begini, aku harus bergerak mencari tau kebenaran tentang Tuan Damien. Sekarang aku sudah di Italia, dan alamat cafe yang diberikan pria misterius itu ... ada di negara ini," lirihnya. "Malam ini, aku harus menemuinya," ujar Tiffany penuh tekad, tapi sebelum itu ada satu hal yang ingin ia lakukan. Wanita itu berjalan ke ruang kerja Damien yang ada di sebelah timur. "Permisi, Tuan." "Masuk."
Tiffany terpaku menatap kemunculan Damien yang tiba-tiba, bercak darah tampak mengering menyerap kemeja putih yang ia kenakan. Sorot mata yang tajam dan penuh selidik, menandakan ia sedang menunggu jawaban atas pertanyaannya barusan. Detik demi detik terasa begitu lambat berlalu. Tegukan liur menjadi bukti betapa gugupnya Tiffany saat ini. Namun, Tiffany sadar, ia harus berpikir cepat sebelum Damien bertindak agresif. "Teman lama," ucapnya cepat, menarik napas diam-diam guna menenangkan diri, "Dia baru saja membuka usaha kecil-kecilan, dan mengundangku datang ke grand opening-nya," imbuh Tiffany memasang ekspresi wajah seyakin mungkin. Dua hingga tiga menit berlalu, Damien masih memandanginya penuh intimidasi. Mata kelamnya seakan mencoba membaca kebohongan dari balik sorot mata asistennya tersebut. "Kau tidak berbohong?" Menggeleng pelan, "Tidak, Tuan." Selama beberapa detik mereka saling bertatapan, cukup lama dan intens,
Malam itu, Damien berdiri di tepi dok pemuatan, mengamati kontainer-kontainer besar yang sedang dipindahkan ke dalam truk. Gudang itu diterangi cahaya kuning redup, menciptakan bayangan panjang di lantai beton yang dingin. Di sebelah kanannya berdiri Dorio, yang memastikan segalanya berjalan lancar. "Bagaimana dengan paket terakhir?" tanya Damien menoleh Dorio. Pria dengan tato naga di lehernya itu mengangguk, "Sudah dikirim, Tuan. Semua berjalan sesuai rencana," jelas Dorio. Damien tak lagi menyahut, selain mengangguk kecil. Kemudian menyalakan rokok seperti biasa, menghirupnya dalam-dalam sebelum membuang ke lantai lantas menginjaknya hingga hancur. "Kau memang bisa diandalkan," pujinya menepuk-nepuk pundak Dorio, sedang asistennya itu menanggapi dengan senyum tipis. "Terima kasih, Tuan." "Hm." Damien berjal
"Ka—" Kalimat Tiffany menggantung di udara, saat mengangkat wajah tak ia temukan lelaki misterius itu lagi. Mengedarkan pandangan ke sekitar, sunyi. Hanya ada dirinya seorang sambil memegang secarik kertas berisi alamat cafe. "Ke-kemana dia pergi?" Napasnya memburu semakin cepat, rasa takut menjalar ke seluruh tubuh. Sebelum rasa takutnya bertambah, cepat-cepat Tiffany berjalan ke luar, menuju ruang VIP dimana Damien dan Freedy bertemu. Sesampainya di sana, Tiffany sedikit kaget melihat Freedy tidak ada, hanya menyisakan Damien yang bersantai di sofa sambil memainkan ponsel genggamnya. "Kau lama sekali," komentar Damien tanpa menoleh, namun ia menyadari kedatangan wanita itu. Tiffany menunduk dalam, "Ma-maafkan aku, Tuan. Tadi, aku ... mules, jadi ...." "Aku mengerti," s
Pupil mata Tiffany melebar, terkejut mendengar jawaban Damien. "Y-ya?" Damien tersenyum sinis, "Ya atau tidak, tergantung dirimu. Jika kau mempercayainya, berarti ya. Tetapi jika tidak, maka tidak. Percuma ku jelaskan panjang lebar, jika kau saja tak memiliki kepercayaan padaku."Adalah benar apa yang dia ucapkan, Tiffany memang belum mempercayai apapun yang dilihatnya sampai detik ini. Namun, meski ragu-ragu wanita itu pun bersuara. "Em ... mungkin dunia kita berbeda, tapi aku akan berusaha percaya padamu, Tuan. Entah kenapa aku yakin Tuan memiliki sisi baik yang tak diketahui banyak orang." Jawabannya membuat Damien tertegun, seolah tak percaya dengan apa yang didengar. "Kau yakin? Aku bukan orang baik, Tiffany. Aku dibesarkan dengan cara berbeda. Penuh kebohongan, kekerasan, dan penghianatan, orang seperti aku tak pantas kau percaya," katanya dengan nada rendah. "Dunia ini kejam. Bahkan orang yang paling dekat denganmu, bisa menjadi musuh dalam selimut," imbuh Damien. "Aku ta