Saya ucapkan 'terima kasih' sebesar-besarnya kepada para pembaca setia yang telah merelakan waktu untuk membaca buku ini. Juga, merelakan uangnya untuk beli koin buku ini, menulis komentar, review, memberikan gem/vote, mengajak orang-orang untuk membaca buku ini.😍😍😍 Thanks, I ❤️ U. Dukungan kalian sangat berarti buat author Sunny 😍
"Aah ... indahnya!" gumam Alisya begitu kudanya berhenti di tepi sungai. Efim dengan sigap membantu Alisya untuk turun dari kuda. "Terima kasih." Alisya berucap tulus. "Yang Mulia tidak harus selalu berucap terima kasih kepadaku. Jangan pernah sungkan untuk meminta bantuan, karena itu memang tugasku." Efim tersenyum simpul. "Aku mengerti. Meski begitu, aku bukan seorang putri yang tidak tahu terima kasih," jawab Alisya kemudian segera menuju ke bibir sungai. Gemercik air menandakan sungai tidak terlalu dalam. Bebatuan menjadikan sungai semakin indah dan nyaman untuk bersantai. Mata sang putri menatap sebuah batu besar. Langkah kakinya tidak sabar untuk menjelajah sekitar sungai. "Yang Mulia mau ke mana?" tanya Efim setengah teriak. "Aku mau mandi! Awas, kalau kamu mengintip!" jawab Alisya seraya menuju ke balik batu besar. Ucapan Alisya membuat pipi pucat Efim merona. "Mana berani hamba mengintip Yang Mulia mandi," gumam pria berkulit seputih salju. Tanpa diminta Efim mengumpu
Wajah Alisya berseri-seri ketika menunggang kuda. Hari ini Efim berjanji akan mengajaknya berburu di hutan. Kegiatan berburu terakhir kali Alisya lakukan bersama kedua saudaranya di hutan kerajaan Crysozh. Akan tetapi, saat ini tidak mungkin terulang kembali. Jika mengingat bagaimana Myran mati dengan kepala terpisah suasana hati sang putri menjadi buruk seketika. "Yang Mulia, berhenti!" ujar Efim tiba-tiba. Alisya memandang pria penunggang kuda hitam di depannya. "Ada apa? Bukankah kita akan berburu?" tanya Alisya seraya mengerutkan alis. "Hamba rasa ... sebaiknya kita berburu di hari yang lain." Ekspresi wajah Efim terlihat buruk seketika. Sang putri merasa penasaran karena pria itu sebelumnya telah berjanji akan membawanya keluar benteng hari ini. "Kenapa begitu? Bukankah kamu telah berjanji kepadaku?" Alisya mengingatkan janji Efim. "Hamba memohon maaf. Sebaiknya kita pergi pada hari yang lain." Alisya hanya menyeringai. Tidak bisa dipungkiri, sang putri tengah curiga Efim
"Baiklah ..." kata Boyana pasrah. Boyana merupakan pelayan senior di kompleks benteng bawah tanah. Memejamkan mata cukupnlama, seakan Boyana mengingat kejadian yang sudah hampir terlupakan. Pelayan itu menceritakan peristiwa peperangan kerajaan dengan kelompok penyihir. Pada bagian ini Alisya sudah mengetahui dari koleksi buku di perpustakaan kastil Nikyzh. Barulah Alisya memperhatikan ucapan Boyana lebih intes saat menceritakan tentang kelompok penyihir Awan Putih. Saat itu juga Alisya teringat dengan liontin berbentuk awan milik Efim. Pembunuhan yang brutal membuat seluruh keluarga penyihir Awan Putih terbunuh kecuali Gianira dan pelayan keluarga yang bernama Efim. "Ayah ...." Gianira memeluk sang ayah yang terluka parah setelah sebelumnya bersembunyi di dalam ruang rahasia bersama Efim. Dengan bersandar pada tembok, tangan Galan yang berlumuran darah menggapai pipi putri semata wayang. Matanya yang berwarna merah seolah menyala memberikan harapan kepada Gianira kecil. "Putriku
Efatta menyandarkan kepala di batang pohon. Mata Efatta memandang wanita yang menyesap lembut pergelangan tangannya yang terluka karena gigitan ular. Efek gigitan ular sedikit banyak membuat kepala Efatta terasa berkunang-kunang hingga ingin terus memejamkan mata. Saat Efatta memejamkan mata, sekilas anganya menampilkan gambar wanita berambut merah tertidur di sampingnya. Seketika itu juga Efatta membuka mata. Dengan seksama Efatta memandang garis wajah Gianira. Sangat berbeda dengan wanita berambut merah yang baru saja dia lihat. Sekali lagi Efatta memandang Gianira. Wanita itu memang cantik, akan tetapi rasanya terlalu cepat bagi mereka berdua untuk memulai sebuah hubungan yang begitu intim. Kembali memejamkan mata, wajah wanita berambut merah kembali muncul dalam ingatan Efatta. Bahkan, kali ini lebih jelas! Wanita itu benar-benar tidur di kabin kapalnya yang telah terbakar. 'Kenapa rasanya tidak asing? Aku pernah melihat wanita itu baru-baru ini?' "Cukup, Gianira! Sepertinya r
"Efim, apa kamu tidak apa-apa?" Alisya berjalan mendekati Efim yang menghapus darah di sudut bibir. Meski lukanya tidak serius, tetapi raut wajah kesal itu tidak dapat disembunyikan. "Hamba tidak apa-apa, Putri. Jangan khawatir!" ujar Efim datar sembari mengatur napas. "Syukurlah jika kamu tidak apa-apa." Alisya tersenyum simpul. "Putri, mohon maaf sebelumnya ..." Pria berambut putih itu menjeda kata-katanya. "Ada apa? Katakan saja!" "Bukannya hamba bermaksud ikut campur. Akan tetapi, hamba hanya ingin memperingatkan, hubungan Putri dengan Efatta tidak akan berhasil!" Raut wajah Efim berubah serius seketika. "Apa maksudmu?" Dengan menyipitka mata, Alisya menatap Efim keheranan. "Apa Putri sudah lupa dengan kemarahan Pangeran Dafandra diawal pengangkatannya menjadi raja? Hamba rasa tangisan keluarga korban perang dan pekerja tambang yang dibantai habis oleh raja belum mengering." Sekilas Efim menatap raut wajah gusar sang putri. "Sekarang Putri telah kembali berada di tangan raj
Berjalan seorang diri menyusuri taman yang bermandikan caha bulan, hati Efim menjadi semakin tidak tenang. Setelah berhari-hari dalam kegelisahan, dengan mata kepalanya sendiri, Efim menyaksikan Efatta mulai mencari kebenaran tentang hubungannya dengan Putri dari kerajaan Crysozh. Kekhawatiran Efim bukan tanpa alasan. Kalaupun Alisya diam, pria liar itu pasti tidak akan menyerah begitu saja. Jika terus dibiarkan, bukan tidak mungkin Efatta akan menyusun rencana untuk membawa Putri Alisya lari dari benteng bawah tanah. Memandang pilar-pilar kokoh penyangga kastil, Efim terus berjalan memasuki kastil yang selalu sunyi sejak bertahun-tahun lamanya. Suara langkah menggema mengiringi pria berbaju serba hitam di antara dinding berhiaskan lukisan keluarga penyihir dari generasi ke generasi. Langkah Efim terhenti, dipandangnya sesosok wanita berambut hitam mematung di depan sebuah lukisan yang diterangi cahaya rembulan. "Gianira ...." Sapa Efim, tanpa jawaban dari sang pemilik nama. Kemba
"Apa ini yang kamu maksud, tidak lama lagi akan bertemu dengan raja?" tanya Alisya pada seorang pria berambut putih yang baru saja muncul dari balik pintu. Tidak langsung menjawab, pria berpakaian serba hitam memberikan hormat terlebih dahulu seperti biasa. "Sepertinya Yang Mulia sudah tidak sabar untuk bertemu dengan raja." Efim tersenyum simpul. "Hentikan omong kosongmu! Aku hanya merasa heran. Sudah hampir dua bulan aku berada di tempat ini, tetapi tidak ada satu pun utusan kerejaan menampakkan batang hidungnya. Jangan-jangan, sebenarnya kamu hanya memperalatku untuk memeras raja?" ucap Alisya kesal. "Memperalat? Apakah Paduka raja akan tertarik untuk menebus Putri?" gurau Efim. "Jika tidak, memangnya apa yang telah dia perbuat saat ini? Mengerahkan mata-mata di berbagai tempat, bahkan di tempat-tempat terpencil! Yang lebih aneh lagi, membuat sayembara bajak laut dengan hadiah sertifikat izin membajak. Apakah itu tidak disebut gila?" Efim mengangguk-angguk mendengar sanggahan
"Ee ... Efatta ... apa kamu sedang mempermainkanku?" ucap Alisya terbata-bata. Janji Efatta selanjutnya jelas lebih tidak masuk akal. "Tidak, Alisya. Kamu bisa memegang ucapanku!" Efatta mengangguk dengan mantab. Alisya tidak bisa menyembunyikan air matanya karena merasa terpojok dan bimbang. Saat ini dia tidak punya pilihan selain mengikuti kehendak Efatta. Karena menolaknya juga tidak mungkin. "Sekarang apa yang harus kita lakukan?" tanya Alisya seraya menghapus air mata. "Mempersiapkan bekal secukupnya untuk perjalanan dan membawa senjata."Efatta memasukkan beberapa buah di meja kendalam kantong, kemudian menyerahkannya kepada Alisya. "Meski cuma pisau buah, ini sangat tajam. Tidak perlu cemas, dalam sebuah pertarungan yang paling penting adalah keahlian baru kemudian senjata." Efatta memandang dua pisau buah di tangan bergantian. Raut wajah Alisya masih terlihat ragu-ragu. Sang putri menarik mantel hitam yang menutupi tubuh Efatta. "Tidak usah cemas! Dalam kondisi terdesak