Saya ucapkan 'terima kasih' sebesar-besarnya kepada para pembaca setia yang telah merelakan waktu untuk membaca buku ini. Juga, merelakan uangnya untuk beli koin buku ini, menulis komentar, review, memberikan gem/vote, mengajak orang-orang untuk membaca buku ini.😍😍😍 Thanks, I ❤️ U. Dukungan kalian sangat berarti buat author Sunny 😍
Benar saja, sekumpulan pria tampak berlari membawa obor di dermaga. Tidak lama kemudian kobaran api melahap kapal kebanggaan Efatta dan seluruh awak kapalnya. Bunga api tampak berterbangan dari kejauhan seperti memercikkan ingatan di masa lalu. Sang kapten yang saat itu terjerembab di tanah segera bangkit. Kedua mata biru Effata seolah menjadi lautan api. Dengan gerakan brutal, pria berambut merah memberikan serangan balasan. Begitu juga dengan awak kapal yang masih bertahan hidup. Sayangnya, karena kalah jumlah, dengan mudah awak kapal Efatta dihabisi seperti memukul nyamuk dalam satu kali tepukan. "Efatta!" teriak Alisya pecah ketika melihat tubuh lelaki berambut merah tumbang. Tangis sang putri seolah membelah langit seraya meronta. "Kamu sedih melihatnya begitu? Harusnya kamu menurut, sehingga lelaki itu tidak harus menanggung beban karena kegilaanmu!" ucap wanita berambut hitam dengan tatapan sinis. Sejurus kemudian tangan putih wanita berambut hitam membuat gerakan menyapu di
"Arrggghh ..." desis Efatta. Setelah sekian lama tidak sadarkan diri, Efatta menyadari kedua tangan dan kakinya dirantai. Mata kapten menyapu ruangan yang tampak nyaman dengan sebuah ranjang, meja, bufet, dan permadani. Akan tetapi, kenapa Efatta terikat dengan posisi berdiri dan kedua tangan terangkat ke atas? Rasanya sangat tidak nyaman. Apalagi terdapat luka di beberapa bagian tubuh sang kapten. Memejamkan mata dan merasakan perih di bagian tubuh yang dibungkus perban, Efatta mengingat kejadian terakhir yang menimpanya. Yah, sebuh pertarungan terjadi sesaat setelah sang kapten mendengar jeritan Alisya. Kenapa wanita itu tidak ada di kapal? Efatta menghela napas panjang. Ingatannya membawa memori yang lebih lama ketika dirinya menyusul anak buah kapal menuju ke pantai untuk merekrut anggota baru. Biasanya mereka akan menuju ke sebuah kedai minuman di mana banyak orang berkumpul untuk minum atau menuju tempat perjudian. Dengan begitu mereka dapat dengan mudah mendekati calon anak b
Seorang pelayan terlonjak karena suara gebrakan meja di saat menyisir rambut hitam wanita di depan cermin. Tampak pantulan wajah cantik dengan kulit putih dan bibir semerah mawar. Mata wanita itu menatap geram pantulan wajahnya sendiri dengan mengepalkan tangan kuat-kuat. "Apakah menurutmu aku buruk?" tanya wanita di depan cermin. "Tentu saja tidak, Nona adalah wanita tercantik yang pernah hamba temui." Gadis pelayan tersenyum penuh kekaguman. Wanita di depan cermin menghela napas panjang. "Kamu pasti memuji hanya untuk sekedar menghiburku." "Tidak ... tidak .... Nona memang cantik. Siapa pun akan memandang Nona sebagai wanita yang luar biasa." Gadis pelayan memandang puas rambut hitam panjang yang baru saja dia sisir. Sangat indah dan berkilau, sangat aneh jika pemiliknya merasa rendah diri. "Lihatlah, Nona cantik sekali!" Gadis pelayan menantap pantulan wajah wanita berambut hitam di cermin. Bibir merah wanita berambut hitam pun melengkung ke atas. "Kamu boleh pergi!" Gadis pel
"Aah ... indahnya!" gumam Alisya begitu kudanya berhenti di tepi sungai. Efim dengan sigap membantu Alisya untuk turun dari kuda. "Terima kasih." Alisya berucap tulus. "Yang Mulia tidak harus selalu berucap terima kasih kepadaku. Jangan pernah sungkan untuk meminta bantuan, karena itu memang tugasku." Efim tersenyum simpul. "Aku mengerti. Meski begitu, aku bukan seorang putri yang tidak tahu terima kasih," jawab Alisya kemudian segera menuju ke bibir sungai. Gemercik air menandakan sungai tidak terlalu dalam. Bebatuan menjadikan sungai semakin indah dan nyaman untuk bersantai. Mata sang putri menatap sebuah batu besar. Langkah kakinya tidak sabar untuk menjelajah sekitar sungai. "Yang Mulia mau ke mana?" tanya Efim setengah teriak. "Aku mau mandi! Awas, kalau kamu mengintip!" jawab Alisya seraya menuju ke balik batu besar. Ucapan Alisya membuat pipi pucat Efim merona. "Mana berani hamba mengintip Yang Mulia mandi," gumam pria berkulit seputih salju. Tanpa diminta Efim mengumpu
Wajah Alisya berseri-seri ketika menunggang kuda. Hari ini Efim berjanji akan mengajaknya berburu di hutan. Kegiatan berburu terakhir kali Alisya lakukan bersama kedua saudaranya di hutan kerajaan Crysozh. Akan tetapi, saat ini tidak mungkin terulang kembali. Jika mengingat bagaimana Myran mati dengan kepala terpisah suasana hati sang putri menjadi buruk seketika. "Yang Mulia, berhenti!" ujar Efim tiba-tiba. Alisya memandang pria penunggang kuda hitam di depannya. "Ada apa? Bukankah kita akan berburu?" tanya Alisya seraya mengerutkan alis. "Hamba rasa ... sebaiknya kita berburu di hari yang lain." Ekspresi wajah Efim terlihat buruk seketika. Sang putri merasa penasaran karena pria itu sebelumnya telah berjanji akan membawanya keluar benteng hari ini. "Kenapa begitu? Bukankah kamu telah berjanji kepadaku?" Alisya mengingatkan janji Efim. "Hamba memohon maaf. Sebaiknya kita pergi pada hari yang lain." Alisya hanya menyeringai. Tidak bisa dipungkiri, sang putri tengah curiga Efim
"Baiklah ..." kata Boyana pasrah. Boyana merupakan pelayan senior di kompleks benteng bawah tanah. Memejamkan mata cukupnlama, seakan Boyana mengingat kejadian yang sudah hampir terlupakan. Pelayan itu menceritakan peristiwa peperangan kerajaan dengan kelompok penyihir. Pada bagian ini Alisya sudah mengetahui dari koleksi buku di perpustakaan kastil Nikyzh. Barulah Alisya memperhatikan ucapan Boyana lebih intes saat menceritakan tentang kelompok penyihir Awan Putih. Saat itu juga Alisya teringat dengan liontin berbentuk awan milik Efim. Pembunuhan yang brutal membuat seluruh keluarga penyihir Awan Putih terbunuh kecuali Gianira dan pelayan keluarga yang bernama Efim. "Ayah ...." Gianira memeluk sang ayah yang terluka parah setelah sebelumnya bersembunyi di dalam ruang rahasia bersama Efim. Dengan bersandar pada tembok, tangan Galan yang berlumuran darah menggapai pipi putri semata wayang. Matanya yang berwarna merah seolah menyala memberikan harapan kepada Gianira kecil. "Putriku
Efatta menyandarkan kepala di batang pohon. Mata Efatta memandang wanita yang menyesap lembut pergelangan tangannya yang terluka karena gigitan ular. Efek gigitan ular sedikit banyak membuat kepala Efatta terasa berkunang-kunang hingga ingin terus memejamkan mata. Saat Efatta memejamkan mata, sekilas anganya menampilkan gambar wanita berambut merah tertidur di sampingnya. Seketika itu juga Efatta membuka mata. Dengan seksama Efatta memandang garis wajah Gianira. Sangat berbeda dengan wanita berambut merah yang baru saja dia lihat. Sekali lagi Efatta memandang Gianira. Wanita itu memang cantik, akan tetapi rasanya terlalu cepat bagi mereka berdua untuk memulai sebuah hubungan yang begitu intim. Kembali memejamkan mata, wajah wanita berambut merah kembali muncul dalam ingatan Efatta. Bahkan, kali ini lebih jelas! Wanita itu benar-benar tidur di kabin kapalnya yang telah terbakar. 'Kenapa rasanya tidak asing? Aku pernah melihat wanita itu baru-baru ini?' "Cukup, Gianira! Sepertinya r
"Efim, apa kamu tidak apa-apa?" Alisya berjalan mendekati Efim yang menghapus darah di sudut bibir. Meski lukanya tidak serius, tetapi raut wajah kesal itu tidak dapat disembunyikan. "Hamba tidak apa-apa, Putri. Jangan khawatir!" ujar Efim datar sembari mengatur napas. "Syukurlah jika kamu tidak apa-apa." Alisya tersenyum simpul. "Putri, mohon maaf sebelumnya ..." Pria berambut putih itu menjeda kata-katanya. "Ada apa? Katakan saja!" "Bukannya hamba bermaksud ikut campur. Akan tetapi, hamba hanya ingin memperingatkan, hubungan Putri dengan Efatta tidak akan berhasil!" Raut wajah Efim berubah serius seketika. "Apa maksudmu?" Dengan menyipitka mata, Alisya menatap Efim keheranan. "Apa Putri sudah lupa dengan kemarahan Pangeran Dafandra diawal pengangkatannya menjadi raja? Hamba rasa tangisan keluarga korban perang dan pekerja tambang yang dibantai habis oleh raja belum mengering." Sekilas Efim menatap raut wajah gusar sang putri. "Sekarang Putri telah kembali berada di tangan raj