Saya ucapkan 'terima kasih' sebesar-besarnya kepada para pembaca setia yang telah merelakan waktu untuk membaca buku ini. Juga, merelakan uangnya untuk beli koin buku ini, menulis komentar, review, memberikan gem/vote, mengajak orang-orang untuk membaca buku ini.😍😍😍 Thanks, I ❤️ U. Dukungan kalian sangat berarti buat author Sunny 😍
"Kapten, pulau Akrizh!" pekik Roni. Efatta bergegas menyaut teropong di tangan pria bermabut pirang. Cukup lama Efatta mengintip di balik lensa teropong. "Apakah Kapten yakin akan ke sana?" bisik Roni. Mata pria itu sesaat sempat melirik ke arah Alisya."Tentu saja. Kenapa tidak?" jawab kapten santai. Alisya yang sedari beberapa hari lalu mengamati Efatta merasa semakin penasaran. Ada hal menarik apa yang tersembunyi di pulau Akrizh hingga Efatta harus menyembunyikan sesuatu dari Alisya. Sesampainya di dermaga, mata Alisya segera mengamati skitar pelabuhan dengan seksama. Sejauh mata memandang tidak ditemukan hal aneh di pelabuhan pulau Akrizh. Sangat biasa dan nyaris tidak ada yang sepesial. Karena bersemangat Alisya berjalan dengan lebih cepat dari biasanya. Bahkan, sang putri berjalan di sisi kapten, meski keduanya tidak bergandengan tangan. Hal itu Alisaya lakukan agar dapat dengan mudah mengamati setiap gerakan wajah sang kapten. "Efatta!" nyaring teriakan seorang gadis meng
"Alisya, kamu melamun," tegur Efatta. Memandang kapten dengan raut wajah terkejut, Alisya melanjutkan pekerjaannya mengepang rambut pria berambut merah. Akhir-akhir ini pikiran Alisya terus dibayangi gadis cantik berabut hitam. Hitam matanya seperti mengintai. Firasat sang putri mengatakan dia bukan gadis biasa. 'Siapa dia sebenarnya? Apakah hubungan mereka sebelumnya sangat spesial?' Meski begitu, sebenarnya sang putri cukup jengkel dengan dirinya sendiri karena malu untuk mengakui kecemburuannya. "Apa yang menggangu pikiranmu?" selidik Kapten."Tidak ada.""Benarkah?""Benar, Kapten.""Kalau begitu, kenapa saat di pulau Akrizh tiba-tiba kamu ingin kembali ke kapal. Bukankah kamu yang sangat berhasrat untuk melihat daratan?" sindir Kapten."Aku tidak enak badan.""Kamu tidak bisa membohongiku, Alisya! Kamu pasti cemburu!" Sebuah seringai merekah di bibir kapten."Aku tidak cemburu!""Bagaimana jika aku benar-benar berciuman dengan gadis itu di depanmu? Apa yang akan kamu lakukan?"
"Pergi dari sini! Aku akan membunuh kalian jika berani melangkah lagi!" ancam Alisya dengan suara bergetar. Bukannya merasa takut. Ancaman Alisya justru membuat ketiga awak kapal pengangkut budak semakin bersemangat untuk mengganggu sang putri. "Jalang kecil ini berani juga!" sinis pria bermata satu."Aku penasaran, apa yang akan kapten kapal ini lakukan jika kita bermain-main sebentar dengan mainannya?" lanjut pria bermata satu."Benar, aku juga penasaran!" saut pria dengan perut buncit. 'Ayo Alisya, berpikir! Ingat, belati beracun di tanganmu bisa membunuh hanya dengan sebuah goresan!' Suara kecil di dalam kepala sang putri membisikan mantra, membuat kepercayan diri sang putri kembali meningkat. "Tunggu dulu! Sepertinya aku mengenal wajah ini?" cegah pria berambut pirang membuat pria berperut buncit dan bermata satu menoleh bersamaan."Apa kamu mengenalnya?" selidik pria bermata satu."Tidak. Tetapi aku pernah melihat wajahnya menjadi buronan di kerajaan Crysozh." Sebuah seringa
Kematian pria berambut pirang menjadi pertanda kemenangan telak Kapten Efatta. Menyadari dirinya selamat dari maut, Alisya terduduk lemas dengan air mata yang masih mengalir. Hal yang paling menyayat hati bukan karena sang putri hampir mati di tangan pria asing, tetapi justru karena sikap dingin kapten. Padahal belum berganti hari Alisya duduk bersama kapten, meski dalam suasana hati buruk karena cemburu dengan gadis bernama Maya. "Hari ini kemenangan kembali dapat kita raih. Dengan ini aku umumkan kapal Gerakizh telah menjadi milikku." Pidato pertama Efatta setelah kemenangan disambut sorak gembira awak kapal dan para budak."Kepada para budak, kalian boleh memilih, menjadi bajak laut bersamaku atau kembali menjadi budak?" lanjut sang kapten."Bajak laut!" seru salah seorang budak, kemudian diikuti budak-budak yang lain."Aku tidak memaksa. Pilihan itu kalian ambil secara sadar, Kan?""Aye, Kapten!" Sorak gembira bergemuruh di atas kapal Gerakizh. Mungkin hanya Alisya, satu-satunya
Senja hari yang kelabu. Suara tangis mengalun menyayat hati. Seorang wanita bermahkota ratu menutupkan kain merah bergambar cahaya matahari di wajah pria berambut merah dengan kulit pucat. "Segera umumkan kematian Raja Nandri!" perintah ratu kepada putra tertuanya yang juga menangis di dalam kamar mewah tempat beristirahat sang raja. Masih dengan mata berwarna merah, Rifian mengumumkan meninggalnya raja di hadapan para menteri. Bisik-bisik kegelisahan segera mendengung memenuhi aula kerajaan. Esok harinya upacara pemakaman segera dilakukan. Dengan hikmat upacara pemakaman raja berjalan lancar. Meski begitu, hati Rifian begitu perih menyadari ayahnya pergi setelah adik bungsunya tewas dalam perang. Selain itu mengenai Alisya, pangeran mahkota tidak tau pasti bagaimana kabarnya. Apakah putri itu dalam keadaan baik-baik saja atau sebaliknya. "Pangeran mahkota ...." Sapa Avada. Rifian hanya meliriknya sekilas."Hamba tahu, kematian raja memang sangat menyedihkan. Akan tetapi, satu fakt
"Ayahanda ... jangan pergi ...." Alisya melindur. Cahaya temaram rembulan menerobos jendela kabin menyinari wajah sang putri yang dihiasi bintik-bintik keringat. Untuk kesekian kalinya Aisya terlihat begitu merana saat terlelap. Padahal biasanya wajah wanita itu begitu tenang saat matanya terpejam. "Maafkan aku ...." lanjut Alisya dengan nada bicara seakan menangis di dalam mimpi. Tangan kapten mengelap bagian basah wajah sang putri dengan sapu tangan. Entah kenapa, rasanya begitu iba melihat Alisya dalam keadaan seperti itu. Apa lagi sebelumnya sang putri menyebut nama ayahanda. Pasti mimpinya tidak jauh dari konflik keluarga kerajaan. "Alisya, jangan sedih. Aku akan selalu ada untukmu." Sebuah kecupan mendarat di dahi sang putri. Tidak bisa dipungkiri, setelah pembajakan kapal pengangkut budak hubungan Alisya dan Efatta semakin membaik. Keduanya mulai belajar saling memahami satu sama lain. Meski begitu, di antara keduanya terdapat jurang pemisah yang cukup dalam. Selain Alisya
"Akhirnya Paduka Raja datang menemuinya," ujar Belen ketika berdiri sejajar di samping Raja. Sebuah buket bunga diletakan Belen di sisi bunga pemberian raja. Kedua buket itu di dominasi bunga mawar merah, bunga favorit Maulvi. Belen merasa lega saat menyadari raja masih ingat bunga favorit Maulvi. "Aku turut menyesal atas kematian Maulvi yang tragis." Keduanya saling membisu cukup lama, hanyut dalam lamunan masing-masing. Pandangan raja jatuh ke tanah seolah menembus kubur Maulvi. Bibirnya terlihat melengkung ke bawah dan beraut muka sedih. "Semuanya sudah berlalu, Yang Mulia. Aku telah memaafkanmu. Aku harap Maulvi melakukan hal yang sama." Tidak disangka, Belen dengan tulus Memaafkan Raja. Sepertinya putra jenderal besar menyadari, raja tidak pernah berniat untuk menyakiti Maulvi. Lagi pula, bukankah Belen telah banyak membantu raja dalam peperangan merebut pulau Lionysozh? Totalitasnya membantu raja dalam strategi perang seharusnya itu cukup jadi bukti jika Belen telah memaafka
"Kamu bilang akan mengajakku ke markas bajak laut, Kapten?" Mata Alisya menatap lautan luas di tengah terik matahari. "Sepertinya kamu sangat tertarik dengan markas bajak laut." Kapten yang berdiri di sisi Alisya menjawab tanpa menoleh. "Aku hanya penasaran." "Apa yang membuatmu penasaran? Di sana hanya ada pria-pria kasar, pemabuk, suka berjudi, dan bermain wanita. Apa kamu tidak takut?" ucap Efatta dengan santai. "Asal ada kamu di sisiku, aku tidak takut." Alisya menoleh ke arah Efatta, menyaksikan garis wajah pria di sisinya. Dari mata, hidung, pipi dan rahangnya, pria itu terlihat seksi ketika diterpa sinar matahari yang hangat. Rasanya begitu gila, seperti terbang ke atas langit kemudian dihempaskan hingga jatuh ke inti bumi. Dalam sekejap hidup Alisya telah berubah sejak bertemu dengan Efatta. Dari seorang ratu berubah menjadi istri bajak laut kejam. Tiba-tiba Efatta membalikkan wajah, menyadari Alisya tengah menikmati lekuk wajahnya. Sebuah seringai merekah di bibir pria