Terdengar suara di belakang tubuh Hanun. Saat menolehkan kepala, Hanun bertatapan dengan Dian, salah seorang karyawan yang memang sudah lama bekerja di rumah makan ini.
"Iya. Sudah lapar. Mumpung diajak Bu Hanun makan bareng juga," balas Irma sembari mendudukkan tubuhnya di hadapan Hanun."Dian, nanti tolong antarkan air putih ke meja kami ya!" pinta Hanun sembari mulai melangkahkan kakinya kembali untuk mencuci tangannya di wastafel yang memang disediakan di belakang meja itu.Tampak Dian menganggukkan kepala dan tak lama kembali dengan dua gelas air putih di tangannya."Alhamdulillah ya, Bu. Rumah makan tiap harinya selalu ramai saja," ucap Irma sembari menyuapkan tangannya yang berisi nasi ke dalam mulut.Gadis itu pun memilih menu makanan yang sama seperti Hanun. Kedua wanita itu berhadapan dengan piring nasi di hadapan mereka masing-masing."Ibu juga cukup senang melihat rumah makan yang ramai setiap harinya. Omset kitaHanun menatap sendu hamparan sajadah yang terbentang di hadapannya. Usai menunaikan sepertiga malamnya, Hanun memilih menumpahkan gundah-gulananya dengan mengadu pada Sang Pemilik Langit. Menyampaikan keluhnya dengan berbagai harap teriring dalam setiap helaan napasnya. Merajut asa dalam pinta. Dirinya hanya makhluk yang lemah, tak ada yang dapat dilakukan selain berserah.Dirinya merasa malu saat akhirnya masalah yang coba disembunyikan dari orang-orang di sekitarnya diketahui Wahyu. Laki-laki itu berhasil mengabadikan kebersamaan suaminya dan Rindu kemarin malam."Siapa bilang suami saya laki-laki yang tak setia?" tanya Hanun sengit."Lantas apa yang akan Ibu katakan saat melihat foto ini?" tanya Wahyu sembari kembali mengulurkan layar pipih itu ke hadapan Hanun."Saya tak kenal laki-laki itu. Bapak salah alamat sepertinya," tukas Hanun dengan senyum sinisnya.Wahyu terkekeh sebelum akhirnya menghela napas panjang."Ibu masih
Hening. Tak ada jawaban atas pertanyaan yang diungkapkan Hanun itu. Zaidan menatap lurus ke depan.“Abang akan mempertahankan wanita yang sekarang ada di dekapan Bang ini dengan sekuat tenaga, dengan segala daya yang Abang miliki.”Hanun memejamkan matanya kala itu. Membayangkan betapa besar rasa cinta yang Zaidan kepada dirinya. Syukur terucap dalam hatinya kala mendapatkan cinta yang begitu sempurna.Kecupan lembut di pipinya mengejutkan Hanun. Wanita itu mendongakkan kepalanya lantas tersenyum kepada suaminya. “Dan bagaimana jika ... tiba-tiba muncul seorang wanita yang sangat mencintai Abang nantinya?” tanya Zaidan kepada Hanun.Hanun terdiam. Tak tahu harus berkata apa. Dirinya sendiri yang memulai. Kesalahannya mengawali pembicaraan dengan tema cinta ke lain hati malam ini. Tak seharusnya malam pertama mereka dihadapkan pada perandaian yang belum pasti. Tapi entah mengapa hatinya tergelitik untuk mengetahui.“Jawab, Dek!
"Ibu? Mengapa tidak memberi kabar dulu kalau mau ke sini? Hanun kan bisa jemput di terminal nantinya,” ucap Hanun sambil membuka pintu pagar rumah mereka dengan cepat.“Coba nanti dulu bertanya. Mendingan cepat bantu angkat kotak makanan itu dulu ke dalam!” jawab wanita yang disapa Hanun sembari memberikan dua helai lembaran uang kepada supir taksi. Hanun meraih tangan wanita yang tak lain adalah Bu Lidya, ibu kandungnya itu dengan takzim. Mengangkat kotak makanan serta tak lupa meraih tas travel yang ada di sampingnya.“Itu buat Almira, bukan buat kalian. Jadi nggak usah ngoceh pagi-pagi, Nun,” ujar sang ibu seraya melangkahkan kakinya memasuki halaman rumah.Wanita itu sangat paham kebiasaan Hanun. Pasti akan mengalir ocehan panjang mempertanyakan alasan mengapa harus repot-repot membawa makanan sebagai oleh-oleh dari mulut Hanun setiap kali menyambut kedatangannya. Padahal datang berkunjung tanpa membawa oleh-oleh itu sangat memalukan untuk adat ketimuran.
"Oh ya, Bang. Nanti tolong bilang ke Almira di kamar. Ada Ibu datang. Tadi Ibu sudah ngoceh soalnya karena sudah lama tak melihat cucunya,” lanjut Hanun sambil mencari bahan makanan yang akan dimasak di kulkasnya.“Iya, nanti habis Abang menyemir sepatu ini. Tanggung, sedikit lagi selesai," sahut Zaidan dengan tetap fokus pada sikat semir dan sepasang sepatu hitamnya itu.Hanun tak melanjutkan pembicaraan mereka. Wanita itu lebih fokus pada bahan makanan yang akan diolahnya. Harus secepat mungkin menyiapkan masakan yang akan menjadi pengisi perut seisi rumah pagi ini.“Nenek … Almira kangen Nenek!” pekik Almira saat melihat wanita yang disapanya nenek itu berjalan menuju ruang makan.Gadis kecil itu segera meletakkan tasnya di dekat kaki kursi dan berlari menghambur ke pelukan wanita yang langsung tersenyum melihat cucu semata wayangnya itu. Tawa girang terdengar dari mulut keduanya. Hanun tersenyum melihat rona kebahagiaan di wajah pasangan nenek dan cucu itu
“Zaidan adalah pilihanmu, bukan kami. Saat itu, almarhum Ayah dan Ibu percaya bahwa kamu cukup mengenal Zaidan saat kamu memohon restu agar dapat memulai kehidupan baru dengannya. Kami yakin, kamu sudah dewasa untuk mengambil keputusan terbaik dalam hidupmu.”Bu Lidya kembali menghela napas panjangnya. Siapa pun dapat melihat kekecewaan yang coba dilepaskan wanita paruh baya itu. Bukan kepada puterinya. Tapi pada keadaan yang membuat puterinya harus tersiksa seperti ini.“Pernikahan bukan hanya menyatukan dua raga, Nun. Ada dua jiwa yang juga harus disatukan di sana. Mengayuh dayung yang sama, dalam perahu yang sama. Saat kayuhan dayung tak lagi seirama, perahu akan oleng dengan sendirinya. Tinggal menunggu saat-saat tenggelamnya saja. Itu yang terjadi pada rumah tanggamu sekarang ini."Bu Lidya akhirnya kembali membuka pembicaraan mereka.“Menjalankan biduk rumah tangga tak seindah yang terlihat dari luarnya. Akan banyak batu kerikil yang menghadang bahkan sia
Hanun sibuk di dapur menyiapkan beberapa sajian masakan. Sudah dua jam wanita itu berkutat di dapur mungilnya untuk menyajikan hidangan terbaik bagi tamu yang sudah diundangnya sejak kemarin. Ayam bakar madu, urap, soto babat, capcai, tempe dan tahu goreng, tak ketinggalan sepiring lalapan dan sambal tomat sudah ditatanya dengan rapi di beberapa pinggan cantik yang bermotif bunga. Menu yang jelas akan mengundang selera.Hanya tinggal menata puding coklat di piring keramik dan menuangkan vla di atasnya, pekerjaan Hanun akan selesai. Hidangan istimewa akan tersaji untuk tamu yang tentunya tak kalah istimewanya. Bagi Hanun, mungkin ini merupakan hidangan paling istimewa seumur hidupnya.Tidak ada ocehan Almira yang biasa menemaninya masak. Puteri kecilnya itu menginap di sekolah, mengikuti perkemahan Sabtu dan Minggu sejak kemarin. Hal ini tentunya lebih baik bagi Laras untuk menyelesaikan semuanya. Tanpa kehadiran Almira, jelas itu yang diinginkannya. Tak ingin me
“Aku bahkan sampai berpikir, Rin. Jangan-jangan kamu punya cinta yang terpendam ya?” tanya Hanun seraya meletakkan gelas kosongnya di meja. Hanun menatap raut wajah wanita di sampingnya. Permainan hari ini harus dilakukannya secantik mungkin. Tak boleh buru-buru. Meskipun terluka, dirinya harus menikmati apa yang akan terjadi nanti.Rindu terbatuk mendengar pertanyaan yang sangat tidak diduganya itu. Menoleh ke arah Hanun yang sedang menyunggingkan senyum kecilnya.“Darimana kamu punya pikiran seperti itu, Nun? Kita bersahabat sejak SD. Semua kisah hidupku kamu tahu kan? Aku nggak pernah pacaran, bahkan sampai akhir kuliah kita berakhir. Satu-satunya laki-laki yang pernah kucintai hanya Mas Yusuf, walau akhirnya aku dikhianati oleh laki-laki itu," tutur Rindu dengan sendu.“Maaf ya, Rin! Pertanyaanku membuka luka lama di hatimu. Aku tidak habis pikir saja, wanita cantik dan sukses dalam karir sepertimu mana mungkin menghabiskan sisa usianya sendiri," balas Hanu
Hanun meraih gawai Almira yang tersimpan di saku celananya. Sembari melangkah perlahan ke arah meja makan, Hanun menekan tombol salah satu kontak yang pernah dihubunginya dulu. Tidak dalam posisi untuk mendengarkan nada sambung di gawai tersebut, Hanun lebih memilih memperhatikan sosok yang sedang dihubunginya.Dengan tenang Hanun memperhatikan raut wajah itu. Rindu meraih gawai yang belum pernah dilihat Hanun selama mereka menjalin hubungan yang tak layak sebenarnya disebut persahabatan itu. Terlihat dahi Rindu mengernyit seraya menekan layar pipih itu dan mendekatkannya pada indera pendengarannya.“Tak pernah kusangka jika kalian telah menipuku selama ini!” desis Hanun sambil mendekatkan gawai yang ada di tangannya ke hadapan Rindu.Wajah wanita yang ada di hadapan Hanun itu memucat. Tubuhnya menegang. Diam, tak mampu berkata apa-apa.Hanun menoleh pada Zaidan yang berada tepat di sampingnya. Tampak laki-laki itu mengatupkan kedua bibirnya. Terlihat sekali j