Hanun menatap sendu hamparan sajadah yang terbentang di hadapannya. Usai menunaikan sepertiga malamnya, Hanun memilih menumpahkan gundah-gulananya dengan mengadu pada Sang Pemilik Langit. Menyampaikan keluhnya dengan berbagai harap teriring dalam setiap helaan napasnya. Merajut asa dalam pinta. Dirinya hanya makhluk yang lemah, tak ada yang dapat dilakukan selain berserah.
Dirinya merasa malu saat akhirnya masalah yang coba disembunyikan dari orang-orang di sekitarnya diketahui Wahyu. Laki-laki itu berhasil mengabadikan kebersamaan suaminya dan Rindu kemarin malam."Siapa bilang suami saya laki-laki yang tak setia?" tanya Hanun sengit."Lantas apa yang akan Ibu katakan saat melihat foto ini?" tanya Wahyu sembari kembali mengulurkan layar pipih itu ke hadapan Hanun."Saya tak kenal laki-laki itu. Bapak salah alamat sepertinya," tukas Hanun dengan senyum sinisnya.Wahyu terkekeh sebelum akhirnya menghela napas panjang."Ibu masihHening. Tak ada jawaban atas pertanyaan yang diungkapkan Hanun itu. Zaidan menatap lurus ke depan.“Abang akan mempertahankan wanita yang sekarang ada di dekapan Bang ini dengan sekuat tenaga, dengan segala daya yang Abang miliki.”Hanun memejamkan matanya kala itu. Membayangkan betapa besar rasa cinta yang Zaidan kepada dirinya. Syukur terucap dalam hatinya kala mendapatkan cinta yang begitu sempurna.Kecupan lembut di pipinya mengejutkan Hanun. Wanita itu mendongakkan kepalanya lantas tersenyum kepada suaminya. “Dan bagaimana jika ... tiba-tiba muncul seorang wanita yang sangat mencintai Abang nantinya?” tanya Zaidan kepada Hanun.Hanun terdiam. Tak tahu harus berkata apa. Dirinya sendiri yang memulai. Kesalahannya mengawali pembicaraan dengan tema cinta ke lain hati malam ini. Tak seharusnya malam pertama mereka dihadapkan pada perandaian yang belum pasti. Tapi entah mengapa hatinya tergelitik untuk mengetahui.“Jawab, Dek!
"Ibu? Mengapa tidak memberi kabar dulu kalau mau ke sini? Hanun kan bisa jemput di terminal nantinya,” ucap Hanun sambil membuka pintu pagar rumah mereka dengan cepat.“Coba nanti dulu bertanya. Mendingan cepat bantu angkat kotak makanan itu dulu ke dalam!” jawab wanita yang disapa Hanun sembari memberikan dua helai lembaran uang kepada supir taksi. Hanun meraih tangan wanita yang tak lain adalah Bu Lidya, ibu kandungnya itu dengan takzim. Mengangkat kotak makanan serta tak lupa meraih tas travel yang ada di sampingnya.“Itu buat Almira, bukan buat kalian. Jadi nggak usah ngoceh pagi-pagi, Nun,” ujar sang ibu seraya melangkahkan kakinya memasuki halaman rumah.Wanita itu sangat paham kebiasaan Hanun. Pasti akan mengalir ocehan panjang mempertanyakan alasan mengapa harus repot-repot membawa makanan sebagai oleh-oleh dari mulut Hanun setiap kali menyambut kedatangannya. Padahal datang berkunjung tanpa membawa oleh-oleh itu sangat memalukan untuk adat ketimuran.
"Oh ya, Bang. Nanti tolong bilang ke Almira di kamar. Ada Ibu datang. Tadi Ibu sudah ngoceh soalnya karena sudah lama tak melihat cucunya,” lanjut Hanun sambil mencari bahan makanan yang akan dimasak di kulkasnya.“Iya, nanti habis Abang menyemir sepatu ini. Tanggung, sedikit lagi selesai," sahut Zaidan dengan tetap fokus pada sikat semir dan sepasang sepatu hitamnya itu.Hanun tak melanjutkan pembicaraan mereka. Wanita itu lebih fokus pada bahan makanan yang akan diolahnya. Harus secepat mungkin menyiapkan masakan yang akan menjadi pengisi perut seisi rumah pagi ini.“Nenek … Almira kangen Nenek!” pekik Almira saat melihat wanita yang disapanya nenek itu berjalan menuju ruang makan.Gadis kecil itu segera meletakkan tasnya di dekat kaki kursi dan berlari menghambur ke pelukan wanita yang langsung tersenyum melihat cucu semata wayangnya itu. Tawa girang terdengar dari mulut keduanya. Hanun tersenyum melihat rona kebahagiaan di wajah pasangan nenek dan cucu itu
“Zaidan adalah pilihanmu, bukan kami. Saat itu, almarhum Ayah dan Ibu percaya bahwa kamu cukup mengenal Zaidan saat kamu memohon restu agar dapat memulai kehidupan baru dengannya. Kami yakin, kamu sudah dewasa untuk mengambil keputusan terbaik dalam hidupmu.”Bu Lidya kembali menghela napas panjangnya. Siapa pun dapat melihat kekecewaan yang coba dilepaskan wanita paruh baya itu. Bukan kepada puterinya. Tapi pada keadaan yang membuat puterinya harus tersiksa seperti ini.“Pernikahan bukan hanya menyatukan dua raga, Nun. Ada dua jiwa yang juga harus disatukan di sana. Mengayuh dayung yang sama, dalam perahu yang sama. Saat kayuhan dayung tak lagi seirama, perahu akan oleng dengan sendirinya. Tinggal menunggu saat-saat tenggelamnya saja. Itu yang terjadi pada rumah tanggamu sekarang ini."Bu Lidya akhirnya kembali membuka pembicaraan mereka.“Menjalankan biduk rumah tangga tak seindah yang terlihat dari luarnya. Akan banyak batu kerikil yang menghadang bahkan sia
Hanun sibuk di dapur menyiapkan beberapa sajian masakan. Sudah dua jam wanita itu berkutat di dapur mungilnya untuk menyajikan hidangan terbaik bagi tamu yang sudah diundangnya sejak kemarin. Ayam bakar madu, urap, soto babat, capcai, tempe dan tahu goreng, tak ketinggalan sepiring lalapan dan sambal tomat sudah ditatanya dengan rapi di beberapa pinggan cantik yang bermotif bunga. Menu yang jelas akan mengundang selera.Hanya tinggal menata puding coklat di piring keramik dan menuangkan vla di atasnya, pekerjaan Hanun akan selesai. Hidangan istimewa akan tersaji untuk tamu yang tentunya tak kalah istimewanya. Bagi Hanun, mungkin ini merupakan hidangan paling istimewa seumur hidupnya.Tidak ada ocehan Almira yang biasa menemaninya masak. Puteri kecilnya itu menginap di sekolah, mengikuti perkemahan Sabtu dan Minggu sejak kemarin. Hal ini tentunya lebih baik bagi Laras untuk menyelesaikan semuanya. Tanpa kehadiran Almira, jelas itu yang diinginkannya. Tak ingin me
“Aku bahkan sampai berpikir, Rin. Jangan-jangan kamu punya cinta yang terpendam ya?” tanya Hanun seraya meletakkan gelas kosongnya di meja. Hanun menatap raut wajah wanita di sampingnya. Permainan hari ini harus dilakukannya secantik mungkin. Tak boleh buru-buru. Meskipun terluka, dirinya harus menikmati apa yang akan terjadi nanti.Rindu terbatuk mendengar pertanyaan yang sangat tidak diduganya itu. Menoleh ke arah Hanun yang sedang menyunggingkan senyum kecilnya.“Darimana kamu punya pikiran seperti itu, Nun? Kita bersahabat sejak SD. Semua kisah hidupku kamu tahu kan? Aku nggak pernah pacaran, bahkan sampai akhir kuliah kita berakhir. Satu-satunya laki-laki yang pernah kucintai hanya Mas Yusuf, walau akhirnya aku dikhianati oleh laki-laki itu," tutur Rindu dengan sendu.“Maaf ya, Rin! Pertanyaanku membuka luka lama di hatimu. Aku tidak habis pikir saja, wanita cantik dan sukses dalam karir sepertimu mana mungkin menghabiskan sisa usianya sendiri," balas Hanu
Hanun meraih gawai Almira yang tersimpan di saku celananya. Sembari melangkah perlahan ke arah meja makan, Hanun menekan tombol salah satu kontak yang pernah dihubunginya dulu. Tidak dalam posisi untuk mendengarkan nada sambung di gawai tersebut, Hanun lebih memilih memperhatikan sosok yang sedang dihubunginya.Dengan tenang Hanun memperhatikan raut wajah itu. Rindu meraih gawai yang belum pernah dilihat Hanun selama mereka menjalin hubungan yang tak layak sebenarnya disebut persahabatan itu. Terlihat dahi Rindu mengernyit seraya menekan layar pipih itu dan mendekatkannya pada indera pendengarannya.“Tak pernah kusangka jika kalian telah menipuku selama ini!” desis Hanun sambil mendekatkan gawai yang ada di tangannya ke hadapan Rindu.Wajah wanita yang ada di hadapan Hanun itu memucat. Tubuhnya menegang. Diam, tak mampu berkata apa-apa.Hanun menoleh pada Zaidan yang berada tepat di sampingnya. Tampak laki-laki itu mengatupkan kedua bibirnya. Terlihat sekali j
Yang paling menyakitkan ternyata bukan ditinggalkan pergi oleh orang yang kita cintai. Akan lebih menyakitkan dan mengiris hati ketika dikhianati orang yang paling kita sayangi. Karena semuanya bak duri yang tiba-tiba menggoreskan jari. Tak terduga, tapi sakit sekali rasanya.“Maafkan Abang, Dek! Abang hanya berteman akrab dengan Rindu. Mas sudah menganggapnya seperti adik sendiri. Rindu hanya membagikan keluh kesahnya kepada Abang selama ini. Tidak ada yang terjadi di antara kami. Semua tidak seperti dugaanmu itu, Dek," ujar Zaidan dengan tatapan yang penuh harap kepada istrinya.“Masih berpikir aku salah menduga, Bang? Chat mesra yang terjalin di antara kalian, foto-foto mesra kalian sedang menghabiskan waktu dengan makan bersama sedangkan aku bagai wanita bodoh yang duduk manis di rumah menunggumu. Bahkan yang lebih menyakitkan lagi, aku bahkan mendapatkan bukti kebersamaan kalian dari orang-orang yang paling kujaga hatinya selama ini.”Hanun meraup wajahnya den
"Kami sudah lama menikah, Wid. Lagi pula saat kami menikah, kamu sudah cukup banyak membantu. Tak perlulah dengan hadiah seperti ini lagi."Hanun sungguh berhutang budi kepada Widya. Dukungan Widya saat menjalani fase-fase sulit dalam hidupnya sungguh tak akan pernah mampu dibalas sampai kapanpun. Widya sama seperti ibunya, selalu mendukung keputusan apa pun yang diambil Hanun saat itu. Dan disinilah mereka berada ada saat ini. Di Parai Tenggiri Beach Hotel and Resort, kawasan wisata yang terletak di Sungailiat, Bangka Kepulauan Bangka Belitung. Lokasi wisata yang berjarak sekitar 50,9 kilometer dari Bandara Depati Amir Pangkalpinang, ibukota provinsi yang dijuluki negeri Serumpun Sebalai.Keindahan pasir putih dan bebatuan besar yang menghiasinya menjadi daya tarik tersendiri para wisatawan dari dalam dan luar negeri untuk kembali berkunjung di kawasan wisata ini. Pasir putih sangat kontras saat berpadu dengan air laut yang berwarna biru muda. Sebuah jembatan ka
Wahyu, laki-laki yang tak lelah menunjukkan keseriusannya untuk mendapatkan hati Hanun itu merapatkan dekapan pada wanita halalnya. Memastikan tubuh wanita yang sangat dicintainya itu tak kedinginan oleh terpaan angin malam ini. Wanita yang telah dimintanya menjadi pelengkap separuh agamanya. Apalagi Hanun saat ini sedang mengandung tiga bulan, buah cinta mereka.Bukan waktu yang singkat bagi Wahyu untuk mendapatkan hati wanita idamannya ini. Butuh lima tahun sejak status janda disandang hingga akhirnya Hanun membuka hati untuk menerima sebuah komitmen baru dalam kehidupannya. Itu pun karena desakan sang ibu dan Widya.Kembali memori itu berputar di kepalanya. Bagaimana ibu yang sangat dihormatinya meminta agar hatinya dapat menerima kehadiran Wahyu, sosok yang secara terang-terangan menyukainya sejak masih berstatus sebagai istri Zaidan kala itu."Tak semua laki-laki akan menjadi pecundang, Nun. Ibu sudah tua. Entah berapa lama sisa usia wanita tua ini. Tak akan m
Hembusan angin pantai terpaksa membuat Hanun berkali-kali memegang erat kedua bagian sisi kerudungnya agar tidak membuat bagian lehernya kelihatan. Udara malam yang dingin ditambah deburan ombak pantai yang ada di hadapannya benar-benar dinikmati Hanun. Suara ombak yang pecah saat bertemu batu karang seakan mengantarkan Hanun pada kisah panjang hidupnya yang sungguh terlalu pahit untuk diingatnya kembali.Menyerahkan hati dan cintanya pada seorang laki-laki, mengabdikan seluruh hidupnya untuk rumah tangga yang ternyata pondasinya goyah saat badai menerpa. Bukan, itu bukan badai. Hanya hujan lebat yang harusnya tak meninggalkan jejak saat matahari kembali memancarkan sinar teriknya. Laki-laki yang dipujanya saat pertama kali mengenal cinta terlalu lemah untuk mengalah pada hujan lebat itu. Laki-laki itu tak cukup tangguh menerjang hujan yang seharusnya menjadi bukti bahwa dirinya cukup tangguh menjadi perisai bagi keluarga kecil mereka. Zaidan gagal untuk membuktikan b
Hanun terkekeh. Tak layak rasanya kalimat itu terdengar dari mulut laki-laki yang pernah meminta kesediaannya untuk dipoligami. "Bukankah Abang sendiri yang pernah meminta kesediaanku untuk diduakan? Dan aku rasa Abang cukup menikmati kekhilafan itu. Bukankah Abang menikmati saat-saat bersama dengan Rindu kala itu? Itu bukan khilaf, Bang! Itu perbuatan sadar yang Abang sengaja! Jangan buat aku ingin tertawa mendengar alasan yang sangat menggelikan ini, Bang!" Zaidan diam, tak mampu lagi berkata. Pukulan telak sudah dilemparkan Hanun kepadanya. Sungguh, Zaidan sangat menyesali semua yang sudah dilakukannya. "Kapan Abang akan menikah dengan Rindu?" tanya Hanun sembari memainkan gawainya.Menikah, mungkin itu yang diinginkan mereka selama ini. Mereka hanya menunggu waktu untuk mewujudkan impian yang sempat tertunda itu. "Rasanya tak ada niat untuk menikahi Rindu lagi, Dek. Abang hanya mencintai dirimu saja. Abang tak ingin wanita lainnya."Hanun hanya
Tak ada tanggapan dari bibir Rindu. Seolah wanita pecundang itu sengaja membiarkan orang-orang akan menganggap jika Zaidan merupakan suaminya. Padahal seharusnya wanita itu melakukan klarifikasi. Menjelaskan hubungan di antara mereka berdua. Tapi apa yang terjadi. Wanita itu malah menikmatinya.Hanun memilih masuk ke dalam mobilnya kembali saat Rindu berlalu dengan membawa lelaki yang pernah mengisi hatinya itu. Rumah sakit. Pasti itu yang menjadi tujuan wanita itu.Hati Hanun meringis. Belum pernah rasanya dirinya menjadi manusia yang egois seperti ini. Bahkan saat melihat kecemasan Rindu tadi, Hanun merasa seolah dirinya tak ada lagi arti dalam kehidupan laki-laki yang menyandang predikat sebagai ayah anaknya itu. Biarlah. Waktunya sudah habis untuk mendampingi lelaki itu. "Om Zaidan sering membicarakan tentang Tante dan Almira kepada saya."Hanun tersentak dari lamunannya kala mendengar ucapan Ilham itu. Entah berapa lama dirinya larut dalam kelebat bay
Hanun hanya duduk saja di sofa. Memperhatikan Almira yang sedang berbincang dengan ayahnya. Hanya mengamati saja, tidak untuk terlibat dengan mereka.Hari ini Hanun sengaja meluangkan waktunya. Hari Minggu yang seharusnya dapat dimanfaatkan Hanun untuk beristirahat di rumah melepas lelah setelah enam hari bekerja terpaksa diabaikan hari ini. "Ibu mau minum apa?" tanya Ilham, seorang pemuda yang sejak hampir sebulan ini menemani Zaidan setiap harinya. Pemuda yang masih tergolong keluarga jauh Zaidan itu tak keberatan melakukannya tentu saja dengan sejumlah imbalan."Tak usah, Ham. Tante sudah bawa," sahut Hanun sembari mengangkat botol minuman yang berisi air putih dengan tambahan beberapa potong buah strawberry, lemon dan kurma.Hanun kembali melemparkan pandangannya ke arah Almira dan Zaidan. Dua orang yang sedang duduk berhadapan di taman belakang rumah yang sebelumnya banyak dipenuhi koleksi tanaman hias miliknya.Sekarang hanya beberapa pot saja tanama
"Abang tenang saja, aku tak membongkar kebusukan kalian. Aku tak ingin hati Almira luka akibat perbuatan kalian. Cukup aku yang terluka. Selamat, kalian bisa memulai kehidupan yang kalian dambakan selama ini, tanpa khawatir ketahuan olehku lagi, Bang. Kalian tak perlu lagi sembunyi-sembunyi jika ingin bersama. Nikmati kebersamaan kalian sepuasnya," ujar Hanun dengan tegas. Tak ada lagi kesedihan yang tergurat di wajahnya. “Dek, Abang akan mengakhiri semua ini jika memang kamu tak menginginkannya. Abang akan mengakhiri hubungan Abang dengan Rindu jika memang kamu tak menyetujuinya. Yang paling penting, jangan tinggalkan Abang! Abang mohon, Dek! Tetaplah bersama Abang! Kita bangun kembali rumah tangga kita. Abang janji tidak akan mengulangi semua ini! Kita masih saling mencintai, Abang tahu itu.”Hanun terkekeh mendengar ucapan Zaidan itu. Sementara Rindu tampak terpaku, tak bergerak dari duduknya. Wajah wanita itu jelas terlihat pucat pasi. Mungkin tak menyangka jika t
Hanun mengantar suami dan anaknya sampai ke pintu depan. Setelah memastikan mobil Zaidan keluar dari pagar rumah, Hanun kembali masuk dan menemui ibunya. Wanita yang masih duduk di meja makan menghabiskan nasi gorengnya tadi.“Nun, kamu juga mau langsung berangkat ke rumah makan ya?” tanya Bu Lidya sembari membereskan piring kotor di meja makan. Nasi goreng di piringnya tandas tanpa sisa. Selain karena memang perutnya yang kosong sejak semalam, rasa nasi goreng Hanun tak pernah berubah sejak dulu. Perpaduan garam dan kecap manis yang pas, tak berlebihan membuat lidah tak berhenti untuk menghabiskannya.“Belum, Bu. Agak siangan. Hanun akan membereskan pekerjaan rumah dulu. Kemudian menyiapkan bahan makanan untuk makan malam. Jadi nanti sore Hanun tinggal memasaknya saja. Ibu jam berapa mau ke pamerannya? Barengan Hanun saja. Nanti Hanun antar sekalian jalan," sahut Hanun sembari mulai mencuci piring kotor yang masih tersisa.Sejak awal memutuskan untuk bekerja
Hanun berusaha meraup oksigen yang ada di sekelilingnya. Memastikan paru-parunya tak akan bermasalah. Semua ini mungkin teramat berat untuknya. Tapi bukankah harga diri ada di atas segalanya?Sesak, kecewa dan amarah itu bergumul di dadanya. Andai saja bukan Rindu yang menjadi wanita lain di hati suaminya, mungkin tak seperti ini rasanya. Andai saja wanita itu sama sekali tak dikenalnya, tak akan sesakit ini perih yang menyayat hatinya. Tapi hidup bukan pengandaian, bukan pula perumpamaan."Aku bukan saja mengizinkan kita untuk berbagi Rin, bahkan aku akan menyerahkan Bang Zaidan seutuhnya ke pelukanmu. Aku rasa, aku tak layak untuk lebih jauh terlibat dalam permainan gila kalian. Silahkan kalian teruskan! Aku memilih mundur. Aku berhak bahagia. Dan aku tahu sekarang ... kebahagiaanku tidak lagi bersamamu, Bang."Hanun mencoba menjeda kalimatnya."Abang tahu, aku sangat mencintaimu. Tingkat tertinggi mencintai bagiku bukanlah memiliki, seperti yang kamu lakukan