Hanun terkekeh. Tak layak rasanya kalimat itu terdengar dari mulut laki-laki yang pernah meminta kesediaannya untuk dipoligami. "Bukankah Abang sendiri yang pernah meminta kesediaanku untuk diduakan? Dan aku rasa Abang cukup menikmati kekhilafan itu. Bukankah Abang menikmati saat-saat bersama dengan Rindu kala itu? Itu bukan khilaf, Bang! Itu perbuatan sadar yang Abang sengaja! Jangan buat aku ingin tertawa mendengar alasan yang sangat menggelikan ini, Bang!" Zaidan diam, tak mampu lagi berkata. Pukulan telak sudah dilemparkan Hanun kepadanya. Sungguh, Zaidan sangat menyesali semua yang sudah dilakukannya. "Kapan Abang akan menikah dengan Rindu?" tanya Hanun sembari memainkan gawainya.Menikah, mungkin itu yang diinginkan mereka selama ini. Mereka hanya menunggu waktu untuk mewujudkan impian yang sempat tertunda itu. "Rasanya tak ada niat untuk menikahi Rindu lagi, Dek. Abang hanya mencintai dirimu saja. Abang tak ingin wanita lainnya."Hanun hanya
Hembusan angin pantai terpaksa membuat Hanun berkali-kali memegang erat kedua bagian sisi kerudungnya agar tidak membuat bagian lehernya kelihatan. Udara malam yang dingin ditambah deburan ombak pantai yang ada di hadapannya benar-benar dinikmati Hanun. Suara ombak yang pecah saat bertemu batu karang seakan mengantarkan Hanun pada kisah panjang hidupnya yang sungguh terlalu pahit untuk diingatnya kembali.Menyerahkan hati dan cintanya pada seorang laki-laki, mengabdikan seluruh hidupnya untuk rumah tangga yang ternyata pondasinya goyah saat badai menerpa. Bukan, itu bukan badai. Hanya hujan lebat yang harusnya tak meninggalkan jejak saat matahari kembali memancarkan sinar teriknya. Laki-laki yang dipujanya saat pertama kali mengenal cinta terlalu lemah untuk mengalah pada hujan lebat itu. Laki-laki itu tak cukup tangguh menerjang hujan yang seharusnya menjadi bukti bahwa dirinya cukup tangguh menjadi perisai bagi keluarga kecil mereka. Zaidan gagal untuk membuktikan b
Wahyu, laki-laki yang tak lelah menunjukkan keseriusannya untuk mendapatkan hati Hanun itu merapatkan dekapan pada wanita halalnya. Memastikan tubuh wanita yang sangat dicintainya itu tak kedinginan oleh terpaan angin malam ini. Wanita yang telah dimintanya menjadi pelengkap separuh agamanya. Apalagi Hanun saat ini sedang mengandung tiga bulan, buah cinta mereka.Bukan waktu yang singkat bagi Wahyu untuk mendapatkan hati wanita idamannya ini. Butuh lima tahun sejak status janda disandang hingga akhirnya Hanun membuka hati untuk menerima sebuah komitmen baru dalam kehidupannya. Itu pun karena desakan sang ibu dan Widya.Kembali memori itu berputar di kepalanya. Bagaimana ibu yang sangat dihormatinya meminta agar hatinya dapat menerima kehadiran Wahyu, sosok yang secara terang-terangan menyukainya sejak masih berstatus sebagai istri Zaidan kala itu."Tak semua laki-laki akan menjadi pecundang, Nun. Ibu sudah tua. Entah berapa lama sisa usia wanita tua ini. Tak akan m
"Kami sudah lama menikah, Wid. Lagi pula saat kami menikah, kamu sudah cukup banyak membantu. Tak perlulah dengan hadiah seperti ini lagi."Hanun sungguh berhutang budi kepada Widya. Dukungan Widya saat menjalani fase-fase sulit dalam hidupnya sungguh tak akan pernah mampu dibalas sampai kapanpun. Widya sama seperti ibunya, selalu mendukung keputusan apa pun yang diambil Hanun saat itu. Dan disinilah mereka berada ada saat ini. Di Parai Tenggiri Beach Hotel and Resort, kawasan wisata yang terletak di Sungailiat, Bangka Kepulauan Bangka Belitung. Lokasi wisata yang berjarak sekitar 50,9 kilometer dari Bandara Depati Amir Pangkalpinang, ibukota provinsi yang dijuluki negeri Serumpun Sebalai.Keindahan pasir putih dan bebatuan besar yang menghiasinya menjadi daya tarik tersendiri para wisatawan dari dalam dan luar negeri untuk kembali berkunjung di kawasan wisata ini. Pasir putih sangat kontras saat berpadu dengan air laut yang berwarna biru muda. Sebuah jembatan ka
"Hari ini Abang telat pulangnya, Dek," ucap Zaidan saat Hanun menyodorkan sepiring nasi goreng sosis dengan toping telor ceplok di atasnya.Hanun mendongakkan kepala saat mendengar kalimat yang diucapkan suaminya itu. Baginya ini sudah melampaui batas kelaziman jika akhir-akhir ini suaminya sering mendapatkan tugas untuk pulang lebih lambat dari kantor. Selama ini tugas lembut itu tak akan sesering sekarang. Satu bulan paling hanya dua atau tiga kali saja.Beberapa potongan mentimun dan tomat melengkapi piring putih polos yang sudah berisi setumpuk nasi berwarna cokelat kemerahan itu. Nasi goreng buatan Hanun menurut Almira, puterinya merupakan nasi goreng paling enak sedunia."Bukannya beberapa hari kemarin juga lembur, Bang?" tanya Hanun sembari mengernyitkan dahinya.Ada sesak yang tiba-tiba menyelinap di ruang hati Hanun. Lelaki halalnya ini sepertinya berbohong. Sepuluh tahun bersama, entah mengapa Hanun merasa beberapa bulan ini hatinya
"Ayah, Bunda. Kakak sudah siap!" Pasangan suami istri itu serentak menolehkan kepala. Gadis kecil mereka telah siap dengan pakaian seragam putih merahnya."Buku-buku tak ada yang ketinggalan, Kak?" tanya Hanun sembari mengisi nasi goreng ke piring putih lainnya. Untuk Almira, sang puteri kecilnya.Hanun dan Zaidan memang membiasakan sapaan kakak untuk sulung mereka itu. Biar tak kesulitan untuk mengubah sapaan jika suatu saat ada anak kedua yang akan lahir dari rahim Hanun. Walaupun sampai sekarang tanda-tanda itu tak kunjung hadir jua. Hanya Almira buah hati semata wayang mereka."InsyaAllah tak ada, Bun. Kakak bawa bekal apa, Bun?" tanya Almira seraya mendudukkan tubuhnya di salah kursi. Sepiring nasi goreng sudah siap tersaji di hadapannya."Ayam goreng saus mentega dan capcai. Kenapa? Mau tambahan bekal apa?" tanya Hanun sembari mengisi kotak bekal puterinya itu ke dalam tas berwarna biru dengan gambar bunga matahari di bagian depann
Arloji dengan lingkaran berwarna biru itu tampak mewah. Apalagi dengan rantai perak yang melengkapinya. Sebuah merek yang terlihat di bagian depan kotak memperjelas semuanya. Ini bukan jam arloji biasa dan Zaidan belum pernah membeli arloji semahal ini sepengetahuan Hanun. Apalagi benda ini belum pernah sama sekali dipakai suaminya itu.Milik siapakah arloji ini? Apakah milik Zaidan? Tapi Hanun merasa aneh sebab sejak mereka menikah, laki-laki itu akan mengajak dirinya jika hendak membeli keperluan pribadi suaminya itu. Apakah itu baju, celana, sepatu, bahkan sampai ikat pinggang, tak pernah Zaidan akan membelinya seorang diri.Lantas kapan Zaidan membeli arloji ini? Mengapa Hanun sampai tak tahu? Apa mungkin arloji ini merupakan hadiah atau pemberian seseorang? Tapi Zaidan tak pernah pula menceritakannya.Hanun mendudukkan tubuhnya di tepi tempat tidur. Meraih gelas air sisa semalam yang masih ada di atas nakas. Dengan cepat Hanun meneguk is
"Bang Zaidan makan dengan teman-teman kantornya, Kak. Bukan dengan aku."Akhirnya Hanun memilih untuk berkata jujur sesuai dengan pemikirannya. Tak mungkin dirinya mengaku ikut menikmati makan malam di sana dengan suaminya saat itu. Pasti Ratna kaan bertanya rasa makanan di sana, sedangkan dirinya sama sekali belum pernah mencicipinya."Oh, Kakak pikir denganmu. Ya sudah kalau begitu. Kakak pulang dulu! Kepala tenggirinya sudah Kakak siapkan. Takut diangkut kucing nantinya kalau kelamaan. Assalamu'alaikum," ujar Ratna seraya bergegas pergi.Sementara itu hati Hanun meringis. Ada yang janggal dengan berita yang dikabarkan Ratna tadi. Dengan siapa Zaidan menikmati makan malam itu? Tak mungkin rasanya jika suaminya itu menikmati makan malam dengan teman-temannya. Hanun tahu jika lembur tak akan selesai sebelum jam sembilan lama paling cepat. Tak mungkin rasanya mereka akan memulai makan malam di jam selarut itu. Lagi pula Zaidan tak pernah menyinggu