Arloji dengan lingkaran berwarna biru itu tampak mewah. Apalagi dengan rantai perak yang melengkapinya. Sebuah merek yang terlihat di bagian depan kotak memperjelas semuanya.
Ini bukan jam arloji biasa dan Zaidan belum pernah membeli arloji semahal ini sepengetahuan Hanun. Apalagi benda ini belum pernah sama sekali dipakai suaminya itu.Milik siapakah arloji ini? Apakah milik Zaidan? Tapi Hanun merasa aneh sebab sejak mereka menikah, laki-laki itu akan mengajak dirinya jika hendak membeli keperluan pribadi suaminya itu. Apakah itu baju, celana, sepatu, bahkan sampai ikat pinggang, tak pernah Zaidan akan membelinya seorang diri.Lantas kapan Zaidan membeli arloji ini? Mengapa Hanun sampai tak tahu? Apa mungkin arloji ini merupakan hadiah atau pemberian seseorang? Tapi Zaidan tak pernah pula menceritakannya.Hanun mendudukkan tubuhnya di tepi tempat tidur. Meraih gelas air sisa semalam yang masih ada di atas nakas. Dengan cepat Hanun meneguk isinya tanpa sisa sama sekali. Perlahan tangan kanannya bergerak ke area dahi yang mulai terasa nyeri. Rasanya tak mungkin jika karena lupa lantas suaminya sampai tak ingat untuk memberitahukan Hanun tentang arloji ini. Bukan sifat Zaidan seperti itu selama ini. Tak ada rahasia di antara mereka bertahun-tahun lamanya ini. Apakah suaminya telah berubah? Mungkinkah Zaidan menyimpan banyak hal darinya? Firasat yang sempat hadir di meja makan tadi pagi kala laki-laki itu mengabarkan akan lembur hari semakin menguat. Hanun merasa Zaidan mulai tak jujur pada dirinya. Apakah ada wanita lain yang telah menggoda hati suaminya saat ini?Dalam sebuah pernikahan, hanya satu yang paling dikhawatirkan oleh para istri di dunia ini. Kala lelaki halalnya tergoda dengan pesona sosok selain dirinya. Kala lelaki yang menjadi pasangan hidupnya tak lagi menjadikan dirinya sebagai satu-satunya pengisi ruang hati.Mungkinkah saat ini Hanun harus mengalaminya juga? Apakah cinta mereka selama ini tak cukup besar dan berharga untuk menjadikan Hanun sebagai satu-satunya wanita hati suaminya?Menggenggam kotak arloji itu erat-erat, Hanun memejamkan matanya. Perlahan tanpa bisa dicegah, buliran bening itu lolos sempurna. Tangisan kesedihan pertama setelah sepuluh tahun pernikahannya.Bibir boleh jadi berkata, tapi tetap hati yang akan merasakannya. Bukankah nurani wanita akan lebih peka dengan hal tak lazim yang ada di sekitarnya? Hanun memutuskan untuk tidak mengembalikan kotak arloji itu ke tempatnya semula. Dirinya berhak dan wajib mendapat penjelasan dari suaminya terkait asal muasal benda ini di rumah mereka. Jangan sampai suaminya itu berkata jika ini hanyalah titipan teman saja.Ucapan salam di pintu depan membuat Hanun meletakkan kotak hitam berisi batu satamnya bersebelahan dengan kotak arloji itu. Entah siapa yang bertamu di jam seperti ini."Kak Ratna?" ucap Hanun saat membuka pintu rumah tamunya.Seorang wanita yang usianya lebih tua lima tahun darinya itu sedang mengembangkan senyum lebarnya tepat di tengah pintu. Tetangga yang berjarak dua rumah di sebelah kanan rumah Hanun itu tampaknya belum mandi. Terlihat masih dengan daster yang acak-acakan dan rambut yang hanya diikat asal saja."Nun, ada kunyit? Kakak malas ke pasar jika hanya membeli kunyit saja. Kunyit Kakak habis, tapi pagi tadi Bang Imam meminta dimasakkan lempah kuning kepala tenggiri untuk lauk siang nanti," ucap wanita itu tanpa ragu-ragu.Hanun menganggukkan kepala. Kebetulan memang tiga hari yang lalu bumbu dapur dengan warna kuning itu dibelinya."Masuk dulu, Kak. Hanun ambilkan! Berapa banyak?" tanya Hanun sebelum melangkah ke arah dapurnya."Tak usah banyak, cukup segini saja," balas Ratna sembari menunjukkan telunjuk kanannya.Hanun tersenyum dan melangkah ke arah dapur. Sudah lazim jika di komplek perumahan ini para ibu-ibu saling meminta jika kehabisan bahan dapur atau sejenisnya. Jarak pasar terdekat sekitar kilometer, tentunya butuh waktu dan menghabiskan energi saja jika hanya untuk membeli satu bahan dapur saat terdesak. Sedangkan tukang sayur jarang sekali masuk ke komplek perumahan ini.Hanun kembali dengan kunyit yang ukurannya sebesar jempol tangan itu."Masya Allah, besar sekali, Nun!" ujar Ratna dengan raut wajah yang terperangah."Tak apa, Kak. Kebetulan beli kemarin memang agak banyak. Hanya kunyit saja, Kak?" tanya Hanun untuk memastikan.Ratna menganggukkan kepalanya."Terima kasih ya, Nun. Kakak pulang dulu." Ratna memutar tubuhnya lantas melangkah kembali. Namun belum lagi lima langkah, wanita itu tiba-tiba berhenti dan memutar tubuhnya kembali."Beberapa malam kemarin kamu dan Zaidan makan malam di Resto Casablanca ya, Nun? Bagaimana ... enak nggak makanan di sana?" tanya Ratna dengan senyum yang lebar.Sontak saja Hanun terkejut luar biasa. Makan malam? Rasanya tak ada. Bahkan semenjak suaminya sering lembur beberapa bulan terakhir ini, mereka tak pernah lagi menghabiskan malam dengan aktivitas makan di luar atau jalan-jalan seperti sebelumnya."Makan malam? Restoran Casablanca?" ucap Hanun seraya mengernyitkan dahinya."Iya, kamu masih tak mau mengaku juga. Bang Ridwan yang cerita pas ketemu dengan Zaidan di toilet. Kata Zaidan makan malam. Yah pastilah denganmu kan? Atau Kakak salah?" tanya Ratna yang ikut bingung dengan reaksi Hanun."Suasananya nyaman kalau menurut Bang Ridwan. Makanannya juga enak. Hanya saja Kakak tak percaya. Abangmu itu selalu bilang semua makanan enak, tak punya selera. Kamu memang pergi makan malam dengan Zaidan kan malam itu, Nun?" ulang Ratna untuk meminta penegasan.Lidah Hanun mendadak kelu. Apa yang harus dikatakannya pada Ratna? Jelas-jelas bukan dirinya yang pergi makan malam dengan suaminya malam itu. Bukankah sekitar tiga atau empat hari yang lalu Zaidan lembur? Apa mungkin suaminya itu makan malam setelahnya?"Bang Zaidan makan dengan teman-teman kantornya, Kak. Bukan dengan aku."Akhirnya Hanun memilih untuk berkata jujur sesuai dengan pemikirannya. Tak mungkin dirinya mengaku ikut menikmati makan malam di sana dengan suaminya saat itu. Pasti Ratna kaan bertanya rasa makanan di sana, sedangkan dirinya sama sekali belum pernah mencicipinya."Oh, Kakak pikir denganmu. Ya sudah kalau begitu. Kakak pulang dulu! Kepala tenggirinya sudah Kakak siapkan. Takut diangkut kucing nantinya kalau kelamaan. Assalamu'alaikum," ujar Ratna seraya bergegas pergi.Sementara itu hati Hanun meringis. Ada yang janggal dengan berita yang dikabarkan Ratna tadi. Dengan siapa Zaidan menikmati makan malam itu? Tak mungkin rasanya jika suaminya itu menikmati makan malam dengan teman-temannya. Hanun tahu jika lembur tak akan selesai sebelum jam sembilan lama paling cepat. Tak mungkin rasanya mereka akan memulai makan malam di jam selarut itu. Lagi pula Zaidan tak pernah menyinggu
“Aku tahu Bang Zaidan sudah berubah, Rin. Aku curiga jika ada duri dalam pernikahan kami. Sebagai seorang istri yang telah membersamainya selama bertahun-tahun, aku tahu hatinya telah berubah. Aku dapat merasakan ada wanita lain yang telah menggoda hatinya. Sepuluh tahun pernikahan kami bukan waktu yang singkat bagiku untuk mengenal suamiku sendiri. Waktu selama itu cukup untuk membuatku mengenal Bang Zaidan luar dalam, Rin.”Isakan tangis yang disertai lelehan bulir cairan bening mengalir di pipi Hanun. Sedangkan Rindu memilih untuk diam sementara. Membiarkan wanita yang sudah menjadi sahabatnya bertahun-tahun itu menumpahkan kesedihannya. Hanya satu hal yang mampu dilakukan Rindu saat ini. Menggenggam erat kedua telapak tangan sahabatnya itu, berusaha untuk memberi kekuatan dengan segala daya yang dimilikinya. Suasana kafe Daun memang cukup sepi siang itu. Kedua wanita itu memang lebih memilih meja yang berada di pojok sebagai tempat duduk mereka.
“Aku mulai menyadari ada yang berbeda dengan Bang Zaidan sejak tiga bulan terakhir ini, Rin. Awalnya aku masih berusaha untuk berpikir positif. Aku masih berusaha memaklumi kabar darinya jika harus lembur sampai larut malam. Aku masih berusaha menerima kalau penampilannya lebih rapi dengan alasan tuntutan pekerjaan. Sampai aku bertemu Iwan, salah satu teman kantor Bang Zaidan," tutur Hanun dengan lirih. Lalu mengalirlah cerita tentang kejanggalan-kejanggalan yang dilakukan suaminya dari bibir Hanun. Dari mulai lembur yang seharusnya tidak terjadi setiap hari. Makan siang yang jarang di kantor dan masih banyak lagi rentetan peristiwa lainnya yang memang sepertinya sangat tepat untuk memberi label pada suaminya sebagai seorang pengkhianat pernikahan mereka.“Bicaralah baik-baik pada Bang Zaidan, Nun. Tanyakan terus terang, apakah semua dugaanmu itu benar,” ujar Rindu sembari menyeruput cairan kental keputihan dari gelas berkaki tinggi yang ada di depannya itu.
Hanun mendudukkan tubuhnya pada kursi berbentuk sofa bulat berbahan beludru berwarna hijau lumut yang ada di taman belakang. Taman yang menjadi tempatnya menghabiskan waktu jika sedang suntuk di dalam rumah. Berkutat dengan berbagai pekerjaan rumah dan anak semata wayang saja, Hanun selalu berusaha membuang jenuhnya dengan menikmati beragam tanaman hias atau membaca buku saja. Bukan seperti wanita kebanyakan yang akan menjadikan belanja sebagai aktivitas untuk menghilangkan suntuk di pikirannya.Zaidan, sang suami sudah memberitahukan sejak hendak berangkat tadi pagi jika akan pulang terlambat hari ini. Banyak pekerjaan yang harus diselesaikan menjadi alasan laki-laki itu kali ini. Walaupun Hanun sendiri tak yakin, apakah alasan itu benar atau hanya sengaja dibuat-buat saja. Rasa percaya yang dulu utuh dan penuh pada laki-laki itu tak lagi ada. Jika saja Hanun tak pernah bertemu dengan Iwan secara kebetulan di salah satu pusat perbelanjaan, mungkin rasa
Dan saat itu, Hanun yakin jika Zaidan mulai berbohong padanya. Laki-laki itu mulai tak jujur kepada wanita yang sempat menaruh percaya seribu persen kepadanya.Suara dari gawainya menyadarkan Hanun dari lamunan yang entah sudah berapa lama itu. Pesan dari seorang yang kemarin menjadi tempat bagi Hanun untuk mencurahkan keluh kesahnya. [Nun, bagaimana? Sudah bicara dengan Bang Zaidan?]Hanun menghela napasnya. Tak tahu apa yang harus dikatakan pada Rindu, pengirim pesan itu.[Aku masih menunggu waktu yang tepat]Akhirnya Hanun memilih kalimat itu sebagai jawaban. Karena memang sejak kemarin Hanun masih memikirkan dan mempertimbangkan langkah yang akan dilakukannya. Tak boleh gegabah, apalagi terburu-buru. Laki-laki yang tak lagi dipercayainya itu pasti akan membuat berbagai dalih dan pembelaan. Hanun harus waspada dan mulai mempersiapkan diri untuk segala sesuatu yang akan terjadi nanti.Pohon pernikahan mereka sekarang
Tangan lincah Hanun bergerak lincah. Wanita itu tampak cekatan merapikan kembali berbagai buku yang telah dikeluarkan dari lemari. Pagi itu setelah membersihkan rumah dan memasak, Hanun memilih untuk membersihkan lemari kaca berbahan jati yang ada di ruang keluarga. Menghilangkan debu yang menempel pada berbagai sudut lemari. Sesekali tangan Hanun membuka lembaran-lembaran novel yang menurutnya cukup menarik untuk kembali dibaca. Kecintaannya pada karya fiksi membuat Hanun tak segan untuk merogoh kocek demi membeli novel-novel yang disukainya. Dari sejak masih mengenakannya seragam merah putih, Hanun lebih senang menghabiskan waktunya di kamar dengan melahap buku-buku yang sering dibelikan sang ayah sebagai hadiah ketimbang bermain di luar rumah. Tak suka berada di tempat keramaian membuat Hanun lebih senang menjadikan kamar sebagai tempat yang paling nyaman sepulang sekolah.Tak banyak bergaul membuat Hanun tak terlalu mengenal teman-teman di seko
Bergegas Hanun melangkahkan kakinya menuju gerobak nasi goreng yang mangkal tak jauh dari rumah kontrakan mereka. Walaupun berjualan di gerobak, antriannya kadang luar biasa. Rasa enak dan harga murah membuat nasi goreng Bang Jaja menjadi favorit bagi para mahasiswa yang kondisi dompetnya pas-pasan di tanah orang seperti Hanun dan Rindu. Semoga saja tak harus menunggu lama, batin Hanun di dalam hati sembari melangkahkan kakinya pergi menuju gerobak dengan warna biru itu. Perut yang sudah keroncongan membuat Hanun berharap keberuntungan ada di tangannya malam ini.Nasib baik bagi Hanun malam ini. Gerobak nasi goreng Bang Jaja tak terlalu ramai. Hanya tiga orang laki-laki yang sedang duduk di meja kecil melahap nasi goreng saat Hanun sampai di sana. Sementara itu seorang wanita pekerja tampak sedang berdiri menunggu pesanannya. Pakaian yang dikenakan wanita itu menunjukkan jika dia bekerja di sebuah bank pemerintah.“Bang, nasi goreng satu. Seperti
“Hanun, Bang. Titip pesan juga! Aku udah mengirimkan pesan kepada Rindu cuma sepertinya belum terbaca," ujar Hanun dengan cepat.“Wajarlah tak dibaca. Namanya juga lagi kuliah, Dek.”Lagi-lagi kekehan kecil keluar dari mulut laki-laki-laki itu. Hanun tersipu.“Adek tunggu di kantin saja kalau begitu. Abang langsung ke ruang perkuliahan temannya," ujar laki-laki yang tak diketahui Hanun namanya itu seraya memutar tubuh hendak melangkah pergi.“Nggak, Bang. Aku tunggu di kursi itu saja.”Hanun mengarahkan telunjuk kanannya pada sebuah kursi panjang tak jauh dari tempat berdiri mereka. Naungan pohon besar tepat di atas kursi kayu itu membuat kesan teduh. Kebetulan kursi itu dilihat Hanun kosong.“Ya sudah. Tunggu sebentar ya!” Hanun menganggukkan kepala dan berjalan perlahan ke arah kursi yang sama sekali tak tersentuh cat itu. Natural sekali khas warna kayu alami. Hatinya tak henti-henti bersyukur atas pertolo