"Bang Zaidan makan dengan teman-teman kantornya, Kak. Bukan dengan aku."
Akhirnya Hanun memilih untuk berkata jujur sesuai dengan pemikirannya. Tak mungkin dirinya mengaku ikut menikmati makan malam di sana dengan suaminya saat itu. Pasti Ratna kaan bertanya rasa makanan di sana, sedangkan dirinya sama sekali belum pernah mencicipinya."Oh, Kakak pikir denganmu. Ya sudah kalau begitu. Kakak pulang dulu! Kepala tenggirinya sudah Kakak siapkan. Takut diangkut kucing nantinya kalau kelamaan. Assalamu'alaikum," ujar Ratna seraya bergegas pergi.Sementara itu hati Hanun meringis. Ada yang janggal dengan berita yang dikabarkan Ratna tadi. Dengan siapa Zaidan menikmati makan malam itu?Tak mungkin rasanya jika suaminya itu menikmati makan malam dengan teman-temannya. Hanun tahu jika lembur tak akan selesai sebelum jam sembilan lama paling cepat. Tak mungkin rasanya mereka akan memulai makan malam di jam selarut itu. Lagi pula Zaidan tak pernah menyinggungnya sama sekali.Menuduh Ratna mengada-ada rasanya tak mungkin juga. Tak ada kebohongan di wajah wanita itu saat mengabarkannya tadi.Artinya Zaidan menutupi hal makan malam itu kepada dirinya. Mengapa? Kecurigaan Hanun atas diri suaminya itu semakin menguat. Laki-laki itu mulai tak jujur dan berbohong pada dirinya. Entah sejak kapan, Hanun pun tak paham. Hanya saja beberapa petunjuk, jelas menunjukkannya. Hanun tak mungkin salah. Suaminya telah berubah. Lelaki halalnya tak lagi jujur lagi padanya.Hanun masuk ke dalam rumah kembali dengan perasaan yang gundah gulana. Ada belati yang seolah mengiris hatinya saat beberapa kejadian terjadi secara bersamaan hari ini.Melewati hari tanpa melakukan apa pun. Hanun memilih kasur sebagai tempatnya merenungi perubahan-perubahan yang dirasakannya pada diri sang suami. Sudah berapa lama ini terjadi? Apa mungkin dirinya saja yang baru menyadari? Di atas hamparan sajadah panjangnya, Hanun menumpahkan rasa gundahnya. Meluapkan kegelisahannya. Bahkan mengadukan resahnya. Sampai akhirnya, Hanun meminta petunjuk terbaik yang harus dilakukannya.Setelah sepuluh tahun bersama, apakah badai ujian rumah tangga akan mengguncang mereka kali ini? Apakah ujian itu harus juga Hanun lewati? Nuraninya berbisik dengan sendunya, ada sesuatu yang telah terjadi pada ikatan halal mereka. Tak mungkin salah. Firasatnya sebagai istri tak akan salah menerjemahkan fakta."Abang, lemburnya lancar?" tanya Hanun saat menyuguhkan segelas kopi susu kepada suaminya.Penunjuk waktu di dinding di ruang keluarga mereka menunjukkan pukul sepuluh malam. Zaidan baru tiba di rumah sekitar setengah jam yang lalu. Laki-laki itu membersihkan tubuh dengan air hangat yang telah disiapkan oleh Hanun. Kebiasaan yang sudah berlangsung sejak bertahun-tahun lalu itu tak pernah berubah."Lancar, Dek. Ada apa?" tanya Zaidan dengan jemari yang bergerak lincah di atas layar pipih di genggaman tangannya."Bertanya saja. Karena pasti lembur yang terlalu sering akan membuat jenuh. Benarkan, Bang?" ujar Hanun sembari mendudukkan tubuhnya di sofa yang tak jauh dari sang suami berada."Berusaha dinikmati saja agar tak jenuh. Adek belum tidur?" tanya Zaidan seraya meletakkan gawainya di atas meja dan meraih kopi susu yang baru saja disuguhkan istrinya itu."Belum. Boleh aku tahu, kapan Abang membeli arloji ini?" tanya Hanun seraya mengeluarkan sebuah kotak yang sempat membuatnya gelisah sejak tadi pagi.Ada kegugupan yang berhasil Hanun tangkap dari raut wajah suaminya itu. Namun dengan cepat laki-laki itu berusaha menepisnya. Berusaha memperlihatkan reaksi yang biasa saja."Oh itu. Hadiah dari Pak Riki saat beliau pindah dulu," sahut Zaidan sembari menyeruput cairan dari cangkir yang ada di tangannya.Nama laki-laki yang disebutkan suaminya itu memang merupakan mantan kepala cabang yang lama. Pimpinan yang cukup baik dan loyal kepada para pegawainya yang dinilai mempunyai kinerja dan loyalitas baik kepada perusahaan."Abang yakin? Mengapa selama ini Abang tak pernah cerita tentang arloji ini?" tanya Hanun kembali dengan rasa penasaran."Abang tak cerita? Mungkin saja. Bahkan Abang saja nyaris melupakannya. Dimana kamu menemukan arloji itu, Dek?" ujar Zaidan sembari mengulurkan tangan kanannya, berusaha meminta kotak arloji itu dari tangan sang istri."Di laci meja sudut kamar. Kenapa Abang bisa melupakannya? Bukankah ini arloji mahal? Abang pun tak pernah memakainya?" cecar Hanun sembari memicingkan matanya.Mengapa tak pernah dipakai selama ini? Pertanyaan itu jelas-jelas membuat Hanun penasaran. Beda dengan batu satam yang diberikan Bu Indira, tak mungkin Hanun akan memakainya langsung. "Karena arloji itu terlalu mahal untuk ukuran Abang rasanya, Dek. Abang agak sungkan jadinya."Ucapan lelaki halalnya itu tak cukup untuk membuat Hanun puas. Keyakinannya semakin menguat. Lelaki ini sudah tak jujur padanya. Zaidan mulai membohonginya dan itu dilakukan entah sejak kapan.“Aku tahu Bang Zaidan sudah berubah, Rin. Aku curiga jika ada duri dalam pernikahan kami. Sebagai seorang istri yang telah membersamainya selama bertahun-tahun, aku tahu hatinya telah berubah. Aku dapat merasakan ada wanita lain yang telah menggoda hatinya. Sepuluh tahun pernikahan kami bukan waktu yang singkat bagiku untuk mengenal suamiku sendiri. Waktu selama itu cukup untuk membuatku mengenal Bang Zaidan luar dalam, Rin.”Isakan tangis yang disertai lelehan bulir cairan bening mengalir di pipi Hanun. Sedangkan Rindu memilih untuk diam sementara. Membiarkan wanita yang sudah menjadi sahabatnya bertahun-tahun itu menumpahkan kesedihannya. Hanya satu hal yang mampu dilakukan Rindu saat ini. Menggenggam erat kedua telapak tangan sahabatnya itu, berusaha untuk memberi kekuatan dengan segala daya yang dimilikinya. Suasana kafe Daun memang cukup sepi siang itu. Kedua wanita itu memang lebih memilih meja yang berada di pojok sebagai tempat duduk mereka.
“Aku mulai menyadari ada yang berbeda dengan Bang Zaidan sejak tiga bulan terakhir ini, Rin. Awalnya aku masih berusaha untuk berpikir positif. Aku masih berusaha memaklumi kabar darinya jika harus lembur sampai larut malam. Aku masih berusaha menerima kalau penampilannya lebih rapi dengan alasan tuntutan pekerjaan. Sampai aku bertemu Iwan, salah satu teman kantor Bang Zaidan," tutur Hanun dengan lirih. Lalu mengalirlah cerita tentang kejanggalan-kejanggalan yang dilakukan suaminya dari bibir Hanun. Dari mulai lembur yang seharusnya tidak terjadi setiap hari. Makan siang yang jarang di kantor dan masih banyak lagi rentetan peristiwa lainnya yang memang sepertinya sangat tepat untuk memberi label pada suaminya sebagai seorang pengkhianat pernikahan mereka.“Bicaralah baik-baik pada Bang Zaidan, Nun. Tanyakan terus terang, apakah semua dugaanmu itu benar,” ujar Rindu sembari menyeruput cairan kental keputihan dari gelas berkaki tinggi yang ada di depannya itu.
Hanun mendudukkan tubuhnya pada kursi berbentuk sofa bulat berbahan beludru berwarna hijau lumut yang ada di taman belakang. Taman yang menjadi tempatnya menghabiskan waktu jika sedang suntuk di dalam rumah. Berkutat dengan berbagai pekerjaan rumah dan anak semata wayang saja, Hanun selalu berusaha membuang jenuhnya dengan menikmati beragam tanaman hias atau membaca buku saja. Bukan seperti wanita kebanyakan yang akan menjadikan belanja sebagai aktivitas untuk menghilangkan suntuk di pikirannya.Zaidan, sang suami sudah memberitahukan sejak hendak berangkat tadi pagi jika akan pulang terlambat hari ini. Banyak pekerjaan yang harus diselesaikan menjadi alasan laki-laki itu kali ini. Walaupun Hanun sendiri tak yakin, apakah alasan itu benar atau hanya sengaja dibuat-buat saja. Rasa percaya yang dulu utuh dan penuh pada laki-laki itu tak lagi ada. Jika saja Hanun tak pernah bertemu dengan Iwan secara kebetulan di salah satu pusat perbelanjaan, mungkin rasa
Dan saat itu, Hanun yakin jika Zaidan mulai berbohong padanya. Laki-laki itu mulai tak jujur kepada wanita yang sempat menaruh percaya seribu persen kepadanya.Suara dari gawainya menyadarkan Hanun dari lamunan yang entah sudah berapa lama itu. Pesan dari seorang yang kemarin menjadi tempat bagi Hanun untuk mencurahkan keluh kesahnya. [Nun, bagaimana? Sudah bicara dengan Bang Zaidan?]Hanun menghela napasnya. Tak tahu apa yang harus dikatakan pada Rindu, pengirim pesan itu.[Aku masih menunggu waktu yang tepat]Akhirnya Hanun memilih kalimat itu sebagai jawaban. Karena memang sejak kemarin Hanun masih memikirkan dan mempertimbangkan langkah yang akan dilakukannya. Tak boleh gegabah, apalagi terburu-buru. Laki-laki yang tak lagi dipercayainya itu pasti akan membuat berbagai dalih dan pembelaan. Hanun harus waspada dan mulai mempersiapkan diri untuk segala sesuatu yang akan terjadi nanti.Pohon pernikahan mereka sekarang
Tangan lincah Hanun bergerak lincah. Wanita itu tampak cekatan merapikan kembali berbagai buku yang telah dikeluarkan dari lemari. Pagi itu setelah membersihkan rumah dan memasak, Hanun memilih untuk membersihkan lemari kaca berbahan jati yang ada di ruang keluarga. Menghilangkan debu yang menempel pada berbagai sudut lemari. Sesekali tangan Hanun membuka lembaran-lembaran novel yang menurutnya cukup menarik untuk kembali dibaca. Kecintaannya pada karya fiksi membuat Hanun tak segan untuk merogoh kocek demi membeli novel-novel yang disukainya. Dari sejak masih mengenakannya seragam merah putih, Hanun lebih senang menghabiskan waktunya di kamar dengan melahap buku-buku yang sering dibelikan sang ayah sebagai hadiah ketimbang bermain di luar rumah. Tak suka berada di tempat keramaian membuat Hanun lebih senang menjadikan kamar sebagai tempat yang paling nyaman sepulang sekolah.Tak banyak bergaul membuat Hanun tak terlalu mengenal teman-teman di seko
Bergegas Hanun melangkahkan kakinya menuju gerobak nasi goreng yang mangkal tak jauh dari rumah kontrakan mereka. Walaupun berjualan di gerobak, antriannya kadang luar biasa. Rasa enak dan harga murah membuat nasi goreng Bang Jaja menjadi favorit bagi para mahasiswa yang kondisi dompetnya pas-pasan di tanah orang seperti Hanun dan Rindu. Semoga saja tak harus menunggu lama, batin Hanun di dalam hati sembari melangkahkan kakinya pergi menuju gerobak dengan warna biru itu. Perut yang sudah keroncongan membuat Hanun berharap keberuntungan ada di tangannya malam ini.Nasib baik bagi Hanun malam ini. Gerobak nasi goreng Bang Jaja tak terlalu ramai. Hanya tiga orang laki-laki yang sedang duduk di meja kecil melahap nasi goreng saat Hanun sampai di sana. Sementara itu seorang wanita pekerja tampak sedang berdiri menunggu pesanannya. Pakaian yang dikenakan wanita itu menunjukkan jika dia bekerja di sebuah bank pemerintah.“Bang, nasi goreng satu. Seperti
“Hanun, Bang. Titip pesan juga! Aku udah mengirimkan pesan kepada Rindu cuma sepertinya belum terbaca," ujar Hanun dengan cepat.“Wajarlah tak dibaca. Namanya juga lagi kuliah, Dek.”Lagi-lagi kekehan kecil keluar dari mulut laki-laki-laki itu. Hanun tersipu.“Adek tunggu di kantin saja kalau begitu. Abang langsung ke ruang perkuliahan temannya," ujar laki-laki yang tak diketahui Hanun namanya itu seraya memutar tubuh hendak melangkah pergi.“Nggak, Bang. Aku tunggu di kursi itu saja.”Hanun mengarahkan telunjuk kanannya pada sebuah kursi panjang tak jauh dari tempat berdiri mereka. Naungan pohon besar tepat di atas kursi kayu itu membuat kesan teduh. Kebetulan kursi itu dilihat Hanun kosong.“Ya sudah. Tunggu sebentar ya!” Hanun menganggukkan kepala dan berjalan perlahan ke arah kursi yang sama sekali tak tersentuh cat itu. Natural sekali khas warna kayu alami. Hatinya tak henti-henti bersyukur atas pertolo
“Nun, bagaimana ceritanya kamu sampai bisa minta tolong Bang Zaidan untuk mengambil kunci rumah ke aku tadi?”Hanun yang sedang berkutat dengan notebook merahnya langsung memutar tubuh ke arah Rindu yang tiba-tiba masuk ke kamar tidurnya. Gadis itu tampaknya baru saja tiba di rumah. Wajah lelah tergambar dengan jelas sekali di wajah Rindu saat kembali menginjakkan kaki ke rumah kontrakan mereka. Azan Isya baru saja berkumandang dari masjid di seberang jalan sana.“Memangnya kenapa, Rin?” tanya Hanun sembari menatap wajah sahabatnya itu dengan raut wajah bingung.Melihat Rindu yang sudah mengambil posisi di tempat tidurnya, Hanun pun mendudukkan tubuh di samping gadis itu. Wajah Hanun jelas masih menunjukkan kebingungan atas pertanyaan Rindu tadi.“Kamu tahu siapa Bang Zaidan itu, Nun?” tanya Rindu dengan wajah yang kusut. Hanun menolehkan kepalanya ke arah Rindu. Bingung, ada apa dengan sosok laki-laki yang telah menolongnya tadi s