“Nun, bagaimana ceritanya kamu sampai bisa minta tolong Bang Zaidan untuk mengambil kunci rumah ke aku tadi?”
Hanun yang sedang berkutat dengan notebook merahnya langsung memutar tubuh ke arah Rindu yang tiba-tiba masuk ke kamar tidurnya. Gadis itu tampaknya baru saja tiba di rumah. Wajah lelah tergambar dengan jelas sekali di wajah Rindu saat kembali menginjakkan kaki ke rumah kontrakan mereka. Azan Isya baru saja berkumandang dari masjid di seberang jalan sana.“Memangnya kenapa, Rin?” tanya Hanun sembari menatap wajah sahabatnya itu dengan raut wajah bingung.Melihat Rindu yang sudah mengambil posisi di tempat tidurnya, Hanun pun mendudukkan tubuh di samping gadis itu. Wajah Hanun jelas masih menunjukkan kebingungan atas pertanyaan Rindu tadi.“Kamu tahu siapa Bang Zaidan itu, Nun?” tanya Rindu dengan wajah yang kusut.Hanun menolehkan kepalanya ke arah Rindu. Bingung, ada apa dengan sosok laki-laki yang telah menolongnya tadi s"Abang masih mencintai aku?” Pertanyaan itu tiba-tiba meluncur dari bibir Hanun saat dirinya dan sang suami duduk di sofa ruang keluarga.Mata Hanun tajam menatap layar 32 inci di hadapannya, walaupun pikirannya tidak pada acara yang sedang ditayangkan tentu saja. Sedangkan Zaidan, suaminya lebih memilih menatap layar gawai di tangannya sambil terus menekan tombol-tombol yang ada di sana. Laki-laki itu tersentak mendengar pertanyaan dari Hanun dan akhirnya memilih menghentikan aktivitas jemarinya pada layar pilih yang ada di genggaman. Raut wajah suami Hanun itu tampak menunjukkan kebingungan.“Tentu saja. Kenapa Adek menanyakan hal itu tiba-tiba?” balas Zaidan sembari mengalihkan pandangannya ke arah Hanun yang duduk tepat di sampingnya.“Entahlah, aku merasa akhir-akhir ini ada yang berubah dari Abang," tutur Hanun dengan lirih.Hanun masih berusaha menahan gelora di dadanya. Haruskah dirinya meneruskan kalimat pembukanya
Jantung Hanun tiba-tiba berdetak lebih kencang. Suara itu seakan mengingatkannya pada seseorang yang sangat dikenalnya. Otaknya bekerja cepat untuk mengakhiri semuanya.“Selamat malam. Maaf, bisa saya berbicara dengan Hanun Alfathunnisa?” tanya Hanun dengan nada sedikit gugup.Tiba-tiba ide untuk menggunakan namanya sendiri mengalir di kepala wanita itu. Otaknya tak mampu untuk memikirkan alternatif nama lain yang dapat digunakan setelah mendengar suara di seberang sana.“Maaf, sepertinya Ibu salah sambung. Saya Rindu Larasati, sahabat Bu Hanun. Barangkali ada pesan, bisa saya sampaikan nanti kepada Bu Hanun. Atau perlu saya kirimkan nomor kontak beliau ke Ibu?” Lagi-lagi kalimat yang diucapkan seseorang di seberang sana membuat dada Hanun semakin sesak.“Maaf, saya mendapat informasi yang salah berarti. Boleh Bu, kalau tidak keberatan untuk mengirimkan nomor Bu Hanun kepada saya," balas Hanun sembari memejamkan matanya. Menahan lolosnya genangan
Hanun mematikan mesin mobilnya. Mobil yang merupakan hasil kerja kerasnya di luar rumah dengan menggunakan ijazah sarjana hingga akhirnya memutuskan mengundurkan diri saat kelahiran Almira. Tak berniat menggantinya meski Zaidan pernah menawarkan Hanun untuk tukar tambah dengan keluaran terbaru. Ada banyak kenangan yang tak mungkin Hanun lepaskan di mobilnya ini. Dirinya pernah berkarir di luar rumah, walaupun akhirnya sekarang memutuskan menjadi seorang ibu rumah tangga. Dirinya bukanlah wanita dasteran yang dapat diremehkan oleh siapa pun, bahkan oleh suaminya sendiri.Setelah tertunda beberapa hari, Hanun berencana menuntaskan niatnya untuk menempa sebuah cincin hari ini. Bukan cincin biasa. Tapi ini lebih istimewa. Hanun akan menjadikan batu satam yang hampir membuatnya putus asa tempo hari itu sebagai hiasannya, dengan bentuk seperti bunga matahari.Hanun tak terlalu suka perhiasaan emas, walaupun dari segi keuangan dirinya mampu untuk melakukann
"Abang, Rindu??? Kalian di sini juga?" pekik Hanun dengan langkah yang bergerak mendekati keduanya. Suasana kafe tak terlalu ramai. Jam makan siang telah lama berlalu. Hanya beberapa meja saja yang terisi."Dek, kamu dengan siapa?" tanya Zaidan seraya berdiri menyambut kehadiran istrinya itu. Laki-laki itu menyambut kedatangan Hanun dengan senyum yang mengembang, namun tetap saja di mata Hanun maknanya berbeda. Dirinya mengenal senyum lelaki itu bertahun-tahun lamanya, bukan dalam hitungan hari saja. Jelas sekali Zaidan tak dapat menutupi apa pun dari dirinya.Hanun dapat dengan jelas melihat perubahan pada raut wajah suaminya itu, meski hanya sesaat. Sama seperti raut wajah sahabatnya yang sempat kaku tadi. Kegugupan itu jelas terlihat, meskipun berusaha untuk disembunyikan. "Sendiri. Tadi dari toko emas. Rin, kok bisa bersama Bang Zaidan?" tanya Hanun dengan menekan gemuruh di dadanya. Ada pertanyaan besar di otaknya yang muncul ketika melihat kebe
“Pagi Bang, mau sarapan apa?Aku bikin nasi goreng sosis tuh! Atau mau kubuatkan roti panggang?” tanya Hanun saat melihat Zaidan sudah berpakaian rapi dengan seragam kerjanya. Dulu Hanun sangat mengagumi ketampanan laki-laki ini. Namun sekarang kekaguman itu hilang, berganti rasa sesal mengapa sandiwara ini harus Zaidan mainkan.Saat fajar menyapa, Hanun telah mengambil keputusan yang dirasanya paling tepat saat ini. Setelah melangitkan asa di sepertiga malam, Hanun mencoba meyakinkan diri. Di atas hamparan sajadah panjang mahar sang suami saat ayahnya memindahkan tanggung jawab hidupnya ke tangan sang lelaki pujaan Hanun memasrahkan diri. Setelah doa khusyuk dan tilawah panjang sampai masuk waktu subuh, Hanun mencoba mengikhlaskan diri jika ini memang sudah menjadi takdirnya. Di sujud terakhirnya, Hanun merasa batinnya lebih tenang. Hanun memutuskan akan mengikuti permainan yang telah dilakukan Zaidan dan Rindu. Hanun harus kuat, tak boleh menjadi lemah. Pa
Pikiran Hanun mulai berkelana. Jangan-jangan kecupan itu juga sering Zaidan berikan untuk Rindu di saat-saat pertemuan mereka. Saat makan siang atau di saat lembur kerja yang sebenarnya tak pernah ada. Atau bahkan Rindu menerima perlakuan yang lebih dari itu dari suaminya? Napas Hanun sesak seketika.Gegas kaki Hanun melangkah ke pintu depan saat kembali terdengar nada bel itu berbunyi. Suara bel yang sudah distel dengan nada lagu Cicak-cicak di Dinding itu kadang menimbulkan tawa bagi tamu yang baru pertama kali bertandang ke rumah mereka.“Assalamu’alaikum, Ibu. Maaf, apakah betul ini rumahnya Pak Zaidan, Bu?” Suara ramah seorang laki-laki muda yang tampaknya berusia dua puluhan tahun menyapa Hanun saat pintu itu terbuka.“Betul. Maaf, Adek mencari suami saya ya? Ada keperluan apa ya?” Nada terkejut sekaligus agak bingung Hanun tunjukkan kepada tamunya di pagi itu.“Begini Bu. Saya Bima, pegawai di kafe Kemangi yang berada di jalan Sudirman. Mohon maaf me
Hanun menghela napas dalam-dalam sembari meneguk perlahan isi cangkir yang ada di genggamannya. Campuran teh hangat ditambah beberapa irisan lemon memberikan rasa nyaman pada suasana hatinya yang sedang memburuk. Setelah mengantar kepergian suami dan putri kesayangannya, Hanun memilih untuk menenangkan gejolak batinnya di sofa panjang yang berhadapan dengan televisi di ruang keluarga. Mengabaikan aktivitas rutinnya seperti hari-hari sebelumnya. Bertahun-tahun hidup bersama dengan Zaidan, Hanun semakin meyakini jika ada sesuatu yang sedang disembunyikan laki-laki itu. Laki-laki yang pernah berjuang untuk membuktikan rasa cintanya pada Hanun, sang pujaan hati.Rangkaian peristiwa kembali berkelebat di memori Hanun. Wanita itu sangat mengingat segala liku perjalanan cintanya dengan laki-laki pertama yang memberanikan diri menyatakan perasaannya pada dirinya itu. Bukan hanya pada dirinya, tapi juga langsung di hadapan kedua orangtua Hanun kala itu.
“Begini ... saya bermaksud mengenal Dek Hanun bukan hanya sekedar teman. Tapi lebih dari itu. Haduh ... bagaimana ya ngomongnya? Saya bermaksud menjalin kedekatan dengan Dek Hanun. Seperti itu.”Akhirnya kalimat itu meluncur setelah tarikan napas panjang dari rongga paru-paru Zaidan. Ada kelegaan dirasakan laki-laki itu setelah menyampaikan niatnya kepada sang pujaan hati “Lebih dari teman? Abang yakin?” balas Hanun sembari menatap tajam ke arah Zaidan.“InsyaaAllah saya yakin," balas Zaidan dengan penuh keyakinan. Kepalanya mengangguk dengan cepat.Entah keberanian dari mana, Zaidan pun tak menyadarinya. Kalimat penegasan itu begitu saja keluar dari ujung lidahnya.“Serius?” tukas Hanun dengan cepatLagi-lagi Zaidan menjawab pertanyaan Hanun dengan bahu yang ditegakkan.“Sangat serius!”Hanun terdiam. Bingung harus menyikapi ungkapan perasaan laki-laki yang ada di sebelahnya.“Asal Abang tahu, saya
"Kami sudah lama menikah, Wid. Lagi pula saat kami menikah, kamu sudah cukup banyak membantu. Tak perlulah dengan hadiah seperti ini lagi."Hanun sungguh berhutang budi kepada Widya. Dukungan Widya saat menjalani fase-fase sulit dalam hidupnya sungguh tak akan pernah mampu dibalas sampai kapanpun. Widya sama seperti ibunya, selalu mendukung keputusan apa pun yang diambil Hanun saat itu. Dan disinilah mereka berada ada saat ini. Di Parai Tenggiri Beach Hotel and Resort, kawasan wisata yang terletak di Sungailiat, Bangka Kepulauan Bangka Belitung. Lokasi wisata yang berjarak sekitar 50,9 kilometer dari Bandara Depati Amir Pangkalpinang, ibukota provinsi yang dijuluki negeri Serumpun Sebalai.Keindahan pasir putih dan bebatuan besar yang menghiasinya menjadi daya tarik tersendiri para wisatawan dari dalam dan luar negeri untuk kembali berkunjung di kawasan wisata ini. Pasir putih sangat kontras saat berpadu dengan air laut yang berwarna biru muda. Sebuah jembatan ka
Wahyu, laki-laki yang tak lelah menunjukkan keseriusannya untuk mendapatkan hati Hanun itu merapatkan dekapan pada wanita halalnya. Memastikan tubuh wanita yang sangat dicintainya itu tak kedinginan oleh terpaan angin malam ini. Wanita yang telah dimintanya menjadi pelengkap separuh agamanya. Apalagi Hanun saat ini sedang mengandung tiga bulan, buah cinta mereka.Bukan waktu yang singkat bagi Wahyu untuk mendapatkan hati wanita idamannya ini. Butuh lima tahun sejak status janda disandang hingga akhirnya Hanun membuka hati untuk menerima sebuah komitmen baru dalam kehidupannya. Itu pun karena desakan sang ibu dan Widya.Kembali memori itu berputar di kepalanya. Bagaimana ibu yang sangat dihormatinya meminta agar hatinya dapat menerima kehadiran Wahyu, sosok yang secara terang-terangan menyukainya sejak masih berstatus sebagai istri Zaidan kala itu."Tak semua laki-laki akan menjadi pecundang, Nun. Ibu sudah tua. Entah berapa lama sisa usia wanita tua ini. Tak akan m
Hembusan angin pantai terpaksa membuat Hanun berkali-kali memegang erat kedua bagian sisi kerudungnya agar tidak membuat bagian lehernya kelihatan. Udara malam yang dingin ditambah deburan ombak pantai yang ada di hadapannya benar-benar dinikmati Hanun. Suara ombak yang pecah saat bertemu batu karang seakan mengantarkan Hanun pada kisah panjang hidupnya yang sungguh terlalu pahit untuk diingatnya kembali.Menyerahkan hati dan cintanya pada seorang laki-laki, mengabdikan seluruh hidupnya untuk rumah tangga yang ternyata pondasinya goyah saat badai menerpa. Bukan, itu bukan badai. Hanya hujan lebat yang harusnya tak meninggalkan jejak saat matahari kembali memancarkan sinar teriknya. Laki-laki yang dipujanya saat pertama kali mengenal cinta terlalu lemah untuk mengalah pada hujan lebat itu. Laki-laki itu tak cukup tangguh menerjang hujan yang seharusnya menjadi bukti bahwa dirinya cukup tangguh menjadi perisai bagi keluarga kecil mereka. Zaidan gagal untuk membuktikan b
Hanun terkekeh. Tak layak rasanya kalimat itu terdengar dari mulut laki-laki yang pernah meminta kesediaannya untuk dipoligami. "Bukankah Abang sendiri yang pernah meminta kesediaanku untuk diduakan? Dan aku rasa Abang cukup menikmati kekhilafan itu. Bukankah Abang menikmati saat-saat bersama dengan Rindu kala itu? Itu bukan khilaf, Bang! Itu perbuatan sadar yang Abang sengaja! Jangan buat aku ingin tertawa mendengar alasan yang sangat menggelikan ini, Bang!" Zaidan diam, tak mampu lagi berkata. Pukulan telak sudah dilemparkan Hanun kepadanya. Sungguh, Zaidan sangat menyesali semua yang sudah dilakukannya. "Kapan Abang akan menikah dengan Rindu?" tanya Hanun sembari memainkan gawainya.Menikah, mungkin itu yang diinginkan mereka selama ini. Mereka hanya menunggu waktu untuk mewujudkan impian yang sempat tertunda itu. "Rasanya tak ada niat untuk menikahi Rindu lagi, Dek. Abang hanya mencintai dirimu saja. Abang tak ingin wanita lainnya."Hanun hanya
Tak ada tanggapan dari bibir Rindu. Seolah wanita pecundang itu sengaja membiarkan orang-orang akan menganggap jika Zaidan merupakan suaminya. Padahal seharusnya wanita itu melakukan klarifikasi. Menjelaskan hubungan di antara mereka berdua. Tapi apa yang terjadi. Wanita itu malah menikmatinya.Hanun memilih masuk ke dalam mobilnya kembali saat Rindu berlalu dengan membawa lelaki yang pernah mengisi hatinya itu. Rumah sakit. Pasti itu yang menjadi tujuan wanita itu.Hati Hanun meringis. Belum pernah rasanya dirinya menjadi manusia yang egois seperti ini. Bahkan saat melihat kecemasan Rindu tadi, Hanun merasa seolah dirinya tak ada lagi arti dalam kehidupan laki-laki yang menyandang predikat sebagai ayah anaknya itu. Biarlah. Waktunya sudah habis untuk mendampingi lelaki itu. "Om Zaidan sering membicarakan tentang Tante dan Almira kepada saya."Hanun tersentak dari lamunannya kala mendengar ucapan Ilham itu. Entah berapa lama dirinya larut dalam kelebat bay
Hanun hanya duduk saja di sofa. Memperhatikan Almira yang sedang berbincang dengan ayahnya. Hanya mengamati saja, tidak untuk terlibat dengan mereka.Hari ini Hanun sengaja meluangkan waktunya. Hari Minggu yang seharusnya dapat dimanfaatkan Hanun untuk beristirahat di rumah melepas lelah setelah enam hari bekerja terpaksa diabaikan hari ini. "Ibu mau minum apa?" tanya Ilham, seorang pemuda yang sejak hampir sebulan ini menemani Zaidan setiap harinya. Pemuda yang masih tergolong keluarga jauh Zaidan itu tak keberatan melakukannya tentu saja dengan sejumlah imbalan."Tak usah, Ham. Tante sudah bawa," sahut Hanun sembari mengangkat botol minuman yang berisi air putih dengan tambahan beberapa potong buah strawberry, lemon dan kurma.Hanun kembali melemparkan pandangannya ke arah Almira dan Zaidan. Dua orang yang sedang duduk berhadapan di taman belakang rumah yang sebelumnya banyak dipenuhi koleksi tanaman hias miliknya.Sekarang hanya beberapa pot saja tanama
"Abang tenang saja, aku tak membongkar kebusukan kalian. Aku tak ingin hati Almira luka akibat perbuatan kalian. Cukup aku yang terluka. Selamat, kalian bisa memulai kehidupan yang kalian dambakan selama ini, tanpa khawatir ketahuan olehku lagi, Bang. Kalian tak perlu lagi sembunyi-sembunyi jika ingin bersama. Nikmati kebersamaan kalian sepuasnya," ujar Hanun dengan tegas. Tak ada lagi kesedihan yang tergurat di wajahnya. “Dek, Abang akan mengakhiri semua ini jika memang kamu tak menginginkannya. Abang akan mengakhiri hubungan Abang dengan Rindu jika memang kamu tak menyetujuinya. Yang paling penting, jangan tinggalkan Abang! Abang mohon, Dek! Tetaplah bersama Abang! Kita bangun kembali rumah tangga kita. Abang janji tidak akan mengulangi semua ini! Kita masih saling mencintai, Abang tahu itu.”Hanun terkekeh mendengar ucapan Zaidan itu. Sementara Rindu tampak terpaku, tak bergerak dari duduknya. Wajah wanita itu jelas terlihat pucat pasi. Mungkin tak menyangka jika t
Hanun mengantar suami dan anaknya sampai ke pintu depan. Setelah memastikan mobil Zaidan keluar dari pagar rumah, Hanun kembali masuk dan menemui ibunya. Wanita yang masih duduk di meja makan menghabiskan nasi gorengnya tadi.“Nun, kamu juga mau langsung berangkat ke rumah makan ya?” tanya Bu Lidya sembari membereskan piring kotor di meja makan. Nasi goreng di piringnya tandas tanpa sisa. Selain karena memang perutnya yang kosong sejak semalam, rasa nasi goreng Hanun tak pernah berubah sejak dulu. Perpaduan garam dan kecap manis yang pas, tak berlebihan membuat lidah tak berhenti untuk menghabiskannya.“Belum, Bu. Agak siangan. Hanun akan membereskan pekerjaan rumah dulu. Kemudian menyiapkan bahan makanan untuk makan malam. Jadi nanti sore Hanun tinggal memasaknya saja. Ibu jam berapa mau ke pamerannya? Barengan Hanun saja. Nanti Hanun antar sekalian jalan," sahut Hanun sembari mulai mencuci piring kotor yang masih tersisa.Sejak awal memutuskan untuk bekerja
Hanun berusaha meraup oksigen yang ada di sekelilingnya. Memastikan paru-parunya tak akan bermasalah. Semua ini mungkin teramat berat untuknya. Tapi bukankah harga diri ada di atas segalanya?Sesak, kecewa dan amarah itu bergumul di dadanya. Andai saja bukan Rindu yang menjadi wanita lain di hati suaminya, mungkin tak seperti ini rasanya. Andai saja wanita itu sama sekali tak dikenalnya, tak akan sesakit ini perih yang menyayat hatinya. Tapi hidup bukan pengandaian, bukan pula perumpamaan."Aku bukan saja mengizinkan kita untuk berbagi Rin, bahkan aku akan menyerahkan Bang Zaidan seutuhnya ke pelukanmu. Aku rasa, aku tak layak untuk lebih jauh terlibat dalam permainan gila kalian. Silahkan kalian teruskan! Aku memilih mundur. Aku berhak bahagia. Dan aku tahu sekarang ... kebahagiaanku tidak lagi bersamamu, Bang."Hanun mencoba menjeda kalimatnya."Abang tahu, aku sangat mencintaimu. Tingkat tertinggi mencintai bagiku bukanlah memiliki, seperti yang kamu lakukan