Hanun menghela napas dalam-dalam sembari meneguk perlahan isi cangkir yang ada di genggamannya. Campuran teh hangat ditambah beberapa irisan lemon memberikan rasa nyaman pada suasana hatinya yang sedang memburuk.
Setelah mengantar kepergian suami dan putri kesayangannya, Hanun memilih untuk menenangkan gejolak batinnya di sofa panjang yang berhadapan dengan televisi di ruang keluarga. Mengabaikan aktivitas rutinnya seperti hari-hari sebelumnya.Bertahun-tahun hidup bersama dengan Zaidan, Hanun semakin meyakini jika ada sesuatu yang sedang disembunyikan laki-laki itu. Laki-laki yang pernah berjuang untuk membuktikan rasa cintanya pada Hanun, sang pujaan hati.Rangkaian peristiwa kembali berkelebat di memori Hanun. Wanita itu sangat mengingat segala liku perjalanan cintanya dengan laki-laki pertama yang memberanikan diri menyatakan perasaannya pada dirinya itu. Bukan hanya pada dirinya, tapi juga langsung di hadapan kedua orangtua Hanun kala itu.“Begini ... saya bermaksud mengenal Dek Hanun bukan hanya sekedar teman. Tapi lebih dari itu. Haduh ... bagaimana ya ngomongnya? Saya bermaksud menjalin kedekatan dengan Dek Hanun. Seperti itu.”Akhirnya kalimat itu meluncur setelah tarikan napas panjang dari rongga paru-paru Zaidan. Ada kelegaan dirasakan laki-laki itu setelah menyampaikan niatnya kepada sang pujaan hati “Lebih dari teman? Abang yakin?” balas Hanun sembari menatap tajam ke arah Zaidan.“InsyaaAllah saya yakin," balas Zaidan dengan penuh keyakinan. Kepalanya mengangguk dengan cepat.Entah keberanian dari mana, Zaidan pun tak menyadarinya. Kalimat penegasan itu begitu saja keluar dari ujung lidahnya.“Serius?” tukas Hanun dengan cepatLagi-lagi Zaidan menjawab pertanyaan Hanun dengan bahu yang ditegakkan.“Sangat serius!”Hanun terdiam. Bingung harus menyikapi ungkapan perasaan laki-laki yang ada di sebelahnya.“Asal Abang tahu, saya
Hanun merapikan sisa sarapan pagi yang masih ada. Mencuci peralatan makan dan masak yang belum sempat dicucinya. Melihat dapur dan ruang makan yang kembali rapi, Hanun menyunggingkan senyum bahagianya.Melangkahkan kakinya ke area laundry, Hanun mengeluarkan setumpuk pakaian yang siap dijemurnya pagi ini. Dengan cekatan kedua tangannya bergerak menjemur pakaian-pakaian itu di jemuran dinding tepat di sebelah mesin cuci.Hanya tinggal menyapu dan mengepel rumah saja, pekerjaan rumah tangga akan beres dikerjakannya. Namun Hanun berniat untuk mencabuti rumput liar dan membuang daun kecoklatan di taman kecil di belakang rumahnya ini.Menatap daun kehijauan ataupun bunga bermekaran merupakan hiburan tersendiri bagi Hanun. Memilih menghabiskan waktu di rumah saja dibandingkan harus berkumpul-kumpul dengan para tetangga. Lazimnya acara kumpul-kumpul itu akan berlanjut dengan ghibah berjamaah.Hanun mendesah saat mengelap keringat yang mulai bercucuran
"Saya tak dapat bicara banyak jika sudah berkaitan dengan nurani seorang ibu. Karena istri saya pun melakukan hal yang sama seperti yang Bu Hanun lakukan. Saya hanya bisa mendoakan, semoga ini keputusan yang terbaik untuk Bu Hanun dan keluarga."Ucapan Pak Bram itu jelas saja membuat Hanun jauh lebih lega. Gundah yang sempat melingkupi hatinya hilang saat berhasil mengungkapkan semuanya."Satu hal yang mungkin boleh Bu Hanun ingat. Jika suatu saat Bu Hanun ingin kembali bergabung di perusahaan ini dan saya masih ada di sini, saya pastikan dengan tangan terbuka akan menerima Bu Hanun lagi. Terlepas dengan jabatan apa pun."Hanun tersenyum lebar. Perusahaan ini bak keluarga kedua dalam hidupnya selama ini. Bergaul dengan ragam tipe manusia di sini membuat Hanun paham jika semua dalam kehidupan ini tak semua seperti yang kita harapkan."Maaf jika keputusan saya ini membuat Bapak kecewa. Tapi ini sesuatu yang harus saya lakukan dengan mempertimbangka
Hanun melangkahkan kakinya cepat menaiki tangga eskalator. Stok beberapa bahan dapurnya sudah habis. Mau tidak mau Hanun harus menapakkan kakinya ke supermarket ini. Terpaksa mengingat sebagian besar kebutuhan yang diinginkannya itu tidak ada di pasar tradisional di dekat rumah mereka.Sesuai permintaan Almira, Hanun harus menjemput putri kecilnya itu lebih awal hari ini. Untung saja pekerjaan rumahnya cepat selesai tadi pagi. Kaki jenjang Hanun terus melangkah cepat saat bibir eskalator bertemu dengan lantai tiga pusat perbelanjaan itu. Gegas ke arah supermarket yang letaknya di bagian pojok dan segera mengambil keranjang berwarna biru yang terletak di dekat pintu masuk. Hanya melanjutkan langkah kakinya ke bagian sudut kanan yang menyediakan berbagai bahan makanan untuk stok dapurnya beberapa hari ke depan. Tanpa membuang banyak waktu, tangan Hanun mulai bergerak mengambil saos tiram dan saos tomat yang berada di deretan tengah. Kaldu bubuk instan
“Eh, Nun ... sepertinya pertemuan kita ini sudah diatur oleh Allah deh kayaknya. Aku lagi nyariin orang buat ngawasin rumah makanku yang di sini, Nun,” lanjut Widya dengan ekspresi wajah yang kembali serius.“Memang kenapa rumah makanmu, Wid?” tanya Hanun seraya meraih gawai yang ada dalam tasnya yang terletak di atas meja. Tidak ada pesan yang masuk ternyata.“Buat bantu ngawasin saat aku di Bali maksudnya, Nun," ujar Widya dengan mimik wajah yang masih tetap sama.“Lalu? Mau minta tolong aku buat cari orangnya?” sahut Hanun seraya menerima gelas minuman pesanannya yang diantarkan pelayan restoran.“Kenapa harus nyari orang sih, kalau sudah ada di depan mata,” jawab Widya seraya meletakkan piring kentang goreng di tengah-tengah meja mereka.“Maksudmu?” tanya Hanun dengan terkejut.“Iya. Jadi gini, Nun. Aku susah mencari orang yang dapat kupercaya. Bolak-balik Jakarta–Bali seperti sekarang aku capek. Kasihan Naufal sering kutin
“Bang, aku ketemu Widya saat belanja siang tadi,” ujar Hanun seraya menyerahkan mug berisi coklat hangat kepada suaminya. Mug bermotif bola basket itu sudah setahun terakhir ini menemani suguhan minuman untuk Zaidan. Menurut suami Hanun itu, mug tersebut merupakan hadiah dari salah seorang sahabatnya yang kebetulan pulang luar negeri. Sejak bangku SMA memang Zaidan menekuni olahraga salah satu bola besar itu sebagai hobi. Bahkan sampai bangku kuliah. Hanya setelah bekerja saja, olahraga itu sudah tak tersentuh lagi oleh Zaidan.Penunjuk waktu di dinding sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Zaidan masih sibuk di depan laptopnya sejak menyelesaikan makan malam tadi. Hanun yang baru saja menemani Almira tidur mendudukkan tubuhnya tepat di kursi yang ada di hadapan suaminya itu.“Widya teman Adek waktu kerja dulu? Yang nikah sama si Ilham, pemilik usaha travel itu kan kalau nggak salah?” tanya Zaidan sembari mulai menyesap coklat hangatnya. Mata laki-laki
“Cukup, Bang. Aku tak kekurangan. Bukan itu alasannya. Hanya saja aku jenuh sendirian di rumah sepanjang hari. Aku pergi saat Almira sudah berangkat ke sekolah, Bang. Dan pulangnya nanti sekalian menjemputnya. Tak ada yang berubah dari segi kehadiran dan waktuku untuk Almira," tutur Hanun dengan nada yang lembut. Sama seperti usahanya untuk melembutkan hati suaminya sekarang. "Bahkan, Widya menawarkan ruang pribadinya di kedua rumah makan itu untuk digunakan jika sewaktu-waktu kondisi mendesak aku perlu membawa Almira. Lagi pula, Widya hanya minta fokus pada pengelolaan keuangannya saja. Ada orang kepercayaan Widya untuk masalah operasionalnya," lanjut Hanun untuk memperjelas semuanya.Izin suaminya harus didapatkan Hanun malam ini. Walaupun dirinya tak lagi menghargai laki-laki ini seperti dulu, tetap saja tanggung jawab atas dirinya ada pada suaminya ini. Tentunya hingga ikrar talak itu terucapkan nantinya. Entah kapan, tapi Hanun sudah mempersiapkan kematangan
Hanun menapakkan kakinya turun dari mobil. Perlahan namun pasti kakinya melangkah menuju bangunan mungil yang berada di belakang beberapa saung rumah makan yang sangat kental nuansa Sunda nya ini. Ada segumpal asa yang Hanun satukan di setiap derap langkah kakinya.Meja-meja lesehan terlihat berjajar rapi di dalam setiap saung. Gemericik air terjun mini buatan terlihat di beberapa tempat. Bahkan ada beberapa batang bambu dengan lampu obornya tersebar di berbagai sudut rumah makan ini. Tentu saja obor ini tak akan menyala jika di siang hari ini. Hanun menebak jika sepertinya saat malam hari, rumah makan ini akan lebih terasa lagi nuansa pedesaannya. Benar-benar Widya mampu mendesain rumah makan ini kental dengan suasana alam pedesaan meskipun berlokasi di tengah kota. Tak salah jika rumah makan ini maju dan berkembang dengan pesat. Hanun cukup terkejut melihat semua yang dilihatnya saat ini. Suasana yang sangat berbeda sekali jika dibandingkan dulu sa
"Kami sudah lama menikah, Wid. Lagi pula saat kami menikah, kamu sudah cukup banyak membantu. Tak perlulah dengan hadiah seperti ini lagi."Hanun sungguh berhutang budi kepada Widya. Dukungan Widya saat menjalani fase-fase sulit dalam hidupnya sungguh tak akan pernah mampu dibalas sampai kapanpun. Widya sama seperti ibunya, selalu mendukung keputusan apa pun yang diambil Hanun saat itu. Dan disinilah mereka berada ada saat ini. Di Parai Tenggiri Beach Hotel and Resort, kawasan wisata yang terletak di Sungailiat, Bangka Kepulauan Bangka Belitung. Lokasi wisata yang berjarak sekitar 50,9 kilometer dari Bandara Depati Amir Pangkalpinang, ibukota provinsi yang dijuluki negeri Serumpun Sebalai.Keindahan pasir putih dan bebatuan besar yang menghiasinya menjadi daya tarik tersendiri para wisatawan dari dalam dan luar negeri untuk kembali berkunjung di kawasan wisata ini. Pasir putih sangat kontras saat berpadu dengan air laut yang berwarna biru muda. Sebuah jembatan ka
Wahyu, laki-laki yang tak lelah menunjukkan keseriusannya untuk mendapatkan hati Hanun itu merapatkan dekapan pada wanita halalnya. Memastikan tubuh wanita yang sangat dicintainya itu tak kedinginan oleh terpaan angin malam ini. Wanita yang telah dimintanya menjadi pelengkap separuh agamanya. Apalagi Hanun saat ini sedang mengandung tiga bulan, buah cinta mereka.Bukan waktu yang singkat bagi Wahyu untuk mendapatkan hati wanita idamannya ini. Butuh lima tahun sejak status janda disandang hingga akhirnya Hanun membuka hati untuk menerima sebuah komitmen baru dalam kehidupannya. Itu pun karena desakan sang ibu dan Widya.Kembali memori itu berputar di kepalanya. Bagaimana ibu yang sangat dihormatinya meminta agar hatinya dapat menerima kehadiran Wahyu, sosok yang secara terang-terangan menyukainya sejak masih berstatus sebagai istri Zaidan kala itu."Tak semua laki-laki akan menjadi pecundang, Nun. Ibu sudah tua. Entah berapa lama sisa usia wanita tua ini. Tak akan m
Hembusan angin pantai terpaksa membuat Hanun berkali-kali memegang erat kedua bagian sisi kerudungnya agar tidak membuat bagian lehernya kelihatan. Udara malam yang dingin ditambah deburan ombak pantai yang ada di hadapannya benar-benar dinikmati Hanun. Suara ombak yang pecah saat bertemu batu karang seakan mengantarkan Hanun pada kisah panjang hidupnya yang sungguh terlalu pahit untuk diingatnya kembali.Menyerahkan hati dan cintanya pada seorang laki-laki, mengabdikan seluruh hidupnya untuk rumah tangga yang ternyata pondasinya goyah saat badai menerpa. Bukan, itu bukan badai. Hanya hujan lebat yang harusnya tak meninggalkan jejak saat matahari kembali memancarkan sinar teriknya. Laki-laki yang dipujanya saat pertama kali mengenal cinta terlalu lemah untuk mengalah pada hujan lebat itu. Laki-laki itu tak cukup tangguh menerjang hujan yang seharusnya menjadi bukti bahwa dirinya cukup tangguh menjadi perisai bagi keluarga kecil mereka. Zaidan gagal untuk membuktikan b
Hanun terkekeh. Tak layak rasanya kalimat itu terdengar dari mulut laki-laki yang pernah meminta kesediaannya untuk dipoligami. "Bukankah Abang sendiri yang pernah meminta kesediaanku untuk diduakan? Dan aku rasa Abang cukup menikmati kekhilafan itu. Bukankah Abang menikmati saat-saat bersama dengan Rindu kala itu? Itu bukan khilaf, Bang! Itu perbuatan sadar yang Abang sengaja! Jangan buat aku ingin tertawa mendengar alasan yang sangat menggelikan ini, Bang!" Zaidan diam, tak mampu lagi berkata. Pukulan telak sudah dilemparkan Hanun kepadanya. Sungguh, Zaidan sangat menyesali semua yang sudah dilakukannya. "Kapan Abang akan menikah dengan Rindu?" tanya Hanun sembari memainkan gawainya.Menikah, mungkin itu yang diinginkan mereka selama ini. Mereka hanya menunggu waktu untuk mewujudkan impian yang sempat tertunda itu. "Rasanya tak ada niat untuk menikahi Rindu lagi, Dek. Abang hanya mencintai dirimu saja. Abang tak ingin wanita lainnya."Hanun hanya
Tak ada tanggapan dari bibir Rindu. Seolah wanita pecundang itu sengaja membiarkan orang-orang akan menganggap jika Zaidan merupakan suaminya. Padahal seharusnya wanita itu melakukan klarifikasi. Menjelaskan hubungan di antara mereka berdua. Tapi apa yang terjadi. Wanita itu malah menikmatinya.Hanun memilih masuk ke dalam mobilnya kembali saat Rindu berlalu dengan membawa lelaki yang pernah mengisi hatinya itu. Rumah sakit. Pasti itu yang menjadi tujuan wanita itu.Hati Hanun meringis. Belum pernah rasanya dirinya menjadi manusia yang egois seperti ini. Bahkan saat melihat kecemasan Rindu tadi, Hanun merasa seolah dirinya tak ada lagi arti dalam kehidupan laki-laki yang menyandang predikat sebagai ayah anaknya itu. Biarlah. Waktunya sudah habis untuk mendampingi lelaki itu. "Om Zaidan sering membicarakan tentang Tante dan Almira kepada saya."Hanun tersentak dari lamunannya kala mendengar ucapan Ilham itu. Entah berapa lama dirinya larut dalam kelebat bay
Hanun hanya duduk saja di sofa. Memperhatikan Almira yang sedang berbincang dengan ayahnya. Hanya mengamati saja, tidak untuk terlibat dengan mereka.Hari ini Hanun sengaja meluangkan waktunya. Hari Minggu yang seharusnya dapat dimanfaatkan Hanun untuk beristirahat di rumah melepas lelah setelah enam hari bekerja terpaksa diabaikan hari ini. "Ibu mau minum apa?" tanya Ilham, seorang pemuda yang sejak hampir sebulan ini menemani Zaidan setiap harinya. Pemuda yang masih tergolong keluarga jauh Zaidan itu tak keberatan melakukannya tentu saja dengan sejumlah imbalan."Tak usah, Ham. Tante sudah bawa," sahut Hanun sembari mengangkat botol minuman yang berisi air putih dengan tambahan beberapa potong buah strawberry, lemon dan kurma.Hanun kembali melemparkan pandangannya ke arah Almira dan Zaidan. Dua orang yang sedang duduk berhadapan di taman belakang rumah yang sebelumnya banyak dipenuhi koleksi tanaman hias miliknya.Sekarang hanya beberapa pot saja tanama
"Abang tenang saja, aku tak membongkar kebusukan kalian. Aku tak ingin hati Almira luka akibat perbuatan kalian. Cukup aku yang terluka. Selamat, kalian bisa memulai kehidupan yang kalian dambakan selama ini, tanpa khawatir ketahuan olehku lagi, Bang. Kalian tak perlu lagi sembunyi-sembunyi jika ingin bersama. Nikmati kebersamaan kalian sepuasnya," ujar Hanun dengan tegas. Tak ada lagi kesedihan yang tergurat di wajahnya. “Dek, Abang akan mengakhiri semua ini jika memang kamu tak menginginkannya. Abang akan mengakhiri hubungan Abang dengan Rindu jika memang kamu tak menyetujuinya. Yang paling penting, jangan tinggalkan Abang! Abang mohon, Dek! Tetaplah bersama Abang! Kita bangun kembali rumah tangga kita. Abang janji tidak akan mengulangi semua ini! Kita masih saling mencintai, Abang tahu itu.”Hanun terkekeh mendengar ucapan Zaidan itu. Sementara Rindu tampak terpaku, tak bergerak dari duduknya. Wajah wanita itu jelas terlihat pucat pasi. Mungkin tak menyangka jika t
Hanun mengantar suami dan anaknya sampai ke pintu depan. Setelah memastikan mobil Zaidan keluar dari pagar rumah, Hanun kembali masuk dan menemui ibunya. Wanita yang masih duduk di meja makan menghabiskan nasi gorengnya tadi.“Nun, kamu juga mau langsung berangkat ke rumah makan ya?” tanya Bu Lidya sembari membereskan piring kotor di meja makan. Nasi goreng di piringnya tandas tanpa sisa. Selain karena memang perutnya yang kosong sejak semalam, rasa nasi goreng Hanun tak pernah berubah sejak dulu. Perpaduan garam dan kecap manis yang pas, tak berlebihan membuat lidah tak berhenti untuk menghabiskannya.“Belum, Bu. Agak siangan. Hanun akan membereskan pekerjaan rumah dulu. Kemudian menyiapkan bahan makanan untuk makan malam. Jadi nanti sore Hanun tinggal memasaknya saja. Ibu jam berapa mau ke pamerannya? Barengan Hanun saja. Nanti Hanun antar sekalian jalan," sahut Hanun sembari mulai mencuci piring kotor yang masih tersisa.Sejak awal memutuskan untuk bekerja
Hanun berusaha meraup oksigen yang ada di sekelilingnya. Memastikan paru-parunya tak akan bermasalah. Semua ini mungkin teramat berat untuknya. Tapi bukankah harga diri ada di atas segalanya?Sesak, kecewa dan amarah itu bergumul di dadanya. Andai saja bukan Rindu yang menjadi wanita lain di hati suaminya, mungkin tak seperti ini rasanya. Andai saja wanita itu sama sekali tak dikenalnya, tak akan sesakit ini perih yang menyayat hatinya. Tapi hidup bukan pengandaian, bukan pula perumpamaan."Aku bukan saja mengizinkan kita untuk berbagi Rin, bahkan aku akan menyerahkan Bang Zaidan seutuhnya ke pelukanmu. Aku rasa, aku tak layak untuk lebih jauh terlibat dalam permainan gila kalian. Silahkan kalian teruskan! Aku memilih mundur. Aku berhak bahagia. Dan aku tahu sekarang ... kebahagiaanku tidak lagi bersamamu, Bang."Hanun mencoba menjeda kalimatnya."Abang tahu, aku sangat mencintaimu. Tingkat tertinggi mencintai bagiku bukanlah memiliki, seperti yang kamu lakukan