Hanun merapikan sisa sarapan pagi yang masih ada. Mencuci peralatan makan dan masak yang belum sempat dicucinya. Melihat dapur dan ruang makan yang kembali rapi, Hanun menyunggingkan senyum bahagianya.
Melangkahkan kakinya ke area laundry, Hanun mengeluarkan setumpuk pakaian yang siap dijemurnya pagi ini. Dengan cekatan kedua tangannya bergerak menjemur pakaian-pakaian itu di jemuran dinding tepat di sebelah mesin cuci.Hanya tinggal menyapu dan mengepel rumah saja, pekerjaan rumah tangga akan beres dikerjakannya. Namun Hanun berniat untuk mencabuti rumput liar dan membuang daun kecoklatan di taman kecil di belakang rumahnya ini.Menatap daun kehijauan ataupun bunga bermekaran merupakan hiburan tersendiri bagi Hanun. Memilih menghabiskan waktu di rumah saja dibandingkan harus berkumpul-kumpul dengan para tetangga. Lazimnya acara kumpul-kumpul itu akan berlanjut dengan ghibah berjamaah.Hanun mendesah saat mengelap keringat yang mulai bercucuran"Saya tak dapat bicara banyak jika sudah berkaitan dengan nurani seorang ibu. Karena istri saya pun melakukan hal yang sama seperti yang Bu Hanun lakukan. Saya hanya bisa mendoakan, semoga ini keputusan yang terbaik untuk Bu Hanun dan keluarga."Ucapan Pak Bram itu jelas saja membuat Hanun jauh lebih lega. Gundah yang sempat melingkupi hatinya hilang saat berhasil mengungkapkan semuanya."Satu hal yang mungkin boleh Bu Hanun ingat. Jika suatu saat Bu Hanun ingin kembali bergabung di perusahaan ini dan saya masih ada di sini, saya pastikan dengan tangan terbuka akan menerima Bu Hanun lagi. Terlepas dengan jabatan apa pun."Hanun tersenyum lebar. Perusahaan ini bak keluarga kedua dalam hidupnya selama ini. Bergaul dengan ragam tipe manusia di sini membuat Hanun paham jika semua dalam kehidupan ini tak semua seperti yang kita harapkan."Maaf jika keputusan saya ini membuat Bapak kecewa. Tapi ini sesuatu yang harus saya lakukan dengan mempertimbangka
Hanun melangkahkan kakinya cepat menaiki tangga eskalator. Stok beberapa bahan dapurnya sudah habis. Mau tidak mau Hanun harus menapakkan kakinya ke supermarket ini. Terpaksa mengingat sebagian besar kebutuhan yang diinginkannya itu tidak ada di pasar tradisional di dekat rumah mereka.Sesuai permintaan Almira, Hanun harus menjemput putri kecilnya itu lebih awal hari ini. Untung saja pekerjaan rumahnya cepat selesai tadi pagi. Kaki jenjang Hanun terus melangkah cepat saat bibir eskalator bertemu dengan lantai tiga pusat perbelanjaan itu. Gegas ke arah supermarket yang letaknya di bagian pojok dan segera mengambil keranjang berwarna biru yang terletak di dekat pintu masuk. Hanya melanjutkan langkah kakinya ke bagian sudut kanan yang menyediakan berbagai bahan makanan untuk stok dapurnya beberapa hari ke depan. Tanpa membuang banyak waktu, tangan Hanun mulai bergerak mengambil saos tiram dan saos tomat yang berada di deretan tengah. Kaldu bubuk instan
“Eh, Nun ... sepertinya pertemuan kita ini sudah diatur oleh Allah deh kayaknya. Aku lagi nyariin orang buat ngawasin rumah makanku yang di sini, Nun,” lanjut Widya dengan ekspresi wajah yang kembali serius.“Memang kenapa rumah makanmu, Wid?” tanya Hanun seraya meraih gawai yang ada dalam tasnya yang terletak di atas meja. Tidak ada pesan yang masuk ternyata.“Buat bantu ngawasin saat aku di Bali maksudnya, Nun," ujar Widya dengan mimik wajah yang masih tetap sama.“Lalu? Mau minta tolong aku buat cari orangnya?” sahut Hanun seraya menerima gelas minuman pesanannya yang diantarkan pelayan restoran.“Kenapa harus nyari orang sih, kalau sudah ada di depan mata,” jawab Widya seraya meletakkan piring kentang goreng di tengah-tengah meja mereka.“Maksudmu?” tanya Hanun dengan terkejut.“Iya. Jadi gini, Nun. Aku susah mencari orang yang dapat kupercaya. Bolak-balik Jakarta–Bali seperti sekarang aku capek. Kasihan Naufal sering kutin
“Bang, aku ketemu Widya saat belanja siang tadi,” ujar Hanun seraya menyerahkan mug berisi coklat hangat kepada suaminya. Mug bermotif bola basket itu sudah setahun terakhir ini menemani suguhan minuman untuk Zaidan. Menurut suami Hanun itu, mug tersebut merupakan hadiah dari salah seorang sahabatnya yang kebetulan pulang luar negeri. Sejak bangku SMA memang Zaidan menekuni olahraga salah satu bola besar itu sebagai hobi. Bahkan sampai bangku kuliah. Hanya setelah bekerja saja, olahraga itu sudah tak tersentuh lagi oleh Zaidan.Penunjuk waktu di dinding sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Zaidan masih sibuk di depan laptopnya sejak menyelesaikan makan malam tadi. Hanun yang baru saja menemani Almira tidur mendudukkan tubuhnya tepat di kursi yang ada di hadapan suaminya itu.“Widya teman Adek waktu kerja dulu? Yang nikah sama si Ilham, pemilik usaha travel itu kan kalau nggak salah?” tanya Zaidan sembari mulai menyesap coklat hangatnya. Mata laki-laki
“Cukup, Bang. Aku tak kekurangan. Bukan itu alasannya. Hanya saja aku jenuh sendirian di rumah sepanjang hari. Aku pergi saat Almira sudah berangkat ke sekolah, Bang. Dan pulangnya nanti sekalian menjemputnya. Tak ada yang berubah dari segi kehadiran dan waktuku untuk Almira," tutur Hanun dengan nada yang lembut. Sama seperti usahanya untuk melembutkan hati suaminya sekarang. "Bahkan, Widya menawarkan ruang pribadinya di kedua rumah makan itu untuk digunakan jika sewaktu-waktu kondisi mendesak aku perlu membawa Almira. Lagi pula, Widya hanya minta fokus pada pengelolaan keuangannya saja. Ada orang kepercayaan Widya untuk masalah operasionalnya," lanjut Hanun untuk memperjelas semuanya.Izin suaminya harus didapatkan Hanun malam ini. Walaupun dirinya tak lagi menghargai laki-laki ini seperti dulu, tetap saja tanggung jawab atas dirinya ada pada suaminya ini. Tentunya hingga ikrar talak itu terucapkan nantinya. Entah kapan, tapi Hanun sudah mempersiapkan kematangan
Hanun menapakkan kakinya turun dari mobil. Perlahan namun pasti kakinya melangkah menuju bangunan mungil yang berada di belakang beberapa saung rumah makan yang sangat kental nuansa Sunda nya ini. Ada segumpal asa yang Hanun satukan di setiap derap langkah kakinya.Meja-meja lesehan terlihat berjajar rapi di dalam setiap saung. Gemericik air terjun mini buatan terlihat di beberapa tempat. Bahkan ada beberapa batang bambu dengan lampu obornya tersebar di berbagai sudut rumah makan ini. Tentu saja obor ini tak akan menyala jika di siang hari ini. Hanun menebak jika sepertinya saat malam hari, rumah makan ini akan lebih terasa lagi nuansa pedesaannya. Benar-benar Widya mampu mendesain rumah makan ini kental dengan suasana alam pedesaan meskipun berlokasi di tengah kota. Tak salah jika rumah makan ini maju dan berkembang dengan pesat. Hanun cukup terkejut melihat semua yang dilihatnya saat ini. Suasana yang sangat berbeda sekali jika dibandingkan dulu sa
Tampak kesibukan para pegawai yang mulai mempersiapkan menu dan meja-meja agar rumah makan itu dapat siap menyambut para pengunjung yang datang mulai pukul sepuluh nanti. Jam operasional rumah makan memang dimulai pada jam itu dan diakhiri pukul sepuluh malam nanti, bahkan kadang-kadang sampai pukul sebelas malam jika akhir pekan.Widya mengumpulkan para pegawainya dan mengenalkan Hanun kepada mereka. Setelah saling bersalaman dan memperkenalkan diri, Hanun mulai berdiskusi dengan Arman, yang selama ini berperan sebagai manajer operasional rumah makan tersebut. Laki-laki yang berusia hampir empat puluhan itu memang telah bekerja sejak awal rumah makan berdiri, walaupun awalnya hanya sebagai pelayan biasa saja. Melihat kinerjanya yang sangat baik, Widya mempercayakan operasional rumah makan kepadanya sejak pindah ke Bali.Kepada Arman, Ranti secara pribadi meminta agar dapat bekerjasama dengan Hanun karena Hanun nantinya akan fokus di bagian keuangan. Laki
Kepala Hanun berputar ke arah kiri mencari asal sumber suara. Dugaannya tak salah, suara itu berasal dari sosok yang cukup mengganggu ketenangannya akhir-akhir ini. Tak salah lagi, Rindu sedang berdiri sambil memandang ke arahnya. Hanun melangkah dengan gontai, tanpa semangat sama sekali seperti biasanya. Dengan rasa malas yang mendera, Hanun berjalan mendekati Rindu.Rindu langsung menyambut Hanun dengan pelukan seperti biasanya. Hanya saja Hanun tak lagi terlalu antusias untuk menyambut pelukan itu saat ini. Hatinya masih tak nyaman dengan kenyataan jika Rindu, sahabatnya sejak kecil itu ternyata cukup pandai menyimpan rahasia.Menggunakan nomor kontak lain untuk berhubungan diam-diam dengan suaminya. Melakukan pertemuan rutin yang entah sejak kapan dimulai mereka. Bahkan mengabadikan momen kebersamaan mereka berdua lewat bidikan kamera.Hanun yakin bukan hanya satu foto yang ditemukannya di laci meja kerja Zaidan saja yang mereka simpan