“Eh, Nun ... sepertinya pertemuan kita ini sudah diatur oleh Allah deh kayaknya. Aku lagi nyariin orang buat ngawasin rumah makanku yang di sini, Nun,” lanjut Widya dengan ekspresi wajah yang kembali serius.
“Memang kenapa rumah makanmu, Wid?” tanya Hanun seraya meraih gawai yang ada dalam tasnya yang terletak di atas meja. Tidak ada pesan yang masuk ternyata.“Buat bantu ngawasin saat aku di Bali maksudnya, Nun," ujar Widya dengan mimik wajah yang masih tetap sama.“Lalu? Mau minta tolong aku buat cari orangnya?” sahut Hanun seraya menerima gelas minuman pesanannya yang diantarkan pelayan restoran.“Kenapa harus nyari orang sih, kalau sudah ada di depan mata,” jawab Widya seraya meletakkan piring kentang goreng di tengah-tengah meja mereka.“Maksudmu?” tanya Hanun dengan terkejut.“Iya. Jadi gini, Nun. Aku susah mencari orang yang dapat kupercaya. Bolak-balik Jakarta–Bali seperti sekarang aku capek. Kasihan Naufal sering kutin“Bang, aku ketemu Widya saat belanja siang tadi,” ujar Hanun seraya menyerahkan mug berisi coklat hangat kepada suaminya. Mug bermotif bola basket itu sudah setahun terakhir ini menemani suguhan minuman untuk Zaidan. Menurut suami Hanun itu, mug tersebut merupakan hadiah dari salah seorang sahabatnya yang kebetulan pulang luar negeri. Sejak bangku SMA memang Zaidan menekuni olahraga salah satu bola besar itu sebagai hobi. Bahkan sampai bangku kuliah. Hanya setelah bekerja saja, olahraga itu sudah tak tersentuh lagi oleh Zaidan.Penunjuk waktu di dinding sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Zaidan masih sibuk di depan laptopnya sejak menyelesaikan makan malam tadi. Hanun yang baru saja menemani Almira tidur mendudukkan tubuhnya tepat di kursi yang ada di hadapan suaminya itu.“Widya teman Adek waktu kerja dulu? Yang nikah sama si Ilham, pemilik usaha travel itu kan kalau nggak salah?” tanya Zaidan sembari mulai menyesap coklat hangatnya. Mata laki-laki
“Cukup, Bang. Aku tak kekurangan. Bukan itu alasannya. Hanya saja aku jenuh sendirian di rumah sepanjang hari. Aku pergi saat Almira sudah berangkat ke sekolah, Bang. Dan pulangnya nanti sekalian menjemputnya. Tak ada yang berubah dari segi kehadiran dan waktuku untuk Almira," tutur Hanun dengan nada yang lembut. Sama seperti usahanya untuk melembutkan hati suaminya sekarang. "Bahkan, Widya menawarkan ruang pribadinya di kedua rumah makan itu untuk digunakan jika sewaktu-waktu kondisi mendesak aku perlu membawa Almira. Lagi pula, Widya hanya minta fokus pada pengelolaan keuangannya saja. Ada orang kepercayaan Widya untuk masalah operasionalnya," lanjut Hanun untuk memperjelas semuanya.Izin suaminya harus didapatkan Hanun malam ini. Walaupun dirinya tak lagi menghargai laki-laki ini seperti dulu, tetap saja tanggung jawab atas dirinya ada pada suaminya ini. Tentunya hingga ikrar talak itu terucapkan nantinya. Entah kapan, tapi Hanun sudah mempersiapkan kematangan
Hanun menapakkan kakinya turun dari mobil. Perlahan namun pasti kakinya melangkah menuju bangunan mungil yang berada di belakang beberapa saung rumah makan yang sangat kental nuansa Sunda nya ini. Ada segumpal asa yang Hanun satukan di setiap derap langkah kakinya.Meja-meja lesehan terlihat berjajar rapi di dalam setiap saung. Gemericik air terjun mini buatan terlihat di beberapa tempat. Bahkan ada beberapa batang bambu dengan lampu obornya tersebar di berbagai sudut rumah makan ini. Tentu saja obor ini tak akan menyala jika di siang hari ini. Hanun menebak jika sepertinya saat malam hari, rumah makan ini akan lebih terasa lagi nuansa pedesaannya. Benar-benar Widya mampu mendesain rumah makan ini kental dengan suasana alam pedesaan meskipun berlokasi di tengah kota. Tak salah jika rumah makan ini maju dan berkembang dengan pesat. Hanun cukup terkejut melihat semua yang dilihatnya saat ini. Suasana yang sangat berbeda sekali jika dibandingkan dulu sa
Tampak kesibukan para pegawai yang mulai mempersiapkan menu dan meja-meja agar rumah makan itu dapat siap menyambut para pengunjung yang datang mulai pukul sepuluh nanti. Jam operasional rumah makan memang dimulai pada jam itu dan diakhiri pukul sepuluh malam nanti, bahkan kadang-kadang sampai pukul sebelas malam jika akhir pekan.Widya mengumpulkan para pegawainya dan mengenalkan Hanun kepada mereka. Setelah saling bersalaman dan memperkenalkan diri, Hanun mulai berdiskusi dengan Arman, yang selama ini berperan sebagai manajer operasional rumah makan tersebut. Laki-laki yang berusia hampir empat puluhan itu memang telah bekerja sejak awal rumah makan berdiri, walaupun awalnya hanya sebagai pelayan biasa saja. Melihat kinerjanya yang sangat baik, Widya mempercayakan operasional rumah makan kepadanya sejak pindah ke Bali.Kepada Arman, Ranti secara pribadi meminta agar dapat bekerjasama dengan Hanun karena Hanun nantinya akan fokus di bagian keuangan. Laki
Kepala Hanun berputar ke arah kiri mencari asal sumber suara. Dugaannya tak salah, suara itu berasal dari sosok yang cukup mengganggu ketenangannya akhir-akhir ini. Tak salah lagi, Rindu sedang berdiri sambil memandang ke arahnya. Hanun melangkah dengan gontai, tanpa semangat sama sekali seperti biasanya. Dengan rasa malas yang mendera, Hanun berjalan mendekati Rindu.Rindu langsung menyambut Hanun dengan pelukan seperti biasanya. Hanya saja Hanun tak lagi terlalu antusias untuk menyambut pelukan itu saat ini. Hatinya masih tak nyaman dengan kenyataan jika Rindu, sahabatnya sejak kecil itu ternyata cukup pandai menyimpan rahasia.Menggunakan nomor kontak lain untuk berhubungan diam-diam dengan suaminya. Melakukan pertemuan rutin yang entah sejak kapan dimulai mereka. Bahkan mengabadikan momen kebersamaan mereka berdua lewat bidikan kamera.Hanun yakin bukan hanya satu foto yang ditemukannya di laci meja kerja Zaidan saja yang mereka simpan
“Terima kasih, Rin. Tapi aku tak bisa lama-lama. Hanya mengobrol saja sebentar ya! Tak bisa makan. Kebetulan aku juga lagi menunggu temanku yang lagi bersiap-siap di dalam sana," tukas Hanun sembari mendudukkan tubuhnya di kursi kosong yang ada di hadapan Rindu. Sementara wanita yang bernama Nindy itu tampak sibuk dengan gawainya. Tak menghiraukan pembicaraan yang terjadi antara Hanun dan Rindu."Kenapa harus buru-buru, Nun? Kita sudah lama tak bertemu kan? Santai dulu lah!" tukas Rindu sembari menunjukkan wajah yang cemberut."Kamu masih tak mau memberitahu aku siapa pencuri hatimu itu, Rin? Aku yakin laki-laki itu bukanlah laki-laki biasa untukmu. Aku membaca dengan jelas keterangan foto yang kamu tuliskan saat itu. Masih mau mengelak dengan sahabatmu sendiri?" tukas Hanun dengan senyum yang tak pernah lepas dari lengkung bibirnya.Tampak kegugupan itu kembali terlihat di wajah Rindu. Namun Hanun memilih pura-pura tidak tahu. Bukan dirinya yang
Hanun menikmati aktivitas kesehariannya sekarang. Setelah menyelesaikan berbagai pekerjaan rumah dan menyiapkan makanan untuk makan malam, Hanun pergi ke rumah makan. Hanya menyiapkan saja, sajian makan malam akan dimasaknya sore hari setelah menjemput Almira sepulangnya dari rumah makan milik Widya.Memeriksa pemasukan hari sebelumnya, melakukan pembayaran untuk berbagai kebutuhan rumah makan dari beberapa pemasok yang sudah menjadi langganan tetap serta memastikan tidak ada masalah yang berkaitan dengan operasional di kedua rumah makan tersebut. Untuk hal yang terakhir, Hanun berkoordinasi dengan Pak Arman dan Wahyu. Hanun tanpa diminta sering mengusulkan beberapa strategi penjualan kepada Widya untuk meningkatkan omset mereka. Ternyata, beberapa usulan yang diutarakan Hanun sukses untuk meningkatkan laba rumah makan Widya. Tak ayal, bonus bulanan selalu dapat diperoleh para pegawai kedua rumah makan itu.Menjelang jam pulang sekolah Almira, Hanu
“Tanpa bekerja pun, saya yakin suami Bu Hanun mampu memenuhi semua kebutuhan Ibu. Bapak seorang manajer kan?” tanya Pak Arman seraya tersenyum“Alhamdulillah, Pak. Hanya saja saya yang jenuh terus di rumah sendirian," balas Hanun sembari terkekeh“Belum ada niat tambah lagi buat adeknya Almira, Bu? Nanti jaraknya kejauhan lho!”“InsyaaAllah nanti mau, Pak. Sekarang ini hitung-hitung bantu Widya juga. Kasihan anaknya Yasmin dibawa bolak-balik terus. Nanti kalau Yasmin sudah besar mungkin saya kembali full jadi ibu rumah tangga lagi. Yah, hitung-hitung sekarang masa penyegaran saja Pak.” Lagi-lagi Hanun harus melepaskan senyum lebar palsunya. Mencoba menepis luka yang masih terasa perihnya.“Alhamdulillah selama dipegang Bu Hanun, omset kita meningkat. Ide Ibu untuk mengadakan promo di saat-saat tertentu benar-benar menjadikan suatu pancingan buat para tamu kita. Saya senang, terutama dengan bonus yang kita dapatkan hehehe ….”
"Kami sudah lama menikah, Wid. Lagi pula saat kami menikah, kamu sudah cukup banyak membantu. Tak perlulah dengan hadiah seperti ini lagi."Hanun sungguh berhutang budi kepada Widya. Dukungan Widya saat menjalani fase-fase sulit dalam hidupnya sungguh tak akan pernah mampu dibalas sampai kapanpun. Widya sama seperti ibunya, selalu mendukung keputusan apa pun yang diambil Hanun saat itu. Dan disinilah mereka berada ada saat ini. Di Parai Tenggiri Beach Hotel and Resort, kawasan wisata yang terletak di Sungailiat, Bangka Kepulauan Bangka Belitung. Lokasi wisata yang berjarak sekitar 50,9 kilometer dari Bandara Depati Amir Pangkalpinang, ibukota provinsi yang dijuluki negeri Serumpun Sebalai.Keindahan pasir putih dan bebatuan besar yang menghiasinya menjadi daya tarik tersendiri para wisatawan dari dalam dan luar negeri untuk kembali berkunjung di kawasan wisata ini. Pasir putih sangat kontras saat berpadu dengan air laut yang berwarna biru muda. Sebuah jembatan ka
Wahyu, laki-laki yang tak lelah menunjukkan keseriusannya untuk mendapatkan hati Hanun itu merapatkan dekapan pada wanita halalnya. Memastikan tubuh wanita yang sangat dicintainya itu tak kedinginan oleh terpaan angin malam ini. Wanita yang telah dimintanya menjadi pelengkap separuh agamanya. Apalagi Hanun saat ini sedang mengandung tiga bulan, buah cinta mereka.Bukan waktu yang singkat bagi Wahyu untuk mendapatkan hati wanita idamannya ini. Butuh lima tahun sejak status janda disandang hingga akhirnya Hanun membuka hati untuk menerima sebuah komitmen baru dalam kehidupannya. Itu pun karena desakan sang ibu dan Widya.Kembali memori itu berputar di kepalanya. Bagaimana ibu yang sangat dihormatinya meminta agar hatinya dapat menerima kehadiran Wahyu, sosok yang secara terang-terangan menyukainya sejak masih berstatus sebagai istri Zaidan kala itu."Tak semua laki-laki akan menjadi pecundang, Nun. Ibu sudah tua. Entah berapa lama sisa usia wanita tua ini. Tak akan m
Hembusan angin pantai terpaksa membuat Hanun berkali-kali memegang erat kedua bagian sisi kerudungnya agar tidak membuat bagian lehernya kelihatan. Udara malam yang dingin ditambah deburan ombak pantai yang ada di hadapannya benar-benar dinikmati Hanun. Suara ombak yang pecah saat bertemu batu karang seakan mengantarkan Hanun pada kisah panjang hidupnya yang sungguh terlalu pahit untuk diingatnya kembali.Menyerahkan hati dan cintanya pada seorang laki-laki, mengabdikan seluruh hidupnya untuk rumah tangga yang ternyata pondasinya goyah saat badai menerpa. Bukan, itu bukan badai. Hanya hujan lebat yang harusnya tak meninggalkan jejak saat matahari kembali memancarkan sinar teriknya. Laki-laki yang dipujanya saat pertama kali mengenal cinta terlalu lemah untuk mengalah pada hujan lebat itu. Laki-laki itu tak cukup tangguh menerjang hujan yang seharusnya menjadi bukti bahwa dirinya cukup tangguh menjadi perisai bagi keluarga kecil mereka. Zaidan gagal untuk membuktikan b
Hanun terkekeh. Tak layak rasanya kalimat itu terdengar dari mulut laki-laki yang pernah meminta kesediaannya untuk dipoligami. "Bukankah Abang sendiri yang pernah meminta kesediaanku untuk diduakan? Dan aku rasa Abang cukup menikmati kekhilafan itu. Bukankah Abang menikmati saat-saat bersama dengan Rindu kala itu? Itu bukan khilaf, Bang! Itu perbuatan sadar yang Abang sengaja! Jangan buat aku ingin tertawa mendengar alasan yang sangat menggelikan ini, Bang!" Zaidan diam, tak mampu lagi berkata. Pukulan telak sudah dilemparkan Hanun kepadanya. Sungguh, Zaidan sangat menyesali semua yang sudah dilakukannya. "Kapan Abang akan menikah dengan Rindu?" tanya Hanun sembari memainkan gawainya.Menikah, mungkin itu yang diinginkan mereka selama ini. Mereka hanya menunggu waktu untuk mewujudkan impian yang sempat tertunda itu. "Rasanya tak ada niat untuk menikahi Rindu lagi, Dek. Abang hanya mencintai dirimu saja. Abang tak ingin wanita lainnya."Hanun hanya
Tak ada tanggapan dari bibir Rindu. Seolah wanita pecundang itu sengaja membiarkan orang-orang akan menganggap jika Zaidan merupakan suaminya. Padahal seharusnya wanita itu melakukan klarifikasi. Menjelaskan hubungan di antara mereka berdua. Tapi apa yang terjadi. Wanita itu malah menikmatinya.Hanun memilih masuk ke dalam mobilnya kembali saat Rindu berlalu dengan membawa lelaki yang pernah mengisi hatinya itu. Rumah sakit. Pasti itu yang menjadi tujuan wanita itu.Hati Hanun meringis. Belum pernah rasanya dirinya menjadi manusia yang egois seperti ini. Bahkan saat melihat kecemasan Rindu tadi, Hanun merasa seolah dirinya tak ada lagi arti dalam kehidupan laki-laki yang menyandang predikat sebagai ayah anaknya itu. Biarlah. Waktunya sudah habis untuk mendampingi lelaki itu. "Om Zaidan sering membicarakan tentang Tante dan Almira kepada saya."Hanun tersentak dari lamunannya kala mendengar ucapan Ilham itu. Entah berapa lama dirinya larut dalam kelebat bay
Hanun hanya duduk saja di sofa. Memperhatikan Almira yang sedang berbincang dengan ayahnya. Hanya mengamati saja, tidak untuk terlibat dengan mereka.Hari ini Hanun sengaja meluangkan waktunya. Hari Minggu yang seharusnya dapat dimanfaatkan Hanun untuk beristirahat di rumah melepas lelah setelah enam hari bekerja terpaksa diabaikan hari ini. "Ibu mau minum apa?" tanya Ilham, seorang pemuda yang sejak hampir sebulan ini menemani Zaidan setiap harinya. Pemuda yang masih tergolong keluarga jauh Zaidan itu tak keberatan melakukannya tentu saja dengan sejumlah imbalan."Tak usah, Ham. Tante sudah bawa," sahut Hanun sembari mengangkat botol minuman yang berisi air putih dengan tambahan beberapa potong buah strawberry, lemon dan kurma.Hanun kembali melemparkan pandangannya ke arah Almira dan Zaidan. Dua orang yang sedang duduk berhadapan di taman belakang rumah yang sebelumnya banyak dipenuhi koleksi tanaman hias miliknya.Sekarang hanya beberapa pot saja tanama
"Abang tenang saja, aku tak membongkar kebusukan kalian. Aku tak ingin hati Almira luka akibat perbuatan kalian. Cukup aku yang terluka. Selamat, kalian bisa memulai kehidupan yang kalian dambakan selama ini, tanpa khawatir ketahuan olehku lagi, Bang. Kalian tak perlu lagi sembunyi-sembunyi jika ingin bersama. Nikmati kebersamaan kalian sepuasnya," ujar Hanun dengan tegas. Tak ada lagi kesedihan yang tergurat di wajahnya. “Dek, Abang akan mengakhiri semua ini jika memang kamu tak menginginkannya. Abang akan mengakhiri hubungan Abang dengan Rindu jika memang kamu tak menyetujuinya. Yang paling penting, jangan tinggalkan Abang! Abang mohon, Dek! Tetaplah bersama Abang! Kita bangun kembali rumah tangga kita. Abang janji tidak akan mengulangi semua ini! Kita masih saling mencintai, Abang tahu itu.”Hanun terkekeh mendengar ucapan Zaidan itu. Sementara Rindu tampak terpaku, tak bergerak dari duduknya. Wajah wanita itu jelas terlihat pucat pasi. Mungkin tak menyangka jika t
Hanun mengantar suami dan anaknya sampai ke pintu depan. Setelah memastikan mobil Zaidan keluar dari pagar rumah, Hanun kembali masuk dan menemui ibunya. Wanita yang masih duduk di meja makan menghabiskan nasi gorengnya tadi.“Nun, kamu juga mau langsung berangkat ke rumah makan ya?” tanya Bu Lidya sembari membereskan piring kotor di meja makan. Nasi goreng di piringnya tandas tanpa sisa. Selain karena memang perutnya yang kosong sejak semalam, rasa nasi goreng Hanun tak pernah berubah sejak dulu. Perpaduan garam dan kecap manis yang pas, tak berlebihan membuat lidah tak berhenti untuk menghabiskannya.“Belum, Bu. Agak siangan. Hanun akan membereskan pekerjaan rumah dulu. Kemudian menyiapkan bahan makanan untuk makan malam. Jadi nanti sore Hanun tinggal memasaknya saja. Ibu jam berapa mau ke pamerannya? Barengan Hanun saja. Nanti Hanun antar sekalian jalan," sahut Hanun sembari mulai mencuci piring kotor yang masih tersisa.Sejak awal memutuskan untuk bekerja
Hanun berusaha meraup oksigen yang ada di sekelilingnya. Memastikan paru-parunya tak akan bermasalah. Semua ini mungkin teramat berat untuknya. Tapi bukankah harga diri ada di atas segalanya?Sesak, kecewa dan amarah itu bergumul di dadanya. Andai saja bukan Rindu yang menjadi wanita lain di hati suaminya, mungkin tak seperti ini rasanya. Andai saja wanita itu sama sekali tak dikenalnya, tak akan sesakit ini perih yang menyayat hatinya. Tapi hidup bukan pengandaian, bukan pula perumpamaan."Aku bukan saja mengizinkan kita untuk berbagi Rin, bahkan aku akan menyerahkan Bang Zaidan seutuhnya ke pelukanmu. Aku rasa, aku tak layak untuk lebih jauh terlibat dalam permainan gila kalian. Silahkan kalian teruskan! Aku memilih mundur. Aku berhak bahagia. Dan aku tahu sekarang ... kebahagiaanku tidak lagi bersamamu, Bang."Hanun mencoba menjeda kalimatnya."Abang tahu, aku sangat mencintaimu. Tingkat tertinggi mencintai bagiku bukanlah memiliki, seperti yang kamu lakukan