“Pagi Bang, mau sarapan apa?Aku bikin nasi goreng sosis tuh! Atau mau kubuatkan roti panggang?” tanya Hanun saat melihat Zaidan sudah berpakaian rapi dengan seragam kerjanya. Dulu Hanun sangat mengagumi ketampanan laki-laki ini. Namun sekarang kekaguman itu hilang, berganti rasa sesal mengapa sandiwara ini harus Zaidan mainkan.Saat fajar menyapa, Hanun telah mengambil keputusan yang dirasanya paling tepat saat ini. Setelah melangitkan asa di sepertiga malam, Hanun mencoba meyakinkan diri. Di atas hamparan sajadah panjang mahar sang suami saat ayahnya memindahkan tanggung jawab hidupnya ke tangan sang lelaki pujaan Hanun memasrahkan diri. Setelah doa khusyuk dan tilawah panjang sampai masuk waktu subuh, Hanun mencoba mengikhlaskan diri jika ini memang sudah menjadi takdirnya. Di sujud terakhirnya, Hanun merasa batinnya lebih tenang. Hanun memutuskan akan mengikuti permainan yang telah dilakukan Zaidan dan Rindu. Hanun harus kuat, tak boleh menjadi lemah. Pa
Pikiran Hanun mulai berkelana. Jangan-jangan kecupan itu juga sering Zaidan berikan untuk Rindu di saat-saat pertemuan mereka. Saat makan siang atau di saat lembur kerja yang sebenarnya tak pernah ada. Atau bahkan Rindu menerima perlakuan yang lebih dari itu dari suaminya? Napas Hanun sesak seketika.Gegas kaki Hanun melangkah ke pintu depan saat kembali terdengar nada bel itu berbunyi. Suara bel yang sudah distel dengan nada lagu Cicak-cicak di Dinding itu kadang menimbulkan tawa bagi tamu yang baru pertama kali bertandang ke rumah mereka.“Assalamu’alaikum, Ibu. Maaf, apakah betul ini rumahnya Pak Zaidan, Bu?” Suara ramah seorang laki-laki muda yang tampaknya berusia dua puluhan tahun menyapa Hanun saat pintu itu terbuka.“Betul. Maaf, Adek mencari suami saya ya? Ada keperluan apa ya?” Nada terkejut sekaligus agak bingung Hanun tunjukkan kepada tamunya di pagi itu.“Begini Bu. Saya Bima, pegawai di kafe Kemangi yang berada di jalan Sudirman. Mohon maaf me
Hanun menghela napas dalam-dalam sembari meneguk perlahan isi cangkir yang ada di genggamannya. Campuran teh hangat ditambah beberapa irisan lemon memberikan rasa nyaman pada suasana hatinya yang sedang memburuk. Setelah mengantar kepergian suami dan putri kesayangannya, Hanun memilih untuk menenangkan gejolak batinnya di sofa panjang yang berhadapan dengan televisi di ruang keluarga. Mengabaikan aktivitas rutinnya seperti hari-hari sebelumnya. Bertahun-tahun hidup bersama dengan Zaidan, Hanun semakin meyakini jika ada sesuatu yang sedang disembunyikan laki-laki itu. Laki-laki yang pernah berjuang untuk membuktikan rasa cintanya pada Hanun, sang pujaan hati.Rangkaian peristiwa kembali berkelebat di memori Hanun. Wanita itu sangat mengingat segala liku perjalanan cintanya dengan laki-laki pertama yang memberanikan diri menyatakan perasaannya pada dirinya itu. Bukan hanya pada dirinya, tapi juga langsung di hadapan kedua orangtua Hanun kala itu.
“Begini ... saya bermaksud mengenal Dek Hanun bukan hanya sekedar teman. Tapi lebih dari itu. Haduh ... bagaimana ya ngomongnya? Saya bermaksud menjalin kedekatan dengan Dek Hanun. Seperti itu.”Akhirnya kalimat itu meluncur setelah tarikan napas panjang dari rongga paru-paru Zaidan. Ada kelegaan dirasakan laki-laki itu setelah menyampaikan niatnya kepada sang pujaan hati “Lebih dari teman? Abang yakin?” balas Hanun sembari menatap tajam ke arah Zaidan.“InsyaaAllah saya yakin," balas Zaidan dengan penuh keyakinan. Kepalanya mengangguk dengan cepat.Entah keberanian dari mana, Zaidan pun tak menyadarinya. Kalimat penegasan itu begitu saja keluar dari ujung lidahnya.“Serius?” tukas Hanun dengan cepatLagi-lagi Zaidan menjawab pertanyaan Hanun dengan bahu yang ditegakkan.“Sangat serius!”Hanun terdiam. Bingung harus menyikapi ungkapan perasaan laki-laki yang ada di sebelahnya.“Asal Abang tahu, saya
Hanun merapikan sisa sarapan pagi yang masih ada. Mencuci peralatan makan dan masak yang belum sempat dicucinya. Melihat dapur dan ruang makan yang kembali rapi, Hanun menyunggingkan senyum bahagianya.Melangkahkan kakinya ke area laundry, Hanun mengeluarkan setumpuk pakaian yang siap dijemurnya pagi ini. Dengan cekatan kedua tangannya bergerak menjemur pakaian-pakaian itu di jemuran dinding tepat di sebelah mesin cuci.Hanya tinggal menyapu dan mengepel rumah saja, pekerjaan rumah tangga akan beres dikerjakannya. Namun Hanun berniat untuk mencabuti rumput liar dan membuang daun kecoklatan di taman kecil di belakang rumahnya ini.Menatap daun kehijauan ataupun bunga bermekaran merupakan hiburan tersendiri bagi Hanun. Memilih menghabiskan waktu di rumah saja dibandingkan harus berkumpul-kumpul dengan para tetangga. Lazimnya acara kumpul-kumpul itu akan berlanjut dengan ghibah berjamaah.Hanun mendesah saat mengelap keringat yang mulai bercucuran
"Saya tak dapat bicara banyak jika sudah berkaitan dengan nurani seorang ibu. Karena istri saya pun melakukan hal yang sama seperti yang Bu Hanun lakukan. Saya hanya bisa mendoakan, semoga ini keputusan yang terbaik untuk Bu Hanun dan keluarga."Ucapan Pak Bram itu jelas saja membuat Hanun jauh lebih lega. Gundah yang sempat melingkupi hatinya hilang saat berhasil mengungkapkan semuanya."Satu hal yang mungkin boleh Bu Hanun ingat. Jika suatu saat Bu Hanun ingin kembali bergabung di perusahaan ini dan saya masih ada di sini, saya pastikan dengan tangan terbuka akan menerima Bu Hanun lagi. Terlepas dengan jabatan apa pun."Hanun tersenyum lebar. Perusahaan ini bak keluarga kedua dalam hidupnya selama ini. Bergaul dengan ragam tipe manusia di sini membuat Hanun paham jika semua dalam kehidupan ini tak semua seperti yang kita harapkan."Maaf jika keputusan saya ini membuat Bapak kecewa. Tapi ini sesuatu yang harus saya lakukan dengan mempertimbangka
Hanun melangkahkan kakinya cepat menaiki tangga eskalator. Stok beberapa bahan dapurnya sudah habis. Mau tidak mau Hanun harus menapakkan kakinya ke supermarket ini. Terpaksa mengingat sebagian besar kebutuhan yang diinginkannya itu tidak ada di pasar tradisional di dekat rumah mereka.Sesuai permintaan Almira, Hanun harus menjemput putri kecilnya itu lebih awal hari ini. Untung saja pekerjaan rumahnya cepat selesai tadi pagi. Kaki jenjang Hanun terus melangkah cepat saat bibir eskalator bertemu dengan lantai tiga pusat perbelanjaan itu. Gegas ke arah supermarket yang letaknya di bagian pojok dan segera mengambil keranjang berwarna biru yang terletak di dekat pintu masuk. Hanya melanjutkan langkah kakinya ke bagian sudut kanan yang menyediakan berbagai bahan makanan untuk stok dapurnya beberapa hari ke depan. Tanpa membuang banyak waktu, tangan Hanun mulai bergerak mengambil saos tiram dan saos tomat yang berada di deretan tengah. Kaldu bubuk instan
“Eh, Nun ... sepertinya pertemuan kita ini sudah diatur oleh Allah deh kayaknya. Aku lagi nyariin orang buat ngawasin rumah makanku yang di sini, Nun,” lanjut Widya dengan ekspresi wajah yang kembali serius.“Memang kenapa rumah makanmu, Wid?” tanya Hanun seraya meraih gawai yang ada dalam tasnya yang terletak di atas meja. Tidak ada pesan yang masuk ternyata.“Buat bantu ngawasin saat aku di Bali maksudnya, Nun," ujar Widya dengan mimik wajah yang masih tetap sama.“Lalu? Mau minta tolong aku buat cari orangnya?” sahut Hanun seraya menerima gelas minuman pesanannya yang diantarkan pelayan restoran.“Kenapa harus nyari orang sih, kalau sudah ada di depan mata,” jawab Widya seraya meletakkan piring kentang goreng di tengah-tengah meja mereka.“Maksudmu?” tanya Hanun dengan terkejut.“Iya. Jadi gini, Nun. Aku susah mencari orang yang dapat kupercaya. Bolak-balik Jakarta–Bali seperti sekarang aku capek. Kasihan Naufal sering kutin