“Hanun, Bang. Titip pesan juga! Aku udah mengirimkan pesan kepada Rindu cuma sepertinya belum terbaca," ujar Hanun dengan cepat.
“Wajarlah tak dibaca. Namanya juga lagi kuliah, Dek.”Lagi-lagi kekehan kecil keluar dari mulut laki-laki-laki itu. Hanun tersipu.“Adek tunggu di kantin saja kalau begitu. Abang langsung ke ruang perkuliahan temannya," ujar laki-laki yang tak diketahui Hanun namanya itu seraya memutar tubuh hendak melangkah pergi.“Nggak, Bang. Aku tunggu di kursi itu saja.”Hanun mengarahkan telunjuk kanannya pada sebuah kursi panjang tak jauh dari tempat berdiri mereka. Naungan pohon besar tepat di atas kursi kayu itu membuat kesan teduh. Kebetulan kursi itu dilihat Hanun kosong.“Ya sudah. Tunggu sebentar ya!”Hanun menganggukkan kepala dan berjalan perlahan ke arah kursi yang sama sekali tak tersentuh cat itu. Natural sekali khas warna kayu alami. Hatinya tak henti-henti bersyukur atas pertolo“Nun, bagaimana ceritanya kamu sampai bisa minta tolong Bang Zaidan untuk mengambil kunci rumah ke aku tadi?”Hanun yang sedang berkutat dengan notebook merahnya langsung memutar tubuh ke arah Rindu yang tiba-tiba masuk ke kamar tidurnya. Gadis itu tampaknya baru saja tiba di rumah. Wajah lelah tergambar dengan jelas sekali di wajah Rindu saat kembali menginjakkan kaki ke rumah kontrakan mereka. Azan Isya baru saja berkumandang dari masjid di seberang jalan sana.“Memangnya kenapa, Rin?” tanya Hanun sembari menatap wajah sahabatnya itu dengan raut wajah bingung.Melihat Rindu yang sudah mengambil posisi di tempat tidurnya, Hanun pun mendudukkan tubuh di samping gadis itu. Wajah Hanun jelas masih menunjukkan kebingungan atas pertanyaan Rindu tadi.“Kamu tahu siapa Bang Zaidan itu, Nun?” tanya Rindu dengan wajah yang kusut. Hanun menolehkan kepalanya ke arah Rindu. Bingung, ada apa dengan sosok laki-laki yang telah menolongnya tadi s
"Abang masih mencintai aku?” Pertanyaan itu tiba-tiba meluncur dari bibir Hanun saat dirinya dan sang suami duduk di sofa ruang keluarga.Mata Hanun tajam menatap layar 32 inci di hadapannya, walaupun pikirannya tidak pada acara yang sedang ditayangkan tentu saja. Sedangkan Zaidan, suaminya lebih memilih menatap layar gawai di tangannya sambil terus menekan tombol-tombol yang ada di sana. Laki-laki itu tersentak mendengar pertanyaan dari Hanun dan akhirnya memilih menghentikan aktivitas jemarinya pada layar pilih yang ada di genggaman. Raut wajah suami Hanun itu tampak menunjukkan kebingungan.“Tentu saja. Kenapa Adek menanyakan hal itu tiba-tiba?” balas Zaidan sembari mengalihkan pandangannya ke arah Hanun yang duduk tepat di sampingnya.“Entahlah, aku merasa akhir-akhir ini ada yang berubah dari Abang," tutur Hanun dengan lirih.Hanun masih berusaha menahan gelora di dadanya. Haruskah dirinya meneruskan kalimat pembukanya
Jantung Hanun tiba-tiba berdetak lebih kencang. Suara itu seakan mengingatkannya pada seseorang yang sangat dikenalnya. Otaknya bekerja cepat untuk mengakhiri semuanya.“Selamat malam. Maaf, bisa saya berbicara dengan Hanun Alfathunnisa?” tanya Hanun dengan nada sedikit gugup.Tiba-tiba ide untuk menggunakan namanya sendiri mengalir di kepala wanita itu. Otaknya tak mampu untuk memikirkan alternatif nama lain yang dapat digunakan setelah mendengar suara di seberang sana.“Maaf, sepertinya Ibu salah sambung. Saya Rindu Larasati, sahabat Bu Hanun. Barangkali ada pesan, bisa saya sampaikan nanti kepada Bu Hanun. Atau perlu saya kirimkan nomor kontak beliau ke Ibu?” Lagi-lagi kalimat yang diucapkan seseorang di seberang sana membuat dada Hanun semakin sesak.“Maaf, saya mendapat informasi yang salah berarti. Boleh Bu, kalau tidak keberatan untuk mengirimkan nomor Bu Hanun kepada saya," balas Hanun sembari memejamkan matanya. Menahan lolosnya genangan
Hanun mematikan mesin mobilnya. Mobil yang merupakan hasil kerja kerasnya di luar rumah dengan menggunakan ijazah sarjana hingga akhirnya memutuskan mengundurkan diri saat kelahiran Almira. Tak berniat menggantinya meski Zaidan pernah menawarkan Hanun untuk tukar tambah dengan keluaran terbaru. Ada banyak kenangan yang tak mungkin Hanun lepaskan di mobilnya ini. Dirinya pernah berkarir di luar rumah, walaupun akhirnya sekarang memutuskan menjadi seorang ibu rumah tangga. Dirinya bukanlah wanita dasteran yang dapat diremehkan oleh siapa pun, bahkan oleh suaminya sendiri.Setelah tertunda beberapa hari, Hanun berencana menuntaskan niatnya untuk menempa sebuah cincin hari ini. Bukan cincin biasa. Tapi ini lebih istimewa. Hanun akan menjadikan batu satam yang hampir membuatnya putus asa tempo hari itu sebagai hiasannya, dengan bentuk seperti bunga matahari.Hanun tak terlalu suka perhiasaan emas, walaupun dari segi keuangan dirinya mampu untuk melakukann
"Abang, Rindu??? Kalian di sini juga?" pekik Hanun dengan langkah yang bergerak mendekati keduanya. Suasana kafe tak terlalu ramai. Jam makan siang telah lama berlalu. Hanya beberapa meja saja yang terisi."Dek, kamu dengan siapa?" tanya Zaidan seraya berdiri menyambut kehadiran istrinya itu. Laki-laki itu menyambut kedatangan Hanun dengan senyum yang mengembang, namun tetap saja di mata Hanun maknanya berbeda. Dirinya mengenal senyum lelaki itu bertahun-tahun lamanya, bukan dalam hitungan hari saja. Jelas sekali Zaidan tak dapat menutupi apa pun dari dirinya.Hanun dapat dengan jelas melihat perubahan pada raut wajah suaminya itu, meski hanya sesaat. Sama seperti raut wajah sahabatnya yang sempat kaku tadi. Kegugupan itu jelas terlihat, meskipun berusaha untuk disembunyikan. "Sendiri. Tadi dari toko emas. Rin, kok bisa bersama Bang Zaidan?" tanya Hanun dengan menekan gemuruh di dadanya. Ada pertanyaan besar di otaknya yang muncul ketika melihat kebe
“Pagi Bang, mau sarapan apa?Aku bikin nasi goreng sosis tuh! Atau mau kubuatkan roti panggang?” tanya Hanun saat melihat Zaidan sudah berpakaian rapi dengan seragam kerjanya. Dulu Hanun sangat mengagumi ketampanan laki-laki ini. Namun sekarang kekaguman itu hilang, berganti rasa sesal mengapa sandiwara ini harus Zaidan mainkan.Saat fajar menyapa, Hanun telah mengambil keputusan yang dirasanya paling tepat saat ini. Setelah melangitkan asa di sepertiga malam, Hanun mencoba meyakinkan diri. Di atas hamparan sajadah panjang mahar sang suami saat ayahnya memindahkan tanggung jawab hidupnya ke tangan sang lelaki pujaan Hanun memasrahkan diri. Setelah doa khusyuk dan tilawah panjang sampai masuk waktu subuh, Hanun mencoba mengikhlaskan diri jika ini memang sudah menjadi takdirnya. Di sujud terakhirnya, Hanun merasa batinnya lebih tenang. Hanun memutuskan akan mengikuti permainan yang telah dilakukan Zaidan dan Rindu. Hanun harus kuat, tak boleh menjadi lemah. Pa
Pikiran Hanun mulai berkelana. Jangan-jangan kecupan itu juga sering Zaidan berikan untuk Rindu di saat-saat pertemuan mereka. Saat makan siang atau di saat lembur kerja yang sebenarnya tak pernah ada. Atau bahkan Rindu menerima perlakuan yang lebih dari itu dari suaminya? Napas Hanun sesak seketika.Gegas kaki Hanun melangkah ke pintu depan saat kembali terdengar nada bel itu berbunyi. Suara bel yang sudah distel dengan nada lagu Cicak-cicak di Dinding itu kadang menimbulkan tawa bagi tamu yang baru pertama kali bertandang ke rumah mereka.“Assalamu’alaikum, Ibu. Maaf, apakah betul ini rumahnya Pak Zaidan, Bu?” Suara ramah seorang laki-laki muda yang tampaknya berusia dua puluhan tahun menyapa Hanun saat pintu itu terbuka.“Betul. Maaf, Adek mencari suami saya ya? Ada keperluan apa ya?” Nada terkejut sekaligus agak bingung Hanun tunjukkan kepada tamunya di pagi itu.“Begini Bu. Saya Bima, pegawai di kafe Kemangi yang berada di jalan Sudirman. Mohon maaf me
Hanun menghela napas dalam-dalam sembari meneguk perlahan isi cangkir yang ada di genggamannya. Campuran teh hangat ditambah beberapa irisan lemon memberikan rasa nyaman pada suasana hatinya yang sedang memburuk. Setelah mengantar kepergian suami dan putri kesayangannya, Hanun memilih untuk menenangkan gejolak batinnya di sofa panjang yang berhadapan dengan televisi di ruang keluarga. Mengabaikan aktivitas rutinnya seperti hari-hari sebelumnya. Bertahun-tahun hidup bersama dengan Zaidan, Hanun semakin meyakini jika ada sesuatu yang sedang disembunyikan laki-laki itu. Laki-laki yang pernah berjuang untuk membuktikan rasa cintanya pada Hanun, sang pujaan hati.Rangkaian peristiwa kembali berkelebat di memori Hanun. Wanita itu sangat mengingat segala liku perjalanan cintanya dengan laki-laki pertama yang memberanikan diri menyatakan perasaannya pada dirinya itu. Bukan hanya pada dirinya, tapi juga langsung di hadapan kedua orangtua Hanun kala itu.