Hanun mendudukkan tubuhnya pada kursi berbentuk sofa bulat berbahan beludru berwarna hijau lumut yang ada di taman belakang. Taman yang menjadi tempatnya menghabiskan waktu jika sedang suntuk di dalam rumah.
Berkutat dengan berbagai pekerjaan rumah dan anak semata wayang saja, Hanun selalu berusaha membuang jenuhnya dengan menikmati beragam tanaman hias atau membaca buku saja. Bukan seperti wanita kebanyakan yang akan menjadikan belanja sebagai aktivitas untuk menghilangkan suntuk di pikirannya.Zaidan, sang suami sudah memberitahukan sejak hendak berangkat tadi pagi jika akan pulang terlambat hari ini. Banyak pekerjaan yang harus diselesaikan menjadi alasan laki-laki itu kali ini. Walaupun Hanun sendiri tak yakin, apakah alasan itu benar atau hanya sengaja dibuat-buat saja.Rasa percaya yang dulu utuh dan penuh pada laki-laki itu tak lagi ada. Jika saja Hanun tak pernah bertemu dengan Iwan secara kebetulan di salah satu pusat perbelanjaan, mungkin rasaDan saat itu, Hanun yakin jika Zaidan mulai berbohong padanya. Laki-laki itu mulai tak jujur kepada wanita yang sempat menaruh percaya seribu persen kepadanya.Suara dari gawainya menyadarkan Hanun dari lamunan yang entah sudah berapa lama itu. Pesan dari seorang yang kemarin menjadi tempat bagi Hanun untuk mencurahkan keluh kesahnya. [Nun, bagaimana? Sudah bicara dengan Bang Zaidan?]Hanun menghela napasnya. Tak tahu apa yang harus dikatakan pada Rindu, pengirim pesan itu.[Aku masih menunggu waktu yang tepat]Akhirnya Hanun memilih kalimat itu sebagai jawaban. Karena memang sejak kemarin Hanun masih memikirkan dan mempertimbangkan langkah yang akan dilakukannya. Tak boleh gegabah, apalagi terburu-buru. Laki-laki yang tak lagi dipercayainya itu pasti akan membuat berbagai dalih dan pembelaan. Hanun harus waspada dan mulai mempersiapkan diri untuk segala sesuatu yang akan terjadi nanti.Pohon pernikahan mereka sekarang
Tangan lincah Hanun bergerak lincah. Wanita itu tampak cekatan merapikan kembali berbagai buku yang telah dikeluarkan dari lemari. Pagi itu setelah membersihkan rumah dan memasak, Hanun memilih untuk membersihkan lemari kaca berbahan jati yang ada di ruang keluarga. Menghilangkan debu yang menempel pada berbagai sudut lemari. Sesekali tangan Hanun membuka lembaran-lembaran novel yang menurutnya cukup menarik untuk kembali dibaca. Kecintaannya pada karya fiksi membuat Hanun tak segan untuk merogoh kocek demi membeli novel-novel yang disukainya. Dari sejak masih mengenakannya seragam merah putih, Hanun lebih senang menghabiskan waktunya di kamar dengan melahap buku-buku yang sering dibelikan sang ayah sebagai hadiah ketimbang bermain di luar rumah. Tak suka berada di tempat keramaian membuat Hanun lebih senang menjadikan kamar sebagai tempat yang paling nyaman sepulang sekolah.Tak banyak bergaul membuat Hanun tak terlalu mengenal teman-teman di seko
Bergegas Hanun melangkahkan kakinya menuju gerobak nasi goreng yang mangkal tak jauh dari rumah kontrakan mereka. Walaupun berjualan di gerobak, antriannya kadang luar biasa. Rasa enak dan harga murah membuat nasi goreng Bang Jaja menjadi favorit bagi para mahasiswa yang kondisi dompetnya pas-pasan di tanah orang seperti Hanun dan Rindu. Semoga saja tak harus menunggu lama, batin Hanun di dalam hati sembari melangkahkan kakinya pergi menuju gerobak dengan warna biru itu. Perut yang sudah keroncongan membuat Hanun berharap keberuntungan ada di tangannya malam ini.Nasib baik bagi Hanun malam ini. Gerobak nasi goreng Bang Jaja tak terlalu ramai. Hanya tiga orang laki-laki yang sedang duduk di meja kecil melahap nasi goreng saat Hanun sampai di sana. Sementara itu seorang wanita pekerja tampak sedang berdiri menunggu pesanannya. Pakaian yang dikenakan wanita itu menunjukkan jika dia bekerja di sebuah bank pemerintah.“Bang, nasi goreng satu. Seperti
“Hanun, Bang. Titip pesan juga! Aku udah mengirimkan pesan kepada Rindu cuma sepertinya belum terbaca," ujar Hanun dengan cepat.“Wajarlah tak dibaca. Namanya juga lagi kuliah, Dek.”Lagi-lagi kekehan kecil keluar dari mulut laki-laki-laki itu. Hanun tersipu.“Adek tunggu di kantin saja kalau begitu. Abang langsung ke ruang perkuliahan temannya," ujar laki-laki yang tak diketahui Hanun namanya itu seraya memutar tubuh hendak melangkah pergi.“Nggak, Bang. Aku tunggu di kursi itu saja.”Hanun mengarahkan telunjuk kanannya pada sebuah kursi panjang tak jauh dari tempat berdiri mereka. Naungan pohon besar tepat di atas kursi kayu itu membuat kesan teduh. Kebetulan kursi itu dilihat Hanun kosong.“Ya sudah. Tunggu sebentar ya!” Hanun menganggukkan kepala dan berjalan perlahan ke arah kursi yang sama sekali tak tersentuh cat itu. Natural sekali khas warna kayu alami. Hatinya tak henti-henti bersyukur atas pertolo
“Nun, bagaimana ceritanya kamu sampai bisa minta tolong Bang Zaidan untuk mengambil kunci rumah ke aku tadi?”Hanun yang sedang berkutat dengan notebook merahnya langsung memutar tubuh ke arah Rindu yang tiba-tiba masuk ke kamar tidurnya. Gadis itu tampaknya baru saja tiba di rumah. Wajah lelah tergambar dengan jelas sekali di wajah Rindu saat kembali menginjakkan kaki ke rumah kontrakan mereka. Azan Isya baru saja berkumandang dari masjid di seberang jalan sana.“Memangnya kenapa, Rin?” tanya Hanun sembari menatap wajah sahabatnya itu dengan raut wajah bingung.Melihat Rindu yang sudah mengambil posisi di tempat tidurnya, Hanun pun mendudukkan tubuh di samping gadis itu. Wajah Hanun jelas masih menunjukkan kebingungan atas pertanyaan Rindu tadi.“Kamu tahu siapa Bang Zaidan itu, Nun?” tanya Rindu dengan wajah yang kusut. Hanun menolehkan kepalanya ke arah Rindu. Bingung, ada apa dengan sosok laki-laki yang telah menolongnya tadi s
"Abang masih mencintai aku?” Pertanyaan itu tiba-tiba meluncur dari bibir Hanun saat dirinya dan sang suami duduk di sofa ruang keluarga.Mata Hanun tajam menatap layar 32 inci di hadapannya, walaupun pikirannya tidak pada acara yang sedang ditayangkan tentu saja. Sedangkan Zaidan, suaminya lebih memilih menatap layar gawai di tangannya sambil terus menekan tombol-tombol yang ada di sana. Laki-laki itu tersentak mendengar pertanyaan dari Hanun dan akhirnya memilih menghentikan aktivitas jemarinya pada layar pilih yang ada di genggaman. Raut wajah suami Hanun itu tampak menunjukkan kebingungan.“Tentu saja. Kenapa Adek menanyakan hal itu tiba-tiba?” balas Zaidan sembari mengalihkan pandangannya ke arah Hanun yang duduk tepat di sampingnya.“Entahlah, aku merasa akhir-akhir ini ada yang berubah dari Abang," tutur Hanun dengan lirih.Hanun masih berusaha menahan gelora di dadanya. Haruskah dirinya meneruskan kalimat pembukanya
Jantung Hanun tiba-tiba berdetak lebih kencang. Suara itu seakan mengingatkannya pada seseorang yang sangat dikenalnya. Otaknya bekerja cepat untuk mengakhiri semuanya.“Selamat malam. Maaf, bisa saya berbicara dengan Hanun Alfathunnisa?” tanya Hanun dengan nada sedikit gugup.Tiba-tiba ide untuk menggunakan namanya sendiri mengalir di kepala wanita itu. Otaknya tak mampu untuk memikirkan alternatif nama lain yang dapat digunakan setelah mendengar suara di seberang sana.“Maaf, sepertinya Ibu salah sambung. Saya Rindu Larasati, sahabat Bu Hanun. Barangkali ada pesan, bisa saya sampaikan nanti kepada Bu Hanun. Atau perlu saya kirimkan nomor kontak beliau ke Ibu?” Lagi-lagi kalimat yang diucapkan seseorang di seberang sana membuat dada Hanun semakin sesak.“Maaf, saya mendapat informasi yang salah berarti. Boleh Bu, kalau tidak keberatan untuk mengirimkan nomor Bu Hanun kepada saya," balas Hanun sembari memejamkan matanya. Menahan lolosnya genangan
Hanun mematikan mesin mobilnya. Mobil yang merupakan hasil kerja kerasnya di luar rumah dengan menggunakan ijazah sarjana hingga akhirnya memutuskan mengundurkan diri saat kelahiran Almira. Tak berniat menggantinya meski Zaidan pernah menawarkan Hanun untuk tukar tambah dengan keluaran terbaru. Ada banyak kenangan yang tak mungkin Hanun lepaskan di mobilnya ini. Dirinya pernah berkarir di luar rumah, walaupun akhirnya sekarang memutuskan menjadi seorang ibu rumah tangga. Dirinya bukanlah wanita dasteran yang dapat diremehkan oleh siapa pun, bahkan oleh suaminya sendiri.Setelah tertunda beberapa hari, Hanun berencana menuntaskan niatnya untuk menempa sebuah cincin hari ini. Bukan cincin biasa. Tapi ini lebih istimewa. Hanun akan menjadikan batu satam yang hampir membuatnya putus asa tempo hari itu sebagai hiasannya, dengan bentuk seperti bunga matahari.Hanun tak terlalu suka perhiasaan emas, walaupun dari segi keuangan dirinya mampu untuk melakukann