"Oh ya, Bang. Nanti tolong bilang ke Almira di kamar. Ada Ibu datang. Tadi Ibu sudah ngoceh soalnya karena sudah lama tak melihat cucunya,” lanjut Hanun sambil mencari bahan makanan yang akan dimasak di kulkasnya.“Iya, nanti habis Abang menyemir sepatu ini. Tanggung, sedikit lagi selesai," sahut Zaidan dengan tetap fokus pada sikat semir dan sepasang sepatu hitamnya itu.Hanun tak melanjutkan pembicaraan mereka. Wanita itu lebih fokus pada bahan makanan yang akan diolahnya. Harus secepat mungkin menyiapkan masakan yang akan menjadi pengisi perut seisi rumah pagi ini.“Nenek … Almira kangen Nenek!” pekik Almira saat melihat wanita yang disapanya nenek itu berjalan menuju ruang makan.Gadis kecil itu segera meletakkan tasnya di dekat kaki kursi dan berlari menghambur ke pelukan wanita yang langsung tersenyum melihat cucu semata wayangnya itu. Tawa girang terdengar dari mulut keduanya. Hanun tersenyum melihat rona kebahagiaan di wajah pasangan nenek dan cucu itu
“Zaidan adalah pilihanmu, bukan kami. Saat itu, almarhum Ayah dan Ibu percaya bahwa kamu cukup mengenal Zaidan saat kamu memohon restu agar dapat memulai kehidupan baru dengannya. Kami yakin, kamu sudah dewasa untuk mengambil keputusan terbaik dalam hidupmu.”Bu Lidya kembali menghela napas panjangnya. Siapa pun dapat melihat kekecewaan yang coba dilepaskan wanita paruh baya itu. Bukan kepada puterinya. Tapi pada keadaan yang membuat puterinya harus tersiksa seperti ini.“Pernikahan bukan hanya menyatukan dua raga, Nun. Ada dua jiwa yang juga harus disatukan di sana. Mengayuh dayung yang sama, dalam perahu yang sama. Saat kayuhan dayung tak lagi seirama, perahu akan oleng dengan sendirinya. Tinggal menunggu saat-saat tenggelamnya saja. Itu yang terjadi pada rumah tanggamu sekarang ini."Bu Lidya akhirnya kembali membuka pembicaraan mereka.“Menjalankan biduk rumah tangga tak seindah yang terlihat dari luarnya. Akan banyak batu kerikil yang menghadang bahkan sia
Hanun sibuk di dapur menyiapkan beberapa sajian masakan. Sudah dua jam wanita itu berkutat di dapur mungilnya untuk menyajikan hidangan terbaik bagi tamu yang sudah diundangnya sejak kemarin. Ayam bakar madu, urap, soto babat, capcai, tempe dan tahu goreng, tak ketinggalan sepiring lalapan dan sambal tomat sudah ditatanya dengan rapi di beberapa pinggan cantik yang bermotif bunga. Menu yang jelas akan mengundang selera.Hanya tinggal menata puding coklat di piring keramik dan menuangkan vla di atasnya, pekerjaan Hanun akan selesai. Hidangan istimewa akan tersaji untuk tamu yang tentunya tak kalah istimewanya. Bagi Hanun, mungkin ini merupakan hidangan paling istimewa seumur hidupnya.Tidak ada ocehan Almira yang biasa menemaninya masak. Puteri kecilnya itu menginap di sekolah, mengikuti perkemahan Sabtu dan Minggu sejak kemarin. Hal ini tentunya lebih baik bagi Laras untuk menyelesaikan semuanya. Tanpa kehadiran Almira, jelas itu yang diinginkannya. Tak ingin me
“Aku bahkan sampai berpikir, Rin. Jangan-jangan kamu punya cinta yang terpendam ya?” tanya Hanun seraya meletakkan gelas kosongnya di meja. Hanun menatap raut wajah wanita di sampingnya. Permainan hari ini harus dilakukannya secantik mungkin. Tak boleh buru-buru. Meskipun terluka, dirinya harus menikmati apa yang akan terjadi nanti.Rindu terbatuk mendengar pertanyaan yang sangat tidak diduganya itu. Menoleh ke arah Hanun yang sedang menyunggingkan senyum kecilnya.“Darimana kamu punya pikiran seperti itu, Nun? Kita bersahabat sejak SD. Semua kisah hidupku kamu tahu kan? Aku nggak pernah pacaran, bahkan sampai akhir kuliah kita berakhir. Satu-satunya laki-laki yang pernah kucintai hanya Mas Yusuf, walau akhirnya aku dikhianati oleh laki-laki itu," tutur Rindu dengan sendu.“Maaf ya, Rin! Pertanyaanku membuka luka lama di hatimu. Aku tidak habis pikir saja, wanita cantik dan sukses dalam karir sepertimu mana mungkin menghabiskan sisa usianya sendiri," balas Hanu
Hanun meraih gawai Almira yang tersimpan di saku celananya. Sembari melangkah perlahan ke arah meja makan, Hanun menekan tombol salah satu kontak yang pernah dihubunginya dulu. Tidak dalam posisi untuk mendengarkan nada sambung di gawai tersebut, Hanun lebih memilih memperhatikan sosok yang sedang dihubunginya.Dengan tenang Hanun memperhatikan raut wajah itu. Rindu meraih gawai yang belum pernah dilihat Hanun selama mereka menjalin hubungan yang tak layak sebenarnya disebut persahabatan itu. Terlihat dahi Rindu mengernyit seraya menekan layar pipih itu dan mendekatkannya pada indera pendengarannya.“Tak pernah kusangka jika kalian telah menipuku selama ini!” desis Hanun sambil mendekatkan gawai yang ada di tangannya ke hadapan Rindu.Wajah wanita yang ada di hadapan Hanun itu memucat. Tubuhnya menegang. Diam, tak mampu berkata apa-apa.Hanun menoleh pada Zaidan yang berada tepat di sampingnya. Tampak laki-laki itu mengatupkan kedua bibirnya. Terlihat sekali j
Yang paling menyakitkan ternyata bukan ditinggalkan pergi oleh orang yang kita cintai. Akan lebih menyakitkan dan mengiris hati ketika dikhianati orang yang paling kita sayangi. Karena semuanya bak duri yang tiba-tiba menggoreskan jari. Tak terduga, tapi sakit sekali rasanya.“Maafkan Abang, Dek! Abang hanya berteman akrab dengan Rindu. Mas sudah menganggapnya seperti adik sendiri. Rindu hanya membagikan keluh kesahnya kepada Abang selama ini. Tidak ada yang terjadi di antara kami. Semua tidak seperti dugaanmu itu, Dek," ujar Zaidan dengan tatapan yang penuh harap kepada istrinya.“Masih berpikir aku salah menduga, Bang? Chat mesra yang terjalin di antara kalian, foto-foto mesra kalian sedang menghabiskan waktu dengan makan bersama sedangkan aku bagai wanita bodoh yang duduk manis di rumah menunggumu. Bahkan yang lebih menyakitkan lagi, aku bahkan mendapatkan bukti kebersamaan kalian dari orang-orang yang paling kujaga hatinya selama ini.”Hanun meraup wajahnya den
Hanun berusaha meraup oksigen yang ada di sekelilingnya. Memastikan paru-parunya tak akan bermasalah. Semua ini mungkin teramat berat untuknya. Tapi bukankah harga diri ada di atas segalanya?Sesak, kecewa dan amarah itu bergumul di dadanya. Andai saja bukan Rindu yang menjadi wanita lain di hati suaminya, mungkin tak seperti ini rasanya. Andai saja wanita itu sama sekali tak dikenalnya, tak akan sesakit ini perih yang menyayat hatinya. Tapi hidup bukan pengandaian, bukan pula perumpamaan."Aku bukan saja mengizinkan kita untuk berbagi Rin, bahkan aku akan menyerahkan Bang Zaidan seutuhnya ke pelukanmu. Aku rasa, aku tak layak untuk lebih jauh terlibat dalam permainan gila kalian. Silahkan kalian teruskan! Aku memilih mundur. Aku berhak bahagia. Dan aku tahu sekarang ... kebahagiaanku tidak lagi bersamamu, Bang."Hanun mencoba menjeda kalimatnya."Abang tahu, aku sangat mencintaimu. Tingkat tertinggi mencintai bagiku bukanlah memiliki, seperti yang kamu lakukan
Hanun mengantar suami dan anaknya sampai ke pintu depan. Setelah memastikan mobil Zaidan keluar dari pagar rumah, Hanun kembali masuk dan menemui ibunya. Wanita yang masih duduk di meja makan menghabiskan nasi gorengnya tadi.“Nun, kamu juga mau langsung berangkat ke rumah makan ya?” tanya Bu Lidya sembari membereskan piring kotor di meja makan. Nasi goreng di piringnya tandas tanpa sisa. Selain karena memang perutnya yang kosong sejak semalam, rasa nasi goreng Hanun tak pernah berubah sejak dulu. Perpaduan garam dan kecap manis yang pas, tak berlebihan membuat lidah tak berhenti untuk menghabiskannya.“Belum, Bu. Agak siangan. Hanun akan membereskan pekerjaan rumah dulu. Kemudian menyiapkan bahan makanan untuk makan malam. Jadi nanti sore Hanun tinggal memasaknya saja. Ibu jam berapa mau ke pamerannya? Barengan Hanun saja. Nanti Hanun antar sekalian jalan," sahut Hanun sembari mulai mencuci piring kotor yang masih tersisa.Sejak awal memutuskan untuk bekerja