“Aku bahkan sampai berpikir, Rin. Jangan-jangan kamu punya cinta yang terpendam ya?” tanya Hanun seraya meletakkan gelas kosongnya di meja. Hanun menatap raut wajah wanita di sampingnya. Permainan hari ini harus dilakukannya secantik mungkin. Tak boleh buru-buru. Meskipun terluka, dirinya harus menikmati apa yang akan terjadi nanti.Rindu terbatuk mendengar pertanyaan yang sangat tidak diduganya itu. Menoleh ke arah Hanun yang sedang menyunggingkan senyum kecilnya.“Darimana kamu punya pikiran seperti itu, Nun? Kita bersahabat sejak SD. Semua kisah hidupku kamu tahu kan? Aku nggak pernah pacaran, bahkan sampai akhir kuliah kita berakhir. Satu-satunya laki-laki yang pernah kucintai hanya Mas Yusuf, walau akhirnya aku dikhianati oleh laki-laki itu," tutur Rindu dengan sendu.“Maaf ya, Rin! Pertanyaanku membuka luka lama di hatimu. Aku tidak habis pikir saja, wanita cantik dan sukses dalam karir sepertimu mana mungkin menghabiskan sisa usianya sendiri," balas Hanu
Hanun meraih gawai Almira yang tersimpan di saku celananya. Sembari melangkah perlahan ke arah meja makan, Hanun menekan tombol salah satu kontak yang pernah dihubunginya dulu. Tidak dalam posisi untuk mendengarkan nada sambung di gawai tersebut, Hanun lebih memilih memperhatikan sosok yang sedang dihubunginya.Dengan tenang Hanun memperhatikan raut wajah itu. Rindu meraih gawai yang belum pernah dilihat Hanun selama mereka menjalin hubungan yang tak layak sebenarnya disebut persahabatan itu. Terlihat dahi Rindu mengernyit seraya menekan layar pipih itu dan mendekatkannya pada indera pendengarannya.“Tak pernah kusangka jika kalian telah menipuku selama ini!” desis Hanun sambil mendekatkan gawai yang ada di tangannya ke hadapan Rindu.Wajah wanita yang ada di hadapan Hanun itu memucat. Tubuhnya menegang. Diam, tak mampu berkata apa-apa.Hanun menoleh pada Zaidan yang berada tepat di sampingnya. Tampak laki-laki itu mengatupkan kedua bibirnya. Terlihat sekali j
Yang paling menyakitkan ternyata bukan ditinggalkan pergi oleh orang yang kita cintai. Akan lebih menyakitkan dan mengiris hati ketika dikhianati orang yang paling kita sayangi. Karena semuanya bak duri yang tiba-tiba menggoreskan jari. Tak terduga, tapi sakit sekali rasanya.“Maafkan Abang, Dek! Abang hanya berteman akrab dengan Rindu. Mas sudah menganggapnya seperti adik sendiri. Rindu hanya membagikan keluh kesahnya kepada Abang selama ini. Tidak ada yang terjadi di antara kami. Semua tidak seperti dugaanmu itu, Dek," ujar Zaidan dengan tatapan yang penuh harap kepada istrinya.“Masih berpikir aku salah menduga, Bang? Chat mesra yang terjalin di antara kalian, foto-foto mesra kalian sedang menghabiskan waktu dengan makan bersama sedangkan aku bagai wanita bodoh yang duduk manis di rumah menunggumu. Bahkan yang lebih menyakitkan lagi, aku bahkan mendapatkan bukti kebersamaan kalian dari orang-orang yang paling kujaga hatinya selama ini.”Hanun meraup wajahnya den
Hanun berusaha meraup oksigen yang ada di sekelilingnya. Memastikan paru-parunya tak akan bermasalah. Semua ini mungkin teramat berat untuknya. Tapi bukankah harga diri ada di atas segalanya?Sesak, kecewa dan amarah itu bergumul di dadanya. Andai saja bukan Rindu yang menjadi wanita lain di hati suaminya, mungkin tak seperti ini rasanya. Andai saja wanita itu sama sekali tak dikenalnya, tak akan sesakit ini perih yang menyayat hatinya. Tapi hidup bukan pengandaian, bukan pula perumpamaan."Aku bukan saja mengizinkan kita untuk berbagi Rin, bahkan aku akan menyerahkan Bang Zaidan seutuhnya ke pelukanmu. Aku rasa, aku tak layak untuk lebih jauh terlibat dalam permainan gila kalian. Silahkan kalian teruskan! Aku memilih mundur. Aku berhak bahagia. Dan aku tahu sekarang ... kebahagiaanku tidak lagi bersamamu, Bang."Hanun mencoba menjeda kalimatnya."Abang tahu, aku sangat mencintaimu. Tingkat tertinggi mencintai bagiku bukanlah memiliki, seperti yang kamu lakukan
Hanun mengantar suami dan anaknya sampai ke pintu depan. Setelah memastikan mobil Zaidan keluar dari pagar rumah, Hanun kembali masuk dan menemui ibunya. Wanita yang masih duduk di meja makan menghabiskan nasi gorengnya tadi.“Nun, kamu juga mau langsung berangkat ke rumah makan ya?” tanya Bu Lidya sembari membereskan piring kotor di meja makan. Nasi goreng di piringnya tandas tanpa sisa. Selain karena memang perutnya yang kosong sejak semalam, rasa nasi goreng Hanun tak pernah berubah sejak dulu. Perpaduan garam dan kecap manis yang pas, tak berlebihan membuat lidah tak berhenti untuk menghabiskannya.“Belum, Bu. Agak siangan. Hanun akan membereskan pekerjaan rumah dulu. Kemudian menyiapkan bahan makanan untuk makan malam. Jadi nanti sore Hanun tinggal memasaknya saja. Ibu jam berapa mau ke pamerannya? Barengan Hanun saja. Nanti Hanun antar sekalian jalan," sahut Hanun sembari mulai mencuci piring kotor yang masih tersisa.Sejak awal memutuskan untuk bekerja
"Abang tenang saja, aku tak membongkar kebusukan kalian. Aku tak ingin hati Almira luka akibat perbuatan kalian. Cukup aku yang terluka. Selamat, kalian bisa memulai kehidupan yang kalian dambakan selama ini, tanpa khawatir ketahuan olehku lagi, Bang. Kalian tak perlu lagi sembunyi-sembunyi jika ingin bersama. Nikmati kebersamaan kalian sepuasnya," ujar Hanun dengan tegas. Tak ada lagi kesedihan yang tergurat di wajahnya. “Dek, Abang akan mengakhiri semua ini jika memang kamu tak menginginkannya. Abang akan mengakhiri hubungan Abang dengan Rindu jika memang kamu tak menyetujuinya. Yang paling penting, jangan tinggalkan Abang! Abang mohon, Dek! Tetaplah bersama Abang! Kita bangun kembali rumah tangga kita. Abang janji tidak akan mengulangi semua ini! Kita masih saling mencintai, Abang tahu itu.”Hanun terkekeh mendengar ucapan Zaidan itu. Sementara Rindu tampak terpaku, tak bergerak dari duduknya. Wajah wanita itu jelas terlihat pucat pasi. Mungkin tak menyangka jika t
Hanun hanya duduk saja di sofa. Memperhatikan Almira yang sedang berbincang dengan ayahnya. Hanya mengamati saja, tidak untuk terlibat dengan mereka.Hari ini Hanun sengaja meluangkan waktunya. Hari Minggu yang seharusnya dapat dimanfaatkan Hanun untuk beristirahat di rumah melepas lelah setelah enam hari bekerja terpaksa diabaikan hari ini. "Ibu mau minum apa?" tanya Ilham, seorang pemuda yang sejak hampir sebulan ini menemani Zaidan setiap harinya. Pemuda yang masih tergolong keluarga jauh Zaidan itu tak keberatan melakukannya tentu saja dengan sejumlah imbalan."Tak usah, Ham. Tante sudah bawa," sahut Hanun sembari mengangkat botol minuman yang berisi air putih dengan tambahan beberapa potong buah strawberry, lemon dan kurma.Hanun kembali melemparkan pandangannya ke arah Almira dan Zaidan. Dua orang yang sedang duduk berhadapan di taman belakang rumah yang sebelumnya banyak dipenuhi koleksi tanaman hias miliknya.Sekarang hanya beberapa pot saja tanama
Tak ada tanggapan dari bibir Rindu. Seolah wanita pecundang itu sengaja membiarkan orang-orang akan menganggap jika Zaidan merupakan suaminya. Padahal seharusnya wanita itu melakukan klarifikasi. Menjelaskan hubungan di antara mereka berdua. Tapi apa yang terjadi. Wanita itu malah menikmatinya.Hanun memilih masuk ke dalam mobilnya kembali saat Rindu berlalu dengan membawa lelaki yang pernah mengisi hatinya itu. Rumah sakit. Pasti itu yang menjadi tujuan wanita itu.Hati Hanun meringis. Belum pernah rasanya dirinya menjadi manusia yang egois seperti ini. Bahkan saat melihat kecemasan Rindu tadi, Hanun merasa seolah dirinya tak ada lagi arti dalam kehidupan laki-laki yang menyandang predikat sebagai ayah anaknya itu. Biarlah. Waktunya sudah habis untuk mendampingi lelaki itu. "Om Zaidan sering membicarakan tentang Tante dan Almira kepada saya."Hanun tersentak dari lamunannya kala mendengar ucapan Ilham itu. Entah berapa lama dirinya larut dalam kelebat bay