🏵️🏵️🏵️
"Hari ini jadwal kamu ngajar di kelasku, yah, Mas?" tanyaku sambil menyantap sarapan bersama Mas Ezza di meja makan.
"Iya, dong. Suka, yah?" Mulai, deh, bapernya.
"Aku cuma mau ngingatin aja, jangan genit-genit!"
"Takut, yah, kalau ada cewek lain yang deketin aku?" Tingkah Mas Ezza selalu membuatku kesal. Dia sambil mengedipkan mata kanannya.
"Hm! Dikit-dikit baper."
"Jujur aja kenapa, sih? Nggak ada yang marah, kok."
"Intinya, aku nggak suka aja."
"Tuh, kan ... kelihatan banget, deh, cemburunya."
"Susah ngomong sama kamu, Mas. Dikit-dikit bilangnya cemburu. Sepertinya kamu berharap banget, yah, digodain mahasiswi-mahasiswi di kampus. Terserah kamu aja, deh. Bomat."
"Ada yang ngambek, nih."
"Udah belum sarapannya? Cepetan, ntar telat!" Aku beranjak dari tempat duduk lalu segera menyambar tas yang sudah aku siapkan di meja ruang keluarga.
"Iya, iya. Baik, Tuan Putri." Mas Ezza segera menghampiriku, kemudian kami bergegas memasuki mobil.
🏵️🏵️🏵️
"Hari ini, kita akan membahas tentang harta. Dalam Akuntansi, biasa disebut dengan istilah 'aktiva'. Ada aktiva yang dapat disusutkan dan ada juga aktiva yang tidak dapat disusutkan." Mas Ezza mulai memberikan materi di kelasku.
"Boleh nanya, nggak, Pak?" Seorang mahasiswi mengacungkan tangannya.
"Iya, silakan," balas Mas Ezza.
"Kalau aktiva yang paling berharga untuk Bapak ... apa, yah?" Pertanyaan konyol yang pernah aku dengar.
"Hhhuuu!" Terdengar sorakan mahasiswa dan mahasiswi lain.
"Kamu, yang di sana." Mas Ezza menunjuk ke arahku.
"Saya, Pak?" tanyaku kaget dan tidak percaya.
"Iya, kamu. Coba kamu sebutkan dua aktiva yang dapat disusutkan!" titah Mas Ezza.
"Mesin dan gedung, Pak," jawabku dengan cepat. Aku yakin pasti benar.
"Bagus. Nama kamu siapa?" Pertanyaan itu membuatku ingin mengacak-acak rambutnya. Dia sangat tega bertingkah seolah-olah tidak mengenaliku.
Awas nanti di rumah, aku jitak.
"Saya Bunga, Pak," jawabku sambil berusaha tersenyum.
"Nama yang indah." Sepertinya dia sengaja mengobrak-abrik mood-ku hari ini.
"Terima kasih, Pak," jawabku.
"Kenapa, sih, Pak Ezza nanya dia aja? Pilih kasih, nih." Aku mendengar gerutu mahasiswi di belakangku.
"Iya, tuh. Kita-kita juga mau, kok, ditanyain," sambung teman di sampingnya.
Awas, yah, jangan coba-coba deketin suamiku.
"Oke, sampai di sini pertemuan hari ini, kita lanjutkan lagi pada pertemuan berikutnya. Terima kasih dan selamat pagi." Mas Ezza mengakhiri mata kuliah hari ini.
"Selamat pagi, Pak." Terdengar suara sahutan serentak di kelasku.
🏵️🏵️🏵️
Saat Mas Ezza keluar dari kelas, tiba-tiba seorang mahasiswi mengekorinya dari belakang. Aku tidak ingin tetap berdiam diri di kelas. Aku pun mengikutinya.
"Maaf, Pak Ezza, saya mau ngomong sebentar." Aku mendengar suara itu memanggil nama Mas Ezza. Aku mengawasi dari balik pintu dan sesekali melihat ke arah mereka.
"Iya, mau ngomong apa?" tanya Mas Ezza, dia pun menghentikan langkahnya.
"Boleh minta nomor ponsel pribadi Bapak, nggak?" sambung mahasiswi itu.
"Saya udah kasih nomor saya di kelas. Kamu nggak catat, yah?" tanya Mas Ezza.
"Saya maunya nomor yang lain, Pak." Bibir mahasiswi itu meruncing. Dia menunjukkan tingkahnya yang sok manja.
"Maaf, nomor saya cuma satu. Yah, itu yang saya catat di papan tulis." Jawaban Mas Ezza membuatku merasa lega.
"Bapak pelit, ah." Sepertinya dia masih tetap berusaha menggoda Mas Ezza.
"Beneran cuma satu. Udah, yah ... saya buru-buru, sampai jumpa," ucap Mas Ezza, kemudian berlalu.
"Sampai jumpa, Pak." Mahasiswi itu menunjukkan gaya memuakkan. Dia melambaikan tangan kepada Mas Ezza.
Mahasiswi yang berusaha mendekati Mas Ezza adalah Cindy. Dia wanita paling genit yang pernah aku kenal. Dia berusaha mendekati Mas Ezza. Aku tidak terima dengan sikapnya yang sok manja di depan suamiku, rasanya muak dan geli melihat tingkahnya.
Mengingat semua tingkah dan gerakan genitnya, membuatku merasa mual hingga ingin mengeluarkan nasi goreng buatan Bi Iyem tadi untuk menu sarapanku di rumah. Aku kesal melihat pemandangan yang tak kuinginkan dan tidak harapkan pagi ini. Benciii!
🏵️🏵️🏵️
Walaupun pernikahanku awalnya tidak didasari cinta, tetapi terus terang ... hati ini tidak suka jika wanita lain menggoda Mas Ezza. Bagaimanapun hubungan kami, dia tetap suamiku, pendamping hidup, juga jodoh pilihan Papa dan Mama.
"Seneng banget, yah, digodain mahasiswi," celetukku saat kami menonton bersama di ruang TV.
"Emangnya siapa yang godain aku, Dek?" Aku tidak tahu apakah dia mengelak atau memang tidak ingat kejadian di kampus pagi tadi.
"Jangan pura-pura nggak tahu, deh, Mas. Senang, kan, waktu Cindy minta nomor pribadi kamu?"
"Ketahuan, nih, ngikutin aku. Hayuk ngaku."
"Nggak, kok," jawabku mengelak.
"Terus, kenapa kamu bisa tahu kalau Cindy minta nomorku?"
"Yah, tahu aja. Emang nggak boleh?"
"Yakin, dah, kamu pasti buntutin aku, nih, di kampus." Sepertinya dia tahu kalau aku mengintai dia di kampus tadi pagi.
"Kamu, nih, selalu gitu. Aku tanya apa, kamu jawabnya entah apa. Nggak nyambung banget tahu."
"Bagus, deh, kalau kamu peduli padaku. Aku suka." Dia selalu dengan kebiasaannya, memegang daguku.
"Apa, sih? Kamu selalu baperan. Malas, ah, ngomong sama kamu. Aku mau tidur." Aku menepiskan tangannya lalu berjalan menuju kamar.
"Cie, ada yang malu, nih." Aku masih mendengar suaranya sebelum masuk kamar.
Itulah Mas Ezza, selalu merasa diperhatikan dan dipedulikan. Setiap aku bertanya atau berbicara sesuatu dengannya, pasti jawabannya jauh berbeda. Aku nanya A, tetapi dia jawab B. Pokoknya paling menyebalkan kalau berbicara dengannya.
Akan tetapi, di balik tingkahnya yang selalu membuat kesal, dia selalu menyayangiku, memperhatikan semua kebutuhan serta keinginanku, dan selalu melakukan yang terbaik. Dia pelindung, juga suamiku.
🏵️🏵️🏵️
"Hebat, yah, kamu, Mas," ucapku dalam mobil saat Mas Ezza mengantarkan aku ke kampus hari ini.
"Hebat?" Mas Ezza terlihat bingung.
"Iya, hebat. Kemarin kamu bertingkah seolah-olah tidak mengenaliku."
"Tidak mengenali? Apa maksudnya? Aku makin nggak ngerti."
"Kamu selalu aja pura-pura nggak ngerti dan tidak ingat."
"Beneran aku nggak paham maksud kamu."
"Kemarin, ngapain nanya namaku di kelas? Itu namanya apa, coba? Beneran nggak kenal?"
"Ooo, yang itu." Aku kesal melihat senyumannya.
"Kenapa kamu senyum?"
"Seneng aja lihat mulut manyun istriku pagi-pagi."
"Dasar kamu, yah, selalu nyebelin."
"Lah, bukannya kamu yang minta, jangan sampai temen-temen kamu tahu kalau aku suamimu."
"Tapi nggak harus dengan cara nanya namaku juga kali."
"Entar kalau aku langsung panggil nama kamu, bukannya mereka makin curiga?"
"Malas, ah, nyebelin. Susah ngomong sama kamu." Aku makin kesal mendengar penjelasan Mas Ezza.
"Istriku yang cantik ngambek, nih, pagi-pagi. Makin suka, deh, lihat bibirnya."
"Ih! Kamu selalu bikin aku kesel." Cubitan kuat dariku mendarat di pinggangnya.
"Auh! Sakit."
"Biarin."
"Cubit lagi, dong, Istriku." Dia mengembangkan senyuman nakalnya.
"Ogah. Oh, ya ... jangan lupa, turuninnya jangan dekat-dekat kampus. Aku nggak mau kalau sampai ada orang yang lihat."
"Okeh, Cantik. Turunnya di sini aja, yah. Selamat belajar, jangan nakal, jangan lirik sana sini. Bye."
"Itu, mah, kamu. Ngomongin diri sendiri. Bye. Wek!" Aku segera turun dari mobil sambil menjulurkan lidah, kemudian beranjak.
Saat hendak memasuki pintu gerbang kampus, tiba-tiba tidak sengaja, buku yang aku genggam terjatuh. Aku baru saja akan memungut kertas tebal tersebut, tetapi tangan seseorang telah mengambilnya lalu memberikannya kepadaku.
"Ini bukunya," ucap suara itu, kemudian menyodorkan buku yang telah dia pungut.
"Terima kasih," jawabku.
Saat kami berdiri berhadapan, mata kami saling berpandangan. Dia menatapku tidak berkedip sedikit pun.
"Halo." Aku melambaikan tangan di depan matanya.
"Sorry ... kenalin, aku Dika." Laki-laki itu tampak kaget, tetapi akhirnya dia mengulurkan tangannya untuk menyalamiku.
"Aku Bunga," jawabku sembari menerima jabatan tangannya.
"Kamu anak semester satu, yah?" tanya laki-laki yang mengaku bernama Dika tersebut.
"Iya," jawabku singkat.
"Aku semester lima, jurusan akuntansi. Kamu jurusan apa?"
"Aku juga jurusan akuntansi."
"Sama, dong. Entar kalau kamu mau nanya-nanya tentang Akuntansi yang kurang dipahami, samperin aku aja. Aku siap membantu. He-he!"
Ada suamiku kali yang bisa jelasin kalau aku nggak paham dan nggak ngerti.
"Okeh, deh, terima kasih. Aku masuk kelas dulu, yah." Aku tetap mengiakan sambil tersenyum. Aku pun melambaikan tangan kepadanya.
Dia masih berdiri dan tetap memandangiku. Kenapa dia bersikap seperti itu? Seandainya dia tahu kalau aku telah berstatus sebagai istri, entah apa yang akan dia pikirkan.
🏵️🏵️🏵️Sekarang aku mulai menikmati keadaan di kampus. Bahagia rasanya karena telah menemukan seorang teman yang sangat baik dan pengertian, namanya Reva. Dia duduk di sebelah kananku. Keramahan dan kelembutannya yang membuatku ingin menjadikannya sebagai sahabat.Aku masih ingat awal perkenalan kami saat itu. "Hai," sapanya dengan senyuman ramah."Hai juga," balasku sambil mengembangkan senyuman juga."Aku Reva." Dia mengulurkan tangannya."Aku Bunga," balasku lalu menerima jabatan tangannya.Semenjak perkenalan itu, kami selalu bersama ke kantin dan duduk di kala menunggu waktu mata kuliah dimulai.Hari ini sebelum kelas dimulai, aku dan Reva ke kantin bersama. Kami ingin menyantap nasi goreng buatan ibu kantin. Aku harus sarapan di sana karena tadi pagi tidak sempat makan di rumah.Saat menikmati sarapan, tiba-tiba dua orang mahasiswa menghampiri tempat duduk kami. Sepertinya aku mengenali salah satu dari mereka. Benar, ternyata setelah mereka makin dekat, aku baru ingat kalau d
🏵️🏵️🏵️Aku masih tetap melihat sesekali ke arah Mas Ezza dan Dika. Tampak jelas kalau wajah Mas Ezza langsung mengalami perubahan saat mendengar Dika menyebut namaku, tetapi mungkin dia tidak menyadari perubahan itu.Aku ingin sekali menghampiri dua laki-laki itu lalu meminta Dika agar tidak mencari-cariku lagi. Aku tidak ingin terjadi kesalahpahaman di antara mereka berdua. Hati ini kesal dengan sikap Dika. Kenapa dia harus datang ke sini menemuiku?"Ada perlu apa ketemu Bunga?" Aku mendengar kembali percakapan Mas Ezza dan Dika."Ingin ngobrol aja, Pak. Ingin melihat wajah cantiknya. Bapak pasti ngerti, dong, karena Bapak juga pernah muda." Aku benci mendengar alasan yang Dika berikan."Nama kamu siapa?" Mas Ezza kembali bertanya kepada Dika."Dika, Pak.""Sejak kapan kamu kenal Bunga?""Kok, Bapak nanya jauh amat, yah?" Aku melihat jelas keheranan di wajah Dika setelah mendengar pertanyaan Mas Ezza."Nggak apa-apa, Bunga juga mahasiswi saya. Jadi, wajar kalau saya bertanya," uca
🏵️🏵️🏵️Tanpa kusadari, tiba-tiba mobil Mas Ezza menghampiri kami yang masih berdiri di depan pintu gerbang. Aku bingung harus berbuat apa karena aku tidak ingin Mas Ezza salah paham karena melihat kami berbicara.Aku juga tidak ingin kalau sampai dia uring-uringan lagi seperti kemarin. Aku harus tetap bersikap tenang untuk menghadapi situasi sekarang.Tiiittt! Tiiittt! Tiiit!Mas Ezza membunyikan klakson mobilnya dengan sangat keras dan berulang-ulang hingga membuatku sangat terkejut. Aku memilih menutup telinga dengan kedua telapak tangan. Dia pun menghentikan mobilnya di depan kami lalu aku menurunkan tangan dari telinga."Ngapain masih di luar?" tanya Mas Ezza dari jendela mobilnya."Ada Pak Ezza. Selamat pagi, Pak." Dika memberikan salam kepada Mas Ezza."Pagi juga. Kamu, Dika, yah? Kemarin kamu juga yang nyariin Bunga?""Iya, Pak. Bapak masih ingat aja dengan wajah tampan saya.""Ingat banget malah. Kenapa tidak langsung masuk ke kampus?" tanya Mas Ezza kepada Dika."Sebentar,
POV EZZA🏵️🏵️🏵️Namaku Ezza Saputra, anak tunggal Papa Satia Perdana dan Mama Susi Maharani. Aku memiliki istri yang sangat cantik dan menggemaskan, Bunga Cantika. Usia kami terpaut enam tahun. Aku mulai tertarik kepadanya saat dia baru duduk di bangku SMP kelas sembilan. Saat itu, kami belum saling mengenal, aku mengaguminya dari jarak jauh atau pengagum rahasia.Papaku dan papanya sudah berteman sejak lama hingga keduanya membangun usaha di bidang yang sama juga. Ketika awal merintis, mereka sangat yakin kalau perusahaan yang mereka bangun pasti akan sukses dan berkembang. Apa yang mereka harapkan akhirnya menjadi kenyataan, usaha itu sangat berkembang pesat dan meningkatkan keuangan keluargaku dan keluarga Bunga.Aku masih sangat ingat saat pertama kali melihat Bunga, kala itu dia mendatangi kantor papanya bersama mamanya. Secara kebetulan, aku dan Papa juga harus berkunjung ke sana karena ada sesuatu hal serius yang harus dibicarakan."Apa kabar, Sat?" Papanya Bunga menyalami pa
POV EZZA🏵️🏵️🏵️"Sebelumnya Ezza minta maaf, Om. Maaf kalau Ezza lancang. Tujuan menemui Om ke sini untuk menyampaikan apa yang Ezza rasakan saat ini," jelasku saat berada dalam ruangan Om Akbar."Santai aja, Nak Ezza. Katakan saja apa yang ingin kamu sampaikan.""Sebenarnya, Ezza menyukai anak Om." Aku dengan tubuh gemetar, akhirnya berhasil mengeluarkan kalimat itu.Akan tetapi, aku merasa heran karena melihat senyuman Om Akbar, seperti mengandung makna. Beliau tidak kaget dengan pengakuanku, justru senyuman yang beliau berikan kepadaku."Maaf, Om ... ada yang salah dengan ucapan Ezza?" tanyaku penasaran."Nggak, Nak Ezza. Papa dan Mama kamu tahu tentang hal ini?" Pertanyaan Om Akbar membuatku bingung."Tahu, Om. Mereka juga sangat mendukung," ucapku jujur."Mereka pasti ngerjain kamu, nih.""Maksudnya, Om?" Aku makin bingung."Om dan Tante Bella, juga orang tuamu sudah merencanakan perjodohan kamu dan Bunga sejak awal, tapi Bunga belum mengetahui rencana ini sama sekali. Om meras
POV EZZA 🏵️🏵️🏵️Setelah acara pertunangan selesai, aku berusaha mendekati Bunga dengan mengajaknya mencari udara segar di taman rumahnya."Selamat ulang tahun, yah, Dek. Semoga tercapai yang kamu inginkan dan cita-citakan." Aku menyalami Bunga."Makasih, Mas," balas Bunga dengan senyuman terpaksa. Wajahnya menunjukkan itu."Aku tahu kamu pasti merasa kesal karena pertunangan ini." Aku kembali memulai obrolan."Awalnya aku sangat marah, Mas. Namun, setelah mendengar penjelasan Papa, aku akan berusaha ikhlas, aku tidak ingin menyakiti orang tuaku. Usaha Papa jauh lebih berarti dari perasaanku. aku ingin menjadi anak yang berbakti," ucap Bunga."Iya, Dek. Aku juga nggak ingin mengecewakan orang tua, akhirnya aku menyetujui pertunangan ini. Kita jalani aja, yah, Dek ... dan berusaha untuk ikhlas."Maafin aku Bunga, aku terpaksa harus berbohong. Kamu tidak tahu kalau aku sudah lama mencintaimu."Iya, Mas, " jawab Bunga sambil melemparkan senyuman kepadaku.Bahagia rasanya, akhirnya aku
POV EZZA .🏵️🏵️🏵️Bulan madu yang kami jalani sungguh sangat nikmat karena aku melihat senyum kebahagiaan terpancar dari bibir Bunga. Tidak ada kata indah bagiku selain menyaksikan wajah cerianya.Akan tetapi, bulan madu yang kami rasakan sangat jauh berbeda dengan pasangan suami istri pada umumnya. Namun, aku tetap menikmatinya. Bagiku yang terpenting adalah melihat kembali senyum kebahagiaan di bibir Bunga.Korea merupakan negara idaman Bunga karena sejak lama, dia ingin menginjakkan kaki di negara itu. Mertuaku paling mengerti dan memahami isi hati putrinya. Saat Bunga sedang bingung dengan status barunya, mertuaku memberikan sesuatu yang bisa membuat hati anak tunggal mereka berubah drastis.Bunga yang awalnya sering murung, manyun, tiba-tiba menjadi manis. Aku berjanji akan selalu memberikan yang terbaik untuknya, seperti yang telah dilakukan oleh orang tuanya.Setelah kembali ke Indonesia, aku mulai aktif membantu Papa di perusahaannya karena anak tunggalnya ini telah sukses m
POV EZZA 🏵️🏵️🏵️Setelah beberapa bulan mengajar di kampus Bunga, aku sangat khawatir karena seorang mahasiswa bernama Dika mencoba mendekatinya. Awal aku mengenal Dika ketika baru selesai mengajar dan akan meninggalkan kelas Bunga kala itu. Aku berpapasan dengannya."Pagi, Pak." Dia menyapaku."Pagi juga. Kamu bukan mahasiswa semester satu, 'kan?" tanyaku yakin karena sebelumnya tidak pernah melihatnya."Bukan, Pak. Saya semester lima.""Ada perlu apa ke sini?" tanyaku penasaran."Mau ketemu mahasiswi di kelas ini." Perasaanku tidak enak."Namanya siapa?" Rasa penasaranku makin menggebu."Bunga, Pak," jawabnya dengan santai.Rasanya, aku tidak ingin memercayai apa yang keluar dari mulutnya."Nama kamu siapa?" tanyaku kembali."Dika, Pak.""Ada perlu apa ketemu Bunga?" Aku makin ingin tahu."Ingin melihat wajah cantiknya."Hatiku serasa hancur mendengar pengakuan Dika. Ingin rasanya mengungkapkan status Bunga yang sebenarnya dan mengingatkan kalau dia telah melakukan kesalahan karen
🏵️🏵️🏵️“Aku sudah mengetahui semuanya tentang rencana Cindy dan kakaknya yang telah menjebak Pak Ezza. Mereka yang melukai Pak Ezza hingga membuatnya tidak mengingatmu.” Dika tidak tahu kalau Mas Ezza hanya berpura-pura hilang ingatan.“Maksudnya apa, Dika?” Aku tidak mengerti arah pembicaraannya.“Cindy sudah menceritakan semuanya padaku. Tapi sayang, saat itu aku lupa merekam semua pengakuannya. Sekarang, coba kami pancing kakaknya agar memberitahukan semuanya, tapi kamu harus rekam untuk dijadikan bukti. Aku tahu kalau dia sering ke rumah mertuamu menemui Pak Ezza.” Aku pun menerima saran Dika supaya Dara segera mengakui perbuatannya hingga Mas Ezza tidak perlu berpura-pura hilang ingatan lagi.“Okeh, Dika. Terima kasih atas bantuanmu.”“Iya, Bunga. Aku senang dapat membantumu.”Kami pun mengakhiri pembicaraan lalu aku menutup telepon. Aku sudah yakin untuk menjalankan apa yang Dika sarankan. Aku sangat terharu karena dia bersedia membantuku.Aku menunggu kedatangan wanita yang t
🏵️🏵️🏵️Hari ini, usia kehamilanku memasuki tujuh bulan. Aku sangat sedih karena acara syukuran diadakan di rumah orang tuaku. Tujuannya agar Mas Ezza tidak mendengar siapa ayah bayi yang ada dalam kandunganku.Aku tidak ingin Mas Ezza bingung saat mendengar namanya disebut. Ini demi kesehatannya. Kedua mertuaku tetap memberikan semangat kepadaku. Aku sangat mengerti apa yang mereka pikirkan.“Kamu yang sabar, ya, Nak. Semoga semuanya kembali seperti dulu lagi.” Mama mertua mengusap-usap perutku.“Iya, Mah. Bunga akan tetap kuat dan sabar demi kebaikan Mas Ezza.” Aku berusaha tersenyum kepadanya.Acara pun segera dimulai. Seorang ustaz yang telah Papa minta memimpin doa akan menyebutkan nama ayah bayi yang ada dalam kandunganku. Namun, tiba-tiba ustaz tersebut bertanya tentang Mas Ezza.Papa mertua memberikan penjelasan tentang keberadaan Mas Ezza. Beliau terpaksa berkata kalau Mas Ezza sedang berada di luar kota. Akhirnya, ustaz pun mengerti.“Baiklah, acara akan segera kita mulai.
🏵️🏵️🏵️Setelah beberapa hari kemudian, Mas Ezza kembali ke rumah orang tuanya. Aku tidak terima ketika Dara juga turut mendampinginya, tetapi aku hanya bisa diam demi kesehatannya. Mama mertua selalu menenangkan aku agar tetap kuat dan tegar.“Kamu tinggal di sini juga?” tanya Mas Ezza kepadaku. Dada ini terasa sesak mendengar pertanyaan itu.“Iya, Mas.” Aku berusaha tersenyum.Sebelum Mas Ezza tiba di rumah, mama mertua meminta Bi Imah memindahkan barang-barangku dari kamarnya ke kamar lain demi kebaikannya. Kami tidak ingin melihat Mas Ezza kesakitan saat ingin mencoba mengingat sesuatu.“Bunga itu adik sepupu kamu, Nak. Dia sudah Mama anggap seperti anak sendiri.” Mama mertua turut menimpali pertanyaan Mas Ezza.“Suami Bunga ke mana, Mah? Sepertinya Bunga lagi hamil, ya.” Aku hampir pingsan mendengar pertanyaan itu.“Suaminya nggak bertanggung jawab, Sayang.” Tiba-tiba Dara membuka suara. Wanita itu menyandarkan kepalanya ke bahu Mas Ezza.“Itu nggak benar, Nak. Suaminya orang ba
POV DARA 🏵️🏵️🏵️“Kamu di rumah sakit.”“Kamu siapa?” Pertanyaan itu yang kuharapkan.“Aku Dara, tunanganmu, Sayang.” Aku pun mulai menjalankan rencana.“Tunanganku? Aku siapa?”“Kamu Ezza.”Aku pun meraih tangan Ezza lalu menggenggamnya. Aku benar-benar merasakan kehangatan yang luar biasa. Aku sudah lama menantikan saat-saat ini tiba. Ternyata harapan itu kini menjadi kenyataan. Cindy tersenyum melihat ke arah kami.Tiba-tiba terdengar suara seorang ibu memanggil nama Ezza. Aku pun menoleh, ternyata dia bersama Bunga. Kedua wanita itu langsung menghampiri laki-laki yang sangat aku cintai lalu memintaku menjauh.“Sayang, kamu nggak apa-apa?” tanya ibu tersebut kepada Ezza.“Maaf, Ibu siapa?” Ezza sama sekali tidak mengenali mamanya.“Ini Mama, Sayang, dan ini istri kamu.” Wanita paruh baya itu meraih tangan istri Ezza.“Istri? Aku sudah memiliki istri? Tapi wanita itu tadi mengaku sebagai tunanganku.” Ezza menunjuk ke arahku.“Dia wanita yang selalu mengusik rumah tangga kita, Mas.
POV DARA🏵️🏵️🏵️Waktu terus berlalu, akhirnya apa yang kusembunyikan dari banyak orang tentang status pernikahanku dengan Arif, terbongkar juga. Istri pertamanya mengetahui penikahan kami.Akhirnya, terjadi pertengkakaran antara diriku dan istri pertama Arif. Beberapa orang tahu tentang statusku. Mereka tidak tahu kalau rasa putus asa yang menyelimuti hati kala itu, membuatku menerima pinangan lelaki beristri.Saat itu, aku bingung harus berbuat apa, apalagi laki-laki yang ada dalam hatiku sejak dulu, selalu menolak perasaan yang kumiliki. Oleh karena itu, aku menjadikan Arif sebagai pelarian, walaupun pernikahan itu akhirnya kandas.Kini, aku benar-benar sendiri dan memiliki kesempatan besar mencari perhatian Ezza. Aku merasa kalau takdir telah berpihak kepadaku untuk tetap kembali mendekati laki-laki tampan itu. Harapan itu sudah ada di depan mata. Ezza akan menjadi milikku.Aku akan melakukan berbagai cara untuk mendapatkan Ezza. Aku tidak terima dengan sikapnya yang selalu dingi
POV DARA🏵️🏵️🏵️“Kakak nggak apa-apa, kok, Dek.” Aku menutupi kekesalanku karena menurutku Cindy masih terlalu kecil untuk mengetahui masalah yang kuhadapi.“Pasti Kakak mau bilang kalau Cindy masih kecil. Iya, ‘kan?” Anak itu selalu saja mampu membuatku tertawa.“Nanti kalau kamu udah SMP, Kakak pasti cerita, deh.” Aku memberikan pengertian kepadanya.“Janji, ya. Kakak nggak boleh bohong.” Cindy terlihat serius.“Iya, Kakak janji.” Aku pun meyakinkan dirinya.Saat duduk di bangku SMA kelas dua, aku kembali mengungkapkan cinta yang tetap bersemayam dalam hati ini kepada Ezza. Seperti jawaban sebelumnya, hanya penolakan yang dia berikan kepadaku. Aku makin tidak mampu menghapus dirinya dari dalam pikiran.Cinta yang kumiliki untuk Ezza kian besar. Aku merasa telah terhipnotis oleh pesona yang dia pancarkan. Banyak teman yang memintaku untuk mundur saja, tetapi hati ini tetap ingin mendapatkan balasan perasaan darinya.“Apa, sih, yang kamu harapin, Dar? Ezza itu nggak cinta sama kamu.
🏵️🏵️🏵️Aku duduk di taman belakang rumah mertua sambil menunggu Mas Ezza pulang kantor. Entah kenapa, hati ini masih terus memikirkan pesan yang Dara kirimkan tadi pagi. Ingin rasanya memberikan pelajaran kepada wanita itu, tetapi itu tidak mungkin.Aku harus menyadari kalau sekarang dalam keadaan berbadan dua. Aku tidak ingin terjadi sesuatu pada janin yang ada dalam rahimku. Aku harus tetap waspada dengan apa yang akan Dara rencanakan.Aku dan Mas Ezza harus mampu memahami apa tujuan Dara sebenarnya. Mungkin saat ini, wanita itu akan lebih memiliki kesempatan untuk mendekati suamiku karena dirinya sudah resmi bercerai dengan laki-laki yang pernah menikahinya.“Kamu di sini, Sayang?” Aku terkejut mendengar suara Mas Ezza yang datang menghampiriku ke taman belakang.“Iya, Mas. Kok, kamu tahu aku di sini?”“Tahu dari Mama.” Mas Ezza melangkah lalu memilih duduk di sampingku. Seperti biasa, dia langsung mengusap perutku. “Selamat sore, Anak Papa.” Dia berbicara kepada anak kami.“Mas,
🏵️🏵️🏵️Pagi kembali menyapa dengan mentari yang sangat cerah, tetapi tidak dengan hatiku saat ini. Ketika Mas Ezza menjalankan kegiatan rutinitas kembali ke kantor, aku pun memilih duduk di depan teras rumah sambil menikmati cahaya matahari pagi.Aku membuka ponsel, melihat postingan teman-teman saat sekolah. Aku sudah sangat lama tidak bertemu mereka. Sejak menikah dengan Mas Ezza, aku lebih banyak menghabiskan waktu di rumah karena kala itu, belum siap menerima status sebagai seorang istri.Betapa egoisnya diriku saat itu dan menganggap pernikahan dengan Mas Ezza sebagai penderitaan. Namun, dia tetap sabar dan ikhlas menghadapi sikap istri yang tidak menginginkan dirinya. Dia bahkan tidak pernah memaksaku untuk melakukan kewajiban sebagai istri.“Aku janji tidak akan meminta hakku ataupun menyentuhmu jika memang kamu belum bisa menerimaku sebagai suamimu.” Janji itu yang Mas Ezza ucapkan saat awal pernikahan kami.Jangankan menyentuhku, saat Mas Ezza menatapku sangat dekat saja, a
🏵️🏵️🏵️Aku tidak tahu apa yang Dika pikirkan saat ini. Dia masih tetap memperhatikan perutku. Aku sangat risi melihat pandangannya yang seperti itu. Ternyata Mas Ezza juga menyadari sikap yang Dika tunjukkan.Mas Ezza langsung meraih tanganku lalu kami akan beranjak dari tempat itu. Namun, baru satu langkah, tiba-tiba Dika memintaku dan Mas Ezza berhenti. Aku tidak mengerti apa tujuannya sebenarnya.“Tunggu, Bunga … aku ingin menyampaikan sesuatu padamu dan Pak Ezza.” Aku dan Mas Ezza terkejut mendengar permintaan Dika. Kami pun menghentikan langkah lalu melihat ke arahnya.“Ada apa?” tanyaku dengan nada kesal.“Hati-hati dengan Cindy.” Aku tidak mengerti maksud Dika.“Ada apa dengan Cindy?” Aku kembali bertanya “Dia punya rencana jahat untuk mengusik rumah tanggamu.” “Maksudnya apa, Dika?” tanya Mas Ezza tiba-tiba.“Ternyata Cindy memiliki kakak perempuan yang sudah lama menaruh hati pada Bapak.” Dika memberikan jawaban kepada Mas Ezza.“Kenapa mengatakan hal ini pada saya dan Bu