Share

Cemburu

🏵️🏵️🏵️

"Hari ini jadwal kamu ngajar di kelasku, yah, Mas?" tanyaku sambil menyantap sarapan bersama Mas Ezza di meja makan.

"Iya, dong. Suka, yah?" Mulai, deh, bapernya.

"Aku cuma mau ngingatin aja, jangan genit-genit!"

"Takut, yah, kalau ada cewek lain yang deketin aku?" Tingkah Mas Ezza selalu membuatku kesal. Dia sambil mengedipkan mata kanannya.

"Hm! Dikit-dikit baper."

"Jujur aja kenapa, sih? Nggak ada yang marah, kok."

"Intinya, aku nggak suka aja."

"Tuh, kan ... kelihatan banget, deh, cemburunya."

"Susah ngomong sama kamu, Mas. Dikit-dikit bilangnya cemburu. Sepertinya kamu berharap banget, yah, digodain mahasiswi-mahasiswi di kampus. Terserah kamu aja, deh. Bomat."

"Ada yang ngambek, nih."

"Udah belum sarapannya? Cepetan, ntar telat!" Aku beranjak dari tempat duduk lalu segera menyambar tas yang sudah aku siapkan di meja ruang keluarga.

"Iya, iya. Baik, Tuan Putri." Mas Ezza segera menghampiriku, kemudian kami bergegas memasuki mobil.

🏵️🏵️🏵️

"Hari ini, kita akan membahas tentang harta. Dalam Akuntansi, biasa disebut dengan istilah 'aktiva'. Ada aktiva yang dapat disusutkan dan ada juga aktiva yang tidak dapat disusutkan." Mas Ezza mulai memberikan materi di kelasku.

"Boleh nanya, nggak, Pak?" Seorang mahasiswi mengacungkan tangannya.

"Iya, silakan," balas Mas Ezza.

"Kalau aktiva yang paling berharga untuk Bapak ... apa, yah?" Pertanyaan konyol yang pernah aku dengar.

"Hhhuuu!" Terdengar sorakan mahasiswa dan mahasiswi lain.

"Kamu, yang di sana." Mas Ezza menunjuk ke arahku.

"Saya, Pak?" tanyaku kaget dan tidak percaya.

"Iya, kamu. Coba kamu sebutkan dua aktiva yang dapat disusutkan!" titah Mas Ezza.

"Mesin dan gedung, Pak," jawabku dengan cepat. Aku yakin pasti benar.

"Bagus. Nama kamu siapa?" Pertanyaan itu membuatku ingin mengacak-acak rambutnya. Dia sangat tega bertingkah seolah-olah tidak mengenaliku.

Awas nanti di rumah, aku jitak.

"Saya Bunga, Pak," jawabku sambil berusaha tersenyum.

"Nama yang indah." Sepertinya dia sengaja mengobrak-abrik mood-ku hari ini.

"Terima kasih, Pak," jawabku.

"Kenapa, sih, Pak Ezza nanya dia aja? Pilih kasih, nih." Aku mendengar gerutu mahasiswi di belakangku.

"Iya, tuh. Kita-kita juga mau, kok, ditanyain," sambung teman di sampingnya.

Awas, yah, jangan coba-coba deketin suamiku.

"Oke, sampai di sini pertemuan hari ini, kita lanjutkan lagi pada pertemuan berikutnya. Terima kasih dan selamat pagi." Mas Ezza mengakhiri mata kuliah hari ini.

"Selamat pagi, Pak." Terdengar suara sahutan serentak di kelasku.

🏵️🏵️🏵️

Saat Mas Ezza keluar dari kelas, tiba-tiba seorang mahasiswi mengekorinya dari belakang. Aku tidak ingin tetap berdiam diri di kelas. Aku pun mengikutinya.

"Maaf, Pak Ezza, saya mau ngomong sebentar." Aku mendengar suara itu memanggil nama Mas Ezza. Aku mengawasi dari balik pintu dan sesekali melihat ke arah mereka.

"Iya, mau ngomong apa?" tanya Mas Ezza, dia pun menghentikan langkahnya.

"Boleh minta nomor ponsel pribadi Bapak, nggak?" sambung mahasiswi itu.

"Saya udah kasih nomor saya di kelas. Kamu nggak catat, yah?" tanya Mas Ezza.

"Saya maunya nomor yang lain, Pak." Bibir mahasiswi itu meruncing. Dia menunjukkan tingkahnya yang sok manja.

"Maaf, nomor saya cuma satu. Yah, itu yang saya catat di papan tulis." Jawaban Mas Ezza membuatku merasa lega.

"Bapak pelit, ah." Sepertinya dia masih tetap berusaha menggoda Mas Ezza.

"Beneran cuma satu. Udah, yah ... saya buru-buru, sampai jumpa," ucap Mas Ezza, kemudian berlalu.

"Sampai jumpa, Pak." Mahasiswi itu menunjukkan gaya memuakkan. Dia melambaikan tangan kepada Mas Ezza.

Mahasiswi yang berusaha mendekati Mas Ezza adalah Cindy. Dia wanita paling genit yang pernah aku kenal. Dia berusaha mendekati Mas Ezza. Aku tidak terima dengan sikapnya yang sok manja di depan suamiku, rasanya muak dan geli melihat tingkahnya.

Mengingat semua tingkah dan gerakan genitnya, membuatku merasa mual hingga ingin mengeluarkan nasi goreng buatan Bi Iyem tadi untuk menu sarapanku di rumah. Aku kesal melihat pemandangan yang tak kuinginkan dan tidak harapkan pagi ini. Benciii!

🏵️🏵️🏵️

Walaupun pernikahanku awalnya tidak didasari cinta, tetapi terus terang ... hati ini tidak suka jika wanita lain menggoda Mas Ezza. Bagaimanapun hubungan kami, dia tetap suamiku, pendamping hidup, juga jodoh pilihan Papa dan Mama.

"Seneng banget, yah, digodain mahasiswi," celetukku saat kami menonton bersama di ruang TV.

"Emangnya siapa yang godain aku, Dek?" Aku tidak tahu apakah dia mengelak atau memang tidak ingat kejadian di kampus pagi tadi.

"Jangan pura-pura nggak tahu, deh, Mas. Senang, kan, waktu Cindy minta nomor pribadi kamu?"

"Ketahuan, nih, ngikutin aku. Hayuk ngaku."

"Nggak, kok," jawabku mengelak.

"Terus, kenapa kamu bisa tahu kalau Cindy minta nomorku?"

"Yah, tahu aja. Emang nggak boleh?"

"Yakin, dah, kamu pasti buntutin aku, nih, di kampus." Sepertinya dia tahu kalau aku mengintai dia di kampus tadi pagi.

"Kamu, nih, selalu gitu. Aku tanya apa, kamu jawabnya entah apa. Nggak nyambung banget tahu."

"Bagus, deh, kalau kamu peduli padaku. Aku suka." Dia selalu dengan kebiasaannya, memegang daguku.

"Apa, sih? Kamu selalu baperan. Malas, ah, ngomong sama kamu. Aku mau tidur." Aku menepiskan tangannya lalu berjalan menuju kamar.

"Cie, ada yang malu, nih." Aku masih mendengar suaranya sebelum masuk kamar.

Itulah Mas Ezza, selalu merasa diperhatikan dan dipedulikan. Setiap aku bertanya atau berbicara sesuatu dengannya, pasti jawabannya jauh berbeda. Aku nanya A, tetapi dia jawab B. Pokoknya paling menyebalkan kalau berbicara dengannya.

Akan tetapi, di balik tingkahnya yang selalu membuat kesal, dia selalu menyayangiku, memperhatikan semua kebutuhan serta keinginanku, dan selalu melakukan yang terbaik. Dia pelindung, juga suamiku.

🏵️🏵️🏵️

"Hebat, yah, kamu, Mas," ucapku dalam mobil saat Mas Ezza mengantarkan aku ke kampus hari ini.

"Hebat?" Mas Ezza terlihat bingung.

"Iya, hebat. Kemarin kamu bertingkah seolah-olah tidak mengenaliku."

"Tidak mengenali? Apa maksudnya? Aku makin nggak ngerti."

"Kamu selalu aja pura-pura nggak ngerti dan tidak ingat."

"Beneran aku nggak paham maksud kamu."

"Kemarin, ngapain nanya namaku di kelas? Itu namanya apa, coba? Beneran nggak kenal?"

"Ooo, yang itu." Aku kesal melihat senyumannya.

"Kenapa kamu senyum?"

"Seneng aja lihat mulut manyun istriku pagi-pagi."

"Dasar kamu, yah, selalu nyebelin."

"Lah, bukannya kamu yang minta, jangan sampai temen-temen kamu tahu kalau aku suamimu."

"Tapi nggak harus dengan cara nanya namaku juga kali."

"Entar kalau aku langsung panggil nama kamu, bukannya mereka makin curiga?"

"Malas, ah, nyebelin. Susah ngomong sama kamu." Aku makin kesal mendengar penjelasan Mas Ezza.

"Istriku yang cantik ngambek, nih, pagi-pagi. Makin suka, deh, lihat bibirnya."

"Ih! Kamu selalu bikin aku kesel." Cubitan kuat dariku mendarat di pinggangnya.

"Auh! Sakit."

"Biarin."

"Cubit lagi, dong, Istriku." Dia mengembangkan senyuman nakalnya.

"Ogah. Oh, ya ... jangan lupa, turuninnya jangan dekat-dekat kampus. Aku nggak mau kalau sampai ada orang yang lihat."

"Okeh, Cantik. Turunnya di sini aja, yah. Selamat belajar, jangan nakal, jangan lirik sana sini. Bye."

"Itu, mah, kamu. Ngomongin diri sendiri. Bye. Wek!" Aku segera turun dari mobil sambil menjulurkan lidah, kemudian beranjak.

Saat hendak memasuki pintu gerbang kampus, tiba-tiba tidak sengaja, buku yang aku genggam terjatuh. Aku baru saja akan memungut kertas tebal tersebut, tetapi tangan seseorang telah mengambilnya lalu memberikannya kepadaku.

"Ini bukunya," ucap suara itu, kemudian menyodorkan buku yang telah dia pungut.

"Terima kasih," jawabku.

Saat kami berdiri berhadapan, mata kami saling berpandangan. Dia menatapku tidak berkedip sedikit pun.

"Halo." Aku melambaikan tangan di depan matanya.

"Sorry ... kenalin, aku Dika." Laki-laki itu tampak kaget, tetapi akhirnya dia mengulurkan tangannya untuk menyalamiku.

"Aku Bunga," jawabku sembari menerima jabatan tangannya.

"Kamu anak semester satu, yah?" tanya laki-laki yang mengaku bernama Dika tersebut.

"Iya," jawabku singkat.

"Aku semester lima, jurusan akuntansi. Kamu jurusan apa?"

"Aku juga jurusan akuntansi."

"Sama, dong. Entar kalau kamu mau nanya-nanya tentang Akuntansi yang kurang dipahami, samperin aku aja. Aku siap membantu. He-he!"

Ada suamiku kali yang bisa jelasin kalau aku nggak paham dan nggak ngerti.

"Okeh, deh, terima kasih. Aku masuk kelas dulu, yah." Aku tetap mengiakan sambil tersenyum. Aku pun melambaikan tangan kepadanya.

Dia masih berdiri dan tetap memandangiku. Kenapa dia bersikap seperti itu? Seandainya dia tahu kalau aku telah berstatus sebagai istri, entah apa yang akan dia pikirkan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status