Share

Percaya Diri

POV EZZA

🏵️🏵️🏵️

Namaku Ezza Saputra, anak tunggal Papa Satia Perdana dan Mama Susi Maharani. Aku memiliki istri yang sangat cantik dan menggemaskan, Bunga Cantika. Usia kami terpaut enam tahun. Aku mulai tertarik kepadanya saat dia baru duduk di bangku SMP kelas sembilan. Saat itu, kami belum saling mengenal, aku mengaguminya dari jarak jauh atau pengagum rahasia.

Papaku dan papanya sudah berteman sejak lama hingga keduanya membangun usaha di bidang yang sama juga. Ketika awal merintis, mereka sangat yakin kalau perusahaan yang mereka bangun pasti akan sukses dan berkembang. Apa yang mereka harapkan akhirnya menjadi kenyataan, usaha itu sangat berkembang pesat dan meningkatkan keuangan keluargaku dan keluarga Bunga.

Aku masih sangat ingat saat pertama kali melihat Bunga, kala itu dia mendatangi kantor papanya bersama mamanya. Secara kebetulan, aku dan Papa juga harus berkunjung ke sana karena ada sesuatu hal serius yang harus dibicarakan.

"Apa kabar, Sat?" Papanya Bunga menyalami papaku lalu merangkulnya.

"Alhamdulillah baik, Bar," balas Papa.

"Silakan duduk." Aku dan Papa pun duduk di sofa ruangan papanya. Sementara mamanya juga sudah duduk sejak tadi.

"Ezza udah segede ini, yah, Pah." Mamanya membuka obrolan.

"Iya, Mah. Padahal kemarin baru juga SMP seperti Bunga, tapi sekarang udah gagah bener," sambung papanya.

"Ezza udah tingkat berapa, nih, kuliahnya?" tanya mamanya.

"Tingkat tiga, Tante," jawabku dengan senyuman yang sudah aku persiapkan dari awal kami masuk ke ruangan Om Akbar, papa Bunga.

"Ternyata udah tingkat tiga, toh. Cepat banget, sebentar lagi lulus, yah," lanjut Tante Bella, mama Bunga.

"Enak kalau cepat lulus, Bar, bisa bantu papanya ngurus perusahaan." Papa membalas obrolan.

"Iya, Sat. Kalau Bunga masih panjang perjalanannya, sekarang aja baru kelas sembilan," ucap Om Akbar.

Saat itu, aku melihat Bunga sangat sibuk dengan ponselnya. Dia tidak memperhatikan orang-orang di sekelilingnya. Ketampanan yang kumiliki tidak mampu menembus pandangannya agar melihat ke arahku.

Dia tidak tahu bahwa wanita di kampus, tidak sedikit yang mendekatiku, tetapi aku tidak pernah menghiraukan mereka. Ternyata sekarang aku menyaksikan sendiri, seorang gadis cantik yang masih belia, tidak ingin sedikit pun melirik ke arahku. Aku makin penasaran ingin lebih mengenalnya.

"Bunga ... kok, asyik banget sendiri? Beri salam untuk Om Satia dan Mas Ezza," lanjut Om Akbar kepada Bunga.

"Halo, Om," ucap Bunga lalu mencium punggung tangan Papa disertai dengan senyumannya yang membuat jantungku berdegup begitu kencang.

Omg! Dia sama sekali tidak melihat ke arahku. Setelah menyapa Papa, dia kembali duduk dan sibuk dengan ponselnya.

Oh, Bunga ... mengapa kamu begitu santuy? Tidak bisakah kamu melihat ke arahku walau hanya sedetik saja? Aku ingin memandang wajah cantikmu.

Mungkin kecantikan Bunga adalah warisan. Aku mengatakan seperti itu karena menyaksikan paras cantik Tante Bella. Bunga gadis cantik, manis, dan imut yang berhasil membangkitkan rasa penasaranku.

Apa yang terjadi dengan hati dan perasaanku? Mengapa aku sangat mengagumi Bunga? Apakah yang kurasakan ini disebut dengan benih-benih asmara? Secepat itukah aku merasakan getaran terhadap Bunga? Inikah rasanya cinta pada pandangan pertama?

🏵️🏵️🏵️

Sejak pertemuan pertama dengan Bunga, aku tidak mampu mengeluarkan bayangannya dari pikiran. Senyum manisnya selalu mengikutiku dan wajah cantik itu selalu menghantui perasaanku. Aku tidak sanggup dan tidak mampu untuk tidak memikirkannya. Mungkin itu yang disebut dengan getaran cinta yang sebenarnya.

"Mah, akhir-akhir ini Ezza sering mikirin seseorang," ungkapku malam itu kepada Mama, saat kami sedang asyik menikmati acara televisi.

"Paling juga mikirin Bunga," sahut Papa tiba-tiba.

"Kok, Papa bisa tahu, yah?" tanyaku heran.

"Tau, dong. Papa juga pernah muda. Semenjak kamu ketemu Bunga, kamu nggak tahu kalau Papa sering perhatiin sikap kamu. Senyum-senyum sendiri, tapi tiba-tiba murung. Apa lagi namanya kalau bukan mikirin perempuan?" Aku merasa kalau Papa telah berhasil menelusuri hatiku.

"Papa, mah, bisa aja," jawabku.

"Bunga anaknya Mas Akbar, yah, Pah?" tanya Mama tiba-tiba.

"Iya, Mah," balas Papa sambil memainkan alisnya.

"Anaknya cantik dan manis, Mah. Imut juga. Ezza senang banget lihat senyumnya." Aku tidak merasa canggung sedikit pun untuk memuji Bunga di depan orang tuaku.

"Wah! Anak kita benar-benar jatuh cinta nih, Pah. Kita lamar aja, yuk, untuk jadiin mantu di rumah ini." Mama sepertinya berusaha untuk menggodaku.

"Beneran, Mah? Ezza mau banget," ucapku tanpa pikir panjang.

"Maunya, yah, nih anak ... langsung nyosor aja." Mama mengejek tingkahku.

"Mama, mah, gitu. Dukung anaknya, dong, untuk mendapatkan pujaan hatinya," balasku dengan senyuman.

"Kelamaan sendiri, sih ... yah, jadinya gini. Bisanya cuma jadi pengagum rahasia, he-he!" Mama seolah-olah memberikan tantangan kepadaku.

"Ezza berani, kok, bilang sama Om Akbar kalau Ezza menyukai anaknya." Aku membalas tantangan Mama.

"Mama dan Papa butuh bukti, bukan cuma omongan aja. Iya, nggak, Pah?" lanjut Mama.

"Papa setuju dengan Mama kamu." Papa juga mendukung Mama.

"Okeh ... siapa takut. Minggu depan, Ezza jumpain Om Akbar ke kantornya," jawabku dengan optimis.

Papa dan Mama saling berpandangan dan melemparkan senyum. Mereka juga mengernyitkan alis lalu menatapku. Aku tidak mengerti apa yang mereka pikirkan.

=======

Nova Irene Saputra

Terima kasih udah mampir. 💛

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status