Share

Ungkapan Cinta

🏵️🏵️🏵️

Tanpa kusadari, tiba-tiba mobil Mas Ezza menghampiri kami yang masih berdiri di depan pintu gerbang. Aku bingung harus berbuat apa karena aku tidak ingin Mas Ezza salah paham karena melihat kami berbicara.

Aku juga tidak ingin kalau sampai dia uring-uringan lagi seperti kemarin. Aku harus tetap bersikap tenang untuk menghadapi situasi sekarang.

Tiiittt! Tiiittt! Tiiit!

Mas Ezza membunyikan klakson mobilnya dengan sangat keras dan berulang-ulang hingga membuatku sangat terkejut. Aku memilih menutup telinga dengan kedua telapak tangan. Dia pun menghentikan mobilnya di depan kami lalu aku menurunkan tangan dari telinga.

"Ngapain masih di luar?" tanya Mas Ezza dari jendela mobilnya.

"Ada Pak Ezza. Selamat pagi, Pak." Dika memberikan salam kepada Mas Ezza.

"Pagi juga. Kamu, Dika, yah? Kemarin kamu juga yang nyariin Bunga?"

"Iya, Pak. Bapak masih ingat aja dengan wajah tampan saya."

"Ingat banget malah. Kenapa tidak langsung masuk ke kampus?" tanya Mas Ezza kepada Dika.

"Sebentar, Pak. Saya masih ada perlu sama Bunga."

"Sepenting apa, sih, sampai-sampai harus ngobrol di sini?"

"Ini urusan anak muda, Pak."

"Memang kenapa kalau urusan anak muda? Saya nggak boleh tahu?"

"Saya jadi curiga, nih, Pak." Dika sepertinya heran dengan sikap Mas Ezza. Itu terlihat dari wajah dan ucapannya.

"Curiga kenapa?" tanya Mas Ezza.

"Dari semalam saya perhatikan, sepertinya Bapak ada perhatian khusus untuk Bunga. Kenapa tiba-tiba Bapak ada di sini setelah melihat saya dan Bunga?" Mungkin Dika mulai penasaran.

"Perhatian khusus apa maksudnya? Saya kebetulan aja lewat sini. Nggak salah, dong, menyapa mahasiswa sendiri." Mas Ezza beralasan.

"Udah ... udah, begini aja diributin, nggak penting banget. Aku masuk, bye." Aku segera berlalu dari hadapan Mas Ezza dan Dika, kemudian memasuki kampus.

Aku sangat heran dengan sikap Mas Ezza, kenapa dia tidak memercayaiku? Kenapa tiba-tiba dia sangat posesif seperti ini? Mungkinkah dirinya mencintaiku atau hanya sekadar tidak rela jika aku dekat dengan lelaki lain?

Satu hal yang aku tahu, Mas Ezza menikahiku bukan atas dasar cinta, begitu juga denganku. Pernikahan kami terjadi karena kesepakatan orang tua. Tujuan hubungan kami semata-mata hanya untuk kemajuan bisnis keluarga.

Aku tidak percaya melihat sikap dan reaksi Mas Ezza yang seolah-olah sangat cemburu karena wanitanya sedang dekat dengan lelaki lain. Ada apa sebenarnya dengan Mas Ezza? Aku tidak percaya kalau dia memiliki perasaan lebih untukku, mungkin ini hanya perasaanku saja.

🏵️🏵️🏵️

Jam mata kuliah pertama pun selesai. Seperti biasanya, aku dan Reva duduk di bangku yang telah disediakan di depan kelas. Tidak kuharapkan dan tidak inginkan sama sekali, Dika kembali menghampiriku.

"Maaf, Bunga ... aku ingin bicara serius denganmu." Dika berdiri di depanku.

Reva yang dari tadi duduk bersamaku segera berdiri.

"Aku masuk kelas dulu, yah, Bunga." Sepertinya Reva sangat mengerti maksud Dika.

"Bareng, dong, Va." Aku berdiri lalu mengikuti Reva.

Baru saja aku melangkah, tiba-tiba Dika meraih tanganku.

"Jangan pergi, Bunga. Izinkan aku bicara serius denganmu."

Entah apa yang merasukiku, dengan mudahnya memenuhi permintaan Dika. Aku kembali duduk bersamanya. Reva akhirnya tidak menungguku, dia segera memasuki kelas.

"Lepasin!" Aku menepiskan tangan Dika yang telah menggenggam tanganku.

"Maaf ...." Dika segera melepaskan genggamannya.

"Mau ngomong apa? Cepetan, aku mau masuk kelas, nih," tanyaku memulai obrolan.

"Aku suka sama kamu, Bunga."

"Apa?" Aku bagai disambar petir mendengar pengakuan Dika.

"Iya. Aku juga nggak tahu sejak kapan aku menyukaimu. Semenjak awal pertemuan dan perkenalan kita, hati ini tidak bisa berbohong, aku selalu mikirin kamu, dan aku juga ingin bertemu denganmu. Maaf banget, mungkin bagimu ini terlalu cepat, tapi aku udah nggak kuat memendam perasaan ini sendirian." Ternyata Dika bisa juga bicara serius.

"Aku udah bilang sebelumnya, aku udah punya kekasih. Jadi, maaf banget, yah, aku nggak bisa balas perasaanmu." Aku menyusun sepuluh jari, meminta maaf kepada Dika.

"Aku siap untuk menjadi yang kedua, Bunga." Aku benar-benar tidak percaya dengan pemikiran Dika.

"Apa? Kamu sadar, nggak, dengan apa yang kamu ucapkan?"

"Aku sadar banget, Bunga. Aku rela jadi yang kedua untukmu, yang penting aku dan kamu bisa selalu sama-sama."

"Hentikan omong kosong ini, Dika! Aku nggak suka dengan pemikiran kamu yang seperti ini."

"Please, Bunga. Tolong pertimbangkan permintaanku."

"Aku nggak perlu pertimbangan untukmu, Dika. Aku akan tetap setia pada kekasihku, kami sangat menghargai hubungan yang telah kami bina selama dua tahun ini." Aku pun berdiri dan berniat akan meninggalkan Dika.

Akan tetapi, Dika menghentikan langkahku, dia kembali menggenggam tanganku.

"Jangan bersikap seperti ini, Bunga. Aku mencintaimu." Dika berlutut di depanku.

"Maaf, Dika, aku nggak bisa. Lepasin tanganku!" Aku menepiskan tangannya lalu meninggalkannya yang masih tetap berlutut.

"Bungaaa!" Aku tidak menghiraukan panggilannya. Aku memilih memasuki kelas.

Kejadian hari ini benar-benar di luar dugaan. Aku tidak pernah menyangka kalau Dika bisa berpikiran sejauh itu. Begitu mudahnya dia ingin menjadi orang ketiga dalam hubunganku dan Mas Ezza. Itu tidak akan mungkin. Walaupun pernikahan dan hubungan yang kami jalani tidak didasari cinta, tetapi aku akan selalu menghargainya. Apa pun yang terjadi, Mas Ezza suamiku, juga jodoh pilihan Papa dan Mama.

🏵️🏵️🏵️

"Pasti bahagia banget, yah, tadi ketemu dan ngobrol sama Dika." Mas Ezza kembali mengingatkan kejadian di kampus tadi pagi.

"Apa, sih, Mas?" Aku menjawab obrolannya sambil mengerjakan tugas Matematika Keuangan.

"Buktinya tadi waktu kamu diajak ngobrol tetap diam. Kalau memang nggak suka, kenapa tidak langsung masuk kampus?" Mas Ezza mulai menunjukkan aura kekesalan.

"Dia menyapaku, aku balas, dong, Mas."

"Tapi nggak harus lama-lama gitu juga kali tegur sapanya."

"Kamu akhir-akhir ini aneh banget, Mas."

"Aneh kenapa?"

"Sikap kamu itu, loh, seolah-olah kamu cemburu banget kalau aku dideketin cowok lain."

"Nggak salah, dong, kalau seorang suami marah melihat istrinya digodain cowok lain."

"Kamu terlalu berlebihan, Mas."

"Bagiku sikap seperti itu biasa. Tidak suka kalau pasangannya dekat dengan orang lain, dan orang lain itu lawan jenis pasangannya. Buktinya waktu Cindy minta nomorku, kamu juga nggak suka dan uring-uringan." Mas Ezza sepertinya sengaja mengingatkanku tentang Cindy.

"Itu biasa, Mas. Aku melihat kalian ngobrol hanya dari jarak jauh. Kalau kamu beda, langsung nyamperin. Ada apa denganmu, Mas?" Aku tetap membela diri dan merasa heran dengan sikap Mas Ezza.

"Jadi, kamu merasa terganggu waktu aku nyamperin kamu dan Dika tadi pagi?"

"Maksudnya bukan itu, Mas. Kamu kenapa, sih, nggak percaya sama istri sendiri?" Aku meletakkan balpoin dan memilih berhenti mengerjakan tugas.

"Gimana mau percaya, aku melihat dengan mata kepalaku sendiri kalau kamu sangat menikmati obrolan dengan lelaki lain." Aku kaget mendengar penuturan Mas Ezza.

"Jahat kamu, Mas. Sehina itu aku di matamu. Apa aku pernah berbuat yang tidak kamu suka? Dengan kebesaran hati, aku ikhlas menikah denganmu, Mas. Walaupun kamu tahu saat itu pernikahan belum pernah terpikirkan olehku, usiaku masih sangat dini untuk menyandang status sebagai istri. Tapi aku tetap menerima perjodohan kita dan bersedia menikah denganmu. Apa lagi yang kurang, Mas? Dan sekarang kamu tega menuduhku berbuat sesuatu yang tidak aku lakukan. Sebenci itukah kamu padaku? Kalau dulu kamu tidak menyetujui perjodohan kita, kenapa kamu tidak menolaknya? Kamu berhak menikahi gadis pilihanmu, bukan menikahiku." Aku tidak kuat lagi menahan bening-bening kristal agar tidak jatuh dari mataku.

"Kenapa kamu mikirnya sejauh itu, Dek?"

"Terus, aku harus mikir seperti apa, Mas?"

"Siapa bilang, aku menikah bukan dengan gadis pilihanku?"

"Itu fakta, Mas. Kita itu menikah karena kesepakatan orang tua kita."

"Itu nggak benar, Dek. Karena kenyataannya aku sangat mencintaimu." Aku hampir pingsan mendengar pengakuan dari mulutnya.

Ini tidak mungkin, aku tidak percaya dengan semua ini. Bagaimana mungkin Mas Ezza mencintaiku? Sementara pernikahan kami tidak didasari cinta. Hubungan kami diawali dengan perjodohan dan sebuah kesepakatan.

Apa mungkin perhatiannya selama ini karena cinta? Bukan semata-mata karena aku tanggung jawabnya? Aku belum sanggup dan tidak kuat mendengar pengakuan Mas Ezza. Apakah ini mimpi? Mimpi yang ternyata menjadi kenyataan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status