🏵️🏵️🏵️
Aku masih tetap melihat sesekali ke arah Mas Ezza dan Dika. Tampak jelas kalau wajah Mas Ezza langsung mengalami perubahan saat mendengar Dika menyebut namaku, tetapi mungkin dia tidak menyadari perubahan itu.
Aku ingin sekali menghampiri dua laki-laki itu lalu meminta Dika agar tidak mencari-cariku lagi. Aku tidak ingin terjadi kesalahpahaman di antara mereka berdua. Hati ini kesal dengan sikap Dika. Kenapa dia harus datang ke sini menemuiku?
"Ada perlu apa ketemu Bunga?" Aku mendengar kembali percakapan Mas Ezza dan Dika.
"Ingin ngobrol aja, Pak. Ingin melihat wajah cantiknya. Bapak pasti ngerti, dong, karena Bapak juga pernah muda." Aku benci mendengar alasan yang Dika berikan.
"Nama kamu siapa?" Mas Ezza kembali bertanya kepada Dika.
"Dika, Pak."
"Sejak kapan kamu kenal Bunga?"
"Kok, Bapak nanya jauh amat, yah?" Aku melihat jelas keheranan di wajah Dika setelah mendengar pertanyaan Mas Ezza.
"Nggak apa-apa, Bunga juga mahasiswi saya. Jadi, wajar kalau saya bertanya," ucap Mas Ezza beralasan.
"Cara Bapak bertanya seolah-olah Bapak ini kakak atau suaminya." Aku kaget mendengar penuturan Dika.
"Anggap saja saya kakaknya, berhak tahu tentang adiknya."
"Nggak bisa gitu, dong, Pak. Bapak tetap hanya sebagai dosennya."
Mas Ezza memang benar suamiku, Dika.
"Tapi maaf, Dika ... saya sedang ada perlu dengan Bunga. Jadi, saya akan memintanya ikut bersama saya ke ruangan dosen."
"Tapi, Pak ... saya ingin ngobrol sebentar aja. Paling tidak cuma ingin lihat wajahnya dan dengar suaranya. Boleh, yah, pak."
"Ini masalahnya penting, Dika. Pokoknya tidak bisa. Saya akan memanggil Bunga."
Setelah mendengar ucapan Mas Ezza, aku buru-buru ke tempat duduk. Aku tidak ingin kalau sampai dia tahu kalau aku sudah melihat dan mendengar pembicaraannya dengan Dika.
"Bunga!" Mas Ezza kembali memasuki kelas dan memanggil namaku.
"Iya, Pak." Aku berpura-pura kaget mendengar panggilannya.
"Ikut saya ke ruangan!" perintahnya.
"Ada apa, Pak?" tanyaku penasaran.
"Nanti saya jelasin di ruangan."
"Baik, Pak." Aku pun menghampirinya lalu kami menuju ruangannya.
Aku sangat bersyukur, saat kami melangkah keluar kelas, Dika sudah pergi. Aku sangat yakin, ini pasti cara Mas Ezza untuk mengelabuhi Dika supaya tidak bertemu denganku. Terbukti waktu berada di ruangan dosen, dia hanya memintaku duduk. Dia tidak berbicara apa-apa, tetapi terlihat wajahnya sangat murung.
🏵️🏵️🏵️
Siang ini setelah menjemputku di kampus, Mas Ezza termenung duduk di ruang keluarga. Biasanya setelah dia mengantarku ke rumah, dia akan kembali ke kantor. Rasa penasaran dan ingin tahuku memaksa untuk bertanya kepadanya.
"Kamu nggak ke kantor, Mas?"
"Nggak, Dek. Aku udah minta izin ke Papa tadi," jawab Mas Ezza dengan suara kurang semangat.
"Kamu kenapa, Mas? Nggak enak badan? Apa yang sakit?" tanyaku heran.
"Hatiku." Jawaban Mas Ezza hingga membuatku bingung.
"Aku nggak ngerti, Mas."
"Dika itu siapa?" Aku kaget mendengar Mas Ezza tiba-tiba menyebut nama Dika.
"Dika siapa, Mas?" Aku berpura-pura tidak mengenal Dika.
"Jangan pura-pura nggak tahu, Dek."
"Beneran, Mas. Aku nggak ngerti maksud kamu."
"Tadi di kampus, ada mahasiswa yang nyari kamu, ngakunya bernama Dika."
"Ooo ... Dika itu, toh." Akhirnya, aku jujur juga kalau aku mengenal Dika.
"Lah, tadi katanya nggak tahu."
"Aku baru ingat, Mas. Dika itu cowok yang baru aku kenal di kampus. Untuk apa dia mencariku, Mas?" lanjutku berbohong. Dia tidak tahu kalau aku sudah mengetahui niat Dika menemuiku.
"Katanya pengen ngobrol, pengen lihat wajahmu." Dia tidak tahu kalau aku mendengar semua pembicaraan mereka.
"Dia ngomong seperti itu ke kamu, Mas? Ha-ha-ha!" Aku berpura-pura tertawa. Aku banyak berpura-pura, yah. Aku terpaksa.
"Kenapa ketawa? Ada yang lucu?"
"Yah, lucu, dong, Mas. Hanya karena Dika ngomong gitu aja, kamu langsung uring-uringan. Males ngantorlah ... sakit hatilah."
"Jadi, kamu seneng digombalin cowok lain, Dek?"
"Siapa yang gombalin, sih, Mas? Dika itu bukan siapa-siapa, cuma teman. Itu juga baru kenal."
"Tapi yang aku lihat, dia sepertinya naksir kamu."
"Makin ngaco, deh, ngomongnya. Lagian, gitu aja dipikirin. Cemburu, yah?"
"Aku nggak suka lihat cowok lain mendekati istriku."
"Tapi kamu juga pernah ngobrol dengan Cindy." Kesempatan bagiku untuk mengungkit kejadian saat Cindy meminta nomor kontak Mas Ezza.
"Tapi, responsku biasa aja ke Cindy."
"Jadi, menurut kamu responsku seperti apa ke Dika? Tega kamu, Mas."
"Aku nggak bilang apa-apa, Dek."
"Tadi kamu bilang respons kamu ke Cindy biasa aja. Jadi, menurut kamu responsku ke Dika luar biasa?" Aku kesal mendengar penuturan Mas Ezza.
"Tapi kenapa Dika ngebet banget ingin ketemu kamu, Dek?"
"Mana kutahu, Mas. Itu urusan dia."
"Jangan-jangan kamu sering ngobrol dengan Dika tanpa sepengetahuanku." Tuduhan Mas Ezza benar-benar menyakitkan.
"Terserah kamu menilaiku seperti apa, Mas. Malas berdebat sama kamu." Aku segera meninggalkan Mas Ezza di ruang TV lalu masuk kamar.
Aku sedih dengan tuduhan yang Mas Ezza tujukan. Dia tidak tahu kalau aku berusaha berbicara dengan ketus kepada Dika supaya laki-laki itu tidak mendekatiku lagi.
🏵️🏵️🏵️
Semenjak kejadian perdebatan dengan Mas Ezza, aku lebih memilih banyak diam. Saat ini, dia akan mengantarku ke kampus. Kami tetap diam seribu bahasa di mobil. Aku malas memulai pembicaraan kalau mengingat tuduhannya kepadaku.
"Maafin aku, Dek." Tiba-tiba dia membuka pembicaraan sambil mengemudi.
"Maaf untuk apa, yah?" Aku tetap dengan sikap jual mahal.
"Maaf atas sikapku kemarin." Tangan kirinya meraih tanganku.
"Apaan, sih, Mas?" Aku menepiskan tangannya.
"Kamu masih marah, Dek?" tanya Mas Ezza.
"Untuk apa marah sama kamu, Mas?"
"Aku janji, Dek, akan selalu percaya padamu."
"Terserah kamu, Mas. Turunin aku di sini!" Seperti biasa aku menolak turun di depan pintu gerbang kampus.
"Kamu hati-hati, yah, jangan mau dilirik cowok lain. Cukup aku aja yang lirik."
"Lebay banget, sih, kamu. Heran, deh."
"Biarin dibilang lebay."
"Udah, ah, aku mau masuk dulu. Kamu hati-hati," ucapku lalu turun dari mobil.
"Okeh, Istriku." Mas Ezza selalu dengan gaya lebay-nya.
Tanpa sepengetahuan Mas Ezza, aku melihat dirinya masih tetap memperhatikanku dari jauh. Tidak seperti biasanya, dia pasti langsung meluncur ke kantor.
"Pagi, Bunga." Omg, Dika menyambutku di pintu gerbang dengan senyuman yang sangat manis. Aku yakin senyuman itu sudah dipersiapkan dari tadi. Hanya sekadar menebak saja. He-he!
"Pagi juga," balasku menjawab sapaannya.
"Cantik banget pagi ini." Dika mengeluarkan gombalannya.
"Terima kasih," jawabku singkat.
"Kemarin aku ke kelasmu, aku nyariin kamu. Tapi Pak Ezza bilang lagi ada perlu sama kamu. Ya, udah, deh, aku ngalah." Inilah yang membuat Mas Ezza uring-uringan di rumah.
"Ada perlu apa, yah, nyariin aku?" Aku ingin tahu lebih jelas apa alasan Dika.
"Pengen ketemu aja, pengin lihat wajahmu."
"Aku mohon, untuk ke depannya jangan nyariin aku, yah. Please banget."
"Kenapa, Bunga? Ada yang salah dengan sikapku?"
"Nggak, Dika. Tapi aku udah punya kekasih."
"Sebelum janur kuning melengkung, masih bisa, dong, aku deketin kamu. Belum ada ikatan yang sah dengan cowok lain." Dika tetap ingin mendekatiku.
Kamu nggak tahu Dika, aku udah punya suami.
🏵️🏵️🏵️Tanpa kusadari, tiba-tiba mobil Mas Ezza menghampiri kami yang masih berdiri di depan pintu gerbang. Aku bingung harus berbuat apa karena aku tidak ingin Mas Ezza salah paham karena melihat kami berbicara.Aku juga tidak ingin kalau sampai dia uring-uringan lagi seperti kemarin. Aku harus tetap bersikap tenang untuk menghadapi situasi sekarang.Tiiittt! Tiiittt! Tiiit!Mas Ezza membunyikan klakson mobilnya dengan sangat keras dan berulang-ulang hingga membuatku sangat terkejut. Aku memilih menutup telinga dengan kedua telapak tangan. Dia pun menghentikan mobilnya di depan kami lalu aku menurunkan tangan dari telinga."Ngapain masih di luar?" tanya Mas Ezza dari jendela mobilnya."Ada Pak Ezza. Selamat pagi, Pak." Dika memberikan salam kepada Mas Ezza."Pagi juga. Kamu, Dika, yah? Kemarin kamu juga yang nyariin Bunga?""Iya, Pak. Bapak masih ingat aja dengan wajah tampan saya.""Ingat banget malah. Kenapa tidak langsung masuk ke kampus?" tanya Mas Ezza kepada Dika."Sebentar,
POV EZZA🏵️🏵️🏵️Namaku Ezza Saputra, anak tunggal Papa Satia Perdana dan Mama Susi Maharani. Aku memiliki istri yang sangat cantik dan menggemaskan, Bunga Cantika. Usia kami terpaut enam tahun. Aku mulai tertarik kepadanya saat dia baru duduk di bangku SMP kelas sembilan. Saat itu, kami belum saling mengenal, aku mengaguminya dari jarak jauh atau pengagum rahasia.Papaku dan papanya sudah berteman sejak lama hingga keduanya membangun usaha di bidang yang sama juga. Ketika awal merintis, mereka sangat yakin kalau perusahaan yang mereka bangun pasti akan sukses dan berkembang. Apa yang mereka harapkan akhirnya menjadi kenyataan, usaha itu sangat berkembang pesat dan meningkatkan keuangan keluargaku dan keluarga Bunga.Aku masih sangat ingat saat pertama kali melihat Bunga, kala itu dia mendatangi kantor papanya bersama mamanya. Secara kebetulan, aku dan Papa juga harus berkunjung ke sana karena ada sesuatu hal serius yang harus dibicarakan."Apa kabar, Sat?" Papanya Bunga menyalami pa
POV EZZA🏵️🏵️🏵️"Sebelumnya Ezza minta maaf, Om. Maaf kalau Ezza lancang. Tujuan menemui Om ke sini untuk menyampaikan apa yang Ezza rasakan saat ini," jelasku saat berada dalam ruangan Om Akbar."Santai aja, Nak Ezza. Katakan saja apa yang ingin kamu sampaikan.""Sebenarnya, Ezza menyukai anak Om." Aku dengan tubuh gemetar, akhirnya berhasil mengeluarkan kalimat itu.Akan tetapi, aku merasa heran karena melihat senyuman Om Akbar, seperti mengandung makna. Beliau tidak kaget dengan pengakuanku, justru senyuman yang beliau berikan kepadaku."Maaf, Om ... ada yang salah dengan ucapan Ezza?" tanyaku penasaran."Nggak, Nak Ezza. Papa dan Mama kamu tahu tentang hal ini?" Pertanyaan Om Akbar membuatku bingung."Tahu, Om. Mereka juga sangat mendukung," ucapku jujur."Mereka pasti ngerjain kamu, nih.""Maksudnya, Om?" Aku makin bingung."Om dan Tante Bella, juga orang tuamu sudah merencanakan perjodohan kamu dan Bunga sejak awal, tapi Bunga belum mengetahui rencana ini sama sekali. Om meras
POV EZZA 🏵️🏵️🏵️Setelah acara pertunangan selesai, aku berusaha mendekati Bunga dengan mengajaknya mencari udara segar di taman rumahnya."Selamat ulang tahun, yah, Dek. Semoga tercapai yang kamu inginkan dan cita-citakan." Aku menyalami Bunga."Makasih, Mas," balas Bunga dengan senyuman terpaksa. Wajahnya menunjukkan itu."Aku tahu kamu pasti merasa kesal karena pertunangan ini." Aku kembali memulai obrolan."Awalnya aku sangat marah, Mas. Namun, setelah mendengar penjelasan Papa, aku akan berusaha ikhlas, aku tidak ingin menyakiti orang tuaku. Usaha Papa jauh lebih berarti dari perasaanku. aku ingin menjadi anak yang berbakti," ucap Bunga."Iya, Dek. Aku juga nggak ingin mengecewakan orang tua, akhirnya aku menyetujui pertunangan ini. Kita jalani aja, yah, Dek ... dan berusaha untuk ikhlas."Maafin aku Bunga, aku terpaksa harus berbohong. Kamu tidak tahu kalau aku sudah lama mencintaimu."Iya, Mas, " jawab Bunga sambil melemparkan senyuman kepadaku.Bahagia rasanya, akhirnya aku
POV EZZA .🏵️🏵️🏵️Bulan madu yang kami jalani sungguh sangat nikmat karena aku melihat senyum kebahagiaan terpancar dari bibir Bunga. Tidak ada kata indah bagiku selain menyaksikan wajah cerianya.Akan tetapi, bulan madu yang kami rasakan sangat jauh berbeda dengan pasangan suami istri pada umumnya. Namun, aku tetap menikmatinya. Bagiku yang terpenting adalah melihat kembali senyum kebahagiaan di bibir Bunga.Korea merupakan negara idaman Bunga karena sejak lama, dia ingin menginjakkan kaki di negara itu. Mertuaku paling mengerti dan memahami isi hati putrinya. Saat Bunga sedang bingung dengan status barunya, mertuaku memberikan sesuatu yang bisa membuat hati anak tunggal mereka berubah drastis.Bunga yang awalnya sering murung, manyun, tiba-tiba menjadi manis. Aku berjanji akan selalu memberikan yang terbaik untuknya, seperti yang telah dilakukan oleh orang tuanya.Setelah kembali ke Indonesia, aku mulai aktif membantu Papa di perusahaannya karena anak tunggalnya ini telah sukses m
POV EZZA 🏵️🏵️🏵️Setelah beberapa bulan mengajar di kampus Bunga, aku sangat khawatir karena seorang mahasiswa bernama Dika mencoba mendekatinya. Awal aku mengenal Dika ketika baru selesai mengajar dan akan meninggalkan kelas Bunga kala itu. Aku berpapasan dengannya."Pagi, Pak." Dia menyapaku."Pagi juga. Kamu bukan mahasiswa semester satu, 'kan?" tanyaku yakin karena sebelumnya tidak pernah melihatnya."Bukan, Pak. Saya semester lima.""Ada perlu apa ke sini?" tanyaku penasaran."Mau ketemu mahasiswi di kelas ini." Perasaanku tidak enak."Namanya siapa?" Rasa penasaranku makin menggebu."Bunga, Pak," jawabnya dengan santai.Rasanya, aku tidak ingin memercayai apa yang keluar dari mulutnya."Nama kamu siapa?" tanyaku kembali."Dika, Pak.""Ada perlu apa ketemu Bunga?" Aku makin ingin tahu."Ingin melihat wajah cantiknya."Hatiku serasa hancur mendengar pengakuan Dika. Ingin rasanya mengungkapkan status Bunga yang sebenarnya dan mengingatkan kalau dia telah melakukan kesalahan karen
🏵️🏵️🏵️"Kalau kamu memang benar mencintaiku, kamu akan jujur dan mengatakan yang sebenarnya padaku, Mas." Cinta Mas Ezza aku jadikan senjata untuk mengetahui yang sebenarnya."Aku harus jujur apa lagi, Dek? Aku nggak pernah berbohong tentang cinta dan perasaanku padamu.""Okeh, kalau kamu tidak mau mengatakan yang sebenarnya. Mulai sekarang, aku tidak akan percaya lagi padamu." Aku berdiri dan mengancamnya."Dek ...." Dia menarik tanganku hingga aku duduk kembali."Lepasin!" Aku menepiskan tangannya."Aku akan jujur semuanya padamu, tapi kamu harus janji untuk tidak membenci orang tua kita.""Iya, aku janji.""Sebenarnya, saat itu usaha papamu baik-baik aja, tapi karena orang tua kita telah berjanji dari dulu untuk mengikat hubungan mereka dari teman menjadi besan, maka mereka berencana menjodohkan anak-anak mereka setelah dewasa. Tapi sebelum perjodohan itu terlaksana, aku sudah jatuh cinta padamu. Aku merasa lega dengan rencana orang tua kita, aku merasa bahagia karena akan bersat
🏵️🏵️🏵️Setelah tiba di rumah orang tuaku, Mama tampak terkejut melihat kedatanganku."Ezza mana, Sayang? Kenapa kamu datang sendiri?" Mama langsung melontarkan pertanyaan itu."Dia di rumahnya," jawabku kesal."Rumahnya? Kok, kamu ngomongnya gitu? Rumah dia, yah, rumah kamu juga. Dia suamimu dan kamu istrinya.""Suami dan istri yang sudah diatur dengan sebuah rencana dan persekongkolan yang Mama dan Papa ciptakan?""Maksud kamu apa, Sayang?" Mama terlihat kaget mendengar penuturanku."Mama masih pura-pura nggak tahu dengan maksud ucapan Bunga?""Mama nggak ngerti, Sayang.""Mama tega sama anak sendiri. Kebodohan Bunga karena mempercayai skenario yang telah kalian ciptakan dua tahun yang lalu.""Skenario apa? Kenapa tiba-tiba kamu ngomong seperti ini?""Mama kaget karena Bunga sudah tahu semua rencana yang telah kalian jalankan?""Ada apa denganmu, Nak?""Kenapa Mama tega mengorbankan masa muda Bunga dan memaksa Bunga menikah di usia dini? Apa salah Bunga, Mah?" Aku berusaha menahan