🏵️🏵️🏵️
Sekarang aku mulai menikmati keadaan di kampus. Bahagia rasanya karena telah menemukan seorang teman yang sangat baik dan pengertian, namanya Reva. Dia duduk di sebelah kananku. Keramahan dan kelembutannya yang membuatku ingin menjadikannya sebagai sahabat.
Aku masih ingat awal perkenalan kami saat itu. "Hai," sapanya dengan senyuman ramah.
"Hai juga," balasku sambil mengembangkan senyuman juga.
"Aku Reva." Dia mengulurkan tangannya.
"Aku Bunga," balasku lalu menerima jabatan tangannya.
Semenjak perkenalan itu, kami selalu bersama ke kantin dan duduk di kala menunggu waktu mata kuliah dimulai.
Hari ini sebelum kelas dimulai, aku dan Reva ke kantin bersama. Kami ingin menyantap nasi goreng buatan ibu kantin. Aku harus sarapan di sana karena tadi pagi tidak sempat makan di rumah.
Saat menikmati sarapan, tiba-tiba dua orang mahasiswa menghampiri tempat duduk kami. Sepertinya aku mengenali salah satu dari mereka. Benar, ternyata setelah mereka makin dekat, aku baru ingat kalau dia Dika, mahasiswa yang baru kukenal tadi pagi.
"Boleh gabung, nggak?" tanya Dika kepadaku.
"Silakan," jawabku. Kebetulan masih ada dua bangku yang masih kosong.
"Lagi sarapan, yah?" lanjut Dika.
"Iyalah, nggak lihat, nih, lagi ngunyah?" balasku dengan ketus.
"Lagi dapet, Neng? Kok, ketus banget jawabnya," protes Dika.
"Udah tahu juga lagi sarapan, masih nanya," jawabku dengan nada kesal.
"Maaf, deh. Oh, yah, aku sengaja nyamperin kamu ke sini. Tadi aku ke kelasmu, tapi salah satu temenmu bilang kalau kamu lagi di kantin."
"Nyamperin aku? Ada perlu apa?" tanyaku penasaran.
"Pengen lihat kamu." What? Pengakuan Dika membuatku merasa geli.
Aku bisa bayangin bagaimana reaksi Mas Ezza kalau dia tahu ada lelaki lain yang ingin bertemu istrinya. Membayangkannya saja aku senyum-senyum sendiri.
"Kok, kamu senyum-senyum, Bunga? Aku seneng, deh, kalau kamu juga suka ketemu aku." Sepertinya Dika tipe lelaki baperan seperti Mas Ezza. Omg, kenapa aku harus dihadapkan dengan lelaki seperti mereka?
"Baper, deh. Aku lagi inget sesuatu yang lucu," jawabku dengan yakin.
"Yah, akunya udah seneng, ternyata senyuman itu untuk hal lain." Dika menunjukkan wajah kecewa.
"Udah, yah, kami mau masuk kelas, nih," ucapku lalu berdiri untuk membayar sarapan yang aku nikmati bersama Reva.
"Pulang kuliah ada yang jemput, nggak? Kalau nggak ada, aku anterin pulang, yah. Boleh, nggak?" Aku makin bingung dengan tingkah Dika.
"Sorry, yah, aku selalu diantar jemput setiap hari."
Orang yang antar jemput aku, yah, suamiku.
"Ooo ... ya udah nggak apa-apa. Next time kita ngobrol lagi, yah. Sampai ketemu."
"Bye," balasku lalu keluar kantin.
🏵️🏵️🏵️
"Tadi belajar mata kuliah apa, Dek?" tanya Mas Ezza saat menjemputku ke kampus.
"Tumben kamu pengen tahu aku belajar apa."
"Seorang suami harus tahu, dong, kegiatan istrinya."
"Nggak juga. Masak semuanya harus tahu."
"Jadi nggak suka, nih, diperhatiin suami?"
"Itu namanya bukan perhatian, tapi posesif."
"Nggak apa-apa, biarin dibilang posesif. Wajar, dong, sama istri sendiri juga."
"Tapi aku nggak suka, Mas. Stop, aku mau beli rujak sebentar." Aku meminta Mas Ezza menghentikan mobil karena melihat pedagang rujak.
"Kamu mau makan rujak, Dek?" tanya Mas Ezza. Wajahnya tampak heran.
Aku tidak menghiraukan pertanyaannya. Aku segera membuka pintu lalu turun membeli rujak. Dia menunggu sambil memperhatikanku dari balik jendela kaca mobil.
"Kamu ngidam, yah, Dek?" Pertanyaan itu langsung dia tujukan setelah aku kembali memasuki mobil.
"Kamu apaan, sih, mas. Makan rujak harus ngidam, yah?" Aku merasa kesal.
"Aku juga heran. Kok, bisa ngidam? Buatnya kapan, coba?" Mas Ezza senyum-senyum dengan ucapan yang dia sampaikan kepadaku.
"Kamu itu selalu nyebelin, yah." Aku mencubit pinggangnya sangat kuat.
"Ampun, Dek." Mas Ezza memegang tanganku. Tanpa disengaja mata kami berpandangan sangat dekat, hidung juga hampir bersentuhan.
"Awas, Mas!" Aku tersadar lalu mendorong tubuhnya.
"Maaf, Dek." Wajah Mas Ezza tampak memerah melihatku.
🏵️🏵️🏵️
Minggu ini seperti biasa, Mas Ezza akan memberikan materi Akuntansi di kelasku. Dia dengan gagahnya berdiri di depan kelas untuk menjelaskan mata kuliah favorit kami berdua tersebut.
"Hari ini pembahasan materinya masih tentang aktiva. Aktiva lancar." Mas Ezza mulai mengajar.
"Aktiva lancar itu apa, Pak?" Lagi-lagi, sepertinya Cindy berusaha untuk mendapatkan perhatian Mas Ezza.
"Aktiva Lancar merupakan aktiva yang diharapkan dapat dicairkan atau diuangkan tidak lebih dari satu tahun atau satu siklus akuntansi." Mas Ezza memberikan penjelasan.
"Contohnya apa, Pak?" tanya Cindy lagi. Dadaku terasa sesak.
"Bunga!" Suara Mas Ezza tiba-tiba memanggil namaku.
"Iya, Pak," jawabku. Aku tidak tahu apa yang akan dia katakan.
"Sebutkan contoh aktiva lancar yang kamu ketahui!" Ternyata Mas Ezza memberiku pertanyaan.
"Kas, piutang, perlengkapan," jawabku dengan yakin.
"Bagus." Mas Ezza memberiku tepuk tangan.
Kenapa sih, Mas, kamu selalu nyebelin? Nggak hanya di rumah, tetapi di kampus juga tetap saja bikin kesal? Seandainya ini di rumah, aku pasti cubit pinggang kamu sekuat tenaga.
"Dari kemarin, Bunga mulu, deh, yang ditanyain Pak Ezza. Mentang-mentang dia cantik, yang lain nggak diperhatiin." Seperti biasa, aku selalu mendengar gerutu mahasiswi di belakangku.
🏵️🏵️🏵️
Setelah jam mata kuliah Akuntansi selesai, Mas Ezza segera bergegas lalu meninggalkan kelas. Saat dia mulai melangkah, aku melihat dirinya berpapasan dengan seorang mahasiswa, ternyata Dika. Dia memberikan salam kepada Mas Ezza. Aku mendengar pembicaraan mereka dari dalam kelas lalu sesekali melihat ke arah dua laki-laki tersebut.
"Pagi, Pak," sapa Dika kepada Mas Ezza.
"Pagi. Kamu bukan mahasiswa di kelas ini, 'kan?" tanya Mas Ezza tampak yakin.
"Bukan, Pak. Saya semester lima," jawab Dika.
"Ada perlu apa ke kelas ini?" tanya Mas Ezza dan nadanya seperti orang penasaran.
"Saya mau ketemu mahasiswi di kelas ini, Pak."
"Mau ketemu siapa?" Sepertinya rasa ingin tahu Mas Ezza makin meningkat.
"Bunga, Pak," jawab Dika.
🏵️🏵️🏵️Aku masih tetap melihat sesekali ke arah Mas Ezza dan Dika. Tampak jelas kalau wajah Mas Ezza langsung mengalami perubahan saat mendengar Dika menyebut namaku, tetapi mungkin dia tidak menyadari perubahan itu.Aku ingin sekali menghampiri dua laki-laki itu lalu meminta Dika agar tidak mencari-cariku lagi. Aku tidak ingin terjadi kesalahpahaman di antara mereka berdua. Hati ini kesal dengan sikap Dika. Kenapa dia harus datang ke sini menemuiku?"Ada perlu apa ketemu Bunga?" Aku mendengar kembali percakapan Mas Ezza dan Dika."Ingin ngobrol aja, Pak. Ingin melihat wajah cantiknya. Bapak pasti ngerti, dong, karena Bapak juga pernah muda." Aku benci mendengar alasan yang Dika berikan."Nama kamu siapa?" Mas Ezza kembali bertanya kepada Dika."Dika, Pak.""Sejak kapan kamu kenal Bunga?""Kok, Bapak nanya jauh amat, yah?" Aku melihat jelas keheranan di wajah Dika setelah mendengar pertanyaan Mas Ezza."Nggak apa-apa, Bunga juga mahasiswi saya. Jadi, wajar kalau saya bertanya," uca
🏵️🏵️🏵️Tanpa kusadari, tiba-tiba mobil Mas Ezza menghampiri kami yang masih berdiri di depan pintu gerbang. Aku bingung harus berbuat apa karena aku tidak ingin Mas Ezza salah paham karena melihat kami berbicara.Aku juga tidak ingin kalau sampai dia uring-uringan lagi seperti kemarin. Aku harus tetap bersikap tenang untuk menghadapi situasi sekarang.Tiiittt! Tiiittt! Tiiit!Mas Ezza membunyikan klakson mobilnya dengan sangat keras dan berulang-ulang hingga membuatku sangat terkejut. Aku memilih menutup telinga dengan kedua telapak tangan. Dia pun menghentikan mobilnya di depan kami lalu aku menurunkan tangan dari telinga."Ngapain masih di luar?" tanya Mas Ezza dari jendela mobilnya."Ada Pak Ezza. Selamat pagi, Pak." Dika memberikan salam kepada Mas Ezza."Pagi juga. Kamu, Dika, yah? Kemarin kamu juga yang nyariin Bunga?""Iya, Pak. Bapak masih ingat aja dengan wajah tampan saya.""Ingat banget malah. Kenapa tidak langsung masuk ke kampus?" tanya Mas Ezza kepada Dika."Sebentar,
POV EZZA🏵️🏵️🏵️Namaku Ezza Saputra, anak tunggal Papa Satia Perdana dan Mama Susi Maharani. Aku memiliki istri yang sangat cantik dan menggemaskan, Bunga Cantika. Usia kami terpaut enam tahun. Aku mulai tertarik kepadanya saat dia baru duduk di bangku SMP kelas sembilan. Saat itu, kami belum saling mengenal, aku mengaguminya dari jarak jauh atau pengagum rahasia.Papaku dan papanya sudah berteman sejak lama hingga keduanya membangun usaha di bidang yang sama juga. Ketika awal merintis, mereka sangat yakin kalau perusahaan yang mereka bangun pasti akan sukses dan berkembang. Apa yang mereka harapkan akhirnya menjadi kenyataan, usaha itu sangat berkembang pesat dan meningkatkan keuangan keluargaku dan keluarga Bunga.Aku masih sangat ingat saat pertama kali melihat Bunga, kala itu dia mendatangi kantor papanya bersama mamanya. Secara kebetulan, aku dan Papa juga harus berkunjung ke sana karena ada sesuatu hal serius yang harus dibicarakan."Apa kabar, Sat?" Papanya Bunga menyalami pa
POV EZZA🏵️🏵️🏵️"Sebelumnya Ezza minta maaf, Om. Maaf kalau Ezza lancang. Tujuan menemui Om ke sini untuk menyampaikan apa yang Ezza rasakan saat ini," jelasku saat berada dalam ruangan Om Akbar."Santai aja, Nak Ezza. Katakan saja apa yang ingin kamu sampaikan.""Sebenarnya, Ezza menyukai anak Om." Aku dengan tubuh gemetar, akhirnya berhasil mengeluarkan kalimat itu.Akan tetapi, aku merasa heran karena melihat senyuman Om Akbar, seperti mengandung makna. Beliau tidak kaget dengan pengakuanku, justru senyuman yang beliau berikan kepadaku."Maaf, Om ... ada yang salah dengan ucapan Ezza?" tanyaku penasaran."Nggak, Nak Ezza. Papa dan Mama kamu tahu tentang hal ini?" Pertanyaan Om Akbar membuatku bingung."Tahu, Om. Mereka juga sangat mendukung," ucapku jujur."Mereka pasti ngerjain kamu, nih.""Maksudnya, Om?" Aku makin bingung."Om dan Tante Bella, juga orang tuamu sudah merencanakan perjodohan kamu dan Bunga sejak awal, tapi Bunga belum mengetahui rencana ini sama sekali. Om meras
POV EZZA 🏵️🏵️🏵️Setelah acara pertunangan selesai, aku berusaha mendekati Bunga dengan mengajaknya mencari udara segar di taman rumahnya."Selamat ulang tahun, yah, Dek. Semoga tercapai yang kamu inginkan dan cita-citakan." Aku menyalami Bunga."Makasih, Mas," balas Bunga dengan senyuman terpaksa. Wajahnya menunjukkan itu."Aku tahu kamu pasti merasa kesal karena pertunangan ini." Aku kembali memulai obrolan."Awalnya aku sangat marah, Mas. Namun, setelah mendengar penjelasan Papa, aku akan berusaha ikhlas, aku tidak ingin menyakiti orang tuaku. Usaha Papa jauh lebih berarti dari perasaanku. aku ingin menjadi anak yang berbakti," ucap Bunga."Iya, Dek. Aku juga nggak ingin mengecewakan orang tua, akhirnya aku menyetujui pertunangan ini. Kita jalani aja, yah, Dek ... dan berusaha untuk ikhlas."Maafin aku Bunga, aku terpaksa harus berbohong. Kamu tidak tahu kalau aku sudah lama mencintaimu."Iya, Mas, " jawab Bunga sambil melemparkan senyuman kepadaku.Bahagia rasanya, akhirnya aku
POV EZZA .🏵️🏵️🏵️Bulan madu yang kami jalani sungguh sangat nikmat karena aku melihat senyum kebahagiaan terpancar dari bibir Bunga. Tidak ada kata indah bagiku selain menyaksikan wajah cerianya.Akan tetapi, bulan madu yang kami rasakan sangat jauh berbeda dengan pasangan suami istri pada umumnya. Namun, aku tetap menikmatinya. Bagiku yang terpenting adalah melihat kembali senyum kebahagiaan di bibir Bunga.Korea merupakan negara idaman Bunga karena sejak lama, dia ingin menginjakkan kaki di negara itu. Mertuaku paling mengerti dan memahami isi hati putrinya. Saat Bunga sedang bingung dengan status barunya, mertuaku memberikan sesuatu yang bisa membuat hati anak tunggal mereka berubah drastis.Bunga yang awalnya sering murung, manyun, tiba-tiba menjadi manis. Aku berjanji akan selalu memberikan yang terbaik untuknya, seperti yang telah dilakukan oleh orang tuanya.Setelah kembali ke Indonesia, aku mulai aktif membantu Papa di perusahaannya karena anak tunggalnya ini telah sukses m
POV EZZA 🏵️🏵️🏵️Setelah beberapa bulan mengajar di kampus Bunga, aku sangat khawatir karena seorang mahasiswa bernama Dika mencoba mendekatinya. Awal aku mengenal Dika ketika baru selesai mengajar dan akan meninggalkan kelas Bunga kala itu. Aku berpapasan dengannya."Pagi, Pak." Dia menyapaku."Pagi juga. Kamu bukan mahasiswa semester satu, 'kan?" tanyaku yakin karena sebelumnya tidak pernah melihatnya."Bukan, Pak. Saya semester lima.""Ada perlu apa ke sini?" tanyaku penasaran."Mau ketemu mahasiswi di kelas ini." Perasaanku tidak enak."Namanya siapa?" Rasa penasaranku makin menggebu."Bunga, Pak," jawabnya dengan santai.Rasanya, aku tidak ingin memercayai apa yang keluar dari mulutnya."Nama kamu siapa?" tanyaku kembali."Dika, Pak.""Ada perlu apa ketemu Bunga?" Aku makin ingin tahu."Ingin melihat wajah cantiknya."Hatiku serasa hancur mendengar pengakuan Dika. Ingin rasanya mengungkapkan status Bunga yang sebenarnya dan mengingatkan kalau dia telah melakukan kesalahan karen
🏵️🏵️🏵️"Kalau kamu memang benar mencintaiku, kamu akan jujur dan mengatakan yang sebenarnya padaku, Mas." Cinta Mas Ezza aku jadikan senjata untuk mengetahui yang sebenarnya."Aku harus jujur apa lagi, Dek? Aku nggak pernah berbohong tentang cinta dan perasaanku padamu.""Okeh, kalau kamu tidak mau mengatakan yang sebenarnya. Mulai sekarang, aku tidak akan percaya lagi padamu." Aku berdiri dan mengancamnya."Dek ...." Dia menarik tanganku hingga aku duduk kembali."Lepasin!" Aku menepiskan tangannya."Aku akan jujur semuanya padamu, tapi kamu harus janji untuk tidak membenci orang tua kita.""Iya, aku janji.""Sebenarnya, saat itu usaha papamu baik-baik aja, tapi karena orang tua kita telah berjanji dari dulu untuk mengikat hubungan mereka dari teman menjadi besan, maka mereka berencana menjodohkan anak-anak mereka setelah dewasa. Tapi sebelum perjodohan itu terlaksana, aku sudah jatuh cinta padamu. Aku merasa lega dengan rencana orang tua kita, aku merasa bahagia karena akan bersat