Apakah Bunga akan benar-benar berubah?
🏵️🏵️🏵️Hari ini, aku telah berjanji kepada Papa untuk kembali pulang bersama Mas Ezza. Perasaanku sudah mulai tenang dibandingkan beberapa hari yang lalu."Hari ini kita pulang, yah, Dek." Suara Mas Ezza mengagetkanku yang sedang mengemasi pakaian di kamar."Iya, Mas," jawabku singkat."Gitu, dong. Istriku baik, deh." Seperti biasa, dia mulai menggodaku."Kamu puas karena Papa dan Mama selalu belain kamu?""Menantu idaman, yah, Dek." Dia memainkan alisnya."Iya ... karena kamu sudah membantu mereka untuk membohongiku.""Kenapa bahas itu lagi, Dek? Kita lupain aja, yah. Kita membuka lembaran baru. Aku janji akan selalu membuatmu tersenyum." Mas Ezza memegang jemariku. Entah apa yang meluluhkan hatiku hingga tetap diam dan tidak menepiskan tangannya."Aku ...." Dia menempelkan jari telunjuk kanannya di bibirku, sedangkan tangan kirinya masih tetap menggenggam tanganku."Ssstttt! Aku nggak mau melihat kamu sedih karena mengingat hal itu. Itu jalan untuk mempersatukan kita. Aku sangat b
🏵️🏵️🏵️Seperti biasanya pagi ini, Mas Ezza mengantarkanku kuliah. Hari ini juga jadwalnya mengajar di kelasku. Aku diam seribu bahasa selama dalam perjalanan menunju kampus, tetapi dia tiba-tiba membuka pembicaraan."Kamu masih marah, yah, Dek?""Marah kenapa?" tanyaku ketus."Marah karena kejadian kemarin." Kenapa, sih, dia harus mengungkit kejadian itu? Malu."Udah, ah, lupain aja," jawabku."Tapi kenapa kamu diam aja?""Nggak apa-apa, lagi malas ngomong," balasku berbohong."Maaf, yah, kalau menurut kamu kejadian kemarin salah. Aku janji tidak akan mengulanginya lagi sebelum kamu benar-benar siap. Aku akan tetap sabar menunggunya." Kenapa sikapnya membuatku merasa bersalah?"Aku udah bilang, lupain aja. Jangan dibahas lagi. Bahas yang lain aja.""Okeh, Dek. Sekali lagi aku minta maaf.""Iya, Mas. Aku udah maafin," ucapku sambil berusaha tersenyum. "Btw, hari ini bahas materi tentang apa, Mas?" lanjutku untuk mengalihkan topik pembicaraan."Hari ini materinya tentang kas dan piuta
🏵️🏵️🏵️Aku tidak mampu menjawab pertanyaan Mas Ezza dan tidak tahu harus bagaimana. Untuk menghindar dari pertanyaan itu, aku mencoba membuka pintu mobil dan berniat turun. Namun, sebelum pintu terbuka, Mas Ezza menarik tanganku, dia sepertinya tidak membiarkanku keluar."Kenapa turunnya buru-buru, Dek? Kamu belum jawab pertanyaanku." Mas Ezza menggenggam tanganku."Lepasin, Mas. Aku mau turun, mau masuk kelas. Entar telat." Aku berusaha mencari alasan."Nggak mungkin telat, aku masih di sini. Kamu cari alasan. Aku cuma pengen kamu jawab pertanyaanku yang tadi, Dek." Ternyata dia menyadari alasan yang kuberikan."Tanya yang lain aja, deh, Mas. Kasih pertanyaan yang lebih mudah dipahami.""Apa susahnya, sih, Dek? Cuma jawab iya atau nggak. Aku hanya ingin tahu jawaban kamu seperti apa.""Aku nggak bisa jawab, Mas.""Ya, udah, kalau nggak mau jawab, aku nggak akan lepasin kamu. Kita tetap di sini aja." Aku makin tidak mengerti dengan pemikirannya."Jangan seperti ini, dong, Mas. Kamu
🏵️🏵️🏵️"Selamat pagi semuanya." Mas Ezza pun memasuki kelas.Dia melihat ke arahku, tatapan itu tidak seperti biasanya. Tatapan yang begitu tajam, seolah-olah ingin menghujam jantungku. Aku tidak berani membalas tatapan itu, aku pun memilih menunduk."Baiklah, sekarang kita lanjutkan sambungan dari materi sebelumnya, yaitu aktiva lancar. Kali ini kita akan membahas contoh aktiva lancar; kas dan piutang. Siapa yang masih ingat dan mengetahui definisi kas?" Mas Ezza memberikan pertanyaan."Saya, Pak." Aku mengacungkan tangan."Silakan, Bunga!" lanjutnya."Kas atau cash adalah aktiva lancar yang meliputi uang kertas atau logam dan benda-benda lain yang dapat digunakan sebagai media tukar atau alat pembayaran yang sah dan dapat diambil setiap saat.""Bagus, ternyata kamu masih ingat dengan pelajaran yang sudah berlalu. Semoga kamu juga tetap ingat hal-hal yang ada di rumahmu." Mas Ezza memujiku, tetapi kalimat terakhirnya seolah-olah menyudutkanku."Maaf, Pak ...." Cindy mengangkat tang
🏵️🏵️🏵️Dia mengikutiku dari belakang, aku sangat menyadarinya."Dek ...." Dia menggenggam tanganku memasuki kamar lalu menutup pintu. "Aku masih menunggu jawaban dari pertanyaanku tadi pagi, Dek," lanjutnya setelah kami duduk di tempat tidur."Kenapa, sih, Mas, masih tetap nanya itu lagi? Aku nggak bisa jawab," ucapku mengelak."Kamu nggak bisa jawab karena kamu tidak memiliki perasaan yang sama denganku? Atau karena kamu terpesona dengan perhatian Dika?" Aku kaget dengan tuduhannya terhadapku."Apa-apaan, sih, kamu, Mas? Kenapa kamu menuduhku seperti itu?""Jadi, aku harus tetap diam melihat istriku berbicara panjang lebar bersama laki-laki lain yang jelas-jelas memiliki perasaan cinta padanya?""Maksud kamu?""Kamu pikir aku nggak lihat kemesraan kamu tadi pagi bersama Dika?""Kemesraan kamu bilang, Mas?" Aku tidak terima dengan tuduhannya."Iya. Bisa-bisanya kamu masih ingin dekat dengan lelaki itu."Plaak!Aku tidak kuat mendengar tuduhan yang tidak kulakukan. Aku terpaksa menda
🏵️🏵️🏵️"Aku terpaksa, Dek. Aku tidak mau kalau kamu merasa terbebani dengan perasaanku yang sebenarnya karena tampak jelas di wajahmu kala itu kekesalan yang mendalam dengan adanya pertunangan kita.""Caramu salah, Mas. Seandainya kamu ngomong dari awal, aku pasti akan berusaha membuka diri untukmu.""Maafin aku, ya. Besarnya rasa cintaku padamu hingga aku tidak ingin melihatmu merasa tertekan. Aku sanggup memendam cinta dan perasaanku asalkan kamu bahagia hidup bersamaku." Dia kembali duduk disampingku."Tetapi kenapa pada akhirnya kamu jujur dengan perasaanmu yang sebenarnya, Mas?""Aku sakit saat kamu mengatakan kalau pernikahan kita tidak didasari cinta, tapi semuanya terjadi karena sebuah kesepakatan. Dan aku juga takut kalau kamu terpengaruh dan tergoda dengan perhatian Dika. Karena itu aku harus jujur dan mengungkapkan kenyataan yang sebenarnya." Ternyata dia tetap berpikir tentang Dika. "Aku sangat berharap kalau kamu juga akan membalas perasaanku karena yang kulihat selama
🏵️🏵️🏵️"Hampir aja tadi Cindy mengetahui hubungan kita, Mas." Aku memulai obrolan saat kami duduk santai di ruang TV malam ini."Bagus malah. Rasanya tadi aku mau bilang supaya dia nggak larang-larang aku senyum sama istriku." Mas Ezza mencubit pipiku."Jangan, dong, Mas. Aku belum siap," pintaku kepadanya."Iya, iya ... aku ngerti. Aku bercanda, kok.""Terima kasih, Mas.""Gitu aja langsung manyun, deh. Tapi aku tetap suka.""Hm," gumamku. "Oh, ya. Aku boleh rebahan di sini, Mas?" tanyaku sambil menunjuk ke pahanya."Nggak perlu minta izin, Dek. Aku suamimu.""Terima kasih, Mas." Aku pun melakukannya."Terima kasih karena kamu udah mulai membuka diri untukku. Aku sangat bahagia." Dia membelai rambutku."Aku akan tetap berusaha, Mas. Tunggu aku." Aku mencoba meyakinkan dirinya."Aku akan selalu sabar menunggu, Dek." Dia memainkan mata kanannya. Aku merasa tersanjung melihat tingkahnya.Dia mengusap-usap pipiku dengan lembut lalu membelai rambutku dengan sentuhan halus. Aku sangat ba
🏵️🏵️🏵️Seminggu telah berlalu, saat ini aku dan Mas Ezza sedang berada di kamar dan berbaring di tempat tidur yang sama. Aku merasa canggung karena jarak di antara kami sangat dekat. Malam ini tidak seperti biasanya karena dulu saat belum mengetahui perasaannya, aku meminta tidur terpisah. Selama dua tahun lebih, kami harus menjalani rutinitas itu.Walaupun sudah seminggu yang lalu, kata cinta itu keluar dari mulut Mas Ezza, tetapi tidak tahu kenapa aku belum siap tidur seranjang dengannya. Namun, malam ini perasaan bersalah menyelimuti hati dan pikiranku. Aku merasa sangat keterlaluan terhadap dirinya.Aku sedih kalau mengingat semuanya, sungguh teganya diriku melarang suami sendiri tidur bersamaku. Rasa ego yang kumiliki jauh lebih besar daripada naluri saat itu. Pantaskah aku disebut sebagai istri? Tanpa kuminta, bening kristal keluar dari pelupuk mataku."Maafin aku, Mas." Aku meminta maaf karena menyesali perbuatanku."Kenapa harus minta maaf, Dek?" Dia masih tetap dengan sikap