“Kenapa? Nggak sadar, ya?” katanya kembali tertawa kecil.Amanda langsung tersipu malu. Dia benar-benar malu kepergok seperti itu oleh orang yang baru dijumpainya. Namun, lelaki yang tampak begitu ramah lalu berdecak.“Rugi sekali kalau kamu mikirin orang yang bikin kamu sakit. Harusnya, kamu jadi lebih kuat dan balikin semua sakit hati kamu itu. Jangan sampai bersisa,” ucapnya tegas.Amanda menoleh pada lelaki itu dengan tatapan berbinar. Seakan mendapat sebuah asupan semangat yang begitu besar. Entahlah, padahal dia pernah mendapat saran itu dari beberapa orang, tetapi rasanya kali ini dia mendapat asupan semangat yang berbeda.“Apa dia pacar kamu?” lelaki itu kembali bertanya. Amanda hanya diam terpaku. Haruskah dia percaya pada orang yang baru pertama kali dia bertemu?Namun, entah kenapa Amanda seolah telah mengenal orang ini sejak lama.“Bu-bukan pacar. Dia … suamiku,” jawab Amanda gugup.“Ooh, kalian mau bercerai?” telisik lelaki itu lagi.Amanda menggeleng. “Be-lum. Kami belu
“Mas, nggak apa-apa, kan, kalau orangtuaku ikut pindah ke sini?” Yuni kembali mengulangi permintaannya yang sempat dia utarakan kemarin-kemarin.Fery terlihat berpikir sejenak. Sebetulnya dia tak ingin ada orang lain di rumahnya. Namun, rasanya tak enak juga menolak keinginan istri barunya itu.“Kok, kayak yang mikir gitu, sih? Nggak ikhlas ya kalau orangtuaku tinggal di sini?” sentak Yuni terdengar marah. Matanya mendelik kesal.“Bu-bukan begitu. Kita, kan pengantin baru. Aku maunya kita nikmati waktu berdua dulu untuk sementara. Kita puas-puasin mesra-mesraan. Lagian kita nggak sempet pacaran, kan? Nah, sekarang waktunya kita buat pacaran tanpa gangguan. Lagian, orangtua kamu, kan, nggak terlantar juga. mereka ada di rumahnya Radit. Nggak jauh juga dari kita,” ungkap Fery.Yuni kembali mendelik. “Ternyata kamu itu tipe laki-laki yang nggak sayang sama orang tua, ya, Mas.”“Bukan, begitu, Yun ….”“Ah, udah, ah. Kamu memang nggak sebaik Mas Adit. Dia itu selalu ngabulin permintaan is
Dua bulan berlalu. Kehidupan pernikahan Fery dan Yuni tidak bisa dibilang lancar, namun juga tidak bisa dibilang buruk. Fery banyak mengalah pada Yuni yang usianya jauh di bawahnya. Fery paham betul jika Yuni memang masih perlu bimbingan darinya. Berbeda dengan saat dia bersama Amanda, selalu wanita itu yang mengalah padanya.“Maass!” teriak Yuni dari kamar mandi. Fery yang hendak pergi ke rumah sakit pun berbalik menuju kamar mandi.“Iya, kenapa, Yun?” ucapnya sambil mengelus dada. Istri barunya ini benar-benar menguji kesabaran.“Tolong ambilkan pembalut, aku barusan dapet,” teriak Yuni terdengar merengek seperti seorang anak pada ayahnya. Fery menggeleng pelan. Seumur-umur dia belum pernah menyentuh yang namanya pembalut sebelum menikah dengan Yuni. Hanya ketika bersama dengan istri barunya itu dia bahkan harus mengurusi pembalut segala.“Iya, sebentar,” sahut Fery yang lalu menuju lemari yang berisikan barang-barang milik istrinya. Dia tahu di mana menyimpan benda itu, karena semi
Sesampainya di rumah sakit, Fery menyuruh seorang office boy untuk membelikannya makanan di kantin. Padahal biasanya saat dengan Amanda dulu, dia selalu sarapan di rumah dan sampai di rumah sakit langsung mengecek pasien ke ruangan. Namun sekarang, hidupnya terasa semakin kacau, terlebih setelah kehadiran kedua mertuanya di rumah.“Sarapan di sini lagi, Bro!” Radit yang melihat kebiasaan baru sahabatnya itu meledek.“Diem, deh, elu. Mentang-mentang punya bini perhatian, malah ngeledek,” sahut Fery yang mulai menyuap sarapannya.“Lah, bukannya Amanda dulu ngerawat elu dengan baik? Meski kalian nggak saling tergur sapa, tapi dia selalu menuhin semua kebutuhan elu, kan?” ujar Radit mengingatkan.Fery pun tersenyum miris mendengarnya. Memang benar apa yang dikatakan Radit, tetapi bila mengikuti kata hati … aah, rasanya sekarang dia tidak menemukan rasa mendingnya. Keduanya tetap terasa menjadi beban. Jika dengan Amanda dia merasa beban karena tak pernah ada rasa cinta meskipun wanita itu
Selesai makan malam yang sangat sederhana, Fery mengambil vacum cleaner dan mulai membersihkan debu juga remahan makanan yang terserak di lantai. Melewati Yuni yang sedang focus dengan ponselnya juga Narsih yang mulai menonton sinetron lagi. Sementara itu Narto sedang merokok di ruang tamu.“Waduh, Nak Fery jadi yang beres-beres,” ujar Narsih mengangkat kakinya ke atas sofa. “Maaf, lho, Nak Fery, Ibu nggak bisa pake peralatan yang begituan. Takut malah rusak.”Fery hanya mengulas senyum malas. Jika memang mereka ingin membantu beres-beres, pasti akan berusaha belajar, tetapi karena sudah sifatnya pemalas jadi segala macam jadi alasan.“Kenapa sih kamu nggak nyoba cari pembantu aja, Mas? biar nggak usah repot-repot lagi.” Yuni terdengar ngegas. Fery tak mau menjawab walaupun dia memang sudah membicarakan itu dengan Radit tadi siang dan sahabatnya itu pun berjanji akan mencarikan seseorang untuk menjadi ART di rumah Fery.Lelaki itu terus fokus membersihkan lantai yang banyak sekali rem
Dan di saat Fery akan berangkat ke Jakarta, Yuni menghadang sang suami dengan kemarahan.“Kamu nggak boleh pergi tanpa aku,” ancamnya dengan mata melotot. Kedua tangannya direntangkan menghalangi pintu.“Yun, please. Aku sedang tidak ingin berdebat. Sudah kubilang kalau saat ini aku belum bisa membawamu dan memperkenalkanmu pada semua temanku. Ok lah, untuk temanku yang di sini tahu soal kamu, tapi untuk temanku yang di Jakarta—““Berangkat denganku atau kamu tidak usah pergi sekalian!” bentak Yuni dan membantik pintu yang terbuka.Fery mengembus napas kasar. wajahnya terlihat nelangsa menghadapi sikap sang istri yang begitu kekanak-kanakan.“Yun ….”“Aku ikut, atau kamu nggak boleh keluar dari rumah ini!” Yuni kembali mengancam.Fery mengembus napas kasar. Tak tahu meski bagaimana lagi agar Yuni mau mengerti kondisinya yang masih terikat pernikahan dengan Amanda.“Aku mohon, Yun. Aku nggak mau ada keributan di sana. aku tidak mau kalau sampai orangtuaku tahu soal kita.”“Itu yang aku
“Apa bener ini kamu?” tanya Darius masih terkesima dengan wanita di hadapannya yang begitu cantik mempesona.Amanda mengangguk pelan dengan senyuman manis dan membuat mulut Darius kembali menganga.“Beneran? Kamu cantik sekali, Amanda,” puji Darius masih dengan mimik wajah terkesima.“Terima kasih, Pak.” Amanda menjawab dengan anggukan sopan.“Mmh, maaf, kalau boleh tau apa yang mau Bapak sampaikan pada saya?” tanya Amanda berusaha menyadarkan kembali Darius yang masih melongo dan menatapnya tak berkedip.“Eh, i-iya, maaf sampai lupa soal itu. Ayo, sini,” ajak Darius pada Amanda. Mereka menuju sebuah meja bundar dengan empat kursi yang mengelilinginya.Mereka duduk berhadapan. Darius meminta pelayan untuk membawakan dua jus jeruk dan camilan.“Begini,” ujar Darius memulai obrolan sambil menunggu minumannya datang.“Aku mau ngajuin kerjasama dengan sebuah rumah sakit baru di kampung Suniagara. Nah, aku minta kamu yang pegang. Kamu marketing yang sudah berpengalaman. Aku denger suami k
Sebelum pulang ke Suniagara, Fery menyempatkan diri mengunjungi rumah orangtuanya. Lagi pula, dia memang sudah lama tak mengunjungi orangtuanya itu.“Fer, kamu sendirian ke sini?” tanya sang Ibu yang heran melihat putranya datang sendirian.“Mmh, eh, iya, Ma,” jawab Fery terlihat kikuk.“Memangnya Manda ke mana?” sang ayah yang baru keluar dari kamar langsung menimpali.Fery langsung tak enak hati, karena tahu jika Amanda adalah menantu kesayangan ayahnya.“Mmh, tadi sih, bilangnya mau ada perlu. Nggak tau, deh, perlu apaan,” jawab Fery mulai melancarkan misinya untuk membuat Amanda terlihat jelek di mata orang tuanya.“Ada perlu? Mestinya kamu antar dia, bukannya biarin dia begitu aja.” Sang ayah terlihat marah. “Kebiasaan kamu itu kalo biarin Amanda pergi sendirian.”“Tadi memang Amanda sendiri yang minta untuk pergi sendiri. Entahlah, akhir-akhir ini dia memang suka begitu. Pamit pergi dan tak mau aku temani,” ungkap Fery dengan kebohongan.“Masa, sih?” sang Ibu tampak tak percaya