Sebelum pulang ke Suniagara, Fery menyempatkan diri mengunjungi rumah orangtuanya. Lagi pula, dia memang sudah lama tak mengunjungi orangtuanya itu.“Fer, kamu sendirian ke sini?” tanya sang Ibu yang heran melihat putranya datang sendirian.“Mmh, eh, iya, Ma,” jawab Fery terlihat kikuk.“Memangnya Manda ke mana?” sang ayah yang baru keluar dari kamar langsung menimpali.Fery langsung tak enak hati, karena tahu jika Amanda adalah menantu kesayangan ayahnya.“Mmh, tadi sih, bilangnya mau ada perlu. Nggak tau, deh, perlu apaan,” jawab Fery mulai melancarkan misinya untuk membuat Amanda terlihat jelek di mata orang tuanya.“Ada perlu? Mestinya kamu antar dia, bukannya biarin dia begitu aja.” Sang ayah terlihat marah. “Kebiasaan kamu itu kalo biarin Amanda pergi sendirian.”“Tadi memang Amanda sendiri yang minta untuk pergi sendiri. Entahlah, akhir-akhir ini dia memang suka begitu. Pamit pergi dan tak mau aku temani,” ungkap Fery dengan kebohongan.“Masa, sih?” sang Ibu tampak tak percaya
Fery masih diam mematung dengan mata yang melotot dan mulut yang menganga. Begitu terkesima, atau … justru dia sedang terpesona dengan wanita yang penampilannya sudah jauh berbeda.“Kamu kenapa, sih, Fer? Lihat istri sendiri aja sampe segitunya.” Ani mengibaskan tangannya di depan muka sang putra yang sedari tadi hanya melongo. Lelki itu sontak mengerjapkan matanya dan melengos malu.Sementara itu Amanda bersorak dengan senyum penuh kemenangan di dalam hatinya. Dia melirik sang suami dengan ujung matanya. Amanda mulai merasa jijik dengan laki-laki yang selama ini selalu menghinanya. Karena sejatinya fisik itu mudah sekali untuk diubah. Saat ini teknologi dan perkembangan ilmu kecantikan sudah maju pesat. Jika ingin cantik secara fisik, bisa memakai berbagai perawatan. Atau jika ingin cantik secara instan, bisa melakukan operasi plastik.Namun, Amanda hanya melakukan operasi lasik pada matanya agar tak lagi memakai kaca mata, dan melakukan perbaikan susunan giginya yang tak beraturan.
Selesai makan yang sebenarnya Amanda hanya menyicipi saja, karena tadi dia sudah makan di kafe dengan Brian, orang tua Fery harus pergi ke acara ulang tahun salah satu sahabat mereka. Jadi, otomatis di rumah hanya tinggal Amanda dan Fery juga ART yang lebih banyak menyibukkan diri di belakang.Dua orang yang duduk berhadapan itu terlihat saling diam. Amanda menunduk menatap piringnya yang sudah kosong sejak tadi.Sementara itu, Fery memainkan gelas minumnya sambil sesekali melirik pada istrinya. Aneh, kata-kata kasar dan hinaan yang biasa meluncur indah dari mulutnya kini seakan menghilang entah ke mana. Lelaki itu bahkan tak sanggup untuk bertanya kenapa? Untuk apa? Atau apakah dirinya yang menjadi alasan Amanda mengubah penampilannya itu?Amanda merasa tak perlu untuk mempertahankan dirinya untuk berada di sana lagi.“Kamu mau ke mana?” tanya Fery saat melihat Amanda beranjak dari tempat duduknya. Wanita itu merasa aneh karena sang suami akhirnya peduli dia akan pergi ke mana. Hal y
Fery menjalankan mobilnya seperti orang kesetanan. Pikirannya berkecamuk memikirkan Amanda yang berubah drastis. Sangat cantik. Terlalu cantik malah.Dering ponsel mengagetkannya. Fery langsung meraih benda pipih itu dan melihat nama siapa yang ada di layar. Ternyata nama Brian yang ada di sana.“Shit. Mau ngapain dia,” umpatnya. Padahal hatinya mulai galau, takut jika lelaki itu benar-benar menyukai istrinya.“Halo? Kenapa?” ujar Fery dengan nada ketus.“Hai, Fer. Gimana? Puas, kan, dengan hasil kerja gue?” terdengar suara Brian di seberang sana dengan tawa renyah.“Sempurna, kan, hasil foto yang gue kirim? Gimana? Sudah bisa dijadikan bukti untuk gugatan perceraian? Gue dengan senang hati akan menerima jandanya Amanda.” Brian kembali terbahak puas. Tanpa tahu jika hati lelaki yang membayarnya itu mulai goyah.“Sudah cukup. Elu nggak perlu mendekatinya lagi. foto itu saja sudah cukup menjadi bukti,” ujar Fery berusaha menutupi perasaannya. Padahal dia tidak ingin jika Brian melanjutk
“Iya, kamu benar. Aku tadi ketemu Amanda di sana. puas kamu?” bentak Fery yang membuat Yuni terbelalak seketika.“Oh, pantesan!” Mata Yuni melotot dengan tangan berkacak pinggang. Dia langsung mendorong dada Fery dengan kasar hingga laki-laki itu kembali terjengkang ke bantalnya.“Kamu sudah mulai berani main-main, ya? Aku nggak suka kamu ketemu sama dia lagi!” Yuni mencak-mencak dengan suara berteriak. Fery yang mulai tersulut emosi, kembali bangkit dengan napas yang tersengal. Dia tak terima diremehkan seperti itu oleh wanita yang berstatus istrinya itu. mana pernah Amanda berani bersikap seperti itu kepadanya.“Heh, denger, ya. Bagaimanapun juga, Amanda itu masih istriku. Dia itu datang jauh lebih awal dari kamu. Seharusnya dia yang marah karena aku menikah lagi sama kamu. Tidur tiap hari sama kamu, padahal semestinya aku bisa adil pada kalian. Tapi buktinya aku hanya ada di sini sama kamu!” Fery balas berteriak.Mendenngar ucapan suaminya, Yuni semakin terbelalak. Dia tak percay
Akhirnya, meski tubuhnya lelah, tetapi Fery tak bisa lelap meski matanya dia pejamkan sedemikian rupa. Berbagai posisi dia coba agar bisa tidur senyaman mungkin, tetapi pikirannya terus melayang pada Amanda. Kenapa sekarang mendadak tak ikhlas jika Brian mendekatinya?Pikirannya terus melayang, memikirkan bagaimana jika nanti Amanda benar-benar jatuh ke pelukan Brian dan meminta cerai padanya?Mata Fery kembali terbuka. Dia mengambil ponselnya dan membuka pesan dari Brian. Bukan ingin membaca pesan dari lelaki itu, tetapi dia ingin melihat foto yang dikirim oleh Brian. Foto yang menampilkan wajah Amanda yang sedang tersenyum manis.Otak Fery berkelana ke mana-mana. Dia tiba-tiba ingin marah pada Amanda karena wanita itu terkesan murahan saat berfoto dengan laki-laki lain, padahal Amanda adalah wanita bersuami.“Ternyata kamu wanita murahan. Baru dideketin cowok kaya si Brian aja langsung kelepek-kelepek,” gumamnya mengumpat pada orang yang tidak ada. Walaupun dia akui jika Brian adala
“Bapak lihat sendiri, kan, kalau Mas Fery nggak bisa jawab. Itu artinya memang benar kalau dia selingkuh.” Yuni kembali berteriak dalam rontaannya.“Terserah kamu saja. Aku lelah menghadapi kamu,” ucap Fery dengan suara lemah. Dia kemudian berbalik menuju pintu dan keluar dari rumah. Entah harus ke mana malam-malam begini, dalam keadaan tubuh yang sangat lelah seperti ini.Akhirnya Fery memutuskan untuk pergi ke rumah sakit saja. Dia memilih untuk tidur di sana. Lelaki itu tak pedulikan meski Yuni masih teriak-teriak seperti orang gila.Keesokan harinya, Radit mendapat kabar dari salah satu suster jika Fery ada di ruangannya sejak semalam. Lelaki tegap itu menautkan alisnya.“Semalam ada tindakan?” tanya Radit pada suster yang memberitahunya. Namun, wanita yang kerja shift malam tadi itu menggeleng.“Nggak, Dok. Dokter Fery sepertinya sengaja menginap di sini,” jawabnya dan semakin membuat Radit keheranan.“Menginap?” gumamnya lalu beranjak ke ruangan pribadi sahabatnya. Lelaki itu me
“Siapa?” tanya Fery tanpa mengeluarkan suara. Radit hanya mengibaskan tangannya, menyuruh agar Fery diam dulu.“Mbak Manda, ya? ok, besok Mbak bisa datang ke sini. Saya ada waktu sekitar pukul 2 siang. Mbak bisa langsung minta diantar ke ruang meeting,” jelas Radit dan tak mempedulikan temannya yang masih mengibas-ngibaskan tangan karena penasaran.“Iya, ok. Waalaikumsalam.” Radit mengakhiri sambungan teleponnya dan Fery langsung mencecarnya.“Manda? Manda siapa tadi?” tanya Fery terlihat begitu penasaran.“Ah, elu. Elu pikir di dunia ini yang namanya Manda itu cuman bini lu aja?” cibir Radit dengan tawa mengejek.Fery mendengkus pelan.“Lagian, kenapa elu jadi kaya yang semangat gitu denger nama Manda? Bukannya elu dulu paling males kalo yang berhubungan sama bini lu itu?” sindir Radit dan hanya dijawab dengan senyuman malas dari bibir Fery.“Ya, bukan begitu juga. Takutnya emang betulan bini gue.” Fery melengos malu.“Kalau iya emang kenapa? Mau ngapain emangnya?” Radit tertawa ja
“Tak perlu basa basi,” jawab ibunya Hanif terlihat emosi. Dia sangat kesal karena melihat Maria yang terlihat mewah. Sementara dirinya justru terlihat kumal.“Baiklah kalau tidak boleh berbasa basi. Sepertinya kalian tetap saja sial walaupun sudah mengusir Maria.” Denis tersenyum miring.Mata Hanif langsung melotot, begitu juga dengan ibunya.“Enak aja kamu bilang kami sial. Hanif ini sekarang bekerja di perusahaan bonafid. Dia ini jadi manager,” balas ibunya Hanif dengan mata melotot.Denis tersenyum miring. “Oh ya? Benarkah? Anak Ibu bilang jadi manager?” tanyanya dengan nada mencibir.“Ya, tentu saja. Bukan begitu, Hanif?” ujar wanita paruh baya itu dengan dagu yang mendongak.“I-iya, tentu saja,” jawab Hanif tergagap.“Oh begitu. Baguslah kalau memang dia sudah jadi manager. Permisi, kami mau mencari peralatan bayi,” pamit Denis yang lalu menuntun Maria untuk memasuki toko.Istrinya Hanif pun ikut mengekor sambil menarik Hanif untuk segera masuk ke dalam toko. Namun, lelaki itu me
Maria tersipu malu saat bangun keesokan harinya. Dia merasa berbunga-bunga karena telah menjadi seorang istri yang utuh bagi Denis. Dia menutupi tubuhnya yang polos dengan handuk yang terserak di lantai.“Mbak, Mbak Maria.” Terdengar panggilang dari Bi Noneng.“I-iya, Bi?” Maria gegas membuka pintu itu sedikit. Ternyata wanita itu tengah menggendong Amanda yang habis menangis.“Astagfirullah, Sayang maafin Mama,” ujar Maria yang langsung membuka pintu dan mengambil Amanda dari tangan Bi Noneng.Wanita paruh baya itu tak sengaja melihat ke dalam kamar di mana ada Denis yang masih terlelap di atas kasur milik Maria.“Eh.” Maria tampak malu karena kepergok telah sekamar.Bi Noneng malah tersenyum dan mengelus pundak Maria. “Sudah sewajarnya, toh? Pak Denis itu suamimu, Mbak. Dia seperti orang gila sewaktu Mbak Maria pergi dari rumah. Dia sering melamun dan gelisah,” ucapnya.“Kalian berhak bahagia. Saya ikut senang, Mbak,” pungkasnya sebelum beranjak pergi.Maria masih terpaku setelah me
Maria gegas menyilangkan kedua tangan pada dua area sensitifnya. Dia begitu malu dengan perlakuan Denis padanya. Maria hendak jongkok untuk mengambil lagi handuknya, tetapi tangan Denis lekas menahannya.Maria mendongak melihat pada lelaki yang menggelengkan kepalanya. Denis lalu menarik Maria agar kembali tegak berdiri.“Ba-pak, saya ….” Wajah Maria sudah merah saking malunya.“Ini bukan pertama kali kamu melakukannya, bukan? Seharusnya aku yang mesti malu, karena ini adalah hal yang pertama buatku,” ucap Denis yang semakin membuat Maria tersipu malu. Wanita itu menunduk dalam.“Saya … rasanya tidak pantas untuk Bapak. Saya ini hanya perempuan miskin pembawa sial,” ucap Maria dengan suara tercekat. Namun, Denis justru menarik dagu Maria agar kembali menatapnya.“Aku akan buktikan jika kamu adalah wanita yang penuh keberuntungan,” balas Denis dengan tatapan lekat. Dia berusaha memupuk cinta itu agar semakin subur. Maria bukan wanita yang sulit untuk dicintai. Wanita itu begitu tulus
Maria hanya diam selama perjalanan. Dengan hati terpaksa Maria ikut pulang dengan Denis. Mau bagaimana lagi, Amanda tak bisa lepas darinya. Anak itu menangis keras saat Maria menyerahkan pada Denis.Entah apa yang akan terjadi nanti, mungkin Maria akan minta Denis untuk mencarikan baby sitter baru, lalu dirinya akan meminta cerai dan pergi.Denis sesekali melirik ke samping kirinya dan melihat Maria yang memangku Amanda yang tertidur lelap.“Kamu sudah makan?” tanya Denis yang merasa kasihan sekali melihat istrinya itu begitu kurus.Maria mengangguk pelan.“Makan apa?” telisik Denis penasaran.Maria terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Aku makan bubur sisa Amanda tadi.”Denis memejamkan matanyanya sejenak dan menggeleng. Pantas saja wanita itu begitu kurus, karena hanya makan makanan sisa anaknya. Lelaki itu beristigfar dalam hatinya.Benar kata Amanda, jika Maria adalah wanita terbaik yang bisa menggantikannya.“Kita makan dulu,” ujar Denis lalu membelokan mobilnya menuju sebu
Fery segera membuat pengumuman orang hilang dan menyebarnya di berbagai media sosial. Dia yakin cara itu akan jauh lebih mudah dilihat orang-orang saat ini.Dia juga menjanjikan akan memberi imbalan yang besar bagi yang memberikan kabar tentang keberadaan Maria seperti dulu.Fery sangat khawatir dengan nasib Amanda juga pengasuhnya itu.Maria hanya wanita lemah yang membawa seorang bayi. Dia yakin akan susah untuk mendapatkan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan.Saat ini Maria sedang menyetrika di sebuah rumah. Sementara Amanda duduk sambil memainkan boneka usang yang ditemukan Maria di tempat sampah. Boneka monyet yang dia ambil dan dicuci sampai bersih, lalu dia berikan untuk mainannya Amanda.Beruntung anak itu sangat baik dan tak banyak rewel. Asal sudah kenyang maka tak akan ada lagi rengekan.Setiap hari Maria mengutamakan perutnya Amanda sebelum dia yang makan. Asalkan Amanda sudah kenyang, maka dia akan memakan sisanya, walaupun itu hanya bubur nasi.Tubuh Maria semakin kurus
Mobil Denis meluncur cepat menuju kontrakan Fany. Dia merasa yakin jika Maria akan pergi dan menginap di sana.Denis memukuli handel stirnya saking tak sabar. Jalanan dipadati kendaraan, sehingga macet.“Sial! Kenapa malah macet segala!” rutuk Denis sangat kesal. Berulang kali dia melirik pada jam yang melingkar di tangannya, sudah hampir jam 9 malam.“Mudah-mudahan saja Maria benar ke rumahnya Fany. Kalau tidak ….” Denis bahkan tak mampu melanjutkan kalimatnya sendiri. Dia khawatir jika terjadi apa-apa pada Maria juga Amanda.Mobilnya perlahan melaju, hingga akhirnya menemukan persimpangan, Denis memilih jalan lain yang tidak macet walaupun lebih jauh.“Huuft!” Dia mengembus napas kasar. Kemacetan telah membuatnya hampir kehilangan akal sehat.“Jakarta semakin hari semakin macet aja. Mengerikan!” umpatnya kesal. Namun, sekarang mobil itu sudah melaju kencang menuju kontrakan Fany yang jaraknya tak jauh lagi.Denis memarkir mobil sembarangan. Dia membanting pintu dan melangkah cepat
“Bagaimana kamu bisa ada di sini?” tanya Denis terperanjat turun dari tempat tidurnya.“Aahh, semalam, kan, aku anter kamu pulang ke sini. kenapa kamu lupa?” Irene malah menguap.“Sial!’ umpat Denis yang langsung pergi ke kamar mandi.“Kamu cepat pakai baju dan pulang!” usir Denis sambil membanting pintu kamar mandinya.Irene justru semakin berleha-leha di atas tempat tidur. Namun, rasa haus menyiksa tenggorokannya. Dia lalu bangkit dan turun. Sambil celingak-celinguk dia mencari dapur. Lalu, matanya menangkap sosok Maria yang sedang menyiapkan sarapan.“Hei, kamu pembantu di sini?” tanya Irene sambil memainkan rambutnya. Maria meliriknya dengan hati yang teramat sakit. Irene hanya mengenakan pakaian seadanya.“Iya, Mbak. Mau sesuatu?” tanya Maria dengan sopan.“Aku haus,” jawab Irene yang kemudian duduk di kursi makan.“Tunggu sebentar, saya ambilkan air,” kata Maria yang berbalik menuju dapur dan tak lama kembali dengan segelas air putih.“Silakan diminum, Mbak,” ucap Maria sambil m
Meski tahu jika Denis sama sekali tak menganggapnya seorang istri, tetapi bagi Maria sikap Denis yang seperti itu tetap saja keterlaluan dan melukai harga dirinya sebagai istri. Apalagi sekarang Denis sudah berani membawa wanita lain ke rumah mereka.Maria tak bisa memejamkan matanya. Hatinya gelisah memikirkan apa yang tengah dilakukan dua insan berlainan jenis itu di kamar suaminya.Amanda sudah tidur sejak tadi setelah kenyang menyusu, tetapi Maria tak bisa ikut terlelap padahal badannya sangat lelah.Maria menatap sendu pada Amanda. Jika bukan karena rasa sayangnya pada anak itu, mungkin dia sudah memilih untuk kembali melarikan diri dan menghilang saja.Maria keluar dari kamarnya dan mengendap mendekat ke kamar Denis. Ingin rasanya mendobrak pintu kamar itu dan menyuruh wanita yang datang bersama Denis itu untuk pergi. Namun, hatinya masih tak berani melakukannya.Rasa pedih dan tak berdaya membuatnya luruh dan bersimpuh di lantai dingin itu dengan air mata yang berderai.Kemudia
Pagi-pagi Denis seperti biasanya hendak sarapan setelah bersiap dengan setelan kerjanya. Maria sengaja menyiapkan sendiri sarapan untuk lelaki yang kini menjadi suaminya. Walaupun dia tahu jika Denis tak akan pernah menganggapnya sebagai seorang istri, tetapi bagi Maria kewajiban tetaplah kewajiban.“Ke mana Bibi? Kenapa kamu yang nyiapin sarapan?” tanya Denis sambil menarik kursi.“Mmh, ada. Bibi lagi beresin perabotan bekas masak,” jawab Maria ragu-ragu.“Lain kali biar si Bibi aja yang nyiapin sarapan. Kamu urus Amanda saja,” kata Denis.Maria mengangguk pelan tak bisa mendebat.“Ingat, pernikahan ini hanya status saja, Maria. Jangan kamu anggap serius. Tidak perlu kamu melayani aku seperti seorang istri. Mengerti?” Denis kembali mengingatkan.“Iya, pak. Saya mengerti. Tapi maaf, saya di sini hanya sebagai pelayan, karena itu saya juga berkewajiban melakukan apapun sebagai pelayan,” sahut Maria dengan suara yang parau.“Hmm, baiklah. Tapi … saya harap kamu tidak melalaikan tugas