Selesai makan yang sebenarnya Amanda hanya menyicipi saja, karena tadi dia sudah makan di kafe dengan Brian, orang tua Fery harus pergi ke acara ulang tahun salah satu sahabat mereka. Jadi, otomatis di rumah hanya tinggal Amanda dan Fery juga ART yang lebih banyak menyibukkan diri di belakang.Dua orang yang duduk berhadapan itu terlihat saling diam. Amanda menunduk menatap piringnya yang sudah kosong sejak tadi.Sementara itu, Fery memainkan gelas minumnya sambil sesekali melirik pada istrinya. Aneh, kata-kata kasar dan hinaan yang biasa meluncur indah dari mulutnya kini seakan menghilang entah ke mana. Lelaki itu bahkan tak sanggup untuk bertanya kenapa? Untuk apa? Atau apakah dirinya yang menjadi alasan Amanda mengubah penampilannya itu?Amanda merasa tak perlu untuk mempertahankan dirinya untuk berada di sana lagi.“Kamu mau ke mana?” tanya Fery saat melihat Amanda beranjak dari tempat duduknya. Wanita itu merasa aneh karena sang suami akhirnya peduli dia akan pergi ke mana. Hal y
Fery menjalankan mobilnya seperti orang kesetanan. Pikirannya berkecamuk memikirkan Amanda yang berubah drastis. Sangat cantik. Terlalu cantik malah.Dering ponsel mengagetkannya. Fery langsung meraih benda pipih itu dan melihat nama siapa yang ada di layar. Ternyata nama Brian yang ada di sana.“Shit. Mau ngapain dia,” umpatnya. Padahal hatinya mulai galau, takut jika lelaki itu benar-benar menyukai istrinya.“Halo? Kenapa?” ujar Fery dengan nada ketus.“Hai, Fer. Gimana? Puas, kan, dengan hasil kerja gue?” terdengar suara Brian di seberang sana dengan tawa renyah.“Sempurna, kan, hasil foto yang gue kirim? Gimana? Sudah bisa dijadikan bukti untuk gugatan perceraian? Gue dengan senang hati akan menerima jandanya Amanda.” Brian kembali terbahak puas. Tanpa tahu jika hati lelaki yang membayarnya itu mulai goyah.“Sudah cukup. Elu nggak perlu mendekatinya lagi. foto itu saja sudah cukup menjadi bukti,” ujar Fery berusaha menutupi perasaannya. Padahal dia tidak ingin jika Brian melanjutk
“Iya, kamu benar. Aku tadi ketemu Amanda di sana. puas kamu?” bentak Fery yang membuat Yuni terbelalak seketika.“Oh, pantesan!” Mata Yuni melotot dengan tangan berkacak pinggang. Dia langsung mendorong dada Fery dengan kasar hingga laki-laki itu kembali terjengkang ke bantalnya.“Kamu sudah mulai berani main-main, ya? Aku nggak suka kamu ketemu sama dia lagi!” Yuni mencak-mencak dengan suara berteriak. Fery yang mulai tersulut emosi, kembali bangkit dengan napas yang tersengal. Dia tak terima diremehkan seperti itu oleh wanita yang berstatus istrinya itu. mana pernah Amanda berani bersikap seperti itu kepadanya.“Heh, denger, ya. Bagaimanapun juga, Amanda itu masih istriku. Dia itu datang jauh lebih awal dari kamu. Seharusnya dia yang marah karena aku menikah lagi sama kamu. Tidur tiap hari sama kamu, padahal semestinya aku bisa adil pada kalian. Tapi buktinya aku hanya ada di sini sama kamu!” Fery balas berteriak.Mendenngar ucapan suaminya, Yuni semakin terbelalak. Dia tak percay
Akhirnya, meski tubuhnya lelah, tetapi Fery tak bisa lelap meski matanya dia pejamkan sedemikian rupa. Berbagai posisi dia coba agar bisa tidur senyaman mungkin, tetapi pikirannya terus melayang pada Amanda. Kenapa sekarang mendadak tak ikhlas jika Brian mendekatinya?Pikirannya terus melayang, memikirkan bagaimana jika nanti Amanda benar-benar jatuh ke pelukan Brian dan meminta cerai padanya?Mata Fery kembali terbuka. Dia mengambil ponselnya dan membuka pesan dari Brian. Bukan ingin membaca pesan dari lelaki itu, tetapi dia ingin melihat foto yang dikirim oleh Brian. Foto yang menampilkan wajah Amanda yang sedang tersenyum manis.Otak Fery berkelana ke mana-mana. Dia tiba-tiba ingin marah pada Amanda karena wanita itu terkesan murahan saat berfoto dengan laki-laki lain, padahal Amanda adalah wanita bersuami.“Ternyata kamu wanita murahan. Baru dideketin cowok kaya si Brian aja langsung kelepek-kelepek,” gumamnya mengumpat pada orang yang tidak ada. Walaupun dia akui jika Brian adala
“Bapak lihat sendiri, kan, kalau Mas Fery nggak bisa jawab. Itu artinya memang benar kalau dia selingkuh.” Yuni kembali berteriak dalam rontaannya.“Terserah kamu saja. Aku lelah menghadapi kamu,” ucap Fery dengan suara lemah. Dia kemudian berbalik menuju pintu dan keluar dari rumah. Entah harus ke mana malam-malam begini, dalam keadaan tubuh yang sangat lelah seperti ini.Akhirnya Fery memutuskan untuk pergi ke rumah sakit saja. Dia memilih untuk tidur di sana. Lelaki itu tak pedulikan meski Yuni masih teriak-teriak seperti orang gila.Keesokan harinya, Radit mendapat kabar dari salah satu suster jika Fery ada di ruangannya sejak semalam. Lelaki tegap itu menautkan alisnya.“Semalam ada tindakan?” tanya Radit pada suster yang memberitahunya. Namun, wanita yang kerja shift malam tadi itu menggeleng.“Nggak, Dok. Dokter Fery sepertinya sengaja menginap di sini,” jawabnya dan semakin membuat Radit keheranan.“Menginap?” gumamnya lalu beranjak ke ruangan pribadi sahabatnya. Lelaki itu me
“Siapa?” tanya Fery tanpa mengeluarkan suara. Radit hanya mengibaskan tangannya, menyuruh agar Fery diam dulu.“Mbak Manda, ya? ok, besok Mbak bisa datang ke sini. Saya ada waktu sekitar pukul 2 siang. Mbak bisa langsung minta diantar ke ruang meeting,” jelas Radit dan tak mempedulikan temannya yang masih mengibas-ngibaskan tangan karena penasaran.“Iya, ok. Waalaikumsalam.” Radit mengakhiri sambungan teleponnya dan Fery langsung mencecarnya.“Manda? Manda siapa tadi?” tanya Fery terlihat begitu penasaran.“Ah, elu. Elu pikir di dunia ini yang namanya Manda itu cuman bini lu aja?” cibir Radit dengan tawa mengejek.Fery mendengkus pelan.“Lagian, kenapa elu jadi kaya yang semangat gitu denger nama Manda? Bukannya elu dulu paling males kalo yang berhubungan sama bini lu itu?” sindir Radit dan hanya dijawab dengan senyuman malas dari bibir Fery.“Ya, bukan begitu juga. Takutnya emang betulan bini gue.” Fery melengos malu.“Kalau iya emang kenapa? Mau ngapain emangnya?” Radit tertawa ja
“Asal kamu tau, ya. Mas Fery itu sudah punya bini. Ini bininya. Jangan kegatelan kamu!” bentak Yuni dan menarik rambut panjang suci hingga gadis itu meringis kesakitan. Tangannya berusaha menahan tangan Yuni yang semakin kencang menarik rambutnya.“Ma-af, Mbak, saya ini mau kerja di sini,” sahut Suci dengan suara yang terdengar hampir menangis. “Bohong! Ini pasti hanya akal-akalan kalian saja, iya, kan?!” teriak Yuni kalap. Tangannya semakin kencang saja menarik rambut Suci yang panjang terurai.“Yuni, sudah cukup!” bentak Fery yang berbalik menghadap istrinya.“Dia itu yang mau kerja di sini, buat beres-beres rumah. Kamu sendiri nggak bisa bersihin rumah, kan. Makanya aku cari pembantu buat beres-beres sama masak.”Mendengar itu Yuni mulai mengendurkan tarikan tangannya, sehingga Suci kembali berdiri tegak sambil mengelus kepalanya yang terasa sakit karena tarikan Yuni tadi.Yuni masih menatap tajam pada dua orang yang baru datang itu. Rasa curiganya masih ada meski tak sebesar tad
“Maumu apa, sih?” tanya Fery terdengar penuh emosi. Hidupnya kini begitu serba salah. Tidak ada pembantu salah, karena rumahnya begitu kacau, berantakan dan kotor. Ada pembantu masih juga salah, karena sang istri begitu rewel dan cemburuan.“Kamu mulai berani bentak-bentak aku, ya, Mas. Kamu sudah mulai bosan sama aku? Padahal kita baru juga beberapa bulan nikah. Kamu memang buaya. Dasar laki-laki durjana!” teriak Yuni.Fery terbelalak. Sungguh buruk sekali perangai istri keduanya ini. Menyesal? Apakah bisa dia menyesal setelah sejauh ini?Ternyata dia terlalu terburu-buru mengambil keputusan untuk menikah lagi, yang hasilnya bukan lebih baik, tapi justru lebih buruk. Hidupnya kini bagai makan buah simalakama. Serba salah.“Coba kamu pikir, dari tadi siapa yang duluan membentak? Aku atau kamu?” tanya Fery mulai naik pitam. Dia sudah tak pedulikan lagi meski ada ibu mertuanya di ruang TV. Persetan kalaupun harus bertengkar dengan mereka semua. Kepalanya sudah mau pecah menghadapi sikap