Selesai makan malam yang sangat sederhana, Fery mengambil vacum cleaner dan mulai membersihkan debu juga remahan makanan yang terserak di lantai. Melewati Yuni yang sedang focus dengan ponselnya juga Narsih yang mulai menonton sinetron lagi. Sementara itu Narto sedang merokok di ruang tamu.“Waduh, Nak Fery jadi yang beres-beres,” ujar Narsih mengangkat kakinya ke atas sofa. “Maaf, lho, Nak Fery, Ibu nggak bisa pake peralatan yang begituan. Takut malah rusak.”Fery hanya mengulas senyum malas. Jika memang mereka ingin membantu beres-beres, pasti akan berusaha belajar, tetapi karena sudah sifatnya pemalas jadi segala macam jadi alasan.“Kenapa sih kamu nggak nyoba cari pembantu aja, Mas? biar nggak usah repot-repot lagi.” Yuni terdengar ngegas. Fery tak mau menjawab walaupun dia memang sudah membicarakan itu dengan Radit tadi siang dan sahabatnya itu pun berjanji akan mencarikan seseorang untuk menjadi ART di rumah Fery.Lelaki itu terus fokus membersihkan lantai yang banyak sekali rem
Dan di saat Fery akan berangkat ke Jakarta, Yuni menghadang sang suami dengan kemarahan.“Kamu nggak boleh pergi tanpa aku,” ancamnya dengan mata melotot. Kedua tangannya direntangkan menghalangi pintu.“Yun, please. Aku sedang tidak ingin berdebat. Sudah kubilang kalau saat ini aku belum bisa membawamu dan memperkenalkanmu pada semua temanku. Ok lah, untuk temanku yang di sini tahu soal kamu, tapi untuk temanku yang di Jakarta—““Berangkat denganku atau kamu tidak usah pergi sekalian!” bentak Yuni dan membantik pintu yang terbuka.Fery mengembus napas kasar. wajahnya terlihat nelangsa menghadapi sikap sang istri yang begitu kekanak-kanakan.“Yun ….”“Aku ikut, atau kamu nggak boleh keluar dari rumah ini!” Yuni kembali mengancam.Fery mengembus napas kasar. Tak tahu meski bagaimana lagi agar Yuni mau mengerti kondisinya yang masih terikat pernikahan dengan Amanda.“Aku mohon, Yun. Aku nggak mau ada keributan di sana. aku tidak mau kalau sampai orangtuaku tahu soal kita.”“Itu yang aku
“Apa bener ini kamu?” tanya Darius masih terkesima dengan wanita di hadapannya yang begitu cantik mempesona.Amanda mengangguk pelan dengan senyuman manis dan membuat mulut Darius kembali menganga.“Beneran? Kamu cantik sekali, Amanda,” puji Darius masih dengan mimik wajah terkesima.“Terima kasih, Pak.” Amanda menjawab dengan anggukan sopan.“Mmh, maaf, kalau boleh tau apa yang mau Bapak sampaikan pada saya?” tanya Amanda berusaha menyadarkan kembali Darius yang masih melongo dan menatapnya tak berkedip.“Eh, i-iya, maaf sampai lupa soal itu. Ayo, sini,” ajak Darius pada Amanda. Mereka menuju sebuah meja bundar dengan empat kursi yang mengelilinginya.Mereka duduk berhadapan. Darius meminta pelayan untuk membawakan dua jus jeruk dan camilan.“Begini,” ujar Darius memulai obrolan sambil menunggu minumannya datang.“Aku mau ngajuin kerjasama dengan sebuah rumah sakit baru di kampung Suniagara. Nah, aku minta kamu yang pegang. Kamu marketing yang sudah berpengalaman. Aku denger suami k
Sebelum pulang ke Suniagara, Fery menyempatkan diri mengunjungi rumah orangtuanya. Lagi pula, dia memang sudah lama tak mengunjungi orangtuanya itu.“Fer, kamu sendirian ke sini?” tanya sang Ibu yang heran melihat putranya datang sendirian.“Mmh, eh, iya, Ma,” jawab Fery terlihat kikuk.“Memangnya Manda ke mana?” sang ayah yang baru keluar dari kamar langsung menimpali.Fery langsung tak enak hati, karena tahu jika Amanda adalah menantu kesayangan ayahnya.“Mmh, tadi sih, bilangnya mau ada perlu. Nggak tau, deh, perlu apaan,” jawab Fery mulai melancarkan misinya untuk membuat Amanda terlihat jelek di mata orang tuanya.“Ada perlu? Mestinya kamu antar dia, bukannya biarin dia begitu aja.” Sang ayah terlihat marah. “Kebiasaan kamu itu kalo biarin Amanda pergi sendirian.”“Tadi memang Amanda sendiri yang minta untuk pergi sendiri. Entahlah, akhir-akhir ini dia memang suka begitu. Pamit pergi dan tak mau aku temani,” ungkap Fery dengan kebohongan.“Masa, sih?” sang Ibu tampak tak percaya
Fery masih diam mematung dengan mata yang melotot dan mulut yang menganga. Begitu terkesima, atau … justru dia sedang terpesona dengan wanita yang penampilannya sudah jauh berbeda.“Kamu kenapa, sih, Fer? Lihat istri sendiri aja sampe segitunya.” Ani mengibaskan tangannya di depan muka sang putra yang sedari tadi hanya melongo. Lelki itu sontak mengerjapkan matanya dan melengos malu.Sementara itu Amanda bersorak dengan senyum penuh kemenangan di dalam hatinya. Dia melirik sang suami dengan ujung matanya. Amanda mulai merasa jijik dengan laki-laki yang selama ini selalu menghinanya. Karena sejatinya fisik itu mudah sekali untuk diubah. Saat ini teknologi dan perkembangan ilmu kecantikan sudah maju pesat. Jika ingin cantik secara fisik, bisa memakai berbagai perawatan. Atau jika ingin cantik secara instan, bisa melakukan operasi plastik.Namun, Amanda hanya melakukan operasi lasik pada matanya agar tak lagi memakai kaca mata, dan melakukan perbaikan susunan giginya yang tak beraturan.
Selesai makan yang sebenarnya Amanda hanya menyicipi saja, karena tadi dia sudah makan di kafe dengan Brian, orang tua Fery harus pergi ke acara ulang tahun salah satu sahabat mereka. Jadi, otomatis di rumah hanya tinggal Amanda dan Fery juga ART yang lebih banyak menyibukkan diri di belakang.Dua orang yang duduk berhadapan itu terlihat saling diam. Amanda menunduk menatap piringnya yang sudah kosong sejak tadi.Sementara itu, Fery memainkan gelas minumnya sambil sesekali melirik pada istrinya. Aneh, kata-kata kasar dan hinaan yang biasa meluncur indah dari mulutnya kini seakan menghilang entah ke mana. Lelaki itu bahkan tak sanggup untuk bertanya kenapa? Untuk apa? Atau apakah dirinya yang menjadi alasan Amanda mengubah penampilannya itu?Amanda merasa tak perlu untuk mempertahankan dirinya untuk berada di sana lagi.“Kamu mau ke mana?” tanya Fery saat melihat Amanda beranjak dari tempat duduknya. Wanita itu merasa aneh karena sang suami akhirnya peduli dia akan pergi ke mana. Hal y
Fery menjalankan mobilnya seperti orang kesetanan. Pikirannya berkecamuk memikirkan Amanda yang berubah drastis. Sangat cantik. Terlalu cantik malah.Dering ponsel mengagetkannya. Fery langsung meraih benda pipih itu dan melihat nama siapa yang ada di layar. Ternyata nama Brian yang ada di sana.“Shit. Mau ngapain dia,” umpatnya. Padahal hatinya mulai galau, takut jika lelaki itu benar-benar menyukai istrinya.“Halo? Kenapa?” ujar Fery dengan nada ketus.“Hai, Fer. Gimana? Puas, kan, dengan hasil kerja gue?” terdengar suara Brian di seberang sana dengan tawa renyah.“Sempurna, kan, hasil foto yang gue kirim? Gimana? Sudah bisa dijadikan bukti untuk gugatan perceraian? Gue dengan senang hati akan menerima jandanya Amanda.” Brian kembali terbahak puas. Tanpa tahu jika hati lelaki yang membayarnya itu mulai goyah.“Sudah cukup. Elu nggak perlu mendekatinya lagi. foto itu saja sudah cukup menjadi bukti,” ujar Fery berusaha menutupi perasaannya. Padahal dia tidak ingin jika Brian melanjutk
“Iya, kamu benar. Aku tadi ketemu Amanda di sana. puas kamu?” bentak Fery yang membuat Yuni terbelalak seketika.“Oh, pantesan!” Mata Yuni melotot dengan tangan berkacak pinggang. Dia langsung mendorong dada Fery dengan kasar hingga laki-laki itu kembali terjengkang ke bantalnya.“Kamu sudah mulai berani main-main, ya? Aku nggak suka kamu ketemu sama dia lagi!” Yuni mencak-mencak dengan suara berteriak. Fery yang mulai tersulut emosi, kembali bangkit dengan napas yang tersengal. Dia tak terima diremehkan seperti itu oleh wanita yang berstatus istrinya itu. mana pernah Amanda berani bersikap seperti itu kepadanya.“Heh, denger, ya. Bagaimanapun juga, Amanda itu masih istriku. Dia itu datang jauh lebih awal dari kamu. Seharusnya dia yang marah karena aku menikah lagi sama kamu. Tidur tiap hari sama kamu, padahal semestinya aku bisa adil pada kalian. Tapi buktinya aku hanya ada di sini sama kamu!” Fery balas berteriak.Mendenngar ucapan suaminya, Yuni semakin terbelalak. Dia tak percay