POV Agus
Akibat aku pernah dipenjara itu, akhirnya membuatku susah mencari kerja. Mantan pesakitan terus melekat di diriku sampai tua bahkan sampai aku mati nanti.
Bohong jika aku katakan kalau aku tidak cemburu melihat kebahagiaan mantan istriku, Yasmin dengan suaminya sekarang. Dia terlihat jauh lebih cantik dan terawat. Setiap baju yang dipakainya pasti bagus dan sangat pas di tubuh mungilnya.
Salahku sendiri, dulu begitu percaya dengan kata-kata yang diucapkan oleh Ibu tentang Yasmin yang katanya tidak lagi perawan hanya karena lipstiknya yang pucat. Dia juga bilang kalau kemungkinan Yasmin lagi hamil dengan lelaki lain. Buktinya, sekarang kebenaran itu menampakan dirinya. Yasmin wanita baik dan suci.
Sesal sudah tidak berguna. Yasmin kini sudah menjadi milik orang lain. Meski aku mengharapkan jandanya, tetapi rasanya dokter itu tidak akan melepaskan Yasmin begitu saja. Kecuali mereka dipisahkan
POV LilisJalan kupercepat menuju warung Bu Ipah. Tempat di mana dulu aku sering jadikan tempat nongkrong ketika masih berpacaran dengan Wahyu. Ternyata, sekarang dia juga masih menggunakan tempat itu untuk berpacaran sama si Pelakor itu. Sialan.Dari kejauhan aku bisa melihat si Wahyu yang ketawa-ketiwi sambil makan bakso sama si Yani. Yang lebih membuatku geram ketika perempuan sundal itu tanpa malu menyuapi si Wahyu di depan ibu-ibu yang memperhatikan kemesraan mereka.“Hei, nikmat sekali ya kalian!” tegurku dan mengambil mangkuk yang masih berisi kuah bakso dan kusemburkan ke muka keduanya. Sengaja kupilih kuah bakso milik Yani, karena aku tahu kuah punya dia pasti pedas dan asam. Keduanya berteriak karena kaget juga pasti kepanasan. Panas air juga karena panas dari cabe.Hahaha. Rasakan kalian para tukang selingkuh! Aku berkacak pinggang dan mengumpat mereka.“Rasakan gimana pedesnya mataku saat lihat kalian malah asik-asikan pacaran di sini.” AKu marah sekaligus ingin tertawa me
Aku tersenyum dan mengangguk, lalu menatap pada Yani yang tersenyum penuh kemenangan. Dia bahkan memepet tubuh Wahyu hingga mereka berdempetan.“Tapi … kamu jangan mau enaknya aja. Ambil sekalian ini anaknya. Urus. Susuin. Jangan sampai dia terlantar,” ucapku sambil melepaskan si Wadni dari kain gendongan lalu menyerahkannya pada dua orang itu.“Eh, Lis. Tega kamu. Masa mau ninggalin si Wandi?” kata si wahyu melongo. Aku tertawa menyeringai.“Kamu yang bertanggungjawab harus merawatnya. Sekarang kamu mau kawin sama si Yani, kan? Biar dia saja yang ngurus si Wani. Aku mau pergi,“ ucapku ketus dan berbalik meninggalkan dua orang itu juga riuh cibiran orang-orang yang nongkrong di warung. Mereka itu biang gosip. Aku yakin tidak perlu sampe besok kabar ini akan menyebar sekampung Suniagara.Emaknya si Wahyu melotot saat melihat aku ngeloyor b
POV Yasmin Perlu berbulan-bulan untukku dan Mas Adit bisa bermesraan setelah proses lahiran putri kami yang diberi nama Meisya. Aku sering merasa kelelahan setelah mengurus bayi kami. Sering kali Mas Adit terbengkalai masalah sarapan juga pakaiannya. Untung saja suamiku itu bukan orang yang manja. Dia sudah terbiasa hidup mandiri saat kuliah dan kerja di Jakarta, dulu. Dan lagi, semua pekerjaan sudah diselesaikan oleh Mbak Sri. Hanya saja, aku tidak bisa menemani Mas Adit makan malam ataupun sekadar sarapan. Baru saja duduk untuk menemani suamiku itu, terdengar rengekan dari mulut kecil Meisya. Aku segera kembali ke kamar dan membiarkan Mas Adit makan sendirian atau kadang hanya ditemani ibunya. Sering terdengar dengkusan pelan dari mulutnya saat malam tiba. Mungkin hasratnya yang sudah ditahan selama dua bulan lebih dan kini tengah menggebu. Rasa kasihan menelusup dalam hati. Aku segera menidurkan Meisya dan sengaja menyimpannya di boks. Mas Adit terdengar mulai mendengkur halus
“Neng Yasmin, ada tamu di depan,” ucap Sri yang baru saja menyapu halaman.“Tamu? Siapa, ya, Bi?” Yasmin mengerutkan keningnya.“Bibi kurang tau, Neng. Soalnya baru lihat mereka sekarang,” jawab Sri yang juga kebingungan.“Bukan orang sini? Siapa ya?”“Nggak tau, Neng. Cuman bilangnya nyari Neng Yasmin.”“Ya sudah, Bi. Saya ke sana sebentar lagi. Mau nidurin Rafa dulu.” Yasmin yang menimang bayinya lantas menyimpan anak itu ke boks. Namun, baru saja disimpan, anak itu kembali bangun dan menangis.“Sstt.” Yasmin kembali mengambil bayinya dan kembali menimang dalam gendongan. Terdengar dengkusan pelan dari mulutnya. Dia merasa lelah karena Rafa kecil begitu rewel dan tidak mau digendong orang lain.Sambil melangkah ke luar, Yasmin mengambil bergo yang tersampir di sofa tempat dia biasa menyusui.“Wah rumahnya bagus sekali, Pak. Nggak nyangka kalau anak kita akan menjadi orang kaya.” Terdengar bisik-bisik dari arah ruang tamu. Yasmin menautkan alisnya, merasa aneh saat tamu itu bilang ji
Lelaki berkemeja kotak-kotak itu mengerutkan keningnya. Rasanya sedikit sulit untuk percaya dengan orang-orang yang kata Yasmin sebagai orangtua juga adiknya. Sama sekali tidak ada kemiripan di antara mereka barang sedikit pun.Namun, sebagai orang yang beretika, Radit tak mungkin mengusir mereka begitu saja. Lagi pula, bagaimana jika seandainya mereka benar-benar orang tua Yasmin.“Selamat siang, Pak, Bu. Perkenalkan, saya Adit, suaminya Yasmin. Dan ini Meisya anak pertama kami,” ucap Radit dengan ramah.“Wah, cantik sekali,” puji Narsih mengusap kepala Meisya. Gadis kecil itu tampak tak nyaman. Namun, meski begitu dia tetap mengulurkan tangannya untuk mencium tangan Narsih, Narto juga Yuni.“Maaf, Bu, Meisya memang agak pemalu,” ujar Radit, karena putrinya langsung ngeloyor setelah bersalaman. Ketiga orang itu pun hanya tersenyum memaklumi.“Sayang, siapkan makan siang, biar kita makan siang bersama,” bisik Radit pada istrinya. Yasmin pun mengangguk.“Bi Sri sudah siapkan, Mas. Seb
“Eh maaf, kalau kami merepotkan kamu, Yas. Ibu mengerti jika kamu tidak bisa menerima kami di sini. Siapalah kami yang tiba-tiba datang ke sini dan merepotkan kamu,” lanjut Narsih memasang wajah sedih.Hati Yasmin yang rapuh tak tega rasanya untuk menolak dan membuat orangtua yang baru dijumpainya merasa kecewa.“Mmmh, maaf, Bu. Saya harus meminta izin dulu sama Mas Adit dan ibu mertua saya. Saya di sini juga cuma menumpang di rumah suami,” jawab Yasmin tak enak hati.“Hussh, kamu ini bilang apa? Mana ada seorang istri menumpang sama suami. Harta suami itu ya harta istri juga,” potong Bu Wati tak setuju dengan ucapan menantunya.“Ibu, Bapak dan Neng Yuni, boleh saja menginap di sini. Kalian ini keluarga kami juga. Toh, masih ada dua kamar yang kosong. Bisa untuk Ibu, Bapak dan Neng Yuni,” lanjut wanita yang hatinya tulus itu.Narsih tampak lega saat mendengar ucapan besannya. Beda dengan Radit yang tampak kurang nyaman dengan keputusan yang diambil ibunya. apalagi dia menangkap saat
Setelah makan siang dan salat, Radit kembali lagi ke pembangunan rumah sakit yang sudah selesai 90 persen. Dia menginginkan ada rumah sakit yang bisa menerima persalinan di kampung ini agar para wanita yang mau melahirkan tak perlu jauh-jauh ke kota.Radit berharap, tidak ada lagi ada ibu yang meninggal saat melahirkan, atau bayi yang lahir prematur karena kurang asupan gizi. Lelaki itu berencana untuk membuat kartu bebas biaya untuk masyarakat yang kurang mampu, agar mereka tak lagi takut untuk memeriksakan kehamilannya.Radit juga sudah bekerja sama dengan seorang teman yang merupakan seorang dokter kandungan dan beberapa bidan kenalannya. Radit memang tak menawarkan bayaran yang tinggi, karena rencananya ini lebih bersifat sosial. Namun, dia juga tetap memasang tarif normal untuk masyarakat yang mampu.Dokter Fery, seorang dokter kandungan sahabar Radit di Jakarta dan dia mau pindah untuk membantu temannya mengembangkan rumah sakit di kampung.Lelaki berwajah tampan itu bahkan mem
Yuni pulang sambil mengegrutu sepanjang jalan. Beberapa tetangga Yasmin yang melihatnya agak sedikit aneh. Namun, warga sana sudah tak terlalu heran saat melihat ada orang baru yang datang, karena mengira jika ada orang kota yang mau bekerja di rumah sakit baru milik Dokter Radit.“Sombong amat Mas Adit itu. Tapi, kok, bisa si Yasmin itu menggaet hatinya. Padahal dia perempuan biasa saja. Wajahnya juga cantikan aku ke mana-mana. Dia kucel dan bau ASI,” gumamnya sambil berjalan menyusuri jalanan desa. Jarak dari rumah Radit ke rumah sakit memang tak dekat juga tak jauh. Cukup untuk dijadikan olah raga jika jalan ke sana.Saat kembali ke rumah, terlihat Yasmin sedang menimang bayinya di depan kamar. Bajunya masih yang sama dengan jilbab bergonya. Wajahnya tampak lelah, karena bayinya tak mau digendong orang lain.“Mbak, belum mandi ya?” tanya Yuni.“Iya, belum. Rafa masih belum tidur juga. Sama Ibu nggak mau, maunya sama Mbak saja,” jawab Yasmin yang tampak kelelahan.“Emang bayi suka