Lelaki berkemeja kotak-kotak itu mengerutkan keningnya. Rasanya sedikit sulit untuk percaya dengan orang-orang yang kata Yasmin sebagai orangtua juga adiknya. Sama sekali tidak ada kemiripan di antara mereka barang sedikit pun.Namun, sebagai orang yang beretika, Radit tak mungkin mengusir mereka begitu saja. Lagi pula, bagaimana jika seandainya mereka benar-benar orang tua Yasmin.“Selamat siang, Pak, Bu. Perkenalkan, saya Adit, suaminya Yasmin. Dan ini Meisya anak pertama kami,” ucap Radit dengan ramah.“Wah, cantik sekali,” puji Narsih mengusap kepala Meisya. Gadis kecil itu tampak tak nyaman. Namun, meski begitu dia tetap mengulurkan tangannya untuk mencium tangan Narsih, Narto juga Yuni.“Maaf, Bu, Meisya memang agak pemalu,” ujar Radit, karena putrinya langsung ngeloyor setelah bersalaman. Ketiga orang itu pun hanya tersenyum memaklumi.“Sayang, siapkan makan siang, biar kita makan siang bersama,” bisik Radit pada istrinya. Yasmin pun mengangguk.“Bi Sri sudah siapkan, Mas. Seb
“Eh maaf, kalau kami merepotkan kamu, Yas. Ibu mengerti jika kamu tidak bisa menerima kami di sini. Siapalah kami yang tiba-tiba datang ke sini dan merepotkan kamu,” lanjut Narsih memasang wajah sedih.Hati Yasmin yang rapuh tak tega rasanya untuk menolak dan membuat orangtua yang baru dijumpainya merasa kecewa.“Mmmh, maaf, Bu. Saya harus meminta izin dulu sama Mas Adit dan ibu mertua saya. Saya di sini juga cuma menumpang di rumah suami,” jawab Yasmin tak enak hati.“Hussh, kamu ini bilang apa? Mana ada seorang istri menumpang sama suami. Harta suami itu ya harta istri juga,” potong Bu Wati tak setuju dengan ucapan menantunya.“Ibu, Bapak dan Neng Yuni, boleh saja menginap di sini. Kalian ini keluarga kami juga. Toh, masih ada dua kamar yang kosong. Bisa untuk Ibu, Bapak dan Neng Yuni,” lanjut wanita yang hatinya tulus itu.Narsih tampak lega saat mendengar ucapan besannya. Beda dengan Radit yang tampak kurang nyaman dengan keputusan yang diambil ibunya. apalagi dia menangkap saat
Setelah makan siang dan salat, Radit kembali lagi ke pembangunan rumah sakit yang sudah selesai 90 persen. Dia menginginkan ada rumah sakit yang bisa menerima persalinan di kampung ini agar para wanita yang mau melahirkan tak perlu jauh-jauh ke kota.Radit berharap, tidak ada lagi ada ibu yang meninggal saat melahirkan, atau bayi yang lahir prematur karena kurang asupan gizi. Lelaki itu berencana untuk membuat kartu bebas biaya untuk masyarakat yang kurang mampu, agar mereka tak lagi takut untuk memeriksakan kehamilannya.Radit juga sudah bekerja sama dengan seorang teman yang merupakan seorang dokter kandungan dan beberapa bidan kenalannya. Radit memang tak menawarkan bayaran yang tinggi, karena rencananya ini lebih bersifat sosial. Namun, dia juga tetap memasang tarif normal untuk masyarakat yang mampu.Dokter Fery, seorang dokter kandungan sahabar Radit di Jakarta dan dia mau pindah untuk membantu temannya mengembangkan rumah sakit di kampung.Lelaki berwajah tampan itu bahkan mem
Yuni pulang sambil mengegrutu sepanjang jalan. Beberapa tetangga Yasmin yang melihatnya agak sedikit aneh. Namun, warga sana sudah tak terlalu heran saat melihat ada orang baru yang datang, karena mengira jika ada orang kota yang mau bekerja di rumah sakit baru milik Dokter Radit.“Sombong amat Mas Adit itu. Tapi, kok, bisa si Yasmin itu menggaet hatinya. Padahal dia perempuan biasa saja. Wajahnya juga cantikan aku ke mana-mana. Dia kucel dan bau ASI,” gumamnya sambil berjalan menyusuri jalanan desa. Jarak dari rumah Radit ke rumah sakit memang tak dekat juga tak jauh. Cukup untuk dijadikan olah raga jika jalan ke sana.Saat kembali ke rumah, terlihat Yasmin sedang menimang bayinya di depan kamar. Bajunya masih yang sama dengan jilbab bergonya. Wajahnya tampak lelah, karena bayinya tak mau digendong orang lain.“Mbak, belum mandi ya?” tanya Yuni.“Iya, belum. Rafa masih belum tidur juga. Sama Ibu nggak mau, maunya sama Mbak saja,” jawab Yasmin yang tampak kelelahan.“Emang bayi suka
Bab 6 (bab 78) Gara-gara Mukena“Yu-Yuni? Ngapain kamu di sini?” Radit begitu kaget melihat sang adik ipar ada di kamarnya. Dia menyilangkan kedua tangannya untuk menutupi bagian sensitifnya, meski tertutupi handuk tetapi dia tetap merasa risih.“Aku abis nidurin Rafa, Mas.” Yuni senyam-senyum sambil mendekat.“Kamu tolong keluar!”: Radit menunjuk ke arah pintu yang setengah terbuka. Yuni malah terus saja senyam-senyum.“Mas Adit nggak butuh apa-apa? Baju atau apa,biar saya bantu ambilkan.” Yuni tak malu-malu menawarkan diri.“Tidak perlu, silakan kamu keluar.” Radit mengulang usirannya.“Baiklah, Mas. Saya hanya mau membantu meringankan beban Mbak Yasmin aja. Dia begitu kerepotan sama bayinya. Permisi.” Yuni mundur dan meninggalkan ruangan itu dengan hati yang berbunga-bunga karena bisa menikmati roti sobek meski hanya melihatnya saja.“Eh, Yun, mana Rafa?” tanya Yasmin yang baru selesai membantu Sri memasak.“Udah aku tidurin di boks-nya, Mbak. Rafa sudah nyenyak,” kata Yuni berbang
Mendengar pertanyaan dari sang kakak ipar, Yuni hanya bisa mengangguk tanpa bersuara.“Tumben kamu ke mesjid? Memangnya nggak takut kalau Rafa kenapa-napa?” Radit kembali bertanya. Kali ini Yuni hanya menggeleng pelan. Radit pun tertawa pelan.“Sudah lama rasanya aku rindu saat-saat seperti ini. Jalan berduaan tanpa ada gangguan.” Radit berceloteh tanpa menyadari siapa yang sedang diajak bicara olehnya.“Mmh, apa malam ini bisa kita mencobanya? Sudah lebih empat puluh hari, kan?” Kembali terdengar ucapan Radit diselingi tawa pelan. Lelaki itu melirik pada wanita di sebelahnya yang menutupi mulut hingga hidung dengan tangan yang tertutupi mukena. Yuni pun mengangguk pelan tanpa malu-malu. Otaknya berpikir keras bagaimana caranya agar nanti malam bisa bersama dengan Radit tanpa gangguan dari Yasmin.“Kok, kamu malah diam?” tanya Radit semakin mendekatkan dirinya pada Yuni. Gadis itu menunduk.“Malu?” tanya Radit. Yuni langsung mengangguk.“Kita, kan, udah suami istri. Orang-orang juga s
“Ayo,” bisik Yasmin mengajak suaminya yang terlihat malas. Radit pun memaksakan diri karena merasa tak enak dengan ibu dan bapak mertuanya yang sudah menuju ruang makan karena diajak oleh Bu Wati.“Yun, ayo makan.” Yasmin juga mengajak adiknya itu saat melewati ruang TV.“Iya, Mbak.” Gadis itu gegas bangkit mengikuti, meski Radit terlihat tak nyaman.Radit duduk sendiri di ujung meja, sementara Yasmin berada di sisi di sebelahnya. Wanita itu gegas mengambilkan nasi merah dan semangkuk sup iga ke hadapan suaminya. Radit mengucapkan terima kasih sambil tersenyum manis. Dia sengaja melakukan itu untuk menunjukan pada Yuni jika dia tidak akan mudah tergoda dengan wanita lain.Dan memang benar, Yuni tampak memberengut saat melihat kemesraan yang diperlihatkan Radit pada Yasmin.Bu Wati, Narsih dan Narto mulai mengambil makanan masing-masing dan mulai makan. Mungkin karena mereka sebaya jadi tak sulit untuk membaur. Sedangkan Yuni hanya memperhatikan kemesraan Yasmin dan Radit dengan perasa
“Kenapa aku harus terkungkung sama wanita itu. Menyebalkan sekali!” rutuk Fery setelah mematikan ponselnya. Jika saja tak ingat ponsel itu sangat berarti, mungkin dia sudah membantingnya ke lantai saking emosinya.Dia menengadahkan wajahnya menatap langit lalu mengembus napas kasar.“Mas,” sapa Yuni memasang wajah simpatik. Fery membalikan tubuhnya dan melihat wajah Yuni yang sepertinya iba.“Kenapa, Mas?” tanya Yuni.Fery tersenyum malas sambil menggeleng.“Kalau Mas Fery butuh teman curhat, aku bersedia mendengarkan. Biasanya kalau sudah curhat, rasanya jauh lebih plong.” Yuni mendekati lelaki yang terlihat kacau itu.Fery tertawa malas. “Ini masalahku. Masalah yang sudah lama dan tak akan pernah ada jalan keluarnya,” ungkap sang lelaki dengan wajah sendu.“Apalagi seperti itu, Mas. Masalah yang berlarut-larut itu tidak baik.” Yuni memperhatikan Fery yang menuju kursi di teras lalu duduk di sana. dia terlihat gusar.“Boleh aku ikut duduk di sini?” tanya Yuni sembari duluan duduk. Fe
“Tak perlu basa basi,” jawab ibunya Hanif terlihat emosi. Dia sangat kesal karena melihat Maria yang terlihat mewah. Sementara dirinya justru terlihat kumal.“Baiklah kalau tidak boleh berbasa basi. Sepertinya kalian tetap saja sial walaupun sudah mengusir Maria.” Denis tersenyum miring.Mata Hanif langsung melotot, begitu juga dengan ibunya.“Enak aja kamu bilang kami sial. Hanif ini sekarang bekerja di perusahaan bonafid. Dia ini jadi manager,” balas ibunya Hanif dengan mata melotot.Denis tersenyum miring. “Oh ya? Benarkah? Anak Ibu bilang jadi manager?” tanyanya dengan nada mencibir.“Ya, tentu saja. Bukan begitu, Hanif?” ujar wanita paruh baya itu dengan dagu yang mendongak.“I-iya, tentu saja,” jawab Hanif tergagap.“Oh begitu. Baguslah kalau memang dia sudah jadi manager. Permisi, kami mau mencari peralatan bayi,” pamit Denis yang lalu menuntun Maria untuk memasuki toko.Istrinya Hanif pun ikut mengekor sambil menarik Hanif untuk segera masuk ke dalam toko. Namun, lelaki itu me
Maria tersipu malu saat bangun keesokan harinya. Dia merasa berbunga-bunga karena telah menjadi seorang istri yang utuh bagi Denis. Dia menutupi tubuhnya yang polos dengan handuk yang terserak di lantai.“Mbak, Mbak Maria.” Terdengar panggilang dari Bi Noneng.“I-iya, Bi?” Maria gegas membuka pintu itu sedikit. Ternyata wanita itu tengah menggendong Amanda yang habis menangis.“Astagfirullah, Sayang maafin Mama,” ujar Maria yang langsung membuka pintu dan mengambil Amanda dari tangan Bi Noneng.Wanita paruh baya itu tak sengaja melihat ke dalam kamar di mana ada Denis yang masih terlelap di atas kasur milik Maria.“Eh.” Maria tampak malu karena kepergok telah sekamar.Bi Noneng malah tersenyum dan mengelus pundak Maria. “Sudah sewajarnya, toh? Pak Denis itu suamimu, Mbak. Dia seperti orang gila sewaktu Mbak Maria pergi dari rumah. Dia sering melamun dan gelisah,” ucapnya.“Kalian berhak bahagia. Saya ikut senang, Mbak,” pungkasnya sebelum beranjak pergi.Maria masih terpaku setelah me
Maria gegas menyilangkan kedua tangan pada dua area sensitifnya. Dia begitu malu dengan perlakuan Denis padanya. Maria hendak jongkok untuk mengambil lagi handuknya, tetapi tangan Denis lekas menahannya.Maria mendongak melihat pada lelaki yang menggelengkan kepalanya. Denis lalu menarik Maria agar kembali tegak berdiri.“Ba-pak, saya ….” Wajah Maria sudah merah saking malunya.“Ini bukan pertama kali kamu melakukannya, bukan? Seharusnya aku yang mesti malu, karena ini adalah hal yang pertama buatku,” ucap Denis yang semakin membuat Maria tersipu malu. Wanita itu menunduk dalam.“Saya … rasanya tidak pantas untuk Bapak. Saya ini hanya perempuan miskin pembawa sial,” ucap Maria dengan suara tercekat. Namun, Denis justru menarik dagu Maria agar kembali menatapnya.“Aku akan buktikan jika kamu adalah wanita yang penuh keberuntungan,” balas Denis dengan tatapan lekat. Dia berusaha memupuk cinta itu agar semakin subur. Maria bukan wanita yang sulit untuk dicintai. Wanita itu begitu tulus
Maria hanya diam selama perjalanan. Dengan hati terpaksa Maria ikut pulang dengan Denis. Mau bagaimana lagi, Amanda tak bisa lepas darinya. Anak itu menangis keras saat Maria menyerahkan pada Denis.Entah apa yang akan terjadi nanti, mungkin Maria akan minta Denis untuk mencarikan baby sitter baru, lalu dirinya akan meminta cerai dan pergi.Denis sesekali melirik ke samping kirinya dan melihat Maria yang memangku Amanda yang tertidur lelap.“Kamu sudah makan?” tanya Denis yang merasa kasihan sekali melihat istrinya itu begitu kurus.Maria mengangguk pelan.“Makan apa?” telisik Denis penasaran.Maria terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Aku makan bubur sisa Amanda tadi.”Denis memejamkan matanyanya sejenak dan menggeleng. Pantas saja wanita itu begitu kurus, karena hanya makan makanan sisa anaknya. Lelaki itu beristigfar dalam hatinya.Benar kata Amanda, jika Maria adalah wanita terbaik yang bisa menggantikannya.“Kita makan dulu,” ujar Denis lalu membelokan mobilnya menuju sebu
Fery segera membuat pengumuman orang hilang dan menyebarnya di berbagai media sosial. Dia yakin cara itu akan jauh lebih mudah dilihat orang-orang saat ini.Dia juga menjanjikan akan memberi imbalan yang besar bagi yang memberikan kabar tentang keberadaan Maria seperti dulu.Fery sangat khawatir dengan nasib Amanda juga pengasuhnya itu.Maria hanya wanita lemah yang membawa seorang bayi. Dia yakin akan susah untuk mendapatkan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan.Saat ini Maria sedang menyetrika di sebuah rumah. Sementara Amanda duduk sambil memainkan boneka usang yang ditemukan Maria di tempat sampah. Boneka monyet yang dia ambil dan dicuci sampai bersih, lalu dia berikan untuk mainannya Amanda.Beruntung anak itu sangat baik dan tak banyak rewel. Asal sudah kenyang maka tak akan ada lagi rengekan.Setiap hari Maria mengutamakan perutnya Amanda sebelum dia yang makan. Asalkan Amanda sudah kenyang, maka dia akan memakan sisanya, walaupun itu hanya bubur nasi.Tubuh Maria semakin kurus
Mobil Denis meluncur cepat menuju kontrakan Fany. Dia merasa yakin jika Maria akan pergi dan menginap di sana.Denis memukuli handel stirnya saking tak sabar. Jalanan dipadati kendaraan, sehingga macet.“Sial! Kenapa malah macet segala!” rutuk Denis sangat kesal. Berulang kali dia melirik pada jam yang melingkar di tangannya, sudah hampir jam 9 malam.“Mudah-mudahan saja Maria benar ke rumahnya Fany. Kalau tidak ….” Denis bahkan tak mampu melanjutkan kalimatnya sendiri. Dia khawatir jika terjadi apa-apa pada Maria juga Amanda.Mobilnya perlahan melaju, hingga akhirnya menemukan persimpangan, Denis memilih jalan lain yang tidak macet walaupun lebih jauh.“Huuft!” Dia mengembus napas kasar. Kemacetan telah membuatnya hampir kehilangan akal sehat.“Jakarta semakin hari semakin macet aja. Mengerikan!” umpatnya kesal. Namun, sekarang mobil itu sudah melaju kencang menuju kontrakan Fany yang jaraknya tak jauh lagi.Denis memarkir mobil sembarangan. Dia membanting pintu dan melangkah cepat
“Bagaimana kamu bisa ada di sini?” tanya Denis terperanjat turun dari tempat tidurnya.“Aahh, semalam, kan, aku anter kamu pulang ke sini. kenapa kamu lupa?” Irene malah menguap.“Sial!’ umpat Denis yang langsung pergi ke kamar mandi.“Kamu cepat pakai baju dan pulang!” usir Denis sambil membanting pintu kamar mandinya.Irene justru semakin berleha-leha di atas tempat tidur. Namun, rasa haus menyiksa tenggorokannya. Dia lalu bangkit dan turun. Sambil celingak-celinguk dia mencari dapur. Lalu, matanya menangkap sosok Maria yang sedang menyiapkan sarapan.“Hei, kamu pembantu di sini?” tanya Irene sambil memainkan rambutnya. Maria meliriknya dengan hati yang teramat sakit. Irene hanya mengenakan pakaian seadanya.“Iya, Mbak. Mau sesuatu?” tanya Maria dengan sopan.“Aku haus,” jawab Irene yang kemudian duduk di kursi makan.“Tunggu sebentar, saya ambilkan air,” kata Maria yang berbalik menuju dapur dan tak lama kembali dengan segelas air putih.“Silakan diminum, Mbak,” ucap Maria sambil m
Meski tahu jika Denis sama sekali tak menganggapnya seorang istri, tetapi bagi Maria sikap Denis yang seperti itu tetap saja keterlaluan dan melukai harga dirinya sebagai istri. Apalagi sekarang Denis sudah berani membawa wanita lain ke rumah mereka.Maria tak bisa memejamkan matanya. Hatinya gelisah memikirkan apa yang tengah dilakukan dua insan berlainan jenis itu di kamar suaminya.Amanda sudah tidur sejak tadi setelah kenyang menyusu, tetapi Maria tak bisa ikut terlelap padahal badannya sangat lelah.Maria menatap sendu pada Amanda. Jika bukan karena rasa sayangnya pada anak itu, mungkin dia sudah memilih untuk kembali melarikan diri dan menghilang saja.Maria keluar dari kamarnya dan mengendap mendekat ke kamar Denis. Ingin rasanya mendobrak pintu kamar itu dan menyuruh wanita yang datang bersama Denis itu untuk pergi. Namun, hatinya masih tak berani melakukannya.Rasa pedih dan tak berdaya membuatnya luruh dan bersimpuh di lantai dingin itu dengan air mata yang berderai.Kemudia
Pagi-pagi Denis seperti biasanya hendak sarapan setelah bersiap dengan setelan kerjanya. Maria sengaja menyiapkan sendiri sarapan untuk lelaki yang kini menjadi suaminya. Walaupun dia tahu jika Denis tak akan pernah menganggapnya sebagai seorang istri, tetapi bagi Maria kewajiban tetaplah kewajiban.“Ke mana Bibi? Kenapa kamu yang nyiapin sarapan?” tanya Denis sambil menarik kursi.“Mmh, ada. Bibi lagi beresin perabotan bekas masak,” jawab Maria ragu-ragu.“Lain kali biar si Bibi aja yang nyiapin sarapan. Kamu urus Amanda saja,” kata Denis.Maria mengangguk pelan tak bisa mendebat.“Ingat, pernikahan ini hanya status saja, Maria. Jangan kamu anggap serius. Tidak perlu kamu melayani aku seperti seorang istri. Mengerti?” Denis kembali mengingatkan.“Iya, pak. Saya mengerti. Tapi maaf, saya di sini hanya sebagai pelayan, karena itu saya juga berkewajiban melakukan apapun sebagai pelayan,” sahut Maria dengan suara yang parau.“Hmm, baiklah. Tapi … saya harap kamu tidak melalaikan tugas