“Kenapa aku harus terkungkung sama wanita itu. Menyebalkan sekali!” rutuk Fery setelah mematikan ponselnya. Jika saja tak ingat ponsel itu sangat berarti, mungkin dia sudah membantingnya ke lantai saking emosinya.Dia menengadahkan wajahnya menatap langit lalu mengembus napas kasar.“Mas,” sapa Yuni memasang wajah simpatik. Fery membalikan tubuhnya dan melihat wajah Yuni yang sepertinya iba.“Kenapa, Mas?” tanya Yuni.Fery tersenyum malas sambil menggeleng.“Kalau Mas Fery butuh teman curhat, aku bersedia mendengarkan. Biasanya kalau sudah curhat, rasanya jauh lebih plong.” Yuni mendekati lelaki yang terlihat kacau itu.Fery tertawa malas. “Ini masalahku. Masalah yang sudah lama dan tak akan pernah ada jalan keluarnya,” ungkap sang lelaki dengan wajah sendu.“Apalagi seperti itu, Mas. Masalah yang berlarut-larut itu tidak baik.” Yuni memperhatikan Fery yang menuju kursi di teras lalu duduk di sana. dia terlihat gusar.“Boleh aku ikut duduk di sini?” tanya Yuni sembari duluan duduk. Fe
“Hhm, sepertinya masuk akal. Orantuaku tidak akan marah jika Amanda yang berselingkuh. Wow, kamu cerdas juga,” puji Fery pada Yuni yang tersenyum jumawa.“Siapa dulu, dong. Yuniii …,” jawabnya sambil menepuk dada.“Ya, ide yang bagus. hanya saja … Amanda selama ini yang kutau belum pernah berselingkuh di belakangku. Entahlah. Aku bahkan tidak tau lelaki seperti apa tipenya dia. Dan apakah ada lelaki yang akan suka padanya. Dia itu sangat kaku dan membosankan.”Sementara itu di lain tempat, Amanda sedang duduk di sofa sebuah kafe.“Suami kamu jadi pindah?” tanya seorang wanita yang ada di hadapannya.“Iya,” jawab Amanda dengan anggukan.“Kamu nggak ikut pindah juga?”“Buat apa? Cuman buat aku semakin terlihat bodoh dan tak berharga di depannya?” Amanda tersenyum miris.“Lalu, buat apa status pernikahan kalian? Main-main?” sindir temannya itu.“Bukan begitu juga, Bel. Aku tidak pernah menganggap kalau pernikahan ini main-main. Aku masih terus berusaha mencari cara agar bisa membuat Mas
Pekerjaan, itu sebenarnya hanya sebuah alasan dari Amanda. Dia sebenarnya ingin menjauh untuk sementara agar hatinya tak merasakan sakit dengan perlakuan Fery.“Kamu disuruh ikut pindah, kan, sama mertua kamu?” tanya Bela.Amanda mengembuskan napas gusar, lalu mengangguk lemah.“Memang udah seharusnya begitu. Jika seorang suami pindah tugas, istri harus ikut ke sana.”“Tapi ….” Amanda tampak ragu.“Nggak ada tapi-tapian. Kamu harus ikut pindah ke sana sesuai permintaan mertua kamu. kamu ingat, kan, kalau dulu Fery pernah ada afair sama cewek? Itu saat kalian masih tinggal satu atap. Bagaimana kalau dia jauh?” cecar Bela.Amanda kembali terdiam. Dia seperti yang kebingungan.“Bagaimana kalau aku diusir dari sana?” ucapnya dengan wajah sendu.“Coba dulu. Jangan nyerah sebelum bertanding,” sergah Bela.“Baiklah. Aku akan susul Mas Fery ke sana.”Meskipun dia mengatakan demikian, tetapi Amanda masih ragu untuk pergi menyusul suaminya. Takut dan berat jika harus melihat sikap lelaki itu ya
“Ngapain kamu ke sini?” Fery terlihat sinis.Amanda terdiam dengan dada yang terasa sesak. Ditanya seperti itu oleh lelaki yang seharusnya justru bahagia jika bertemu dengannya. Namun, yang diterimanya justru berbeda. Sang suami bahkan terlihat tak senang. Terlebih ada wanita yang terlihat begitu akrab dengan suaminya.“Kita bicara di rumah saja, ya?” pinta Amanda masih menahan rasa sakit hatinya. Mengalah, mungkin itu memang jalan terbaik baginya untuk mendapatkan perhatian suaminya.Fery tak menjawab. Dia malah menoleh pada Yuni dan memasang wajah manis. “Saya permisi dulu, ya. lain kali kita ngobrol lagi,” ucapnya dengan ramah. Sungguh sangat jauh berbeda dengan apa yang ditunjukan pada Amanda.Tanpa basa-basi, Fery meninggalkan Amanda di pinggir jalan. Dia bahkan tak mengajak istrinya itu untuk jalan bersama. Begitu merasa malu jika lelaki itu harus melangkah bersama sang istri.“Kamu siapa?” tanya Yuni begitu berani. Padahal sudah jelas usia Amanda jauh di atasnya.“Saya istrinya
“Kenapa kau mengatakan seperti itu, Mas? bukankah kita sudah dua tahun menjalani pernikahan ini? sudah saatnya kita berusaha memperbaiki hubungan kita,” ujar Amanda.Lalu, terdengar tawa terbahak dari mulut Fery.“Mimpimu terlalu tinggi, Amanda. Kau pikir aku akan bisa jatuh cinta pada wanita jelek sepertimu?” cibir Fery yang mampu meremas segumpal daging dalam dada Amanda. Napasnya terasa sesak dengan hinaan itu.“Apakah kamu benar-benar hanya memandang fisik seseorang?” tanya Amanda dengan tatapan sendu.“Tentu saja tidak. hanya saja, aku sangat jijik padamu. Kau … mengerikan,” ujar Fery lalu meninggalkan istrinya itu sendirian.Amanda mengembus napas berat dan mengembuskannya agar dadanya terasa sedikit lega.“Sabar, Manda. Jika kamu langsung menyerah, kamu tidak akan pernah bisa memenangkan hati suamimu,” gumamnya pelan, lalu kembali menyeret kopernya untuk disandarkan di pinggir. Dia lalu memindai sekeliling sambil berjalan-jalan.Rumah itu cukup besar dengan tiga kamar. Amanda p
Mata Amanda terbelalak demi mendengar perkataan suaminya. Berbeda dengan Yuni yang juga membelalakan matanya, tetapi dengan senyum yang mengembang sempurna. Dia tak menyangka jika Fery akan mengatakan hal itu. Yuni bahkan hanya mampu berhayal untuk jadi pacar dari dokter itu, tapi sekarang, hal yang jauh lebih bagus menghampirinya.Hati Yuni berbunga-bunga.“Ini sama sekali tidak lucu, Mas.” Amanda begitu geram. Tangannya mengepal menahan marah.“Aku tidak sedang melucu, Manda. Aku benar-benar akan melakukannya. Aku memberimu pilihan, untuk tetap inggl di sini dan berbagi suami. Atau … kau bisa pergi dan hidup tenang di sana. aku bahkan tidak akan peduli meskipun kamu akan melakukan hal yang sama di sana. Nikmatilah hidupmu. Carilah laki-laki yang bisa mencintaimu. Meskipun aku ragu akan ada laki-laki yang tertarik padamu.”Sakit. Perih. Sungguh itu yang kini dirasakan oleh Amanda sebagai seorang istri. meskipun dulu Fery pernah juga mengkhianatinya, tetapi lelaki itu tak menikahinya.
Fery menyungging senyum. Sebetulnya dia belum merasakan cinta pada Yuni. Hanya saja keadaan yang mendesak membuatnya melakukan hal itu. Lagipula, tak sulit baginya untuk memilih Yuni yang wajahnya jauh lebih cantik dari Amanda. Yuni juga terlihat jauh lebih menarik dalam berpakaian.“Kamu yakin mau nikah sama saya? Walaupun Cuma jadi istri kedua dan hanya menikah siri?” Fery kembali memastikan.“Yuni yakin sekali, Mas. Tapi … Yuni boleh minta satu hal lagi, nggak?” gadis cantik itu memasang wajah memelas.“Apa?” tanya Fery menaikan alisnya.“AKu mau kuliah. Nggak apa-apa, kan?” tanya Yuni.“Oh, tentu saja boleh. Malahan bagus. Aku setuju.” Fery mengacungkan jari kelingkingnyaa untuk ditautkan dengan kelingking Yuni.Berhadapan sedekat ini dengan gadis itu tampak semakin jelas jika Yuni memang sangat cantik. Bak buah mangga yang sedang ranum-ranumnya. Begitu segar dan manis. Fery yakin sekali jika Yuni bisa dengan mudah membuatnya jatuh cinta.“Tapi … aku ragu jika kakak iparmu akan me
“Elu gila, Fer! ELu, kan udah punya istri. Gimana bisa, malah mau nikahin Yuni?” Radit terperanjat kaget saat Fery datang untuk mengatakan niatnya meminang Yuni.“Gue udah pernah jelasin ini sama elu, kan, Dit, kalau gue nggak pernah cinta sama Amanda. Pernikahan kami ini hanya terpaksa karena menuruti kemauan orang tua. Gue sama sekali nggak bisa memaksakan hati gue agar bisa cinta sama dia.” Fery mengusap wajahnya dengan kasar.“Fer, denger! Elu tau, kan, kalau dulu pernikahan gue sama Yasmin juga atas dasar permintaan nyokap? Dan elu bisa lihat sendiri bagaimana pernikahan gue sekarang. Gue bahagia, Fer. Nyokap gue ternyata benar, Yasmin adalah wanita terbaik bagi gue. Dan gue harap, elu juga bisa sedikit demi sedikit nerima Amanda dan berdamai dengan keadaan. Bini elu itu orang yang baik.”“Elu bisa bilang begitu, Dit, karena bini elu cantik. Coba elu lihat si Amanda. Sama pembantu nyokap gue aja masih kalah jauh. Gimana gue bisa cinta sama dia.” Fery mendengkus kesal.“Elu terlal
“Tak perlu basa basi,” jawab ibunya Hanif terlihat emosi. Dia sangat kesal karena melihat Maria yang terlihat mewah. Sementara dirinya justru terlihat kumal.“Baiklah kalau tidak boleh berbasa basi. Sepertinya kalian tetap saja sial walaupun sudah mengusir Maria.” Denis tersenyum miring.Mata Hanif langsung melotot, begitu juga dengan ibunya.“Enak aja kamu bilang kami sial. Hanif ini sekarang bekerja di perusahaan bonafid. Dia ini jadi manager,” balas ibunya Hanif dengan mata melotot.Denis tersenyum miring. “Oh ya? Benarkah? Anak Ibu bilang jadi manager?” tanyanya dengan nada mencibir.“Ya, tentu saja. Bukan begitu, Hanif?” ujar wanita paruh baya itu dengan dagu yang mendongak.“I-iya, tentu saja,” jawab Hanif tergagap.“Oh begitu. Baguslah kalau memang dia sudah jadi manager. Permisi, kami mau mencari peralatan bayi,” pamit Denis yang lalu menuntun Maria untuk memasuki toko.Istrinya Hanif pun ikut mengekor sambil menarik Hanif untuk segera masuk ke dalam toko. Namun, lelaki itu me
Maria tersipu malu saat bangun keesokan harinya. Dia merasa berbunga-bunga karena telah menjadi seorang istri yang utuh bagi Denis. Dia menutupi tubuhnya yang polos dengan handuk yang terserak di lantai.“Mbak, Mbak Maria.” Terdengar panggilang dari Bi Noneng.“I-iya, Bi?” Maria gegas membuka pintu itu sedikit. Ternyata wanita itu tengah menggendong Amanda yang habis menangis.“Astagfirullah, Sayang maafin Mama,” ujar Maria yang langsung membuka pintu dan mengambil Amanda dari tangan Bi Noneng.Wanita paruh baya itu tak sengaja melihat ke dalam kamar di mana ada Denis yang masih terlelap di atas kasur milik Maria.“Eh.” Maria tampak malu karena kepergok telah sekamar.Bi Noneng malah tersenyum dan mengelus pundak Maria. “Sudah sewajarnya, toh? Pak Denis itu suamimu, Mbak. Dia seperti orang gila sewaktu Mbak Maria pergi dari rumah. Dia sering melamun dan gelisah,” ucapnya.“Kalian berhak bahagia. Saya ikut senang, Mbak,” pungkasnya sebelum beranjak pergi.Maria masih terpaku setelah me
Maria gegas menyilangkan kedua tangan pada dua area sensitifnya. Dia begitu malu dengan perlakuan Denis padanya. Maria hendak jongkok untuk mengambil lagi handuknya, tetapi tangan Denis lekas menahannya.Maria mendongak melihat pada lelaki yang menggelengkan kepalanya. Denis lalu menarik Maria agar kembali tegak berdiri.“Ba-pak, saya ….” Wajah Maria sudah merah saking malunya.“Ini bukan pertama kali kamu melakukannya, bukan? Seharusnya aku yang mesti malu, karena ini adalah hal yang pertama buatku,” ucap Denis yang semakin membuat Maria tersipu malu. Wanita itu menunduk dalam.“Saya … rasanya tidak pantas untuk Bapak. Saya ini hanya perempuan miskin pembawa sial,” ucap Maria dengan suara tercekat. Namun, Denis justru menarik dagu Maria agar kembali menatapnya.“Aku akan buktikan jika kamu adalah wanita yang penuh keberuntungan,” balas Denis dengan tatapan lekat. Dia berusaha memupuk cinta itu agar semakin subur. Maria bukan wanita yang sulit untuk dicintai. Wanita itu begitu tulus
Maria hanya diam selama perjalanan. Dengan hati terpaksa Maria ikut pulang dengan Denis. Mau bagaimana lagi, Amanda tak bisa lepas darinya. Anak itu menangis keras saat Maria menyerahkan pada Denis.Entah apa yang akan terjadi nanti, mungkin Maria akan minta Denis untuk mencarikan baby sitter baru, lalu dirinya akan meminta cerai dan pergi.Denis sesekali melirik ke samping kirinya dan melihat Maria yang memangku Amanda yang tertidur lelap.“Kamu sudah makan?” tanya Denis yang merasa kasihan sekali melihat istrinya itu begitu kurus.Maria mengangguk pelan.“Makan apa?” telisik Denis penasaran.Maria terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Aku makan bubur sisa Amanda tadi.”Denis memejamkan matanyanya sejenak dan menggeleng. Pantas saja wanita itu begitu kurus, karena hanya makan makanan sisa anaknya. Lelaki itu beristigfar dalam hatinya.Benar kata Amanda, jika Maria adalah wanita terbaik yang bisa menggantikannya.“Kita makan dulu,” ujar Denis lalu membelokan mobilnya menuju sebu
Fery segera membuat pengumuman orang hilang dan menyebarnya di berbagai media sosial. Dia yakin cara itu akan jauh lebih mudah dilihat orang-orang saat ini.Dia juga menjanjikan akan memberi imbalan yang besar bagi yang memberikan kabar tentang keberadaan Maria seperti dulu.Fery sangat khawatir dengan nasib Amanda juga pengasuhnya itu.Maria hanya wanita lemah yang membawa seorang bayi. Dia yakin akan susah untuk mendapatkan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan.Saat ini Maria sedang menyetrika di sebuah rumah. Sementara Amanda duduk sambil memainkan boneka usang yang ditemukan Maria di tempat sampah. Boneka monyet yang dia ambil dan dicuci sampai bersih, lalu dia berikan untuk mainannya Amanda.Beruntung anak itu sangat baik dan tak banyak rewel. Asal sudah kenyang maka tak akan ada lagi rengekan.Setiap hari Maria mengutamakan perutnya Amanda sebelum dia yang makan. Asalkan Amanda sudah kenyang, maka dia akan memakan sisanya, walaupun itu hanya bubur nasi.Tubuh Maria semakin kurus
Mobil Denis meluncur cepat menuju kontrakan Fany. Dia merasa yakin jika Maria akan pergi dan menginap di sana.Denis memukuli handel stirnya saking tak sabar. Jalanan dipadati kendaraan, sehingga macet.“Sial! Kenapa malah macet segala!” rutuk Denis sangat kesal. Berulang kali dia melirik pada jam yang melingkar di tangannya, sudah hampir jam 9 malam.“Mudah-mudahan saja Maria benar ke rumahnya Fany. Kalau tidak ….” Denis bahkan tak mampu melanjutkan kalimatnya sendiri. Dia khawatir jika terjadi apa-apa pada Maria juga Amanda.Mobilnya perlahan melaju, hingga akhirnya menemukan persimpangan, Denis memilih jalan lain yang tidak macet walaupun lebih jauh.“Huuft!” Dia mengembus napas kasar. Kemacetan telah membuatnya hampir kehilangan akal sehat.“Jakarta semakin hari semakin macet aja. Mengerikan!” umpatnya kesal. Namun, sekarang mobil itu sudah melaju kencang menuju kontrakan Fany yang jaraknya tak jauh lagi.Denis memarkir mobil sembarangan. Dia membanting pintu dan melangkah cepat
“Bagaimana kamu bisa ada di sini?” tanya Denis terperanjat turun dari tempat tidurnya.“Aahh, semalam, kan, aku anter kamu pulang ke sini. kenapa kamu lupa?” Irene malah menguap.“Sial!’ umpat Denis yang langsung pergi ke kamar mandi.“Kamu cepat pakai baju dan pulang!” usir Denis sambil membanting pintu kamar mandinya.Irene justru semakin berleha-leha di atas tempat tidur. Namun, rasa haus menyiksa tenggorokannya. Dia lalu bangkit dan turun. Sambil celingak-celinguk dia mencari dapur. Lalu, matanya menangkap sosok Maria yang sedang menyiapkan sarapan.“Hei, kamu pembantu di sini?” tanya Irene sambil memainkan rambutnya. Maria meliriknya dengan hati yang teramat sakit. Irene hanya mengenakan pakaian seadanya.“Iya, Mbak. Mau sesuatu?” tanya Maria dengan sopan.“Aku haus,” jawab Irene yang kemudian duduk di kursi makan.“Tunggu sebentar, saya ambilkan air,” kata Maria yang berbalik menuju dapur dan tak lama kembali dengan segelas air putih.“Silakan diminum, Mbak,” ucap Maria sambil m
Meski tahu jika Denis sama sekali tak menganggapnya seorang istri, tetapi bagi Maria sikap Denis yang seperti itu tetap saja keterlaluan dan melukai harga dirinya sebagai istri. Apalagi sekarang Denis sudah berani membawa wanita lain ke rumah mereka.Maria tak bisa memejamkan matanya. Hatinya gelisah memikirkan apa yang tengah dilakukan dua insan berlainan jenis itu di kamar suaminya.Amanda sudah tidur sejak tadi setelah kenyang menyusu, tetapi Maria tak bisa ikut terlelap padahal badannya sangat lelah.Maria menatap sendu pada Amanda. Jika bukan karena rasa sayangnya pada anak itu, mungkin dia sudah memilih untuk kembali melarikan diri dan menghilang saja.Maria keluar dari kamarnya dan mengendap mendekat ke kamar Denis. Ingin rasanya mendobrak pintu kamar itu dan menyuruh wanita yang datang bersama Denis itu untuk pergi. Namun, hatinya masih tak berani melakukannya.Rasa pedih dan tak berdaya membuatnya luruh dan bersimpuh di lantai dingin itu dengan air mata yang berderai.Kemudia
Pagi-pagi Denis seperti biasanya hendak sarapan setelah bersiap dengan setelan kerjanya. Maria sengaja menyiapkan sendiri sarapan untuk lelaki yang kini menjadi suaminya. Walaupun dia tahu jika Denis tak akan pernah menganggapnya sebagai seorang istri, tetapi bagi Maria kewajiban tetaplah kewajiban.“Ke mana Bibi? Kenapa kamu yang nyiapin sarapan?” tanya Denis sambil menarik kursi.“Mmh, ada. Bibi lagi beresin perabotan bekas masak,” jawab Maria ragu-ragu.“Lain kali biar si Bibi aja yang nyiapin sarapan. Kamu urus Amanda saja,” kata Denis.Maria mengangguk pelan tak bisa mendebat.“Ingat, pernikahan ini hanya status saja, Maria. Jangan kamu anggap serius. Tidak perlu kamu melayani aku seperti seorang istri. Mengerti?” Denis kembali mengingatkan.“Iya, pak. Saya mengerti. Tapi maaf, saya di sini hanya sebagai pelayan, karena itu saya juga berkewajiban melakukan apapun sebagai pelayan,” sahut Maria dengan suara yang parau.“Hmm, baiklah. Tapi … saya harap kamu tidak melalaikan tugas