“Eh maaf, kalau kami merepotkan kamu, Yas. Ibu mengerti jika kamu tidak bisa menerima kami di sini. Siapalah kami yang tiba-tiba datang ke sini dan merepotkan kamu,” lanjut Narsih memasang wajah sedih.Hati Yasmin yang rapuh tak tega rasanya untuk menolak dan membuat orangtua yang baru dijumpainya merasa kecewa.“Mmmh, maaf, Bu. Saya harus meminta izin dulu sama Mas Adit dan ibu mertua saya. Saya di sini juga cuma menumpang di rumah suami,” jawab Yasmin tak enak hati.“Hussh, kamu ini bilang apa? Mana ada seorang istri menumpang sama suami. Harta suami itu ya harta istri juga,” potong Bu Wati tak setuju dengan ucapan menantunya.“Ibu, Bapak dan Neng Yuni, boleh saja menginap di sini. Kalian ini keluarga kami juga. Toh, masih ada dua kamar yang kosong. Bisa untuk Ibu, Bapak dan Neng Yuni,” lanjut wanita yang hatinya tulus itu.Narsih tampak lega saat mendengar ucapan besannya. Beda dengan Radit yang tampak kurang nyaman dengan keputusan yang diambil ibunya. apalagi dia menangkap saat
Setelah makan siang dan salat, Radit kembali lagi ke pembangunan rumah sakit yang sudah selesai 90 persen. Dia menginginkan ada rumah sakit yang bisa menerima persalinan di kampung ini agar para wanita yang mau melahirkan tak perlu jauh-jauh ke kota.Radit berharap, tidak ada lagi ada ibu yang meninggal saat melahirkan, atau bayi yang lahir prematur karena kurang asupan gizi. Lelaki itu berencana untuk membuat kartu bebas biaya untuk masyarakat yang kurang mampu, agar mereka tak lagi takut untuk memeriksakan kehamilannya.Radit juga sudah bekerja sama dengan seorang teman yang merupakan seorang dokter kandungan dan beberapa bidan kenalannya. Radit memang tak menawarkan bayaran yang tinggi, karena rencananya ini lebih bersifat sosial. Namun, dia juga tetap memasang tarif normal untuk masyarakat yang mampu.Dokter Fery, seorang dokter kandungan sahabar Radit di Jakarta dan dia mau pindah untuk membantu temannya mengembangkan rumah sakit di kampung.Lelaki berwajah tampan itu bahkan mem
Yuni pulang sambil mengegrutu sepanjang jalan. Beberapa tetangga Yasmin yang melihatnya agak sedikit aneh. Namun, warga sana sudah tak terlalu heran saat melihat ada orang baru yang datang, karena mengira jika ada orang kota yang mau bekerja di rumah sakit baru milik Dokter Radit.“Sombong amat Mas Adit itu. Tapi, kok, bisa si Yasmin itu menggaet hatinya. Padahal dia perempuan biasa saja. Wajahnya juga cantikan aku ke mana-mana. Dia kucel dan bau ASI,” gumamnya sambil berjalan menyusuri jalanan desa. Jarak dari rumah Radit ke rumah sakit memang tak dekat juga tak jauh. Cukup untuk dijadikan olah raga jika jalan ke sana.Saat kembali ke rumah, terlihat Yasmin sedang menimang bayinya di depan kamar. Bajunya masih yang sama dengan jilbab bergonya. Wajahnya tampak lelah, karena bayinya tak mau digendong orang lain.“Mbak, belum mandi ya?” tanya Yuni.“Iya, belum. Rafa masih belum tidur juga. Sama Ibu nggak mau, maunya sama Mbak saja,” jawab Yasmin yang tampak kelelahan.“Emang bayi suka
Bab 6 (bab 78) Gara-gara Mukena“Yu-Yuni? Ngapain kamu di sini?” Radit begitu kaget melihat sang adik ipar ada di kamarnya. Dia menyilangkan kedua tangannya untuk menutupi bagian sensitifnya, meski tertutupi handuk tetapi dia tetap merasa risih.“Aku abis nidurin Rafa, Mas.” Yuni senyam-senyum sambil mendekat.“Kamu tolong keluar!”: Radit menunjuk ke arah pintu yang setengah terbuka. Yuni malah terus saja senyam-senyum.“Mas Adit nggak butuh apa-apa? Baju atau apa,biar saya bantu ambilkan.” Yuni tak malu-malu menawarkan diri.“Tidak perlu, silakan kamu keluar.” Radit mengulang usirannya.“Baiklah, Mas. Saya hanya mau membantu meringankan beban Mbak Yasmin aja. Dia begitu kerepotan sama bayinya. Permisi.” Yuni mundur dan meninggalkan ruangan itu dengan hati yang berbunga-bunga karena bisa menikmati roti sobek meski hanya melihatnya saja.“Eh, Yun, mana Rafa?” tanya Yasmin yang baru selesai membantu Sri memasak.“Udah aku tidurin di boks-nya, Mbak. Rafa sudah nyenyak,” kata Yuni berbang
Mendengar pertanyaan dari sang kakak ipar, Yuni hanya bisa mengangguk tanpa bersuara.“Tumben kamu ke mesjid? Memangnya nggak takut kalau Rafa kenapa-napa?” Radit kembali bertanya. Kali ini Yuni hanya menggeleng pelan. Radit pun tertawa pelan.“Sudah lama rasanya aku rindu saat-saat seperti ini. Jalan berduaan tanpa ada gangguan.” Radit berceloteh tanpa menyadari siapa yang sedang diajak bicara olehnya.“Mmh, apa malam ini bisa kita mencobanya? Sudah lebih empat puluh hari, kan?” Kembali terdengar ucapan Radit diselingi tawa pelan. Lelaki itu melirik pada wanita di sebelahnya yang menutupi mulut hingga hidung dengan tangan yang tertutupi mukena. Yuni pun mengangguk pelan tanpa malu-malu. Otaknya berpikir keras bagaimana caranya agar nanti malam bisa bersama dengan Radit tanpa gangguan dari Yasmin.“Kok, kamu malah diam?” tanya Radit semakin mendekatkan dirinya pada Yuni. Gadis itu menunduk.“Malu?” tanya Radit. Yuni langsung mengangguk.“Kita, kan, udah suami istri. Orang-orang juga s
“Ayo,” bisik Yasmin mengajak suaminya yang terlihat malas. Radit pun memaksakan diri karena merasa tak enak dengan ibu dan bapak mertuanya yang sudah menuju ruang makan karena diajak oleh Bu Wati.“Yun, ayo makan.” Yasmin juga mengajak adiknya itu saat melewati ruang TV.“Iya, Mbak.” Gadis itu gegas bangkit mengikuti, meski Radit terlihat tak nyaman.Radit duduk sendiri di ujung meja, sementara Yasmin berada di sisi di sebelahnya. Wanita itu gegas mengambilkan nasi merah dan semangkuk sup iga ke hadapan suaminya. Radit mengucapkan terima kasih sambil tersenyum manis. Dia sengaja melakukan itu untuk menunjukan pada Yuni jika dia tidak akan mudah tergoda dengan wanita lain.Dan memang benar, Yuni tampak memberengut saat melihat kemesraan yang diperlihatkan Radit pada Yasmin.Bu Wati, Narsih dan Narto mulai mengambil makanan masing-masing dan mulai makan. Mungkin karena mereka sebaya jadi tak sulit untuk membaur. Sedangkan Yuni hanya memperhatikan kemesraan Yasmin dan Radit dengan perasa
“Kenapa aku harus terkungkung sama wanita itu. Menyebalkan sekali!” rutuk Fery setelah mematikan ponselnya. Jika saja tak ingat ponsel itu sangat berarti, mungkin dia sudah membantingnya ke lantai saking emosinya.Dia menengadahkan wajahnya menatap langit lalu mengembus napas kasar.“Mas,” sapa Yuni memasang wajah simpatik. Fery membalikan tubuhnya dan melihat wajah Yuni yang sepertinya iba.“Kenapa, Mas?” tanya Yuni.Fery tersenyum malas sambil menggeleng.“Kalau Mas Fery butuh teman curhat, aku bersedia mendengarkan. Biasanya kalau sudah curhat, rasanya jauh lebih plong.” Yuni mendekati lelaki yang terlihat kacau itu.Fery tertawa malas. “Ini masalahku. Masalah yang sudah lama dan tak akan pernah ada jalan keluarnya,” ungkap sang lelaki dengan wajah sendu.“Apalagi seperti itu, Mas. Masalah yang berlarut-larut itu tidak baik.” Yuni memperhatikan Fery yang menuju kursi di teras lalu duduk di sana. dia terlihat gusar.“Boleh aku ikut duduk di sini?” tanya Yuni sembari duluan duduk. Fe
“Hhm, sepertinya masuk akal. Orantuaku tidak akan marah jika Amanda yang berselingkuh. Wow, kamu cerdas juga,” puji Fery pada Yuni yang tersenyum jumawa.“Siapa dulu, dong. Yuniii …,” jawabnya sambil menepuk dada.“Ya, ide yang bagus. hanya saja … Amanda selama ini yang kutau belum pernah berselingkuh di belakangku. Entahlah. Aku bahkan tidak tau lelaki seperti apa tipenya dia. Dan apakah ada lelaki yang akan suka padanya. Dia itu sangat kaku dan membosankan.”Sementara itu di lain tempat, Amanda sedang duduk di sofa sebuah kafe.“Suami kamu jadi pindah?” tanya seorang wanita yang ada di hadapannya.“Iya,” jawab Amanda dengan anggukan.“Kamu nggak ikut pindah juga?”“Buat apa? Cuman buat aku semakin terlihat bodoh dan tak berharga di depannya?” Amanda tersenyum miris.“Lalu, buat apa status pernikahan kalian? Main-main?” sindir temannya itu.“Bukan begitu juga, Bel. Aku tidak pernah menganggap kalau pernikahan ini main-main. Aku masih terus berusaha mencari cara agar bisa membuat Mas