"Mbak Jihan, Ibu ingin menanyakan sesuatu. Tapi Mbak jangan marah." Bu inah berbicara pelan padaku, nampak Bu Inah takut kalau aku tersinggung dengan pertanyaannya."Mau tanya apa, Bu?" tanyaku sedikit penasaran."Tapi beneran jangan marah sama Ibu lho, Mbak. Ibu cuma ingin menyampaikan kepada Mbak Jihan tentang apa yang Ibu dengar saja.""Iya, Bu. InsyaAllah saya tidak akan menyalahkan Bu Inah."Aku sedang berada di toko Ibu Inah untuk berbelanja, perlengkapan mandi di rumah sudah mulai habis, daripada kehabisan, aku lebih suka membelinya untuk persediaan."Begini Mbak, Ibu dengar dari Mbak Santi kalau Mbak Jihan itu serakah meminta bagian toko lebih banyak daripada Mas Doni yang menjalankan toko dengan susah payah. Apakah betul, Mbak?" tanya Bu Inah memulai cerita.Mataku terbelalak mendengar pertanyaan Bu Inah, ternyata Mbak Santi tidak hanya menfitnahku di depan teman-temannya. Tapi juga sudah sampai di telinga Bu Inah. Berarti Mbak Santi sudah menfitnahku kemana mana."Maaf seb
Mbak Santi mematung melihat penampilanku sekarang. Dia nampak terkejut karena perubahanku. Aku menyunggingkan senyum melihatnya seperti itu."Mbak, aku boleh masuk dan bergabung dengan teman-temanmu, kan?" tanyaku sembari menyerobot masuk ke dalam rumah Mbak Santi tanpa menunggu jawaban darinya."Assalamu'alaikum semuanya, maaf saya mengganggu, boleh gabung tidak?" sapaku sembari memperlihatkan cincin dan gelang yang aku pakai.Mata mereka melotot melihat perhiasan berlian yang aku pakai. Pandangan mata mereka hanya tertuju pada perhiasanku. Hingga mereka tidak membalas salam dariku."Saya nggak boleh gabung ya? Jadi sedih saya, kalau begitu saya pulang dulu deh," ucapku berpura-pura sedih."Eh, jangan pulang dulu Mbak Jihan. Mari-mari gabung bersama kita-kita," sahut salah seorang dari mereka mendekatiku.Ternyata yang mendekatiku adalah Mbak Rasti, dia adalah teman Mbak Santi yang terlihat paling glamor."Kenapa buru-buru pulang sih, Mbak?" tanya Mbak Rasti begitu sampai di sampingk
Aku pulang dari rumah Mbak Santi dengan hati senang, sepanjang perjalanan aku terus saja menyunggingkan senyum.Aku terus saja terbayang dengan raut muram Mbak Santi tadi. Dia nampak kesal setengah mati denganku yang nyelonong masuk ke rumahnya dan bergabung dengan teman-temannya.Tidak kusangka ternyata semudah ini memberi pelajaran pada Mbak Santi. Jika tahu semudah ini sudah aku lakukan dari dulu saja. Biar cepat sadar Mbak Santinya.Saat sampai di halaman rumah, aku terkejut ketika netraku melihat Mas Irfan duduk di teras dengan memangku Ayu. Aku pun mempercepat langkah menuju ke arahnya."Lho kok sudah pulang, Mas?" tanyaku begitu sampai di depan Mas Irfan."Tadi Bapak telfon, katanya Emak jatuh dari kamar mandi, Han," jawab Mas Irfan dengan raut muram."Astaghfirullah, lalu sekarang bagaimana keadaan Emak, Mas?" tanyaku terkejut mendengar berita yang disampaikan oleh Mas Irfan."Alhamdulillah, Emak tidak apa-apa, Han. Emak sedang di rumah sakit sekarang. Mas berniat menjenguk Em
Selesai sarapan kami pun berbincang-bincang di teras rumah Emak. Di teras Emak terdapat sebuah kursi yang terbuat dari bambu. Kami pun duduk di kursi tersebut sambil bercengkrama menikmati indahnya suasana di kampung yang masih sangat asri.Sedangkan Ayu sedang bermain bersama dengan anak-anak kecil tetangga Emak. Aku tersenyum melihat Ayu yang bahagia sekali jika sudah bermain dengan teman-temannya."Fan, nanti antar Bapak pergi ke kota sebentar, ya," ucap Bapak kepada Mas Irfan."Inggih, Pak. Memang ada keperluan apa Bapak mau ke kota?" tanya Mas Irfan."Bapak mau kamu beli mobil, Fan. Kasihan cucu Bapak jika kesini harus kepanasan dan kehujanan. Lagian kalau kamu punya mobil kan bisa sering-sering ke sini. Tidak harus nunggu satu bulan sekali ke sininya. Apalagi kamu sering sendiri ke sininya, Bapak kan juga kangen sama cucu Bapak," jawab Bapak.Aku pun terkejut mendengar jawaban Bapak, memang Mas Irfan sudah punya rencana untuk membeli mobil. Tapi aku tidak menyangka kalau akan se
"Eh, Mbak Jihan. Lagi bersih-bersih, Mbak?" Aku pun mendongak melihat siapa yang sedang bertanya padaku. Saat ini aku memang sedang mencabuti rumput di halaman depan rumahku. Sudah satu minggu tidak pulang ke rumah membuat rumah kotor sekali, belum lagi rumput-rumput semakin bertambah tinggi."Iya Mbak Rasti. Rumputnya sudah panjang-panjang," jawabku.Mbak Rasti lah yang sedang bertanya padaku, tidak tahu kapan dia telah sampai di depanku. Mungkin aku terlalu fokus pada rumput yang akan aku cabuti hingga tidak menyadari kehadirannya."Mbak Jihan, saya mengganggu tidak?" tanya Mbak Rasti.Aku pun bangkit mengakhiri pekerjaanku walaupun belum selesai."Tidak kok, Mbak. Memang ada apa, Mbak?""Ah, cuma ada yang ingin ditanyakan pada Mbak Jihan saja," jawab Mbak Rasti."Boleh, Mbak. Kalau begitu saya cuci tangan terlebih dahulu, Mbak. Mbak Rasti duduk saja di ruang tamu," pungkasku sembari mempersilahkan Mbak Rasti duduk."Aku duduk di teras saja deh, Mbak," sahut Mbak Rasti."Baiklah Mb
Setelah Mbak Rasti pulang aku bergegas membawa nampan yang berisi gelas kosong ke dapur. Sekalian aku mau memasak makanan untuk Mas Irfan jika pulang nanti.Tidak lupa aku mengunci pintu depan karena tidak ada orang di rumah selain aku. Mas Irfan sedang mengantarkan pekerja Bapak yang tadi telah mengantarkan motor kami yang ditinggal di rumah Bapak kemarin. Sedangkan Ayu merengek meminta ikut Mas Irfan. Maklumlah, Ayu mungkin lagi senang-senangnya naik mobil baru.Kalau aku, tidak ikut karena masih merasa capek akibat perjalanan kemarin. Aku sudah lama sekali tidak menempuh perjalanan jauh tanpa persiapan, jadilah badanku terasa remuk semua.Setelah sampai di dapur aku bergegas mengambil sayuran yang aku beli tadi pagi di dalam kulkas. Aku pun segera memotong-motong sayuran tersebut, setelah semuanya selesai dipotong, aku mencucinya hingga bersih.Tidak lupa aku menyiapkan bumbu terlebih dahulu sebelum mulai memasak sayuran yang telah aku bersihkan.Untuk lauknya, masih ada dendeng da
Aku masuk rumah kembali setelah Mbak Santi pergi, lekas kukunci pintu lalu aku beranjak menuju kamar. Setelah tiba di kamar aku mengambil cermin untuk melihat bekas tamparan Mbak Santi.Rasa panas masih terasa di pipiku, bekas tamparannya pun terlihat jelas sekali, ditambah lagi pipiku terlihat sedikit bengkak.Kuat juga Mbak Santi menamparku tadi, andai saja tadi aku siap, tentu tangan Mbak Santi tidak akan bisa menyentuh pipiku.Untung saja aku masih bisa menahan amarahku, jika tidak sudah aku balas tamparan Mbak Santi tadi. Hah, lebih baik aku tidur saja daripada terus merasa jengkel karena Mbak Santi. Siapa tahu nanti bengkaknya akan sedikit berkurang hingga nanti Mas Irfan tidak akan tahu kalau aku baru ditampar Mbak Santi.Aku pun memejamkan mata mencoba untuk tidur walau sesaat. Setelah beberapa menit aku mulai merasakan kantuk dan akhirnya memasuki alam mimpi.***Aku mengerjapkan mata, mencoba membuka mata yang masih terasa berat. Aku bangkit dari pembaringan melihat jam di
Aku menunggu Mas Irfan yang pergi sejak tadi, hatiku gelisah tak tahu di mana Mas Irfan pergi tanpa kata. Mas Irfan pun tadi sampai rumah tidak membawa mobilnya dan Ayu, aku jadi semakin khawatir saja.Aku berjalan mondar mandir menunggu Mas Irfan dengan perasaan gelisah di ruang tamu. Kalau saja aku tadi tidak melihat Mas Irfan Marah, tentu aku tidak akan sekhawatir ini menunggunya pulang.Sudah satu jam berlalu sejak kepergiannya, kenapa Mas Irfan belum kembali juga? Apa yang sebenarnya telah terjadi? Berbagai pertanyaan bersarang di pikiranku.Saat mendengar suara deru mobil, aku bergegas membuka pintu. Setelah pintu terbuka, aku mengelus dada lega ketika melihat mobil Mas Irfan yang terparkir di halaman rumah.Senyumku mengembang ketika malihat Mas Irfan turun dari mobil sembari menggendong Ayu yang sedang terlelap.Aku segera menyambutnya dengan membukakan pintu lebar-lebar. Aku belum berani bertanya apapun kepada Mas Irfan. Aku masih takut jika Mas Irfan masih dalam keadaan mara
Tak terasa beberapa bulan berlalu, sebentar lagi bulan Ramadhan telah tiba. Mas Irfan berencana mengajak kami pindah ke rumah Emak menjalani puasa Ramadhan bersama Emak dan Bapak. Semua keperluan sudah Mas Irfan urus termasuk kepindahannya mengajar di kampung Emak.Aku sedikit lega karena bisa menemani Emak dan Bapak di hari tuanya. Sungguh jauh dari orangtua rasanya tidak enak, apalagi kami tidak punya saudara lagi selain Mas Doni yang sekarang tidak tahu kemana perginya.Sejak rumahnya terjual, aku tidak pernah bertemu Mas Doni ataupun Mbak Santi, seolah mereka menghilang ditelan bumi.Saat bertemu dengan adik Mbak Santi pun aku sudah bertanya padanya, tapi dia juga tidak tahu kemana perginya kakak perempuannya itu.Aku dan Mas Irfan ingin sekali bertemu dengan mereka, kami ingin meminta maaf sembari berpamitan untuk tinggal di rumah Emak seterusnya. Kami khawatir, jika kami sampai tidak diberi kesempatan untuk bertemu dengan Mas Doni dan Mbak Santi lagi.Mungkin setelah ini kami ti
"Kenapa baru mengaku saudara saat dalam keadaan susah, Mbak? Kemana saja dari dulu tidak pernah adil padaku?" Aku sudah tidak bisa lagi menahan amarah.Mbak Santi hanya diam saja mendengar pertanyaanku, tapi aku lihat raut wajahnya nampak memerah."Sudah cukup selama ini aku sudah berbaik hati pada keluargamu, Mbak. Lebih baik sekarang jangan menggangguku lagi," tambahku."Kamu tega, Han. Padahal saudaramu sedang butuh bantuanmu, kamu malah menutup mata dari penderitaan kami," ucap Mbak Santi."Mbak, bukankah kalian sendiri yang sudah membuat aku seperti ini? Kalian yang selalu meremehkan aku dan juga Mas Irfan, kan? Jadi selesaikan saja masalah kalian sendiri, jangan meminta bantuan pada orang yang kalian remehkan.""Jangan tidak punya hati seperti ini, Han," desis Mbak Santi."Apa kamu bilang, Mbak? Bukannya kalian yang tidak punya hati? Sudah lupa dengan semua yang kalian lakukan pada keluargaku?" tanyaku dengan suara meninggi."Tapi kami itu kakakmu, Han. Sudah sepatutnya kamu men
"Minumlah, Mbak," ucapku sembari menyodorkan teh hangat untuk Mbak Santi.Mbak Santi pun menerima gelas yang telah aku sodorkan dan meminumnya hingga habis. Penampilan Mbak Santi sungguh kacau, wajahnya sembab dengan mata yang membengkak karena terlalu banyak menangis."Ada apa ke rumahku, Mbak?" tanyaku pada Mbak Santi.Mbak Santi terdiam mendengar pertanyaanku, kulihat dia nampak ragu ingin berbicara padaku. Aku pun hanya diam menunggu Mbak Santi berbicara."Han, bolehkan aku meminta pertolongan darimu?" tanya Mbak Santi lirih.Aku mengernyitkan kening heran dengan apa yang ingin Mbak Santi ungkapkan sebenarnya. Memangnya dia mau minta tolong apa lagi, jika masalah uang, bukankah hasil penjualan tanah kemarin aku tidak meminta sama sekali?"Tergantung, Mbak. Katakan dulu apa yang ingin Mbak Santi mintai tolong," jawabku.Mbak Santi hanya diam mendengar jawabanku yang terkesan dingin. Jujur aku tidak tega melihat Mbak Santi dalam keadaan menyedihkan seperti itu. Tapi aku juga ingin
"Alhamdulillah ya, Mas, akhirnya pembangunan Masjidnya sudah selesai. Aku jadi lebih tenang sekarang karena Masjidnya sudah mulai berfungsi dan banyak yang meramaikannya," ucapku pada Mas Irfan saat kami sedang dalam perjalanan pulang dari Masjid.Kami baru saja mengantar sumbangan karpet dan juga berbagai macam keperluan Masjid lainnya dari para warga. Semua warga sangat antusias untuk menyumbang keperluan Masjid yang lainnya."Iya, Han. Aku juga lega sekali, paling tidak kita bisa menggunakan harta kita di jalan yang benar.Semoga saja segala lelah kita menjadi berkah, Han," sahut Mas Irfan."Aamiin Allahuma Aamiin, iya Mas. Terima kasih sudah mau mengabulkan keinginanku, Mas.""Jangan berterima kasih, Han. Apa yang kamu inginkan selama aku mampu, tentu akan aku kabulkan, Han," ucap Mas Irfan.Ah, Mas Irfan sungguh manis sekali. Aku jadi senyum-senyum sendiri dibuatnya. Untung saja Ayu sedang berada di rumah Emak, kalau tidak Ayu pasti akan mengajukan banyak sekali pertanyaan padaku
Satu minggu setelah aku mendapat kejutan dari Mas Irfan, kehidupanku berlangsung damai. Aku tak lagi bertemu dengan Mas Doni ataupun Mbak Santi, mungkin mereka sedang menikmati uang hasil pernjualan tanah kemarin.Aku tak lagi memusingkan apa yang mereka lakukan, jika mereka menyadari kesalahan mereka dan mau meminta maaf dengan tulus, aku akan memberi kesempatan pada mereka, tapi jika tidak pun tidak mengapa. Yang penting aku sudah mengikhlaskan apa yang mereka lakukan padaku.Sekarang tanah bekas toko itu masih belum aku pergunakan untuk apapun, tapi aku punya rencana sendiri untuk mengelolanya, aku ingin meminta ijin kepada Mas Irfan supaya tanah peninggalan orangtuaku itu dibangun Masjid saja. Daripada bingung untuk apa, lebih baik dibangun Masjid supaya bisa berfungsi dengan baik."Mas, boleh tidak tanah yang Mas beli dibangun Masjid saja?" tanyaku setengah ragu-ragu.Mas Irfan menoleh padaku, mengalihkan pandangannya dari buku yang sedang dia baca, aku menunduk tidak berani meli
Aku sudah lama sekali menangis setelah pulang dari rumah Mas Doni hingga kedua mataku membengkak. Hatiku remuk redam karena Mas Doni dan Mbak Santi yang sudah seenaknya.Aku beranjak bangun dari ranjang, bangkit untuk melangkah menuju ke kamar mandi untuk membasuh mukaku. Sebentar lagi Mas Irfan pulang, aku tidak mau kalau sampai dia melihatku habis menangis.Belum jauh langkahku dari ranjang, pintu kamar sudah terbuka oleh Mas Irfan. Aku pun terkejut dibuatnya."Kamu kenapa, Han?" tanya Mas Irfan yang sudah masuk ke kamar.Aku panik melihat Mas Irfan sudah pulang, aku buru-buru menyembunyikan wajahku yang habis menangis.Mas Irfan pun mendekat padaku, dipegangnya tanganku dengan lembut."Aku tahu apa yang membuatmu sampai seperti ini, Han. Sabarlah, Han, InsyaAllah yang menjadi hak kita akan kembali pada kita apapun yang terjadi," ucap Mas Irfan mencoba menenangkanku.Aku mengernyitkan kening tidak mengerti apa maksud ucapan Mas Irfan. Dan dari mana Mas Irfan tahu apa yang sedang aku
"Tapi aku yang sudah menjalankan toko selama ini, jadi wajar saja jika aku yang mendapatkan keuntungan toko lebih banyak, Han."Mas Doni tetap saja tidak mau mengaku salah sudah tidak adil padaku. Aku menggelengkan kepala tidak percaya dengan sikap Mas Doni. Inikah sebenarnya sifat dari Mas Doni yang tidak aku ketahui? "Aku juga berhak menjalankannya, Mas! Tapi aku tidak pernah meminta untuk menjalankannya karena memikirkanmu! Karena kamu tidak punya pekerjaan lain lagi selain menjalankan toko tersebut, aku mengalah karena aku tidak mau kamu berada dalam kesusahan," seruku dengan suara sedikit meninggi.Mas Doni nampak terperanjat mendengarku bersuara tinggi. Dia pasti tidak mengira bahwa aku berani padanya. Mulai sekarang aku tidak akan mengalah lagi, aku pasti akan meminta kembali hakku.Biarlah aku dikatakan sebagai saudara yang kejam, aku sudah lelah sekali hanya diam saja menerima perlakuan semena-mena mereka."Aku akan tetap menjual tanah itu, terserah kamu mau setuju ataupun t
Aku kembali masuk ke dalam Bank begitu Mbak Santi sudah beranjak pergi. Dalam hati aku bertanya-tanya tentang apa yang aku lihat tadi. Aku tidak bisa menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi.Untuk apa sebenarnya Mas Doni sampai mempunyai hutang di Bank? Kalau hanya hidup untuk berdua saja tentu tidak perlu melakukannya, kan? Otakku berpikir keras meraba kemungkinan-kemungkinan yang telah terjadi. Akan tetapi semakin aku pikirkan, aku semakin pusing saja.Daripada aku semakin pusing lebih baik nanti aku tanyakan langsung saja pada Mas Doni, bagaimanapun juga aku masih berhak atas tanah tersebut jika akan dijual. Karena kami memang belum membaginya secara adil.Mungkin setelah pulang dari sini aku akan langsung meminta penjelasan dari Mas Doni. Aku tidak mau jika Mas Doni sampai menjual tanah peninggalan orangtua kami begitu saja. Banyak sekali kenangan yang tersimpan di sana.Biarlah hubungan kami semakin buruk, yang penting aku tidak rela jika sampai Mas Doni melakukan hal yang aku
"Kamu kenapa, Han?" tanya Mas Irfan ketika kami sedang makan siang bersama setelah Mas Irfan pulang kerja.Aku tersadar dari lamunanku yang masih memikirkan kondisi toko tadi pagi. Sebenarnya aku ingin sekali bercerita pada Mas Irfan, tapi aku takut jika Mas Irfan menjadi banyak pikiran karena aku."Tadi sewaktu aku melihat kondisi toko, aku bertemu dengan Mas Doni, Mas." Akhirnya aku pun mulai cerita, Mas Irfan tidak akan suka jika aku menyembunyikan sesuatu darinya. Lebih baik aku menceritakan padanya sekarang daripada nanti Mas Irfan mendengar dari orang lain lagi."Lalu bagaimana, Han?" tanya Mas Irfan."Emm ... Mas Doni marah-marah padaku, Mas. Dia mengira aku senang melihat dia tertimpa musibah," jelasku."Astaghfirullah, kenapa bisa begitu, Han?" Mas Irfan geleng-geleng kepala nampak heran dengan sikap Mas Doni."Aku juga tidak tahu, Mas. Aku tidak tahu kenapa Mas Doni bisa segitu bencinya padaku. Padahal aku juga selalu mengalah padanya, Mas. Aku tidak mengerti kenapa dia bis