"Eh, Mbak Jihan. Lagi bersih-bersih, Mbak?" Aku pun mendongak melihat siapa yang sedang bertanya padaku. Saat ini aku memang sedang mencabuti rumput di halaman depan rumahku. Sudah satu minggu tidak pulang ke rumah membuat rumah kotor sekali, belum lagi rumput-rumput semakin bertambah tinggi."Iya Mbak Rasti. Rumputnya sudah panjang-panjang," jawabku.Mbak Rasti lah yang sedang bertanya padaku, tidak tahu kapan dia telah sampai di depanku. Mungkin aku terlalu fokus pada rumput yang akan aku cabuti hingga tidak menyadari kehadirannya."Mbak Jihan, saya mengganggu tidak?" tanya Mbak Rasti.Aku pun bangkit mengakhiri pekerjaanku walaupun belum selesai."Tidak kok, Mbak. Memang ada apa, Mbak?""Ah, cuma ada yang ingin ditanyakan pada Mbak Jihan saja," jawab Mbak Rasti."Boleh, Mbak. Kalau begitu saya cuci tangan terlebih dahulu, Mbak. Mbak Rasti duduk saja di ruang tamu," pungkasku sembari mempersilahkan Mbak Rasti duduk."Aku duduk di teras saja deh, Mbak," sahut Mbak Rasti."Baiklah Mb
Setelah Mbak Rasti pulang aku bergegas membawa nampan yang berisi gelas kosong ke dapur. Sekalian aku mau memasak makanan untuk Mas Irfan jika pulang nanti.Tidak lupa aku mengunci pintu depan karena tidak ada orang di rumah selain aku. Mas Irfan sedang mengantarkan pekerja Bapak yang tadi telah mengantarkan motor kami yang ditinggal di rumah Bapak kemarin. Sedangkan Ayu merengek meminta ikut Mas Irfan. Maklumlah, Ayu mungkin lagi senang-senangnya naik mobil baru.Kalau aku, tidak ikut karena masih merasa capek akibat perjalanan kemarin. Aku sudah lama sekali tidak menempuh perjalanan jauh tanpa persiapan, jadilah badanku terasa remuk semua.Setelah sampai di dapur aku bergegas mengambil sayuran yang aku beli tadi pagi di dalam kulkas. Aku pun segera memotong-motong sayuran tersebut, setelah semuanya selesai dipotong, aku mencucinya hingga bersih.Tidak lupa aku menyiapkan bumbu terlebih dahulu sebelum mulai memasak sayuran yang telah aku bersihkan.Untuk lauknya, masih ada dendeng da
Aku masuk rumah kembali setelah Mbak Santi pergi, lekas kukunci pintu lalu aku beranjak menuju kamar. Setelah tiba di kamar aku mengambil cermin untuk melihat bekas tamparan Mbak Santi.Rasa panas masih terasa di pipiku, bekas tamparannya pun terlihat jelas sekali, ditambah lagi pipiku terlihat sedikit bengkak.Kuat juga Mbak Santi menamparku tadi, andai saja tadi aku siap, tentu tangan Mbak Santi tidak akan bisa menyentuh pipiku.Untung saja aku masih bisa menahan amarahku, jika tidak sudah aku balas tamparan Mbak Santi tadi. Hah, lebih baik aku tidur saja daripada terus merasa jengkel karena Mbak Santi. Siapa tahu nanti bengkaknya akan sedikit berkurang hingga nanti Mas Irfan tidak akan tahu kalau aku baru ditampar Mbak Santi.Aku pun memejamkan mata mencoba untuk tidur walau sesaat. Setelah beberapa menit aku mulai merasakan kantuk dan akhirnya memasuki alam mimpi.***Aku mengerjapkan mata, mencoba membuka mata yang masih terasa berat. Aku bangkit dari pembaringan melihat jam di
Aku menunggu Mas Irfan yang pergi sejak tadi, hatiku gelisah tak tahu di mana Mas Irfan pergi tanpa kata. Mas Irfan pun tadi sampai rumah tidak membawa mobilnya dan Ayu, aku jadi semakin khawatir saja.Aku berjalan mondar mandir menunggu Mas Irfan dengan perasaan gelisah di ruang tamu. Kalau saja aku tadi tidak melihat Mas Irfan Marah, tentu aku tidak akan sekhawatir ini menunggunya pulang.Sudah satu jam berlalu sejak kepergiannya, kenapa Mas Irfan belum kembali juga? Apa yang sebenarnya telah terjadi? Berbagai pertanyaan bersarang di pikiranku.Saat mendengar suara deru mobil, aku bergegas membuka pintu. Setelah pintu terbuka, aku mengelus dada lega ketika melihat mobil Mas Irfan yang terparkir di halaman rumah.Senyumku mengembang ketika malihat Mas Irfan turun dari mobil sembari menggendong Ayu yang sedang terlelap.Aku segera menyambutnya dengan membukakan pintu lebar-lebar. Aku belum berani bertanya apapun kepada Mas Irfan. Aku masih takut jika Mas Irfan masih dalam keadaan mara
Aku ingin buru-buru mendatangi toko Mas Doni yang telah terbakar, aku ingin melihat bagaimana keadaan tokonya sekarang.Aku melangkah menuju kamar untuk mengambil ponselku. Setelah tiba di kamar aku bergegas mengambil ponselku di atas nangkas. Kunyalakan ponsel dan mencari kontak Mas Irfan, setelahnya aku menghubungi nomer Mas Irfan."Assalamu'alaikum, Han. Ada apa menelfon?" tanya Mas Irfan begitu panggilan telfon tersambung."Wa'alaikumsalam, Mas. Aku cuma mau mengabarkan kalau tadi Mbak Rasti datang ke rumah, dia memberikan kabar kalau toko Mas Doni kebakaran dini hari tadi, Mas," jawabku menjelaskan."Innalillahi, kasihan sekali keluarga Mas Doni," sahut Mas Irfan."Iya, Mas. Kalau diijinkan aku ingin melihat keadaan toko, Mas.""Iya, Han. Kamu boleh melihatnya, tapi jangan sampai kamu bertengkar lagi dengan mereka.""Baik, Mas. Kalau begitu aku matikan sabungan telfonnya, Mas. Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam," jawab Mas Irfan.Aku pun segera mematikan sambungan begitu mendeng
"Kamu kenapa, Han?" tanya Mas Irfan ketika kami sedang makan siang bersama setelah Mas Irfan pulang kerja.Aku tersadar dari lamunanku yang masih memikirkan kondisi toko tadi pagi. Sebenarnya aku ingin sekali bercerita pada Mas Irfan, tapi aku takut jika Mas Irfan menjadi banyak pikiran karena aku."Tadi sewaktu aku melihat kondisi toko, aku bertemu dengan Mas Doni, Mas." Akhirnya aku pun mulai cerita, Mas Irfan tidak akan suka jika aku menyembunyikan sesuatu darinya. Lebih baik aku menceritakan padanya sekarang daripada nanti Mas Irfan mendengar dari orang lain lagi."Lalu bagaimana, Han?" tanya Mas Irfan."Emm ... Mas Doni marah-marah padaku, Mas. Dia mengira aku senang melihat dia tertimpa musibah," jelasku."Astaghfirullah, kenapa bisa begitu, Han?" Mas Irfan geleng-geleng kepala nampak heran dengan sikap Mas Doni."Aku juga tidak tahu, Mas. Aku tidak tahu kenapa Mas Doni bisa segitu bencinya padaku. Padahal aku juga selalu mengalah padanya, Mas. Aku tidak mengerti kenapa dia bis
Aku kembali masuk ke dalam Bank begitu Mbak Santi sudah beranjak pergi. Dalam hati aku bertanya-tanya tentang apa yang aku lihat tadi. Aku tidak bisa menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi.Untuk apa sebenarnya Mas Doni sampai mempunyai hutang di Bank? Kalau hanya hidup untuk berdua saja tentu tidak perlu melakukannya, kan? Otakku berpikir keras meraba kemungkinan-kemungkinan yang telah terjadi. Akan tetapi semakin aku pikirkan, aku semakin pusing saja.Daripada aku semakin pusing lebih baik nanti aku tanyakan langsung saja pada Mas Doni, bagaimanapun juga aku masih berhak atas tanah tersebut jika akan dijual. Karena kami memang belum membaginya secara adil.Mungkin setelah pulang dari sini aku akan langsung meminta penjelasan dari Mas Doni. Aku tidak mau jika Mas Doni sampai menjual tanah peninggalan orangtua kami begitu saja. Banyak sekali kenangan yang tersimpan di sana.Biarlah hubungan kami semakin buruk, yang penting aku tidak rela jika sampai Mas Doni melakukan hal yang aku
"Tapi aku yang sudah menjalankan toko selama ini, jadi wajar saja jika aku yang mendapatkan keuntungan toko lebih banyak, Han."Mas Doni tetap saja tidak mau mengaku salah sudah tidak adil padaku. Aku menggelengkan kepala tidak percaya dengan sikap Mas Doni. Inikah sebenarnya sifat dari Mas Doni yang tidak aku ketahui? "Aku juga berhak menjalankannya, Mas! Tapi aku tidak pernah meminta untuk menjalankannya karena memikirkanmu! Karena kamu tidak punya pekerjaan lain lagi selain menjalankan toko tersebut, aku mengalah karena aku tidak mau kamu berada dalam kesusahan," seruku dengan suara sedikit meninggi.Mas Doni nampak terperanjat mendengarku bersuara tinggi. Dia pasti tidak mengira bahwa aku berani padanya. Mulai sekarang aku tidak akan mengalah lagi, aku pasti akan meminta kembali hakku.Biarlah aku dikatakan sebagai saudara yang kejam, aku sudah lelah sekali hanya diam saja menerima perlakuan semena-mena mereka."Aku akan tetap menjual tanah itu, terserah kamu mau setuju ataupun t