"Kedatangan saya kemari karena diutus oleh Haji Muklis. Beliau bermaksud meminang Ibu Sabrina sebagai ... ehm, istri kedua," kata seorang laki-laki berperawakan kurus setelah memperkenalkan diri.
Perempuan yang umurnya belum genap 26 tahun itu kaget bukan main. Baru saja masa iddahnya selesai, orang paling kaya di daerahnya tersebut sudah berani melamar. Konon, istrinya sudah sakit-sakitan dan tak sanggup melaksanakan kewajiban.Sabrina duduk dengan gelisah. Menolak pinangan pengusaha sembako tersebut tentu akan membuatnya dicap sebagai perempuan tak tahu diri. Pak Muklis dikenal sebagai sosok terpandang dan dermawan. Namun, menerimanya begitu saja juga bukanlah keputusan yang bijak. Dia masih sangat mencintai suaminya. Lagipula, dia juga memikirkan perasaan Bu Muklis."Sebelumnya terima kasih atas niatan baik tersebut. Hanya saja ...." Sabrina menggantung ucapannya."Haji Muklis bilang, tidak perlu dijawab sekarang. Saya bisa kembali ke sini tiga hari lagi," sahutnya sambil berdiri, bersiap untuk pamit.Sabrina mengantarkan tamunya sampai ke teras. Sebelum menaiki motornya, laki-laki itu kembali menengok sambil berkata,"Tolong dipertimbangkan baik-baik. Anak Ibu masih kecil, pasti butuh figur seorang ayah. Kehidupan Ibu akan terjamin jika menikah dengannya."Setelah mengucap salam, laki-laki itu menyalakan mesin lalu melajukan motornya meninggalkan pekarangan.Sabrina tidak lekas masuk karena dari kejauhan, dia melihat anaknya mengayuh sepeda dengan riang menuju rumah. Senyumnya terkembang tatkala Alifa, anak berusia empat tahun itu, memarkirkan sepeda di samping pot bunga."Sudah pulang, Nak?""Iya, Ma. Kata Om Baik, mainnya jangan jauh-jauh. Ya udah, deh, aku pulang aja," jawabnya sambil mengeluarkan es krim dari kantong plastik."Om Baik?" Sabrina mengernyit karena tidak tahu siapa laki-laki yang dimaksud anaknya tersebut. "Yang kasih es krim juga Om Baik?"Gadis itu mengangguk dengan mulut yang sudah belepotan oleh cokelat.Aneh sekali. Sejak lahir, Alifa tinggal di lingkungan tersebut. Jika ada laki-laki yang mengenalnya dan tahu rumahnya, bukankah seharusnya Alifa juga tahu siapa namanya? Panggilan 'Om Baik' itu seolah-olah menunjukkan bahwa mereka baru kali ini bertemu."Ma, nanti sore aku boleh ke masjid? Kata Kak Yumna, mulai hari ini ada guru mengaji baru. Semua anak boleh ikutan."Suara Alifa membuyarkan lamunannya. Dia kembali memusatkan perhatian kepada sang buah hati."Boleh, Sayang. Kalau gitu, cepat habiskan es krimnya terus mandi. Nanti Mama antar ke masjid.""Tapi, Ma ...."Alifa terlihat ragu-ragu melanjutkan ucapannya. Sabrina mengerutkan kening dan bertanya apa yang sedang dipikirkan oleh putrinya tersebut."Kerudung temenku bagus-bagus, Ma. Bajunya juga baru. Aku mau punya kerudung kayak gitu."Sabrina menelan ludah. Jangankan membeli baju dan kerudung baru, untuk makan sehari-hari saja Sabrina harus mengencangkan ikat pinggang. Dia hanya ibu rumah tangga biasa yang tidak bekerja. Ketika sang suami berpulang, perekonomiannya pun terguncang."Begini saja, Sayang. Hari ini kamu pakai baju yang ada dulu. Nanti malam, Mama jahitkan baju dan kerudung. Spesial buat Alifa karena enggak akan ada yang nyamain."Mata gadis itu berbinar. Dia mengangguk senang dan berceloteh sudah tidak sabar ingin melihat seperti apa baju buatan ibunya.Setelah es krimnya tandas, Alifa bergegas mandi. Sabrina membongkar tumpukan baju di lemari. Namun, yang dia temukan hanya baju-baju lusuh yang berbau apak. Hal itu membuat dadanya sesak.Sabrina kembali teringat ucapan utusan Pak Muklis. Benar, Alifa masih kecil dan butuh figur seorang ayah. Mereka butuh sosok tulang punggung untuk mencukupi kebutuhan. Namun, benarkah caranya jika harus menjadi istri kedua?Sabrina menggeleng keras untuk menghalau pikiran yang tidak-tidak. Mulai saat itu, dia bertekad untuk menjadi ibu yang kuat. Dia tidak mau mengemis dengan menjadi madu hanya karena desakan ekonomi.Alifa memasuki kamar setelah mandi. Sebuah setelan gamis dan kerudung merah muda sudah disiapkan oleh Sabrina. Meski tidak baru, baju itu terlihat cocok dengan kulit putih Alifa.Anak dan ibu itu berangkat ke masjid saat jam dinding menunjukkan pukul setengah empat sore. Sepanjang perjalanan, Sabrina bukannya tidak tahu kalau dia jadi bahan omongan tetangga. Dia hanya pura-pura cuek meski hatinya terluka.Banyak tetangga yang menggunjing Sabrina sebab dia sangat cantik dan masih muda. Setelah menyandang status janda, beberapa tetangga lelaki terang-terangan menunjukkan ketertarikan kepadanya. Para ibu takut jika wanita itu nantinya menjadi pelakor yang akan merusak rumah tangga mereka.Suasana masjid sudah cukup ramai saat Alifa dan Sabrina tiba. Beberapa anak perempuan mengerubuti Alifa karena itu adalah hari pertamanya ikut TPA. Sabrina terharu karena di antara orang-orang yang membenci, masih ada anak-anak berhati murni yang bersedia menerima Alifa tanpa membedakan latar belakang keluarga.Riuh rendah anak-anak berganti hening saat terdengar suara seseorang berseru cukup kencang."Anak-anak, kita mulai ngajinya, yuk!"Semuanya menoleh ke arah sumber suara."Lho ... itu, kan, Om-om baik yang kemarin beliin Alifa es krim. Jadi dia guru ngajinya, Ma?" celetuk Alifa.Karena terdorong rasa penasaran, Sabrina menoleh juga. Ibu-ibu lainnya terperangah menatap seorang lelaki tampan berpeci hitam. Dengan cepat, Sabrina membuat kesimpulan bahwa Om Baik adalah guru mengaji yang baru. Namun, siapakah dia sebenarnya?Sabrina sempat bertemu pandang dengan guru mengaji Alifa. Tidak lama, mungkin hanya sekitar dua detik. Dia mengangguk singkat pertanda hormat, kemudian mengalihkan pandangan ke arah lain. Dia orang baru di lingkungan tempat tersebut. Sabrina sempat melihat laki-laki itu melayat suaminya dan mengantar ke pemakaman. Meski demikian, dirinya belum mengenal atau sekadar mengetahui siapa namanya. "Alifa, Mama pulang dulu, ya. Ada yang harus Mama kerjakan di rumah. Nanti sebelum jam lima Mama jemput kamu." Putri kecilnya itu mengangguk, mencium tangannya, lalu berjalan cepat memasuki masjid. Tas karakter Hello Kitty-nya yang mulai lusuh bergerak-gerak ke kanan dan kiri, seirama dengan langkah kaki. Dalam perjalanan pulang, Sabrina beberapa kali berpapasan dengan driver ojek online. Ada yang membawa penumpang, mengantar makanan, juga mengirim barang. Tiba-tiba terbersit keinginan di hatinya untuk mendaftar sebagai ojek online juga. Di rumahnya ada sepeda motor nganggur yang bisa dipakai
Sebuah pesan masuk ke ponsel Sabrina."Bu, maaf nih. Kira-kira uang kontrakan bisa dibayar kapan?"Hati Sabrina rasanya seperti tercabik-cabik. Air matanya lolos begitu saja. Beruntung, Alifa sedang tidur siang sehingga dia tidak perlu sembunyi-sembunyi.Wanita itu melirik motor di sudut rumah. Kendaraan itu sudah berhari-hari tidak bisa dipakai karena kehabisan bensin. Itu adalah satu-satunya harta berharga peninggalan suaminya. Cicilannya pun belum lunas. Apakah bisa digadai?"Tolong beri waktu seminggu lagi, Bu."Belum sempat pesan itu terkirim, sebuah pesan dari nomor asing kembali masuk ke ponselnya. Sabrina menunda balasannya kemudian beralih membaca pesan itu."Bu, saya utusan Pak Muklis yang tempo hari ke rumah. Bagaimana, sudah dipikirkan jawabannya?"Benar-benar sebuah kebetulan yang menakutkan. Sabrina mengembuskan napasnya dengan berat. Haruskah dia menyerah dengan keadaan?"Maaf, Pak, boleh minta perpanjangan waktu? Saya perlu diskusi dengan orang tua," balasnya setengah
Bagi Sabrina, malam adalah waktu yang dingin lagi menyesakkan. Tiada lagi pelukan hangat sang suami yang senantiasa membisikkan kata-kata cinta. Malam menjelma menjadi gulita yang mengantarkan misteri demi misteri kepedihan esok hari.Setelah Alifa tidur, Sabrina beranjak ke ruang depan. Di sana teronggok sebuah mesin jahit tua. Ada banyak kain perca dalam bungkusan plastik di sebelahnya. Dahulu, Sabrina pernah mengikuti kursus menjahit dasar. Dia sengaja membeli mesin jahit bekas untuk memperbaiki baju suami dan anaknya.Karena sudah berjanji, Sabrina hendak begadang demi membuatkan baju untuk Alifa. Dia memilih beberapa lembaran perca polos ditambah sedikit perca motif bunga, lalu menjahitnya sesuai ukuran Alifa. Suara khas mesin jahit menderu-deru, mengisi keheningan malam. Setelah potong, tempel, dan jahit sana-sini, jadilah sebuah kerudung biru muda dengan hiasan motif bunga di bagian ujung dan tali, juga hiasan renda di lingkar wajahnya.Sabrina tersenyum. Dia membayangkan, eso
Hari itu, utusan Pak Muklis akan datang untuk menanyakan jawaban. Sabrina sudah mantap ingin menolak baik-baik pinangan tersebut. Meski sangat butuh uang, dia bertekad akan mencarinya dengan usaha sendiri.Pukul sebelas, sang tamu yang ditunggu akhirnya tiba. Dia hanya berdiri di teras saja. Tidak akan lama, katanya. Sabrina sungkan, rasanya tidak elok jika memberikan jawaban pinangan sambil berdiri di depan pintu.Alih-alih mendengarkan jawaban yang sudah dipersiapkan Sabrina, utusan Pak Muklis tersebut justru mengeluarkan selebar kertas merah hati dari tas pinggangnya."Pak Muklis akan meresmikan toko barunya. Ibu diundang menjadi salah satu tamu penting. Ibu Muklis ingin sekali bertemu dengan Ibu Sabrina. Jadi mohon dengan sangat kehadirannya."Sabrina terperanjat mendengarkan penuturan laki-laki berkumis itu. Diundang ke acara Pak Muklis jelas merupakan suatu kehormatan. Namun, Sabrina tidak dapat menerka-nerka maksud Bu Muklis ingin menemui dirinya.***"Sabrina ... Stop ... Stop!
Sabrina digosipkan tengah dekat dengan guru mengaji padahal sedang dalam masa pinangan Pak Muklis. Kabar itu berembus cepat, menyebar dari satu mulut ke mulut lain, lalu dibumbui dengan cerita tambahan yang makin melantur.Dirinya bukan tak tahu. Telinganya sudah mulai panas karena dibicarakan tetangga saat bertemu di tukang sayur langganan. Ada yang terang-terangan menyindir, ada juga yang pura-pura tidak tahu padahal selalu update berita terbaru.Gosip itu berawal dari kedatangan Adam di suatu sore selepas mengajar TPA. Sabrina yang sedang mengepel teras terkejut karena Alifa diantar oleh gurunya lagi. Padahal Sabrina sudah berniat akan menjemput anaknya itu setelah pekerjaannya selesai."Terima kasih, Ustadz, sudah repot-repot mengantar anak saya," katanya basa-basi.Sabrina sungkan, takut dikira macam-macam oleh tetangga. Begitulah nasib seorang janda. Banyak mata yang mengawasi, terutama jika ada yang tak suka kepadanya. Miskah salah satunya."Tidak apa-apa, Bu. Sebenarnya saya ke
Pak Muklis—atau lebih tepatnya Bu Muklis—memberi tambahan waktu sebulan lagi untuk Sabrina. Istri pengusaha tersebut sangat berharap Sabrina bersedia menjadi madunya. Padahal sebelumnya janda itu sudah terang-terangan menolak dijadikan istri kedua."Tolonglah saya, Sab. Kasihan kalau tidak ada yang mengurus Papi setiap kali saya sakit. Selama ini, kami tidak pernah keberatan membantu keluargamu. Sekarang, untuk sekali ini saja, bantulah keluargaku," ucap Bu Muklis siang itu, saat mereka bertemu di acara peresmian toko."Maaf, Bu. Sejujurnya, berat bagi saya untuk menerima. Suami saya baru meninggal hitungan bulan. Saat ini, belum ada pikiran untuk menikah lagi." Sabrina menjaga intonasinya sesopan mungkin."Ya, saya tahu itu pasti tidak mudah. Tapi hidup berjalan terus, Sab. Kira-kira kapan kamu siap membuka hati?" Wanita yang lima belas tahun lebih tua dari Sabrina itu terus mendesak.Sabrina mengambil napas beberapa kali sebelum menjawab. Dia menggerak-gerakkan telapak kakinya, mung
Meski rumah Sabrina dan Adam cukup jauh, desas-desus mengenai hubungan terlarang mereka akhirnya sampai juga di telinga guru mengaji tersebut. Adalah sang ART, orang yang pertama kali mendengar gosip itu beredar di kalangan ibu-ibu kompleks saat belanja sayur.Mbak Minah, ART itu, melapor ke Adam. Katanya, banyak ibu-ibu yang menyayangkan keputusan Adam untuk mendekati Sabrina. Adam dinilai terlalu polos, sedangkan Sabrina dianggap sebagai janda yang ingin mencari mangsa agar bisa hidup mewah. Lagipula Adam adalah guru mengaji, kurang pantas kalau berpacaran alih-alih ta'aruf.Sebenarnya Adam tidak mau ambil pusing. Jangankan memiliki hubungan khusus, kenal Sabrina saja baru beberapa hari. Namun, makin lama kabar itu digoreng warga, makin hari Adam jadi tak tenang memikirkannya.Meski baru saling mengenal, Adam merasa bahwa Sabrina adalah sosok ibu yang bertanggung jawab dan sosok wanita yang mandiri. Adam pernah mencoba mengulurkan bantuan untuk mempermudah proses pembuatan seragam T
Pak Muklis tidak main-main dalam usaha meraih hati Sabrina. Dia tidak hanya mengirim sembako ke kontrakan wanita itu, tetapi juga ke rumah orang tuanya. Sabrina baru tahu belakangan setelah sang ibu menelponnya."Iya, Sab. Ibu dikirimin sembako lengkap. Berasa mau hajatan saking banyaknya. Nih, ada beras, minyak, gula, mie, kecap, segala rupa. Bahkan mereka juga kasih kursi roda baru buat Bapak," terang Bu Retno panjang lebar.Sabrina mengelus dada. Sikap keluarga Muklis yang begitu berlebihan justru membuatnya makin tidak nyaman. Bayangkan, jika ditolak, orang-orang pasti akan menyebut Sabrina tidak tahu terima kasih. Namun, jika diterima, habislah dia dikata-katai sebagai janda matre."Kiriman dari mereka sudah aku bagi-bagikan ke satpam dan asrama yatim dekat kompleks, Bu. Ini sama saja kayak sogokan."Sabrina secara tersirat ingin mengatakan bahwa dia tidak mau menerima pemberian itu."Kamu ini gimana, to? Rezeki kok ditolak. Anakmu itu lho, setiap Ibu telepon pasti bilang makanny