Sabrina sempat bertemu pandang dengan guru mengaji Alifa. Tidak lama, mungkin hanya sekitar dua detik. Dia mengangguk singkat pertanda hormat, kemudian mengalihkan pandangan ke arah lain.
Dia orang baru di lingkungan tempat tersebut. Sabrina sempat melihat laki-laki itu melayat suaminya dan mengantar ke pemakaman. Meski demikian, dirinya belum mengenal atau sekadar mengetahui siapa namanya."Alifa, Mama pulang dulu, ya. Ada yang harus Mama kerjakan di rumah. Nanti sebelum jam lima Mama jemput kamu."Putri kecilnya itu mengangguk, mencium tangannya, lalu berjalan cepat memasuki masjid. Tas karakter Hello Kitty-nya yang mulai lusuh bergerak-gerak ke kanan dan kiri, seirama dengan langkah kaki.Dalam perjalanan pulang, Sabrina beberapa kali berpapasan dengan driver ojek online. Ada yang membawa penumpang, mengantar makanan, juga mengirim barang. Tiba-tiba terbersit keinginan di hatinya untuk mendaftar sebagai ojek online juga.Di rumahnya ada sepeda motor nganggur yang bisa dipakai untuk ngojek. Masalahnya, Alifa dititipkan ke siapa? Bapak dan ibunya sudah tua dan sakit-sakitan, sedangkan dibawa bekerja pun terlalu berbahaya. Meninggalkannya di tempat penitipan anak juga bukan pilihan yang tepat karena butuh pengeluaran ekstra.Angin sore bertiup semilir. Kesejukan udaranya sedikit mengurai pikiran Sabrina yang kusut. Matahari masih bersinar terang, tetapi panasnya tidak menyengat. Cuacanya pas untuk berjalan-jalan santai menikmati suasana dan mencari solusi untuk berbagai permasalahan hidupnya.Melewati pertigaan dekat rumah, ada sekumpulan bapak-bapak kompleks yang sedang berkumpul sambil main catur. Makin dekat jaraknya, Sabrina makin merasa canggung. Dia menyadari mata para lelaki itu sudah saling melempar kode. Kerling-kerling nakal juga gerakan alis naik turun membuat jantungnya berdegup lebih kencang.Tanpa menyapa, Sabrina langsung melewati mereka dengan langkah dipercepat. Sempat terdengar suara berdeham dan batuk yang dibuat-buat. Mereka seakan-akan sedang berlomba untuk menarik perhatiannya. Ngeri sekali membayangkannya. Padahal mereka sudah beristri, tetapi tak bisa menjaga hati.Sabrina langsung menelepon orang tuanya begitu sampai di rumah. Tidak lain, maksudnya untuk menyampaikan kabar pinangan Pak Muklis dan meminta saran pertimbangan kedua orang yang paling dihormatinya tersebut."Baru aja Ibu mau telepon kamu, eh, malah kamu duluan yang telepon. Gimana kabarmu, Nak?" tanya Bu Retno, ibu Sabrina, setelah mereka berbalas salam."Alhamdulillah baik, Bu. Ibu sama Bapak gimana? Rematiknya enggak kambuh lagi, kan?""Alhamdulillah, enggak. Kamu enggak ada niatan pulang kah, Sab? Biar kita kumpul sama-sama. Lagipula suami kamu sudah enggak ada. Apa yang kamu pertahankan di sana?"Mulut Sabrina terkunci. Dia tidak mungkin menceritakan yang sebenarnya kalau uang sewa kontrakannya belum dilunasi. Sabrina tidak mungkin pindah dari sana sebelum sewa tahunannya lunas. Bisa-bisa si pemilik rumah melaporkannya ke polisi."Nanti aku pulang, Bu. Sekarang masih ada beberapa hal yang harus aku selesaikan. Kalau urusanku sudah selesai, aku pasti akan kembali ke rumah."Terdengar ibunya mengembuskan napas panjang. Sabrina paham, orang tuanya tersebut ingin sekali ditemani di hari tuanya. Kedua kakaknya tinggal jauh dari mereka dan jarang sekali memberi perhatian."Bu, ada yang mau Sabrina omongin."Ucapannya terjeda sebentar, menunggu respon sang ibu."Ibu tahu Pak Muklis, kan?""Pemilik toko sembako yang punya banyak cabang itu? Ya, tahu. Ada apa, Nak? Kamu ada masalah sama dia?""Begini, Bu. Kemarin lusa ada utusan Pak Muklis yang bertamu ke rumah. Beliau bermaksud melamarku, tapi aku enggak langsung jawab. Besok anak buahnya akan datang lagi. Aku mau minta pendapat Ibu tentang hal itu."Hening beberapa detik. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing."Kamu sendiri bagaimana? Siap apa tidak kalau dijadikan madu?""Ibu ini, dimintai pendapat malah balik tanya." Sabrina memasang wajah cemberut yang sudah pasti tidak bisa dilihat ibunya."Kalau Ibu, sih, terserah kamu saja. Toh kamu yang menjalani. Coba salat istikharah, minta petunjuk sama Allah. Kalau perlu, kamu tulis baik buruknya menerima pinangan itu. Lihat, lebih banyak manfaatnya atau mudharatnya," terang ibunya panjang lebar.Bahu Sabrina melorot. Dia belum juga mendapatkan jawaban yang pasti setelah menelepon orang tuanya. Dia bukannya belum salat, sudah berkali-kali malah. Akan tetapi, dia belum mendapatkan petunjuk yang meyakinkan. Di sisi lain, jauh di lubuk hati terdalam pun dia tidak berminat menjadi istri kedua."Makasih sarannya, Bu. Nanti aku coba pikirkan lagi dan aku kabari keputusan akhirnya. Bapak dan Ibu jaga kesehatan, ya. Mudah-mudahan urusanku segera selesai, jadi aku bisa segera pulang."Setelah saling mengucap salam, Sabrina mematikan telepon. Nanti dia akan salat istikharah lagi. Tapi itu nanti. Sekarang dia harus bersih-bersih rumah sebelum kembali lagi ke masjid untuk menjemput Alifa.Sempat terbersit pikiran untuk menjadi pembantu di rumah para tetangga. Beberapa orang kaya di daerah tersebut sering mencari tukang cuci dan setrika harian. Namun, dia kembali mengurungkan niat karena teringat sekumpulan bapak-bapak yang menggodanya tadi.Sabrina segera bersiap-siap ke masjid setelah pekerjaan rumahnya selesai. Dia sudah mengunci pintu ketika sebuah sepeda motor berhenti di luar pagar. Betapa terkejutnya Sabrina ketika mengetahui Alifa turun dari boncengan guru mengajinya. Dia mendekat dengan langkah tergesa."Makasih, Ustaz Adam," ucap Alifa sambil tersenyum manis."Oh, namanya Adam." Sabrina membatin."Sama-sama, Anak Solihah. Besok ngaji lagi, ya?"Alifa pun mengacungkan jempol. Setelah mengucapkan terima kasih, Sabrina bermaksud mengajak Alifa masuk. Namun, sang guru mengaji menahan langkahnya dengan mengajukan pertanyaan."Maaf, Bu. Kata Alifa, ban motornya bocor. Apa benar?""Betul, Ustaz. Besok saya perbaiki supaya bisa dipakai untuk antar jemput."Laki-laki yang Sabrina perkirakan berumur awal 30-an itu pun mengangguk-angguk."Kebetulan saya punya bengkel. Keluar gang, ambil kanan, letaknya di sebelah warung ayam geprek. Boleh dibawa ke sana, Bu. Kebetulan sedang ada promo buat pelanggan baru."Sabrina tersenyum canggung. Diam-diam dia mengawasi sekitar, khawatir ada tetangga yang melihat dan berpikiran macam-macam tentang kejadian sore itu.Sebuah pesan masuk ke ponsel Sabrina."Bu, maaf nih. Kira-kira uang kontrakan bisa dibayar kapan?"Hati Sabrina rasanya seperti tercabik-cabik. Air matanya lolos begitu saja. Beruntung, Alifa sedang tidur siang sehingga dia tidak perlu sembunyi-sembunyi.Wanita itu melirik motor di sudut rumah. Kendaraan itu sudah berhari-hari tidak bisa dipakai karena kehabisan bensin. Itu adalah satu-satunya harta berharga peninggalan suaminya. Cicilannya pun belum lunas. Apakah bisa digadai?"Tolong beri waktu seminggu lagi, Bu."Belum sempat pesan itu terkirim, sebuah pesan dari nomor asing kembali masuk ke ponselnya. Sabrina menunda balasannya kemudian beralih membaca pesan itu."Bu, saya utusan Pak Muklis yang tempo hari ke rumah. Bagaimana, sudah dipikirkan jawabannya?"Benar-benar sebuah kebetulan yang menakutkan. Sabrina mengembuskan napasnya dengan berat. Haruskah dia menyerah dengan keadaan?"Maaf, Pak, boleh minta perpanjangan waktu? Saya perlu diskusi dengan orang tua," balasnya setengah
Bagi Sabrina, malam adalah waktu yang dingin lagi menyesakkan. Tiada lagi pelukan hangat sang suami yang senantiasa membisikkan kata-kata cinta. Malam menjelma menjadi gulita yang mengantarkan misteri demi misteri kepedihan esok hari.Setelah Alifa tidur, Sabrina beranjak ke ruang depan. Di sana teronggok sebuah mesin jahit tua. Ada banyak kain perca dalam bungkusan plastik di sebelahnya. Dahulu, Sabrina pernah mengikuti kursus menjahit dasar. Dia sengaja membeli mesin jahit bekas untuk memperbaiki baju suami dan anaknya.Karena sudah berjanji, Sabrina hendak begadang demi membuatkan baju untuk Alifa. Dia memilih beberapa lembaran perca polos ditambah sedikit perca motif bunga, lalu menjahitnya sesuai ukuran Alifa. Suara khas mesin jahit menderu-deru, mengisi keheningan malam. Setelah potong, tempel, dan jahit sana-sini, jadilah sebuah kerudung biru muda dengan hiasan motif bunga di bagian ujung dan tali, juga hiasan renda di lingkar wajahnya.Sabrina tersenyum. Dia membayangkan, eso
Hari itu, utusan Pak Muklis akan datang untuk menanyakan jawaban. Sabrina sudah mantap ingin menolak baik-baik pinangan tersebut. Meski sangat butuh uang, dia bertekad akan mencarinya dengan usaha sendiri.Pukul sebelas, sang tamu yang ditunggu akhirnya tiba. Dia hanya berdiri di teras saja. Tidak akan lama, katanya. Sabrina sungkan, rasanya tidak elok jika memberikan jawaban pinangan sambil berdiri di depan pintu.Alih-alih mendengarkan jawaban yang sudah dipersiapkan Sabrina, utusan Pak Muklis tersebut justru mengeluarkan selebar kertas merah hati dari tas pinggangnya."Pak Muklis akan meresmikan toko barunya. Ibu diundang menjadi salah satu tamu penting. Ibu Muklis ingin sekali bertemu dengan Ibu Sabrina. Jadi mohon dengan sangat kehadirannya."Sabrina terperanjat mendengarkan penuturan laki-laki berkumis itu. Diundang ke acara Pak Muklis jelas merupakan suatu kehormatan. Namun, Sabrina tidak dapat menerka-nerka maksud Bu Muklis ingin menemui dirinya.***"Sabrina ... Stop ... Stop!
Sabrina digosipkan tengah dekat dengan guru mengaji padahal sedang dalam masa pinangan Pak Muklis. Kabar itu berembus cepat, menyebar dari satu mulut ke mulut lain, lalu dibumbui dengan cerita tambahan yang makin melantur.Dirinya bukan tak tahu. Telinganya sudah mulai panas karena dibicarakan tetangga saat bertemu di tukang sayur langganan. Ada yang terang-terangan menyindir, ada juga yang pura-pura tidak tahu padahal selalu update berita terbaru.Gosip itu berawal dari kedatangan Adam di suatu sore selepas mengajar TPA. Sabrina yang sedang mengepel teras terkejut karena Alifa diantar oleh gurunya lagi. Padahal Sabrina sudah berniat akan menjemput anaknya itu setelah pekerjaannya selesai."Terima kasih, Ustadz, sudah repot-repot mengantar anak saya," katanya basa-basi.Sabrina sungkan, takut dikira macam-macam oleh tetangga. Begitulah nasib seorang janda. Banyak mata yang mengawasi, terutama jika ada yang tak suka kepadanya. Miskah salah satunya."Tidak apa-apa, Bu. Sebenarnya saya ke
Pak Muklis—atau lebih tepatnya Bu Muklis—memberi tambahan waktu sebulan lagi untuk Sabrina. Istri pengusaha tersebut sangat berharap Sabrina bersedia menjadi madunya. Padahal sebelumnya janda itu sudah terang-terangan menolak dijadikan istri kedua."Tolonglah saya, Sab. Kasihan kalau tidak ada yang mengurus Papi setiap kali saya sakit. Selama ini, kami tidak pernah keberatan membantu keluargamu. Sekarang, untuk sekali ini saja, bantulah keluargaku," ucap Bu Muklis siang itu, saat mereka bertemu di acara peresmian toko."Maaf, Bu. Sejujurnya, berat bagi saya untuk menerima. Suami saya baru meninggal hitungan bulan. Saat ini, belum ada pikiran untuk menikah lagi." Sabrina menjaga intonasinya sesopan mungkin."Ya, saya tahu itu pasti tidak mudah. Tapi hidup berjalan terus, Sab. Kira-kira kapan kamu siap membuka hati?" Wanita yang lima belas tahun lebih tua dari Sabrina itu terus mendesak.Sabrina mengambil napas beberapa kali sebelum menjawab. Dia menggerak-gerakkan telapak kakinya, mung
Meski rumah Sabrina dan Adam cukup jauh, desas-desus mengenai hubungan terlarang mereka akhirnya sampai juga di telinga guru mengaji tersebut. Adalah sang ART, orang yang pertama kali mendengar gosip itu beredar di kalangan ibu-ibu kompleks saat belanja sayur.Mbak Minah, ART itu, melapor ke Adam. Katanya, banyak ibu-ibu yang menyayangkan keputusan Adam untuk mendekati Sabrina. Adam dinilai terlalu polos, sedangkan Sabrina dianggap sebagai janda yang ingin mencari mangsa agar bisa hidup mewah. Lagipula Adam adalah guru mengaji, kurang pantas kalau berpacaran alih-alih ta'aruf.Sebenarnya Adam tidak mau ambil pusing. Jangankan memiliki hubungan khusus, kenal Sabrina saja baru beberapa hari. Namun, makin lama kabar itu digoreng warga, makin hari Adam jadi tak tenang memikirkannya.Meski baru saling mengenal, Adam merasa bahwa Sabrina adalah sosok ibu yang bertanggung jawab dan sosok wanita yang mandiri. Adam pernah mencoba mengulurkan bantuan untuk mempermudah proses pembuatan seragam T
Pak Muklis tidak main-main dalam usaha meraih hati Sabrina. Dia tidak hanya mengirim sembako ke kontrakan wanita itu, tetapi juga ke rumah orang tuanya. Sabrina baru tahu belakangan setelah sang ibu menelponnya."Iya, Sab. Ibu dikirimin sembako lengkap. Berasa mau hajatan saking banyaknya. Nih, ada beras, minyak, gula, mie, kecap, segala rupa. Bahkan mereka juga kasih kursi roda baru buat Bapak," terang Bu Retno panjang lebar.Sabrina mengelus dada. Sikap keluarga Muklis yang begitu berlebihan justru membuatnya makin tidak nyaman. Bayangkan, jika ditolak, orang-orang pasti akan menyebut Sabrina tidak tahu terima kasih. Namun, jika diterima, habislah dia dikata-katai sebagai janda matre."Kiriman dari mereka sudah aku bagi-bagikan ke satpam dan asrama yatim dekat kompleks, Bu. Ini sama saja kayak sogokan."Sabrina secara tersirat ingin mengatakan bahwa dia tidak mau menerima pemberian itu."Kamu ini gimana, to? Rezeki kok ditolak. Anakmu itu lho, setiap Ibu telepon pasti bilang makanny
Seorang wanita berumur yang memakai banyak perhiasan sedang duduk di teras rumah kontrakan Sabrina. Namanya Bu Yanti, terkenal sebagai juragan kontrakan. Kedatangannya membuat Sabrina yang baru pulang dari warung merasa dagdigdug tak karuan."Silakan masuk, Bu. Maaf rumahnya lagi berantakan," katanya begitu sampai rumah dan membukakan pintu.Baju seragam pesanan TPA bertumpuk di lantai. Rencananya, Sabrina baru akan menyetrika dan memasukkan ke plastik setelah semuanya jadi. Dia memindahkan tumpukan kain tersebut ke sudut ruangan agar ada tempat untuk menerima tamu."Wah, lagi dapat pesanan, ya, Mbak? Bagus jahitannya. Kapan-kapan saya juga mau, deh, jahit di sini," puji Bu Yanti sambil meneliti salah satu baju yang sempat diambilnya."Iya, Bu, Alhamdulillah. Boleh, dengan senang hati. Saya kasih harga spesial buat Ibu."Sabrina menyuguhkan segelas air putih kepada tamunya. Dia duduk bersimpuh, menunggu Bu Yanti menyampaikan maksud kedatangannya."Maaf, Mbak, saya bertamu pagi-pagi. B