Pak Muklis tidak main-main dalam usaha meraih hati Sabrina. Dia tidak hanya mengirim sembako ke kontrakan wanita itu, tetapi juga ke rumah orang tuanya. Sabrina baru tahu belakangan setelah sang ibu menelponnya."Iya, Sab. Ibu dikirimin sembako lengkap. Berasa mau hajatan saking banyaknya. Nih, ada beras, minyak, gula, mie, kecap, segala rupa. Bahkan mereka juga kasih kursi roda baru buat Bapak," terang Bu Retno panjang lebar.Sabrina mengelus dada. Sikap keluarga Muklis yang begitu berlebihan justru membuatnya makin tidak nyaman. Bayangkan, jika ditolak, orang-orang pasti akan menyebut Sabrina tidak tahu terima kasih. Namun, jika diterima, habislah dia dikata-katai sebagai janda matre."Kiriman dari mereka sudah aku bagi-bagikan ke satpam dan asrama yatim dekat kompleks, Bu. Ini sama saja kayak sogokan."Sabrina secara tersirat ingin mengatakan bahwa dia tidak mau menerima pemberian itu."Kamu ini gimana, to? Rezeki kok ditolak. Anakmu itu lho, setiap Ibu telepon pasti bilang makanny
Seorang wanita berumur yang memakai banyak perhiasan sedang duduk di teras rumah kontrakan Sabrina. Namanya Bu Yanti, terkenal sebagai juragan kontrakan. Kedatangannya membuat Sabrina yang baru pulang dari warung merasa dagdigdug tak karuan."Silakan masuk, Bu. Maaf rumahnya lagi berantakan," katanya begitu sampai rumah dan membukakan pintu.Baju seragam pesanan TPA bertumpuk di lantai. Rencananya, Sabrina baru akan menyetrika dan memasukkan ke plastik setelah semuanya jadi. Dia memindahkan tumpukan kain tersebut ke sudut ruangan agar ada tempat untuk menerima tamu."Wah, lagi dapat pesanan, ya, Mbak? Bagus jahitannya. Kapan-kapan saya juga mau, deh, jahit di sini," puji Bu Yanti sambil meneliti salah satu baju yang sempat diambilnya."Iya, Bu, Alhamdulillah. Boleh, dengan senang hati. Saya kasih harga spesial buat Ibu."Sabrina menyuguhkan segelas air putih kepada tamunya. Dia duduk bersimpuh, menunggu Bu Yanti menyampaikan maksud kedatangannya."Maaf, Mbak, saya bertamu pagi-pagi. B
[Kediaman Pak Muklis]"Pi, sudah ada jawaban dari Sabrina?" tanya Bu Muklis membuka pembicaraan. Mereka baru saja selesai sarapan bersama.Yang ditanya hanya menggeleng. Sabrina belum menunjukkan tanda-tanda menerima pinangannya. Wanita itu masih saja bersikukuh ingin menjanda meski sudah terjepit keadaan."Mami bisa membayangkan ada di posisi Sabrina. Memang berat sih, Pi. Jadi istri kedua itu tidak pernah ada dalam kamus keinginan setiap wanita."Pak Muklis meneguk segelas air putih. Setelah mengelap bibirnya yang basah, dia melanjutkan obrolan."Apanya yang berat? Rasul saja mencontohkan untuk menikahi janda ketika poligami. Kita bisa membantu mereka agar bisa hidup berkecukupan dan terhindar dari fitnah."Pak Muklis mulai mengeluarkan jurus andalan. Sejak awal, poligami ini adalah ide Pak Muklis setelah istrinya divonis kanker rahim."Mami juga jadi bisa fokus berobat karena tidak perlu repot mengurus Papi. Dari kemarin, setiap kali pulang kemoterapi, Mami pasti selalu kecapekan d
"Seandainya setelah semua hal yang kita lakukan ini Sabrina tetap menolak lamaran Papi, apa yang akan Papi lakukan?" tanya Bu Muklis sungguh-sungguh.Tangan kanannya diam-diam mencengkeram ujung tunik ungu yang dia kenakan. Selama lebih dari dua puluh tahun menikah, Bu Muklis tahu betul tabiat sang suami. Jika sudah menginginkan sesuatu, dia akan berupaya keras untuk mewujudkannya.Sedangkan Pak Muklis hanya terkekeh lalu menjawab, "Ya, kita lihat nanti saja. Mami masih dukung Papi, kan? Ini semua demi kebaikan kita, kan?"Bu Muklis mengangguk. Setiap kali hatinya meragu, Pak Muklis kembali meyakinkan bahwa keputusan poligami itu diambil untuk kepentingan bersama. Pak Muklis bisa dirawat dengan baik selagi Bu Muklis menjalani serangkaian proses kemoterapi. Selain itu, mereka bisa menolong janda yang kesusahan.Laju mobil melambat ketika mereka memasuki sebuah kawasan pemukiman padat penduduk. Gangnya sempit, jalanan berlubang di sana-sini, dan banyak anak kecil berlarian. Karena perna
"Kamu mau ke mana, Dam? Masih pagi gini. Biasanya baru berangkat ke bengkel jam sembilan," tanya Bu Ami saat melihat anaknya sudah berpakaian rapi seusai sarapan."Mau ke ATM, Ma. Kemarin Bu Sabrina minta sisa pembayaran seragam TPA. Barusan dikirimin nomor rekeningnya."Mendengar nama Sabrina disebut, Bu Ami langsung memasang wajah antusias. Dirinya ingin tahu lebih jauh tentang sosok yang belum sempat ditemuinya tersebut."Aih, udah saling nyimpen nomor hp rupanya. Kenapa harus ditransfer? Sini, tarik tunai uangnya, biar Mama yang antar ke rumahnya."Adam mendelik ke arah ibunya yang tertawa setelah menggodanya. Ucapannya tempo hari ternyata bukan isapan jempol. Bu Ami mulai melancarkan aksi untuk mengenal Sabrina lebih jauh."Ngapain, sih, Ma? Enggak usah. Kasihan Bu Sabrina nanti malah makin parah digosipin tetangga.""Kamu, sih, pergerakannya lambat. Keburu disamber orang, tahu!"Adam menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Susah juga mencegah keinginan orang tua yang kebelet punya
Sebuah pesan berantai tak sengaja terkirim ke grup Whatsapp kompleks. Sabrina sempat membacanya sebelum dihapus oleh si pengirim. Bunyinya begini:!! Gosip Terbaru !!Sabrina pasang susuk demi menggaet Mas Adam dan Haji Muklis. Dua-duanya sedang getol melakukan pendekatan. Hati-hati, jaga suami kita supaya tidak menjadi korban selanjutnya!Singkat saja pesannya, tapi sudah cukup membuat batin Sabrina terluka. Ternyata di belakangnya, banyak warga kompleks yang membicarakan hal-hal buruk mengenai dirinya.Si pengirim yang notabene adalah tetangga dekat pun tidak meminta maaf atau memberikan konfirmasi apa pun. Posisinya sudah cukup jelas, dia sedang dijauhi oleh orang-orang di lingkungan tempat tinggalnya.Sabrina sudah mencicil uang sewa kontrakan setelah mendapat bayaran dari Adam. Terhitung satu bulan lagi, dia dapat bernapas lega karena akan meninggalkan kompleks. Gosip itu akan hilang seiring kepergiannya dari lingkungan tersebut. Dia hanya perlu bersabar sedikit lagi.Baju seraga
"Baju seragam sudah saya taruh di serambi, Ustadz. Sudah saya periksa, Insyaa Allah semuanya dalam kondisi bagus. Kalau semisal ada yang cacat produksi, silakan hubungi saya.""Terima kasih, Bu. Tapi maksud saya bukan itu. Emm, saya mau menyampaikan ini," kata Adam sambil mengulurkan sepucuk amplop putih tanpa tulisan apa pun."Apa ini, Ustadz?""Mama mau ngadain pengajian untuk pembukaan cabang bengkel. Bu Sabrina juga diundang. Katanya, majelis taklim mereka sekalian mau bikin baju seragam."Sebuah senyuman secerah matahari pagi terbit di bibir Sabrina. Dirinya serasa mendapat durian runtuh. Seragam majelis taklim biasanya terdiri dari satu set gamis dan kerudung. Ongkos jahit per pasangnya bisa ratusan ribu. Dikali sekian orang, uang itu pasti cukup untuk melunasi sewa kontrakan. Alhamdulillah."Acaranya kapan, ya?""Sabtu besok, di rumah saya. Ibu sudah tahu rumah saya?"Sabrina menggeleng."Nanti saya shareloc saja via WA. Pokoknya, nanti Ibu siapkan saja keperluan untuk mengukur
Bu Yanti tersenyum ramah ketika Sabrina memasuki pekarangan rumah. Sabrina membalasnya dengan senyuman canggung. Benaknya masih dipenuhi kekhawatiran kalau-kalau Bu Yanti ingin menagih utang."Bu Yanti sudah lama? Maaf, tadi saya ada urusan," kata Sabrina. Wanita itu kemudian mempersilakan sang pemilik kontrakan masuk."Belum lama, Mbak. Tadi saya ketemu Alifa, katanya Mama lagi ke rumah Pak RT. Jadi, saya tungguin.""Ehm, maaf sebelumnya, Bu. Saya belum ada uang lagi untuk melunasi sewa kontrakan. Tapi tenang saja, sekarang saya lagi ngerjain orderan seragam gamis. Secepatnya akan saya lunasi."Sabrina memasang tampang memelas. Dia hanya perlu lembur beberapa hari untuk menyelesaikan jahitan. Selama ini, Bu Yanti sudah cukup berbaik hati karena selalu memberi perpanjangan waktu.Tak disangka, Bu Yanti justru terkekeh. Dia menepuk pundak Sabrina kemudian berkata, "Saya memang mau bahas kontrakan, Mbak, tapi bukan soal bayarannya. Per hari ini, rumah ini sudah bukan milik saya."Sabrin