Suara detik jam dinding memecah keheningan di kontrakan petak berukuran 3×6 meter itu. Penghuninya sedang duduk gelisah di lantai beralas karpet. Sesekali dia melongok ke arah gerbang, barangkali tamu yang ditunggu-tunggu sudah sampai.Telah setengah jam Sabrina menunggu dari waktu yang sudah disepakati. Namun, belum ada tanda-tanda kemunculan Bu Muklis. Status Whatsapp-nya pun terakhir online satu jam yang lalu.Tak lama kemudian, terdengar deru halus mobil yang berhenti di depan rumah. Sabrina bergegas keluar untuk memastikan. Akhirnya, tamu yang ditunggu itu datang juga, mengendarai sebuah Range Rover hitam mengkilat."Sepertinya mereka habis beli mobil lagi," ujar Sabrina dalam hati.Sabrina memaksakan sebuah senyuman kecil demi menghormati sang tamu. Dia cukup lega karena Pak Muklis tidak ikut. Kedatangan Bu Muklis saja--Sabrina yakin seratus persen--pasti akan menimbulkan gosip baru."Assalamu'alaikum, Mbak Sabrina. Gimana kabarnya?"Mereka bersalaman. Bu Muklis menarik badan Sa
Sabrina tak tahu dan tak mau tahu bagaimana reaksi para tetangga yang memergoki kepergian Bu Muklis dari rumahnya dalam keadaan yang kurang baik. Berkaca dari pengalaman yang sudah–sudah, mereka selalu saja berburuk sangka dan menarik kesimpulan sendiri. Mereka tidak benar-benar peduli dengan apa yang sebenarnya terjadi.Sore itu, Sabrina kembali menjahit pesanan seragam majelis taklim Bu Ami. Dia hanya keluar rumah jika perlu belanja ke warung atau mengantar Alifa ke TPA. Semakin sedikit berinteraksi dengan orang, akan semakin baik untuk kesehatan mentalnya.Suara motor yang berhenti di depan rumah membuat Sabrina menghentikan kegiatannya. Bejo, sopir Pak Muklis, tergopoh-gopoh menuju teras rumahnya dan menguluk salam."Pak Bejo ada perlu sama saya?""Bukan saya, Non, tapi Pak Haji. Non Sabrina diundang makan malam di Restoran Amerta."Sabrina tahu restoran yang dimaksud. Itu adalah restoran ternama di pusat kota yang menyediakan berbagai hidangan dengan harga fantastis."Siapa saja
“Jadi, ada perlu apa saya harus ke sini, Pak?”“Tunggu sampai makanan datang, ya. Kita bisa ngobrol sambil makan supaya anak kamu fokus ke makanannya, bukan ke isi pembicaraan kita.”Sabrina mengangguk. Alasan Pak Muklis cukup masuk akal. Meski Alifa masih kecil, tidak mungkin membahas permasalahan orang dewasa di hadapannya. Terlebih lagi, jika obrolannya menyangkut poligami.“Terus, Pak Bejo gimana?”Sebenarnya Sabrina sungkan menanyakan itu. Dia yang agar meminta agar Pak Muklis mengajak orang lain, tetapi dia juga yang khawatir kalau orang itu menguping.“Tenang, Non. Saya sudah bawa headset,” kata Pak Bejo sambil mengeluarkan benda itu dari kantong kemejaanya.Sabrina manggut-manggut. Pikirannya jadi sedikit lebih tenang.Menunggu itu, jika bersama dengan orang yang membuat hati tidak nyaman, ternyata terasa sangat menjemukan. Sabrina berkali-kali melirik jam tangan karena pesanan makanannya tak kunjung datang. Dia sampai mengajak ngobrol Alifa tentang berbagai hal demi menghinda
Sabrina sadar, siapapun akan curiga setelah sopir Pak Muklis mengantar jemput Sabrina padahal sehari sebelumnya dia terlibat keributan dengan Bu Muklis. Sekuat tenaga Sabrina menutup telinga, tetapi tetap saja ada selentingan yang tidak sengaja terdengar saat belanja di warung sayur atau saat mengantar Alifa mengaji.Dalam keadaan seperti itu, Sabrina berusaha mengikuti saran Pak Muklis untuk tidak menggubris omongan tetangga. Meski tidak suka dengan orangnya, nasehat tersebut ada benarnya. Sabrina harus tetap kuat. Kalau dia down, siapa lagi yang akan menjaga Alifa?Untuk mengalihkan perhatian, Sabrina fokus menyelesaikan pesanan Bu Ami. Setelah lembur berhari-hari, pekerjaan itu akhirnya rampung juga. Sabrina menyerahkannya dengan suka cita. Pertama, karena Bu Ami mengaku suka dengan hasil jahitannya. Yang kedua, tentu saja karena Sabrina akhirnya bisa mendapatkan uang untuk melunasi utangnya ke Bu Muklis.Tidak ada yang lebih melegakan selain terbebas dari utang.Uang satu setengah
"Mbak Kayla? Ini Mbak Kayla, kan?" tanya Sabrina sambil memperhatikan betul-betul wajah di depannya.Yang dipanggil Kayla itu pun sama terkejutnya. Gadis tersebut mengernyitkan alis, seperti tidak percaya bahwa yang mengantar makanan adalah orang yang dikenalnya."Loh, Mbak ... Sejak kapan Mbak Bina jadi driver ojol?""Baru hari ini. Alhamdulillah dapat dua orderan."Gadis yang dipanggil Kayla itu lalu mendorong pintu gerbang agar terbuka lebih lebar. Dia mempersilakan Sabrina memasuki halaman yang luasnya hampir seperempat lapangan bola."Ayo ikut masuk. Sudah sarapan belum tadi? Kalau belum, kita sarapan bareng, yuk!"Mata Sabrina tak berkedip saat memandang sekeliling. Rumah mewah di hadapannya itu adalah milik Kayla, putri tunggal Pak Muklis. Artinya, itu rumah bakal calon anak sambungnya.Kakinya urung melangkah lebih jauh. Urusannya hanyalah mengantarkan pesanan makanan Kayla lalu melanjutkan pekerjaannya sebagai pengemudi ojol. Seharusnya begitu. Namun, dia malah diajak hampir
"Dam, ada telepon, nih," seru Bu Ami.Adam sedang berganti baju di kamar sedangkan ponselnya ditinggal di meja makan karena mereka akan sarapan bersama."Dari siapa, Ma?""Enggak tahu, nomor tidak dikenal.""Tolong angkatin, Ma. Adam masih nyari SIM."Bu Ami meraih ponsel abu-abu milik Adam. Dia menekan gambar telepon berwarna hijau lalu tersambung dengan seseorang di seberang sana."Halo, Sayang ... Lagi di mana, nih?"Bu Ami menjauhkan ponsel dari telinganya sebentar, memeriksa nomornya, lalu mendengarkan lagi ucapan laki-laki yang menelepon tersebut. Ada perasaan was-was ketika ada laki-laki yang memanggil sayang ke anaknya. Zaman sekarang, semua hal serba terbolak-balik."Maaf, ini siapa?" tanyanya takut-takut."Baru tadi pagi kita ketemu, masa Neng Sabrina sudah lupa? Abang yang tadi nyegat motor Neng Sabrina di stasiun. Kamu lagi dapet orderan di mana?"Deg! Bu Ami makin tak mengerti kenapa ada orang yang mengaku-ngaku baru saja bertemu Sabrina, sang calon mantu idaman. Namun, a
Sabrina merasa perekonomiannya sangat terbantu setelah menjadi driver ojol. Kalau kemarin-kemarin orderan menjahit bisa dipakai untuk membayar utang, uang dari mengojak bisa ditabung untuk mendaftarkan Alifa sekolah.Lelah, memang. Namun, dia tidak ingin menyerah. Masih ada satu PR besar yang harus dia selesaikan, yaitu menolak lamaran Pak Muklis dan menyudahi bantuan-bantuan dari mereka.Sabrina bukannya mau aji mumpung. Dia sudah terang-terangan menyatakan keberatan, tetapi keluarga Muklis masih tetap mengirim sembako dan membayar biaya berobat kedua orang tuanya. Di situlah dia merasa dilema. Jika bantuan berobat dihentikan saat itu juga, orang tuanya mungkin akan kembali sakit-sakitan.Motor Sabrina hampir menabrak pagar rumah tetangganya karena kurang fokus menyetir. Hari itu, dia mampir ke kontrakan lama untuk mengepak barang dan mengambil boneka Alifa. Bu Muklis memberi waktu sebulan lagi untuk mengosongkan dan memberi jawaban final.Karena mengerem mendadak, motornya oleng dan
Sabrina baru sampai rumah orang tuanya menjelang Maghrib. Hari itu, orderan yang masuk lumayan banyak sehingga dia bisa mendapat bonus tutup poin. Senyum bahagia menghiasi wajah yang terlihat lelah."Alifa di mana, Pak?" tanya Sabrina sambil bangkit dari kursi.Dia berjalan ke arah dapur lalu menuang minum dari dispenser galon yang terlihat baru. Ah, jangan-jangan itu pemberian keluarga Pak Muklis juga, pikirnya. Makin lama, dia justru makin muak dengan segala hal di rumah ibunya yang merupakan hasil belas kasihan pengusaha kaya itu."Lagi main sama anaknya Bu Marni. Kamu bersih-bersih dulu, sana. Nanti jemput Alifa pulang sekalian suapin dia makan. Tadi siang cuma makan sedikit karena nyariin kamu terus," jawab bapaknya sabar.Sabrina merasa hatinya teriris karena harus meninggalkan sang buah hati. Selama ini, dia memang tidak pernah meninggalkan Alifa di rumah untuk bekerja. Tentu saja anak itu merasa kehilangan karena belum terbiasa.Mengambil handuk dan memasuki kamar mandi, Sabri