Sabrina sadar, siapapun akan curiga setelah sopir Pak Muklis mengantar jemput Sabrina padahal sehari sebelumnya dia terlibat keributan dengan Bu Muklis. Sekuat tenaga Sabrina menutup telinga, tetapi tetap saja ada selentingan yang tidak sengaja terdengar saat belanja di warung sayur atau saat mengantar Alifa mengaji.Dalam keadaan seperti itu, Sabrina berusaha mengikuti saran Pak Muklis untuk tidak menggubris omongan tetangga. Meski tidak suka dengan orangnya, nasehat tersebut ada benarnya. Sabrina harus tetap kuat. Kalau dia down, siapa lagi yang akan menjaga Alifa?Untuk mengalihkan perhatian, Sabrina fokus menyelesaikan pesanan Bu Ami. Setelah lembur berhari-hari, pekerjaan itu akhirnya rampung juga. Sabrina menyerahkannya dengan suka cita. Pertama, karena Bu Ami mengaku suka dengan hasil jahitannya. Yang kedua, tentu saja karena Sabrina akhirnya bisa mendapatkan uang untuk melunasi utangnya ke Bu Muklis.Tidak ada yang lebih melegakan selain terbebas dari utang.Uang satu setengah
"Mbak Kayla? Ini Mbak Kayla, kan?" tanya Sabrina sambil memperhatikan betul-betul wajah di depannya.Yang dipanggil Kayla itu pun sama terkejutnya. Gadis tersebut mengernyitkan alis, seperti tidak percaya bahwa yang mengantar makanan adalah orang yang dikenalnya."Loh, Mbak ... Sejak kapan Mbak Bina jadi driver ojol?""Baru hari ini. Alhamdulillah dapat dua orderan."Gadis yang dipanggil Kayla itu lalu mendorong pintu gerbang agar terbuka lebih lebar. Dia mempersilakan Sabrina memasuki halaman yang luasnya hampir seperempat lapangan bola."Ayo ikut masuk. Sudah sarapan belum tadi? Kalau belum, kita sarapan bareng, yuk!"Mata Sabrina tak berkedip saat memandang sekeliling. Rumah mewah di hadapannya itu adalah milik Kayla, putri tunggal Pak Muklis. Artinya, itu rumah bakal calon anak sambungnya.Kakinya urung melangkah lebih jauh. Urusannya hanyalah mengantarkan pesanan makanan Kayla lalu melanjutkan pekerjaannya sebagai pengemudi ojol. Seharusnya begitu. Namun, dia malah diajak hampir
"Dam, ada telepon, nih," seru Bu Ami.Adam sedang berganti baju di kamar sedangkan ponselnya ditinggal di meja makan karena mereka akan sarapan bersama."Dari siapa, Ma?""Enggak tahu, nomor tidak dikenal.""Tolong angkatin, Ma. Adam masih nyari SIM."Bu Ami meraih ponsel abu-abu milik Adam. Dia menekan gambar telepon berwarna hijau lalu tersambung dengan seseorang di seberang sana."Halo, Sayang ... Lagi di mana, nih?"Bu Ami menjauhkan ponsel dari telinganya sebentar, memeriksa nomornya, lalu mendengarkan lagi ucapan laki-laki yang menelepon tersebut. Ada perasaan was-was ketika ada laki-laki yang memanggil sayang ke anaknya. Zaman sekarang, semua hal serba terbolak-balik."Maaf, ini siapa?" tanyanya takut-takut."Baru tadi pagi kita ketemu, masa Neng Sabrina sudah lupa? Abang yang tadi nyegat motor Neng Sabrina di stasiun. Kamu lagi dapet orderan di mana?"Deg! Bu Ami makin tak mengerti kenapa ada orang yang mengaku-ngaku baru saja bertemu Sabrina, sang calon mantu idaman. Namun, a
Sabrina merasa perekonomiannya sangat terbantu setelah menjadi driver ojol. Kalau kemarin-kemarin orderan menjahit bisa dipakai untuk membayar utang, uang dari mengojak bisa ditabung untuk mendaftarkan Alifa sekolah.Lelah, memang. Namun, dia tidak ingin menyerah. Masih ada satu PR besar yang harus dia selesaikan, yaitu menolak lamaran Pak Muklis dan menyudahi bantuan-bantuan dari mereka.Sabrina bukannya mau aji mumpung. Dia sudah terang-terangan menyatakan keberatan, tetapi keluarga Muklis masih tetap mengirim sembako dan membayar biaya berobat kedua orang tuanya. Di situlah dia merasa dilema. Jika bantuan berobat dihentikan saat itu juga, orang tuanya mungkin akan kembali sakit-sakitan.Motor Sabrina hampir menabrak pagar rumah tetangganya karena kurang fokus menyetir. Hari itu, dia mampir ke kontrakan lama untuk mengepak barang dan mengambil boneka Alifa. Bu Muklis memberi waktu sebulan lagi untuk mengosongkan dan memberi jawaban final.Karena mengerem mendadak, motornya oleng dan
Sabrina baru sampai rumah orang tuanya menjelang Maghrib. Hari itu, orderan yang masuk lumayan banyak sehingga dia bisa mendapat bonus tutup poin. Senyum bahagia menghiasi wajah yang terlihat lelah."Alifa di mana, Pak?" tanya Sabrina sambil bangkit dari kursi.Dia berjalan ke arah dapur lalu menuang minum dari dispenser galon yang terlihat baru. Ah, jangan-jangan itu pemberian keluarga Pak Muklis juga, pikirnya. Makin lama, dia justru makin muak dengan segala hal di rumah ibunya yang merupakan hasil belas kasihan pengusaha kaya itu."Lagi main sama anaknya Bu Marni. Kamu bersih-bersih dulu, sana. Nanti jemput Alifa pulang sekalian suapin dia makan. Tadi siang cuma makan sedikit karena nyariin kamu terus," jawab bapaknya sabar.Sabrina merasa hatinya teriris karena harus meninggalkan sang buah hati. Selama ini, dia memang tidak pernah meninggalkan Alifa di rumah untuk bekerja. Tentu saja anak itu merasa kehilangan karena belum terbiasa.Mengambil handuk dan memasuki kamar mandi, Sabri
"Sab? Ada apa? Kenapa?" Bu Retno mendekati Sabrina dan mengguncang bahunya.Wanita beranak satu itu pun seolah-olah menemukan kesadarannya kembali. Dengan muka pias, dia menoleh ke ibunya."Bu, aku titip Alifa. Barusan tetangga ngabarin kalau rumah kontrakanku kebakaran."Bu Retno refleks menjerit kemudian mengucap istighfar. Kekagetan yang sama juga dialami oleh Pak Jaya. Tanpa membuang waktu, Sabrina bergegas mengambil jaket dan kunci motor untuk segera menuju rumah tersebut.Sabrina mengemudikan motornya dengan kecepatan tinggi. Jika dengan kecepatan rata-rata, dia baru akan sampai sekitar satu jam kemudian. Dia hanya berharap, semoga titik kemacetan dan lampu lalu lintas kali ini berpihak padanya yang sedang dirundung kemalangan.Air matanya bercucuran dari balik helm. Meski dia sudah tidak menempati rumah itu, tetapi kenangan akan kebersamaan keluarga kecilnya terus berputar di kepala. Di sanalah dia memulai bahtera rumah tangga, hamil, hingga membesarkan Alifa bersama suaminya.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Adam masih berkomunikasi dengan Gavin untuk memantau kondisi Sabrina. Kadang dia mondar-mandir di ruang tamu, kadang juga duduk dengan wajah frustrasi. Mulutnya tak putus-putus merapal doa, memohon agar Sabrina tidak kenapa-napa.“Gimana kabar Sabrina, Dam?” tanya Bu Ami. Wanita itu turut menemani Adam semenjak anaknya kembali ke rumah. Berita tentang kebakaran kontrakan Sabrina sempat masuk dalam tayangan breaking news saluran televisi lokal. “Masih ditahan di Polres, Ma.”“Ya Allah, kasihan banget. Memangnya nunggu apa lagi?”“Jadi gini, Ma. Kebakaran itu diduga terjadi karena arus pendek. Sabrina mengaku kalau lampu rumahnya sempat mati–nyala sebelum ditinggal dan dia lupa matikan saklar sebelum pergi. Status dia sekarang bisa naik jadi tersangka dan dituntut atas pasal kelalaian. Kecuali, pemilik kontrakan bersedia menyelesaikan secara damai.”“Astaghfirullah … Mama engga bisa bayangin gimana perasaan Sabrina. Dia sama siapa sekara
Adam duduk di kursi ruang tamu rumah orang tua Sabrina. Sebenarnya ototnya tegang, jantungnya dag dig dug tak karuan, tetapi dia berusaha stay cool. Sesekali dia menghembuskan napas lewat mulut untuk mengurangi grogi."Silakan diminum, Ustadz." Sabrina menaruh segelas es sirop berwarna merah menyala. Tampak segar di cuaca siang yang terik seperti sekarang.Setelah menyajikan minuman, Sabrina lantas duduk di sebelah Bu Retno dan Pak Jaya, berseberangan dengan Adam."Jadi, Nak Adam ini siapa?" tanya Pak Jaya.Sejak Adam datang, bapaknya Sabrina itu memang belum bertanya apa-apa. Dia hanya memperhatikan Adam dari ujung kepala hingga ujung kaki, bingung mengapa ada lelaki muda berparas tampan yang tiba-tiba bertamu."Bapak ... Kan Sabrina udah bilang kalau beliau ini guru ngajinya Alifa."Meski pelan, suara Sabrina masih bisa didengar Adam. Pak Jaya menepuk punggung tangan Sabrina sebagai isyarat agar anaknya itu diam. Mereka ingin mendengar penjelasan dari Adam langsung.“Seperti yang di