Sebuah pesan masuk ke ponsel Sabrina.
"Bu, maaf nih. Kira-kira uang kontrakan bisa dibayar kapan?"Hati Sabrina rasanya seperti tercabik-cabik. Air matanya lolos begitu saja. Beruntung, Alifa sedang tidur siang sehingga dia tidak perlu sembunyi-sembunyi.Wanita itu melirik motor di sudut rumah. Kendaraan itu sudah berhari-hari tidak bisa dipakai karena kehabisan bensin. Itu adalah satu-satunya harta berharga peninggalan suaminya. Cicilannya pun belum lunas. Apakah bisa digadai?"Tolong beri waktu seminggu lagi, Bu."Belum sempat pesan itu terkirim, sebuah pesan dari nomor asing kembali masuk ke ponselnya. Sabrina menunda balasannya kemudian beralih membaca pesan itu."Bu, saya utusan Pak Muklis yang tempo hari ke rumah. Bagaimana, sudah dipikirkan jawabannya?"Benar-benar sebuah kebetulan yang menakutkan. Sabrina mengembuskan napasnya dengan berat. Haruskah dia menyerah dengan keadaan?"Maaf, Pak, boleh minta perpanjangan waktu? Saya perlu diskusi dengan orang tua," balasnya setengah berbohong.Sabrina sudah meminta saran kepada orang tuanya. Namun, karena tidak ada jawaban pasti, dia pun bimbang. Tidak ada keyakinan dalam dirinya untuk menerima pinangan pengusaha tersebut.Si utusan tersebut mengiakan permintaan Sabrina dan mengatakan bahwa dia akan kembali tiga hari kemudian.Tanpa menunda waktu, Sabrina ke kamar mandi untuk mengambil wudhu. Dia harus segera salat istikharah dan mengakhiri perdebatan batin itu. Jika menuruti realita, menerima lamaran Pak Muklis adalah cara tersingkat dan termudah untuk melunasi sewa rumah kontraknya.Sajadah Sabrina basah oleh banjir air mata. Dia kembali melakukan salat istikharah, memohon petunjuk untuk menerima atau menolak pinangan Pak Muklis.Selesai salat, dia terus menerus mengulang doa yang sama."Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa perkara ini baik bagiku dalam urusanku di dunia dan di akhirat, maka takdirkanlah hal tersebut untukku, mudahkanlah untukku dan berkahilah ia untukku. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa perkara tersebut jelek bagi agama, kehidupan, dan akhir urusanku, maka palingkanlah ia dariku, dan palingkanlah aku darinya, dan takdirkanlah yang terbaik untukku apapun keadaannya dan jadikanlah aku ridha dengannya."Jika Sabrina menuruti kata hati, dia cenderung akan menolak mentah-mentah lamaran Pak Muklis. Tidak pernah terpikirkan olehnya jika harus menjadi madu dalam rumah tangga orang lain. Pun keberadaannya nanti belum tentu bisa diterima oleh keluarga besar, terutama istri pertama pengusaha tersebut.Sempat terbersit pemikiran untuk menerima lamaran itu. Jika dia menjadi istri kedua seorang juragan sembako kaya, tentu dia dapat membayar semua utang, melunasi semua cicilan, membawa kedua orang tuanya berobat, juga memberi kehidupan yang layak untuk putri semata wayangnya. Hanya saja, pemikiran itu segera ditepis jauh-jauh setiap kali mengingat gunjingan para tetangga yang selama ini dialamatkan kepadanya.Hatinya sakit setiap kali disebut mau kaya dengan cara instan. Harga dirinya lebih penting untuk diselamatkan. Sabrina harus menjadi wanita yang kuat dan mandiri. Jika orang lain bisa berhasil dengan kerja kerasnya sendiri, dirinya pun pasti bisa mengikuti.Sabrina menggantung mukena di dinding rumahnya yang penuh coretan pensil warna. Dia meraba tembok itu lalu air matanya menetes sekali lagi. Bukan air mata kesedihan, melainkan air mata haru bahagia. Setidaknya, di hidupnya yang penuh cobaan itu, ada sosok malaikat kecil yang selalu membersamai langkahnya.Alifa tertidur pulas memeluk boneka kelinci yang warnanya sudah kusam. Dibelainya rambut anak itu dan dikecup keningnya. Wajah Alifa mirip sekali dengan suaminya. Sabrina menyandarkan punggung di tepian ranjang, menikmati kerinduan yang mendalam terhadap sosok suaminya yang telah tiada.Cukup lama Sabrina terduduk sambil memandangi foto suaminya di meja samping tempat tidur. Meski tidak bergelimang harta, kehidupan mereka terasa sempurna. Jarang sekali mereka berselisih paham. Kalaupun pernah saling mendiamkan, itu hanya hitungan jam. Sebelum tidur, mereka sudah saling memaafkan.Alifa menggeliat lalu merengek seperti sedang mengigau. Wanita berdaster itu bergegas naik ke kasur lalu mengusap-usap punggung putrinya. Ranjangnya berderit ketika dinaiki Sabrina. Memang dulu dibeli dalam kondisi bekas pakai, sehingga tidak bertahan terlalu lama.Sabrina tidak ingat berapa lama dia mengusap-usap Alifa. Dirinya ikut jatuh tertidur dengan posisi mendekap punggung anaknya. Dalam tidurnya, dia bermimpi bertemu seseorang. Mimpi yang kemudian diyakini oleh Sabrina sebagai petunjuk salat istikharah.Di mimpinya, ada seorang lelaki sedang berdiri memunggunginya. Sabrina tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Laki-laki berpeci putih itu sedang berdiri di depan sebuah masjid besar yang ramai. Beberapa orang terlihat segan dan menyapa penuh hormat saat lewat di depannya.Sabrina mencoba mendekati lelaki itu. Langkahnya terhenti saat seorang wanita dengan wajah bercahaya mendekati si lelaki dari sisi kanan. Mereka saling memandang, lalu sang lelaki menghampirinya. Keduanya pergi sebelum Sabrina mendekat dan bisa melihat lebih jelas wajah mereka.Setelah kepergian dua sejoli itu, terdengar Alifa memanggilnya berulang kali. Suaranya bergantian dengan suara laki-laki yang rasanya tidak asing bagi Sabrina, tetapi dia tidak ingat siapa orangnya. Mereka terus memanggilnya untuk segera pulang.Sabrina terbangun karena bunyi pukulan mangkuk tukang bakso yang lewat depan rumah. Matanya mengerjap berkali-kali, mencoba mengingat-ingat mimpi yang baru dialaminya. Sambil duduk di tepi ranjang, dia berusaha menghubungkan sosok-sosok yang hadir di mimpinya itu dengan orang di kehidupan nyata.Apakah laki-laki berpeci putih itu adalah sosok Pak Muklis dan si wanita adalah istrinya? Tapi mengapa latar mimpinya adalah sebuah bangunan masjid, bukan pertokoan besar?Masjid itu. Ah, entah kenapa Sabrina tiba-tiba teringat kepada guru mengaji Alifa yang baru.Sabrina kembali berfokus ke mimpinya, merasa aneh karena tiba-tiba teringat sang ustaz. Pak Muklis sudah terkenal sebagai pengusaha kaya yang berkali-kali berangkat haji dan umroh. Masuk akal saja jika latar belakang mimpinya adalah masjid. Sosok Pak Muklis yang agamis memang membuat orang-orang menaruh hormat kepadanya.Wanita bercahaya itu mungkin adalah istri sahnya. Namun, jika di mimpi Sabrina mereka pergi berdua, apakah itu artinya Sabrina tidak berjodoh dengan Pak Muklis? Sabrina manggut-manggut, mulai menarik kesimpulannya sendiri.Bagi Sabrina, malam adalah waktu yang dingin lagi menyesakkan. Tiada lagi pelukan hangat sang suami yang senantiasa membisikkan kata-kata cinta. Malam menjelma menjadi gulita yang mengantarkan misteri demi misteri kepedihan esok hari.Setelah Alifa tidur, Sabrina beranjak ke ruang depan. Di sana teronggok sebuah mesin jahit tua. Ada banyak kain perca dalam bungkusan plastik di sebelahnya. Dahulu, Sabrina pernah mengikuti kursus menjahit dasar. Dia sengaja membeli mesin jahit bekas untuk memperbaiki baju suami dan anaknya.Karena sudah berjanji, Sabrina hendak begadang demi membuatkan baju untuk Alifa. Dia memilih beberapa lembaran perca polos ditambah sedikit perca motif bunga, lalu menjahitnya sesuai ukuran Alifa. Suara khas mesin jahit menderu-deru, mengisi keheningan malam. Setelah potong, tempel, dan jahit sana-sini, jadilah sebuah kerudung biru muda dengan hiasan motif bunga di bagian ujung dan tali, juga hiasan renda di lingkar wajahnya.Sabrina tersenyum. Dia membayangkan, eso
Hari itu, utusan Pak Muklis akan datang untuk menanyakan jawaban. Sabrina sudah mantap ingin menolak baik-baik pinangan tersebut. Meski sangat butuh uang, dia bertekad akan mencarinya dengan usaha sendiri.Pukul sebelas, sang tamu yang ditunggu akhirnya tiba. Dia hanya berdiri di teras saja. Tidak akan lama, katanya. Sabrina sungkan, rasanya tidak elok jika memberikan jawaban pinangan sambil berdiri di depan pintu.Alih-alih mendengarkan jawaban yang sudah dipersiapkan Sabrina, utusan Pak Muklis tersebut justru mengeluarkan selebar kertas merah hati dari tas pinggangnya."Pak Muklis akan meresmikan toko barunya. Ibu diundang menjadi salah satu tamu penting. Ibu Muklis ingin sekali bertemu dengan Ibu Sabrina. Jadi mohon dengan sangat kehadirannya."Sabrina terperanjat mendengarkan penuturan laki-laki berkumis itu. Diundang ke acara Pak Muklis jelas merupakan suatu kehormatan. Namun, Sabrina tidak dapat menerka-nerka maksud Bu Muklis ingin menemui dirinya.***"Sabrina ... Stop ... Stop!
Sabrina digosipkan tengah dekat dengan guru mengaji padahal sedang dalam masa pinangan Pak Muklis. Kabar itu berembus cepat, menyebar dari satu mulut ke mulut lain, lalu dibumbui dengan cerita tambahan yang makin melantur.Dirinya bukan tak tahu. Telinganya sudah mulai panas karena dibicarakan tetangga saat bertemu di tukang sayur langganan. Ada yang terang-terangan menyindir, ada juga yang pura-pura tidak tahu padahal selalu update berita terbaru.Gosip itu berawal dari kedatangan Adam di suatu sore selepas mengajar TPA. Sabrina yang sedang mengepel teras terkejut karena Alifa diantar oleh gurunya lagi. Padahal Sabrina sudah berniat akan menjemput anaknya itu setelah pekerjaannya selesai."Terima kasih, Ustadz, sudah repot-repot mengantar anak saya," katanya basa-basi.Sabrina sungkan, takut dikira macam-macam oleh tetangga. Begitulah nasib seorang janda. Banyak mata yang mengawasi, terutama jika ada yang tak suka kepadanya. Miskah salah satunya."Tidak apa-apa, Bu. Sebenarnya saya ke
Pak Muklis—atau lebih tepatnya Bu Muklis—memberi tambahan waktu sebulan lagi untuk Sabrina. Istri pengusaha tersebut sangat berharap Sabrina bersedia menjadi madunya. Padahal sebelumnya janda itu sudah terang-terangan menolak dijadikan istri kedua."Tolonglah saya, Sab. Kasihan kalau tidak ada yang mengurus Papi setiap kali saya sakit. Selama ini, kami tidak pernah keberatan membantu keluargamu. Sekarang, untuk sekali ini saja, bantulah keluargaku," ucap Bu Muklis siang itu, saat mereka bertemu di acara peresmian toko."Maaf, Bu. Sejujurnya, berat bagi saya untuk menerima. Suami saya baru meninggal hitungan bulan. Saat ini, belum ada pikiran untuk menikah lagi." Sabrina menjaga intonasinya sesopan mungkin."Ya, saya tahu itu pasti tidak mudah. Tapi hidup berjalan terus, Sab. Kira-kira kapan kamu siap membuka hati?" Wanita yang lima belas tahun lebih tua dari Sabrina itu terus mendesak.Sabrina mengambil napas beberapa kali sebelum menjawab. Dia menggerak-gerakkan telapak kakinya, mung
Meski rumah Sabrina dan Adam cukup jauh, desas-desus mengenai hubungan terlarang mereka akhirnya sampai juga di telinga guru mengaji tersebut. Adalah sang ART, orang yang pertama kali mendengar gosip itu beredar di kalangan ibu-ibu kompleks saat belanja sayur.Mbak Minah, ART itu, melapor ke Adam. Katanya, banyak ibu-ibu yang menyayangkan keputusan Adam untuk mendekati Sabrina. Adam dinilai terlalu polos, sedangkan Sabrina dianggap sebagai janda yang ingin mencari mangsa agar bisa hidup mewah. Lagipula Adam adalah guru mengaji, kurang pantas kalau berpacaran alih-alih ta'aruf.Sebenarnya Adam tidak mau ambil pusing. Jangankan memiliki hubungan khusus, kenal Sabrina saja baru beberapa hari. Namun, makin lama kabar itu digoreng warga, makin hari Adam jadi tak tenang memikirkannya.Meski baru saling mengenal, Adam merasa bahwa Sabrina adalah sosok ibu yang bertanggung jawab dan sosok wanita yang mandiri. Adam pernah mencoba mengulurkan bantuan untuk mempermudah proses pembuatan seragam T
Pak Muklis tidak main-main dalam usaha meraih hati Sabrina. Dia tidak hanya mengirim sembako ke kontrakan wanita itu, tetapi juga ke rumah orang tuanya. Sabrina baru tahu belakangan setelah sang ibu menelponnya."Iya, Sab. Ibu dikirimin sembako lengkap. Berasa mau hajatan saking banyaknya. Nih, ada beras, minyak, gula, mie, kecap, segala rupa. Bahkan mereka juga kasih kursi roda baru buat Bapak," terang Bu Retno panjang lebar.Sabrina mengelus dada. Sikap keluarga Muklis yang begitu berlebihan justru membuatnya makin tidak nyaman. Bayangkan, jika ditolak, orang-orang pasti akan menyebut Sabrina tidak tahu terima kasih. Namun, jika diterima, habislah dia dikata-katai sebagai janda matre."Kiriman dari mereka sudah aku bagi-bagikan ke satpam dan asrama yatim dekat kompleks, Bu. Ini sama saja kayak sogokan."Sabrina secara tersirat ingin mengatakan bahwa dia tidak mau menerima pemberian itu."Kamu ini gimana, to? Rezeki kok ditolak. Anakmu itu lho, setiap Ibu telepon pasti bilang makanny
Seorang wanita berumur yang memakai banyak perhiasan sedang duduk di teras rumah kontrakan Sabrina. Namanya Bu Yanti, terkenal sebagai juragan kontrakan. Kedatangannya membuat Sabrina yang baru pulang dari warung merasa dagdigdug tak karuan."Silakan masuk, Bu. Maaf rumahnya lagi berantakan," katanya begitu sampai rumah dan membukakan pintu.Baju seragam pesanan TPA bertumpuk di lantai. Rencananya, Sabrina baru akan menyetrika dan memasukkan ke plastik setelah semuanya jadi. Dia memindahkan tumpukan kain tersebut ke sudut ruangan agar ada tempat untuk menerima tamu."Wah, lagi dapat pesanan, ya, Mbak? Bagus jahitannya. Kapan-kapan saya juga mau, deh, jahit di sini," puji Bu Yanti sambil meneliti salah satu baju yang sempat diambilnya."Iya, Bu, Alhamdulillah. Boleh, dengan senang hati. Saya kasih harga spesial buat Ibu."Sabrina menyuguhkan segelas air putih kepada tamunya. Dia duduk bersimpuh, menunggu Bu Yanti menyampaikan maksud kedatangannya."Maaf, Mbak, saya bertamu pagi-pagi. B
[Kediaman Pak Muklis]"Pi, sudah ada jawaban dari Sabrina?" tanya Bu Muklis membuka pembicaraan. Mereka baru saja selesai sarapan bersama.Yang ditanya hanya menggeleng. Sabrina belum menunjukkan tanda-tanda menerima pinangannya. Wanita itu masih saja bersikukuh ingin menjanda meski sudah terjepit keadaan."Mami bisa membayangkan ada di posisi Sabrina. Memang berat sih, Pi. Jadi istri kedua itu tidak pernah ada dalam kamus keinginan setiap wanita."Pak Muklis meneguk segelas air putih. Setelah mengelap bibirnya yang basah, dia melanjutkan obrolan."Apanya yang berat? Rasul saja mencontohkan untuk menikahi janda ketika poligami. Kita bisa membantu mereka agar bisa hidup berkecukupan dan terhindar dari fitnah."Pak Muklis mulai mengeluarkan jurus andalan. Sejak awal, poligami ini adalah ide Pak Muklis setelah istrinya divonis kanker rahim."Mami juga jadi bisa fokus berobat karena tidak perlu repot mengurus Papi. Dari kemarin, setiap kali pulang kemoterapi, Mami pasti selalu kecapekan d