Hari itu, utusan Pak Muklis akan datang untuk menanyakan jawaban. Sabrina sudah mantap ingin menolak baik-baik pinangan tersebut. Meski sangat butuh uang, dia bertekad akan mencarinya dengan usaha sendiri.
Pukul sebelas, sang tamu yang ditunggu akhirnya tiba. Dia hanya berdiri di teras saja. Tidak akan lama, katanya. Sabrina sungkan, rasanya tidak elok jika memberikan jawaban pinangan sambil berdiri di depan pintu.Alih-alih mendengarkan jawaban yang sudah dipersiapkan Sabrina, utusan Pak Muklis tersebut justru mengeluarkan selebar kertas merah hati dari tas pinggangnya."Pak Muklis akan meresmikan toko barunya. Ibu diundang menjadi salah satu tamu penting. Ibu Muklis ingin sekali bertemu dengan Ibu Sabrina. Jadi mohon dengan sangat kehadirannya."Sabrina terperanjat mendengarkan penuturan laki-laki berkumis itu. Diundang ke acara Pak Muklis jelas merupakan suatu kehormatan. Namun, Sabrina tidak dapat menerka-nerka maksud Bu Muklis ingin menemui dirinya.***"Sabrina ... Stop ... Stop! Mau ke mana kamu?"Miskah berteriak sambil melambai-lambaikan tangan. Wanita yang membonceng anaknya tersebut terpaksa menghentikan motornya agar tidak menabrak Miskah."Mau parkir lah, Mis.""Eh, di situ parkiran khusus tamu VIP. Tuh, lihat, mobilnya keren-keren. Motor butut kayak gini parkirnya di bawah pohon jambu sana!" katanya seraya menunjuk area luas yang memang dipakai untuk parkir sepeda motor."Saya juga tamu VIP, kok." Sabrina masih berusaha sabar menjawabnya."Aduh ... Mundur dikit, dong. Halunya kelewatan! Pejabat bukan, aparat bukan, rekan pengusaha juga bukan. Tamu penting itu parfumnya bisa kecium dari jarak puluhan meter. Perhiasannya juga emas berlian mahal. Mana ada VIP yang pakai baju gamis murahan dari pasar becek kayak begini? Iyuuuh ...."Miskah pura-pura bergidik jijik sambil mengipasi badannya. Gelangnya bergemerincing seolah-olah sengaja ditampakkan agar Sabrina melihatnya.Sebenarnya Sabrina malas berdebat, tetapi Miskah sepertinya tidak akan percaya begitu saja. Dia mengeluarkan undangan dari dalam tas, lalu membukanya lebar-lebar di depan muka Miskah."Maaf, ya, tamu undangan reguler. VIP mau lewat dulu."Sabrina tersenyum kalem lalu memasukkan kembali kertas merah hati tersebut. Miskah sedikit syok karena undangan tersebut benar ber stempel VIP.Sebelum memasuki area parkir, Sabrina dicegat lagi oleh petugas parkir untuk dimintai bukti undangan. Bagaimanapun, penampilannya memang mendukung sekali untuk dicurigai. Apa yang dia kenakan dari ujung kepala hingga ujung kaki terlihat sederhana dan jauh dari kata mahal.Sabrina memarkirkan motornya dengan kikuk. Rasanya sungkan sekali bersisian dengan mobil mewah yang atapnya bisa dibuka. Permukaannya mengkilap tanpa gores dan cela. Satu-satunya kendaraan roda dua yang ada di sana hanyalah miliknya.Motor itu akhirnya bisa digunakan lagi setelah dibawa Sabrina ke bengkel milik Adam. Sesuai janji guru mengaji tersebut, Sabrina mendapat potongan harga. Lumayan, uang diskonnya bisa dipakai untuk membeli bensin dan sandal baru untuk Alifa.Tenda besar terpasang di depan bangunan yang akan diresmikan oleh Pak Muklis. Karangan bunga ucapan selamat berjejer di sepanjang jalan. Tidak main-main, pengirimnya adalah para pengusaha dan pejabat daerah. Melihat jejaring perkenalannya yang begitu luas, Sabrina merasa tidak percaya bahwa pengusaha tersebut benar-benar berniat untuk mempersuntingnya.Seorang laki-laki berseragam batik panitia mengarahkan Sabrina untuk duduk bersama tamu VIP lainnya di barisan kiri. Di sebelahnya, ada sepasang suami istri memakai baju sarimbit dengan motif sasirangan khas Kalimantan Selatan. Benar kata Miskah, parfum mereka berbeda sekali aromanya dengan wewangian isi ulang harga lima belas ribuan yang sering dia pakai.Hampir semua bangku telah terisi saat MC membuka acara dan mempersilakan Pak Muklis memberikan kata sambutan. Tak jauh darinya, Bu Muklis duduk dengan anggun dan terlihat sehat. Senyumnya tak henti-henti terkembang setiap kali ucapan Pak Muklis ditimpali oleh tepuk tangan. Jika keadaannya sudah sebugar itu, sepertinya Pak Muklis tidak perlu lagi mencari istri kedua.Acara dilanjutkan dengan pembacaan doa dan pemotongan pita sebagai tanda diresmikannya toko baru Pak Muklis. Rasanya kurang pantas jika hanya disebut toko. Bangunan itu lebih mirip swalayan besar yang menjual aneka macam barang. Bisnis Pak Muklis berkembang, bukan lagi berjualan sembako saja. Sabrina makin kecil hati dibuatnya.Setelah rangkaian acara panjang yang membuat Alifa merasa bosan dan nyaris merajuk minta pulang, akhirnya para tamu dipersilakan untuk mengambil makan siang. Berbagai jenis hidangan tersedia dalam gubuk-gubuk prasmanan layaknya di acara pernikahan.Saat sedang mengantre es krim, seseorang menepuk pundak Sabrina dari belakang. Alangkah terkejutnya saat dia menoleh dan mendapati bahwa orang yang menepuknya adalah Bu Muklis."Sabrina apa kabar? Enggak usah antre, yuk, ikut saya aja. Kita bisa makan sambil ngobrol di sana," sapanya ramah.Mereka memang sudah cukup lama saling mengenal karena mendiang suami Sabrina pernah menjadi karyawan di salah satu toko Pak Muklis."Alhamdulillah saya dan Alifa sehat. Ibu kelihatan segar dan makin cantik aja, nih," pujinya tulus.Sebenarnya Sabrina cukup grogi diperlakukan sedemikian rupa oleh sang empunya hajat. Mereka langsung jadi pusat perhatian. Tidak sedikit yang berbisik-bisik, mungkin kabar mengenai Bu Muklis yang meminta suaminya mencari istri baru sudah tersebar ke mana-mana.Pak Muklis tersenyum dari kejauhan, membuat prasangka orang makin menjadi-jadi. Sabrina deg-degan bukan main, tetapi dia berusaha terlihat senormal mungkin."Sab, sudah kamu pertimbangkan pinangan Papi?"Sabrina tak menyangka akan langsung ditodong dengan pertanyaan itu. Dia menelan ludah sekali lalu pura-pura minum, mengulur waktu untuk menyiapkan jawaban sesopan mungkin."Saya sudah istikharah, diskusi dengan orang tua, juga menimbang baik buruknya, Bu. Insya Allah, saya sudah memilih. Saya—""Tolong terima, ya. Saya yakin kamu adalah orang yang tepat."Sabrina benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran wanita tersebut. Jika sebagian besar wanita merasa sakit hati saat akan dimadu, lain halnya dengan Bu Muklis. Dia malah dengan terang-terangan meminta Sabrina untuk menerima lamaran suaminya."Kenapa saya, Bu?" Hanya itu pertanyaan yang sanggup keluar dari mulut Sabrina."Saya yakin kamu bisa menemani Bapak mengurus bisnis di kemudian hari. Lagipula kamu masih muda. Bapak ingin sekali punya anak laki-laki. Saya sudah tidak mungkin hamil lagi, apalagi dalam kondisi sakit-sakitan seperti ini."Mata Sabrina mendadak panas. Dia ingin sekali menangis. Di saat hatinya telah mantap untuk menolak lamaran Pak Muklis, di saat itu justru Bu Muklis menggantungkan harapan tinggi kepadanya. Sulit sekali untuk langsung bilang tidak mengingat mereka berdua sangat berjasa saat suaminya masih ada. Kelahiran Alifa pun dibiayai oleh mereka."Dokter bilang, umur saya udah enggak lama lagi," ucap Bu Muklis seraya menggenggam tangan Sabrina. Tenggorokan Sabrina tercekat."Saya akan turuti semua syarat dari kamu asalkan kamu mau bersedia jadi madu," lanjutnya, masih berusaha meyakinkan.Sabrina ingin sekali menghilang saat itu juga. Dia tidak tahu harus memberikan jawaban seperti apa.Sabrina digosipkan tengah dekat dengan guru mengaji padahal sedang dalam masa pinangan Pak Muklis. Kabar itu berembus cepat, menyebar dari satu mulut ke mulut lain, lalu dibumbui dengan cerita tambahan yang makin melantur.Dirinya bukan tak tahu. Telinganya sudah mulai panas karena dibicarakan tetangga saat bertemu di tukang sayur langganan. Ada yang terang-terangan menyindir, ada juga yang pura-pura tidak tahu padahal selalu update berita terbaru.Gosip itu berawal dari kedatangan Adam di suatu sore selepas mengajar TPA. Sabrina yang sedang mengepel teras terkejut karena Alifa diantar oleh gurunya lagi. Padahal Sabrina sudah berniat akan menjemput anaknya itu setelah pekerjaannya selesai."Terima kasih, Ustadz, sudah repot-repot mengantar anak saya," katanya basa-basi.Sabrina sungkan, takut dikira macam-macam oleh tetangga. Begitulah nasib seorang janda. Banyak mata yang mengawasi, terutama jika ada yang tak suka kepadanya. Miskah salah satunya."Tidak apa-apa, Bu. Sebenarnya saya ke
Pak Muklis—atau lebih tepatnya Bu Muklis—memberi tambahan waktu sebulan lagi untuk Sabrina. Istri pengusaha tersebut sangat berharap Sabrina bersedia menjadi madunya. Padahal sebelumnya janda itu sudah terang-terangan menolak dijadikan istri kedua."Tolonglah saya, Sab. Kasihan kalau tidak ada yang mengurus Papi setiap kali saya sakit. Selama ini, kami tidak pernah keberatan membantu keluargamu. Sekarang, untuk sekali ini saja, bantulah keluargaku," ucap Bu Muklis siang itu, saat mereka bertemu di acara peresmian toko."Maaf, Bu. Sejujurnya, berat bagi saya untuk menerima. Suami saya baru meninggal hitungan bulan. Saat ini, belum ada pikiran untuk menikah lagi." Sabrina menjaga intonasinya sesopan mungkin."Ya, saya tahu itu pasti tidak mudah. Tapi hidup berjalan terus, Sab. Kira-kira kapan kamu siap membuka hati?" Wanita yang lima belas tahun lebih tua dari Sabrina itu terus mendesak.Sabrina mengambil napas beberapa kali sebelum menjawab. Dia menggerak-gerakkan telapak kakinya, mung
Meski rumah Sabrina dan Adam cukup jauh, desas-desus mengenai hubungan terlarang mereka akhirnya sampai juga di telinga guru mengaji tersebut. Adalah sang ART, orang yang pertama kali mendengar gosip itu beredar di kalangan ibu-ibu kompleks saat belanja sayur.Mbak Minah, ART itu, melapor ke Adam. Katanya, banyak ibu-ibu yang menyayangkan keputusan Adam untuk mendekati Sabrina. Adam dinilai terlalu polos, sedangkan Sabrina dianggap sebagai janda yang ingin mencari mangsa agar bisa hidup mewah. Lagipula Adam adalah guru mengaji, kurang pantas kalau berpacaran alih-alih ta'aruf.Sebenarnya Adam tidak mau ambil pusing. Jangankan memiliki hubungan khusus, kenal Sabrina saja baru beberapa hari. Namun, makin lama kabar itu digoreng warga, makin hari Adam jadi tak tenang memikirkannya.Meski baru saling mengenal, Adam merasa bahwa Sabrina adalah sosok ibu yang bertanggung jawab dan sosok wanita yang mandiri. Adam pernah mencoba mengulurkan bantuan untuk mempermudah proses pembuatan seragam T
Pak Muklis tidak main-main dalam usaha meraih hati Sabrina. Dia tidak hanya mengirim sembako ke kontrakan wanita itu, tetapi juga ke rumah orang tuanya. Sabrina baru tahu belakangan setelah sang ibu menelponnya."Iya, Sab. Ibu dikirimin sembako lengkap. Berasa mau hajatan saking banyaknya. Nih, ada beras, minyak, gula, mie, kecap, segala rupa. Bahkan mereka juga kasih kursi roda baru buat Bapak," terang Bu Retno panjang lebar.Sabrina mengelus dada. Sikap keluarga Muklis yang begitu berlebihan justru membuatnya makin tidak nyaman. Bayangkan, jika ditolak, orang-orang pasti akan menyebut Sabrina tidak tahu terima kasih. Namun, jika diterima, habislah dia dikata-katai sebagai janda matre."Kiriman dari mereka sudah aku bagi-bagikan ke satpam dan asrama yatim dekat kompleks, Bu. Ini sama saja kayak sogokan."Sabrina secara tersirat ingin mengatakan bahwa dia tidak mau menerima pemberian itu."Kamu ini gimana, to? Rezeki kok ditolak. Anakmu itu lho, setiap Ibu telepon pasti bilang makanny
Seorang wanita berumur yang memakai banyak perhiasan sedang duduk di teras rumah kontrakan Sabrina. Namanya Bu Yanti, terkenal sebagai juragan kontrakan. Kedatangannya membuat Sabrina yang baru pulang dari warung merasa dagdigdug tak karuan."Silakan masuk, Bu. Maaf rumahnya lagi berantakan," katanya begitu sampai rumah dan membukakan pintu.Baju seragam pesanan TPA bertumpuk di lantai. Rencananya, Sabrina baru akan menyetrika dan memasukkan ke plastik setelah semuanya jadi. Dia memindahkan tumpukan kain tersebut ke sudut ruangan agar ada tempat untuk menerima tamu."Wah, lagi dapat pesanan, ya, Mbak? Bagus jahitannya. Kapan-kapan saya juga mau, deh, jahit di sini," puji Bu Yanti sambil meneliti salah satu baju yang sempat diambilnya."Iya, Bu, Alhamdulillah. Boleh, dengan senang hati. Saya kasih harga spesial buat Ibu."Sabrina menyuguhkan segelas air putih kepada tamunya. Dia duduk bersimpuh, menunggu Bu Yanti menyampaikan maksud kedatangannya."Maaf, Mbak, saya bertamu pagi-pagi. B
[Kediaman Pak Muklis]"Pi, sudah ada jawaban dari Sabrina?" tanya Bu Muklis membuka pembicaraan. Mereka baru saja selesai sarapan bersama.Yang ditanya hanya menggeleng. Sabrina belum menunjukkan tanda-tanda menerima pinangannya. Wanita itu masih saja bersikukuh ingin menjanda meski sudah terjepit keadaan."Mami bisa membayangkan ada di posisi Sabrina. Memang berat sih, Pi. Jadi istri kedua itu tidak pernah ada dalam kamus keinginan setiap wanita."Pak Muklis meneguk segelas air putih. Setelah mengelap bibirnya yang basah, dia melanjutkan obrolan."Apanya yang berat? Rasul saja mencontohkan untuk menikahi janda ketika poligami. Kita bisa membantu mereka agar bisa hidup berkecukupan dan terhindar dari fitnah."Pak Muklis mulai mengeluarkan jurus andalan. Sejak awal, poligami ini adalah ide Pak Muklis setelah istrinya divonis kanker rahim."Mami juga jadi bisa fokus berobat karena tidak perlu repot mengurus Papi. Dari kemarin, setiap kali pulang kemoterapi, Mami pasti selalu kecapekan d
"Seandainya setelah semua hal yang kita lakukan ini Sabrina tetap menolak lamaran Papi, apa yang akan Papi lakukan?" tanya Bu Muklis sungguh-sungguh.Tangan kanannya diam-diam mencengkeram ujung tunik ungu yang dia kenakan. Selama lebih dari dua puluh tahun menikah, Bu Muklis tahu betul tabiat sang suami. Jika sudah menginginkan sesuatu, dia akan berupaya keras untuk mewujudkannya.Sedangkan Pak Muklis hanya terkekeh lalu menjawab, "Ya, kita lihat nanti saja. Mami masih dukung Papi, kan? Ini semua demi kebaikan kita, kan?"Bu Muklis mengangguk. Setiap kali hatinya meragu, Pak Muklis kembali meyakinkan bahwa keputusan poligami itu diambil untuk kepentingan bersama. Pak Muklis bisa dirawat dengan baik selagi Bu Muklis menjalani serangkaian proses kemoterapi. Selain itu, mereka bisa menolong janda yang kesusahan.Laju mobil melambat ketika mereka memasuki sebuah kawasan pemukiman padat penduduk. Gangnya sempit, jalanan berlubang di sana-sini, dan banyak anak kecil berlarian. Karena perna
"Kamu mau ke mana, Dam? Masih pagi gini. Biasanya baru berangkat ke bengkel jam sembilan," tanya Bu Ami saat melihat anaknya sudah berpakaian rapi seusai sarapan."Mau ke ATM, Ma. Kemarin Bu Sabrina minta sisa pembayaran seragam TPA. Barusan dikirimin nomor rekeningnya."Mendengar nama Sabrina disebut, Bu Ami langsung memasang wajah antusias. Dirinya ingin tahu lebih jauh tentang sosok yang belum sempat ditemuinya tersebut."Aih, udah saling nyimpen nomor hp rupanya. Kenapa harus ditransfer? Sini, tarik tunai uangnya, biar Mama yang antar ke rumahnya."Adam mendelik ke arah ibunya yang tertawa setelah menggodanya. Ucapannya tempo hari ternyata bukan isapan jempol. Bu Ami mulai melancarkan aksi untuk mengenal Sabrina lebih jauh."Ngapain, sih, Ma? Enggak usah. Kasihan Bu Sabrina nanti malah makin parah digosipin tetangga.""Kamu, sih, pergerakannya lambat. Keburu disamber orang, tahu!"Adam menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Susah juga mencegah keinginan orang tua yang kebelet punya