Hari itu, utusan Pak Muklis akan datang untuk menanyakan jawaban. Sabrina sudah mantap ingin menolak baik-baik pinangan tersebut. Meski sangat butuh uang, dia bertekad akan mencarinya dengan usaha sendiri.
Pukul sebelas, sang tamu yang ditunggu akhirnya tiba. Dia hanya berdiri di teras saja. Tidak akan lama, katanya. Sabrina sungkan, rasanya tidak elok jika memberikan jawaban pinangan sambil berdiri di depan pintu.Alih-alih mendengarkan jawaban yang sudah dipersiapkan Sabrina, utusan Pak Muklis tersebut justru mengeluarkan selebar kertas merah hati dari tas pinggangnya."Pak Muklis akan meresmikan toko barunya. Ibu diundang menjadi salah satu tamu penting. Ibu Muklis ingin sekali bertemu dengan Ibu Sabrina. Jadi mohon dengan sangat kehadirannya."Sabrina terperanjat mendengarkan penuturan laki-laki berkumis itu. Diundang ke acara Pak Muklis jelas merupakan suatu kehormatan. Namun, Sabrina tidak dapat menerka-nerka maksud Bu Muklis ingin menemui dirinya.***"Sabrina ... Stop ... Stop! Mau ke mana kamu?"Miskah berteriak sambil melambai-lambaikan tangan. Wanita yang membonceng anaknya tersebut terpaksa menghentikan motornya agar tidak menabrak Miskah."Mau parkir lah, Mis.""Eh, di situ parkiran khusus tamu VIP. Tuh, lihat, mobilnya keren-keren. Motor butut kayak gini parkirnya di bawah pohon jambu sana!" katanya seraya menunjuk area luas yang memang dipakai untuk parkir sepeda motor."Saya juga tamu VIP, kok." Sabrina masih berusaha sabar menjawabnya."Aduh ... Mundur dikit, dong. Halunya kelewatan! Pejabat bukan, aparat bukan, rekan pengusaha juga bukan. Tamu penting itu parfumnya bisa kecium dari jarak puluhan meter. Perhiasannya juga emas berlian mahal. Mana ada VIP yang pakai baju gamis murahan dari pasar becek kayak begini? Iyuuuh ...."Miskah pura-pura bergidik jijik sambil mengipasi badannya. Gelangnya bergemerincing seolah-olah sengaja ditampakkan agar Sabrina melihatnya.Sebenarnya Sabrina malas berdebat, tetapi Miskah sepertinya tidak akan percaya begitu saja. Dia mengeluarkan undangan dari dalam tas, lalu membukanya lebar-lebar di depan muka Miskah."Maaf, ya, tamu undangan reguler. VIP mau lewat dulu."Sabrina tersenyum kalem lalu memasukkan kembali kertas merah hati tersebut. Miskah sedikit syok karena undangan tersebut benar ber stempel VIP.Sebelum memasuki area parkir, Sabrina dicegat lagi oleh petugas parkir untuk dimintai bukti undangan. Bagaimanapun, penampilannya memang mendukung sekali untuk dicurigai. Apa yang dia kenakan dari ujung kepala hingga ujung kaki terlihat sederhana dan jauh dari kata mahal.Sabrina memarkirkan motornya dengan kikuk. Rasanya sungkan sekali bersisian dengan mobil mewah yang atapnya bisa dibuka. Permukaannya mengkilap tanpa gores dan cela. Satu-satunya kendaraan roda dua yang ada di sana hanyalah miliknya.Motor itu akhirnya bisa digunakan lagi setelah dibawa Sabrina ke bengkel milik Adam. Sesuai janji guru mengaji tersebut, Sabrina mendapat potongan harga. Lumayan, uang diskonnya bisa dipakai untuk membeli bensin dan sandal baru untuk Alifa.Tenda besar terpasang di depan bangunan yang akan diresmikan oleh Pak Muklis. Karangan bunga ucapan selamat berjejer di sepanjang jalan. Tidak main-main, pengirimnya adalah para pengusaha dan pejabat daerah. Melihat jejaring perkenalannya yang begitu luas, Sabrina merasa tidak percaya bahwa pengusaha tersebut benar-benar berniat untuk mempersuntingnya.Seorang laki-laki berseragam batik panitia mengarahkan Sabrina untuk duduk bersama tamu VIP lainnya di barisan kiri. Di sebelahnya, ada sepasang suami istri memakai baju sarimbit dengan motif sasirangan khas Kalimantan Selatan. Benar kata Miskah, parfum mereka berbeda sekali aromanya dengan wewangian isi ulang harga lima belas ribuan yang sering dia pakai.Hampir semua bangku telah terisi saat MC membuka acara dan mempersilakan Pak Muklis memberikan kata sambutan. Tak jauh darinya, Bu Muklis duduk dengan anggun dan terlihat sehat. Senyumnya tak henti-henti terkembang setiap kali ucapan Pak Muklis ditimpali oleh tepuk tangan. Jika keadaannya sudah sebugar itu, sepertinya Pak Muklis tidak perlu lagi mencari istri kedua.Acara dilanjutkan dengan pembacaan doa dan pemotongan pita sebagai tanda diresmikannya toko baru Pak Muklis. Rasanya kurang pantas jika hanya disebut toko. Bangunan itu lebih mirip swalayan besar yang menjual aneka macam barang. Bisnis Pak Muklis berkembang, bukan lagi berjualan sembako saja. Sabrina makin kecil hati dibuatnya.Setelah rangkaian acara panjang yang membuat Alifa merasa bosan dan nyaris merajuk minta pulang, akhirnya para tamu dipersilakan untuk mengambil makan siang. Berbagai jenis hidangan tersedia dalam gubuk-gubuk prasmanan layaknya di acara pernikahan.Saat sedang mengantre es krim, seseorang menepuk pundak Sabrina dari belakang. Alangkah terkejutnya saat dia menoleh dan mendapati bahwa orang yang menepuknya adalah Bu Muklis."Sabrina apa kabar? Enggak usah antre, yuk, ikut saya aja. Kita bisa makan sambil ngobrol di sana," sapanya ramah.Mereka memang sudah cukup lama saling mengenal karena mendiang suami Sabrina pernah menjadi karyawan di salah satu toko Pak Muklis."Alhamdulillah saya dan Alifa sehat. Ibu kelihatan segar dan makin cantik aja, nih," pujinya tulus.Sebenarnya Sabrina cukup grogi diperlakukan sedemikian rupa oleh sang empunya hajat. Mereka langsung jadi pusat perhatian. Tidak sedikit yang berbisik-bisik, mungkin kabar mengenai Bu Muklis yang meminta suaminya mencari istri baru sudah tersebar ke mana-mana.Pak Muklis tersenyum dari kejauhan, membuat prasangka orang makin menjadi-jadi. Sabrina deg-degan bukan main, tetapi dia berusaha terlihat senormal mungkin."Sab, sudah kamu pertimbangkan pinangan Papi?"Sabrina tak menyangka akan langsung ditodong dengan pertanyaan itu. Dia menelan ludah sekali lalu pura-pura minum, mengulur waktu untuk menyiapkan jawaban sesopan mungkin."Saya sudah istikharah, diskusi dengan orang tua, juga menimbang baik buruknya, Bu. Insya Allah, saya sudah memilih. Saya—""Tolong terima, ya. Saya yakin kamu adalah orang yang tepat."Sabrina benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran wanita tersebut. Jika sebagian besar wanita merasa sakit hati saat akan dimadu, lain halnya dengan Bu Muklis. Dia malah dengan terang-terangan meminta Sabrina untuk menerima lamaran suaminya."Kenapa saya, Bu?" Hanya itu pertanyaan yang sanggup keluar dari mulut Sabrina."Saya yakin kamu bisa menemani Bapak mengurus bisnis di kemudian hari. Lagipula kamu masih muda. Bapak ingin sekali punya anak laki-laki. Saya sudah tidak mungkin hamil lagi, apalagi dalam kondisi sakit-sakitan seperti ini."Mata Sabrina mendadak panas. Dia ingin sekali menangis. Di saat hatinya telah mantap untuk menolak lamaran Pak Muklis, di saat itu justru Bu Muklis menggantungkan harapan tinggi kepadanya. Sulit sekali untuk langsung bilang tidak mengingat mereka berdua sangat berjasa saat suaminya masih ada. Kelahiran Alifa pun dibiayai oleh mereka."Dokter bilang, umur saya udah enggak lama lagi," ucap Bu Muklis seraya menggenggam tangan Sabrina. Tenggorokan Sabrina tercekat."Saya akan turuti semua syarat dari kamu asalkan kamu mau bersedia jadi madu," lanjutnya, masih berusaha meyakinkan.Sabrina ingin sekali menghilang saat itu juga. Dia tidak tahu harus memberikan jawaban seperti apa.Sabrina digosipkan tengah dekat dengan guru mengaji padahal sedang dalam masa pinangan Pak Muklis. Kabar itu berembus cepat, menyebar dari satu mulut ke mulut lain, lalu dibumbui dengan cerita tambahan yang makin melantur.Dirinya bukan tak tahu. Telinganya sudah mulai panas karena dibicarakan tetangga saat bertemu di tukang sayur langganan. Ada yang terang-terangan menyindir, ada juga yang pura-pura tidak tahu padahal selalu update berita terbaru.Gosip itu berawal dari kedatangan Adam di suatu sore selepas mengajar TPA. Sabrina yang sedang mengepel teras terkejut karena Alifa diantar oleh gurunya lagi. Padahal Sabrina sudah berniat akan menjemput anaknya itu setelah pekerjaannya selesai."Terima kasih, Ustadz, sudah repot-repot mengantar anak saya," katanya basa-basi.Sabrina sungkan, takut dikira macam-macam oleh tetangga. Begitulah nasib seorang janda. Banyak mata yang mengawasi, terutama jika ada yang tak suka kepadanya. Miskah salah satunya."Tidak apa-apa, Bu. Sebenarnya saya ke
Pak Muklis—atau lebih tepatnya Bu Muklis—memberi tambahan waktu sebulan lagi untuk Sabrina. Istri pengusaha tersebut sangat berharap Sabrina bersedia menjadi madunya. Padahal sebelumnya janda itu sudah terang-terangan menolak dijadikan istri kedua."Tolonglah saya, Sab. Kasihan kalau tidak ada yang mengurus Papi setiap kali saya sakit. Selama ini, kami tidak pernah keberatan membantu keluargamu. Sekarang, untuk sekali ini saja, bantulah keluargaku," ucap Bu Muklis siang itu, saat mereka bertemu di acara peresmian toko."Maaf, Bu. Sejujurnya, berat bagi saya untuk menerima. Suami saya baru meninggal hitungan bulan. Saat ini, belum ada pikiran untuk menikah lagi." Sabrina menjaga intonasinya sesopan mungkin."Ya, saya tahu itu pasti tidak mudah. Tapi hidup berjalan terus, Sab. Kira-kira kapan kamu siap membuka hati?" Wanita yang lima belas tahun lebih tua dari Sabrina itu terus mendesak.Sabrina mengambil napas beberapa kali sebelum menjawab. Dia menggerak-gerakkan telapak kakinya, mung
Meski rumah Sabrina dan Adam cukup jauh, desas-desus mengenai hubungan terlarang mereka akhirnya sampai juga di telinga guru mengaji tersebut. Adalah sang ART, orang yang pertama kali mendengar gosip itu beredar di kalangan ibu-ibu kompleks saat belanja sayur.Mbak Minah, ART itu, melapor ke Adam. Katanya, banyak ibu-ibu yang menyayangkan keputusan Adam untuk mendekati Sabrina. Adam dinilai terlalu polos, sedangkan Sabrina dianggap sebagai janda yang ingin mencari mangsa agar bisa hidup mewah. Lagipula Adam adalah guru mengaji, kurang pantas kalau berpacaran alih-alih ta'aruf.Sebenarnya Adam tidak mau ambil pusing. Jangankan memiliki hubungan khusus, kenal Sabrina saja baru beberapa hari. Namun, makin lama kabar itu digoreng warga, makin hari Adam jadi tak tenang memikirkannya.Meski baru saling mengenal, Adam merasa bahwa Sabrina adalah sosok ibu yang bertanggung jawab dan sosok wanita yang mandiri. Adam pernah mencoba mengulurkan bantuan untuk mempermudah proses pembuatan seragam T
Pak Muklis tidak main-main dalam usaha meraih hati Sabrina. Dia tidak hanya mengirim sembako ke kontrakan wanita itu, tetapi juga ke rumah orang tuanya. Sabrina baru tahu belakangan setelah sang ibu menelponnya."Iya, Sab. Ibu dikirimin sembako lengkap. Berasa mau hajatan saking banyaknya. Nih, ada beras, minyak, gula, mie, kecap, segala rupa. Bahkan mereka juga kasih kursi roda baru buat Bapak," terang Bu Retno panjang lebar.Sabrina mengelus dada. Sikap keluarga Muklis yang begitu berlebihan justru membuatnya makin tidak nyaman. Bayangkan, jika ditolak, orang-orang pasti akan menyebut Sabrina tidak tahu terima kasih. Namun, jika diterima, habislah dia dikata-katai sebagai janda matre."Kiriman dari mereka sudah aku bagi-bagikan ke satpam dan asrama yatim dekat kompleks, Bu. Ini sama saja kayak sogokan."Sabrina secara tersirat ingin mengatakan bahwa dia tidak mau menerima pemberian itu."Kamu ini gimana, to? Rezeki kok ditolak. Anakmu itu lho, setiap Ibu telepon pasti bilang makanny
Seorang wanita berumur yang memakai banyak perhiasan sedang duduk di teras rumah kontrakan Sabrina. Namanya Bu Yanti, terkenal sebagai juragan kontrakan. Kedatangannya membuat Sabrina yang baru pulang dari warung merasa dagdigdug tak karuan."Silakan masuk, Bu. Maaf rumahnya lagi berantakan," katanya begitu sampai rumah dan membukakan pintu.Baju seragam pesanan TPA bertumpuk di lantai. Rencananya, Sabrina baru akan menyetrika dan memasukkan ke plastik setelah semuanya jadi. Dia memindahkan tumpukan kain tersebut ke sudut ruangan agar ada tempat untuk menerima tamu."Wah, lagi dapat pesanan, ya, Mbak? Bagus jahitannya. Kapan-kapan saya juga mau, deh, jahit di sini," puji Bu Yanti sambil meneliti salah satu baju yang sempat diambilnya."Iya, Bu, Alhamdulillah. Boleh, dengan senang hati. Saya kasih harga spesial buat Ibu."Sabrina menyuguhkan segelas air putih kepada tamunya. Dia duduk bersimpuh, menunggu Bu Yanti menyampaikan maksud kedatangannya."Maaf, Mbak, saya bertamu pagi-pagi. B
[Kediaman Pak Muklis]"Pi, sudah ada jawaban dari Sabrina?" tanya Bu Muklis membuka pembicaraan. Mereka baru saja selesai sarapan bersama.Yang ditanya hanya menggeleng. Sabrina belum menunjukkan tanda-tanda menerima pinangannya. Wanita itu masih saja bersikukuh ingin menjanda meski sudah terjepit keadaan."Mami bisa membayangkan ada di posisi Sabrina. Memang berat sih, Pi. Jadi istri kedua itu tidak pernah ada dalam kamus keinginan setiap wanita."Pak Muklis meneguk segelas air putih. Setelah mengelap bibirnya yang basah, dia melanjutkan obrolan."Apanya yang berat? Rasul saja mencontohkan untuk menikahi janda ketika poligami. Kita bisa membantu mereka agar bisa hidup berkecukupan dan terhindar dari fitnah."Pak Muklis mulai mengeluarkan jurus andalan. Sejak awal, poligami ini adalah ide Pak Muklis setelah istrinya divonis kanker rahim."Mami juga jadi bisa fokus berobat karena tidak perlu repot mengurus Papi. Dari kemarin, setiap kali pulang kemoterapi, Mami pasti selalu kecapekan d
"Seandainya setelah semua hal yang kita lakukan ini Sabrina tetap menolak lamaran Papi, apa yang akan Papi lakukan?" tanya Bu Muklis sungguh-sungguh.Tangan kanannya diam-diam mencengkeram ujung tunik ungu yang dia kenakan. Selama lebih dari dua puluh tahun menikah, Bu Muklis tahu betul tabiat sang suami. Jika sudah menginginkan sesuatu, dia akan berupaya keras untuk mewujudkannya.Sedangkan Pak Muklis hanya terkekeh lalu menjawab, "Ya, kita lihat nanti saja. Mami masih dukung Papi, kan? Ini semua demi kebaikan kita, kan?"Bu Muklis mengangguk. Setiap kali hatinya meragu, Pak Muklis kembali meyakinkan bahwa keputusan poligami itu diambil untuk kepentingan bersama. Pak Muklis bisa dirawat dengan baik selagi Bu Muklis menjalani serangkaian proses kemoterapi. Selain itu, mereka bisa menolong janda yang kesusahan.Laju mobil melambat ketika mereka memasuki sebuah kawasan pemukiman padat penduduk. Gangnya sempit, jalanan berlubang di sana-sini, dan banyak anak kecil berlarian. Karena perna
"Kamu mau ke mana, Dam? Masih pagi gini. Biasanya baru berangkat ke bengkel jam sembilan," tanya Bu Ami saat melihat anaknya sudah berpakaian rapi seusai sarapan."Mau ke ATM, Ma. Kemarin Bu Sabrina minta sisa pembayaran seragam TPA. Barusan dikirimin nomor rekeningnya."Mendengar nama Sabrina disebut, Bu Ami langsung memasang wajah antusias. Dirinya ingin tahu lebih jauh tentang sosok yang belum sempat ditemuinya tersebut."Aih, udah saling nyimpen nomor hp rupanya. Kenapa harus ditransfer? Sini, tarik tunai uangnya, biar Mama yang antar ke rumahnya."Adam mendelik ke arah ibunya yang tertawa setelah menggodanya. Ucapannya tempo hari ternyata bukan isapan jempol. Bu Ami mulai melancarkan aksi untuk mengenal Sabrina lebih jauh."Ngapain, sih, Ma? Enggak usah. Kasihan Bu Sabrina nanti malah makin parah digosipin tetangga.""Kamu, sih, pergerakannya lambat. Keburu disamber orang, tahu!"Adam menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Susah juga mencegah keinginan orang tua yang kebelet punya
[2 tahun kemudian] "Saya terima nikah dan kawinnya Sabrina Hasanati binti Jaya Sentosa dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!"Begitu tenang dan lantang Adam mengucap kalimat tersebut dalam satu tarikan napas."Bagaimana para saksi? Sah?""Sah!" Para saksi menjawab serentak.Sabrina dan Adam mengembuskan napas lega. Doa-doa melangit, berbaur dengan tumpahan air mata haru dan suka cita.Kini, Adam dan Sabrina duduk bak raja dan ratu sehari di pelaminan. Mereka senantiasa menebar senyum kepada para tamu undangan yang turut berbahagia.Dahulu, hanya butuh waktu satu minggu bagi Adam untuk jatuh hati kepada Sabrina. Butuh tiga bulan untuk menyatakan niat baik dan berujung mendapat penolakan halus dari janda beranak satu tersebut. Namun, jalan hidup memang tidak dapat ditebak.Sempat hendak menikahi Sofia, takdir ternyata membawa acara akad mereka bubar sebelum mulai. Adam dan Bu Ami sampai harus pindah rumah karena malu dibicarakan tetangga terus-menerus.Namun, siapa sangka, ada hikma
Sabrina menajamkan pendengaran agar segera tahu ketika sewaktu-waktu ada mobil berhenti di depan rumah. Perasaannya senang bercampur harap-harap cemas. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Sabrina akhirnya akan memiliki sepeda motor lagi. Memang bukan sepeda motor keluaran terbaru. Bukan pula yang harganya puluhan juta. Yang dia beli hanyalah motor bekas seharga 6,5 juta saja. Yang membuatnya istimewa, motor itu dibeli dari hasil keringatnya sendiri. Bagi Sabrina yang sejak kecil akrab dengan kemiskinan, membeli motor tanpa mencicil adalah sebentuk pencapaian yang patut dirayakan. Adam yang membantunya mendapatkan motor tersebut. Setelah bertemu secara tidak sengaja di acara bazaar, mereka cukup intens berkomunikasi. Kebetulan dealer Adam memang melayani jual beli motor bekas sehingga dia bisa memilihkan yang kondisi mesinnya masih bagus dan harganya terjangkau. Yang ditunggu-tunggu akhirnya datang. Sebuah mobil bak terbuka merapat di halaman rumah Pak Jaya. Sepeda motor berw
Jam masih menunjukkan pukul delapan pagi, tetapi matahari di langit Tangerang sudah bersinar amat terang. Sabrina mengelap keringat di dahi dengan ujung jilbab. Sesekali, dia melambaikan tangan ke arah Alifa yang berada dalam barisan gerak jalan. Acara jalan sehat itu merupakan kegiatan tahunan yang rutin digelar oleh Pemda setempat untuk memperingati hari jadi kota mereka. Sekolah Alifa tidak ketinggalan untuk berpartisipasi. Namun, karena masih usia TK, orang tua murid diminta turut serta hadir. Selagi menunggu Alifa selesai parade, Sabrina melihat-lihat stand yang berjajar di sepanjang tepi jalan. Ada satu stand yang sudah dia incar semenjak tiba di alun-alun kota tersebut. "Mas, yang ini harganya berapa, ya?" Sabrina menunjuk sebuah motor matic berwarna biru dan putih dengan bodi lebar.Itu adalah satu-satunya stand yang menjual motor second. Dilihat dari kondisi tampilan luar, motor yang dilirik Sabrina sepertinya masih sangat bagus. Sabrina merasa perlu membeli motor untuk ke
Adam turun dari motor dan mengambil bungkusan martabak yang tergantung di cantolan depan. Malam itu, Bu Ami bilang ingin menonton film sambil ngemil.Seporsi martabak manis dengan topping kacang, cokelat, keju, dan wijen itu ditaruh dalam piring buah. Permukaannya masih mengepulkan uap panas. Aromanya yang harum makin menggugah selera."Silakan menikmati martabaknya, Bunda Ratu," seloroh Adam ketika menyajikan makanan itu di meja.Bu Ami yang baru mulai memutar film hanya terkekeh mendengarnya."Kamu nggak ikutan nonton?" tanya Bu Ami begitu melihat Adam berdiri lagi. Bibirnya sedikit cemberut.Tadinya Adam ingin kembali ke kamar untuk mendesain pamflet, tetapi kemudian dia tidak tega membiarkan mamanya menonton sendirian. Karena itu, dia memutuskan untuk bekerja sambil tetap menemani Bu Ami."Saya ambil laptop sebentar ya, Ma."Bu Ami mengangguk senang. Sebenarnya dia merasa kesepian sejak pindah ke rumah baru. Selain lingkungannya lebih sepi, di rumah juga tidak ada pembantu yang bi
Nuansa haru yang sempat tercipta karena Sabrina hendak merantau menjadi TKW mendadak buyar. Sabrina menyusut air mata. Bu Retno sontak berdiri dan menghampiri dua lelaki yang berdiri di ambang pintu. "Pak Muklis?" Sapaannya lebih terdengar seperti pertanyaan. Bu Retno sampai melebarkan mata dan mencondongkan badan saking tidak percaya bahwa sosok yang berdiri di hadapannya adalah Pak Muklis. Ya, dia adalah juragan sembako yang pernah sangat ingin menikahi Sabrina. Sabrina menelan ludah. Jantungnya berdetak lebih cepat. Ada perasaan takut dan cemas yang diam-diam menelusup di hatinya. Bagaimanapun, urusannya dengan Pak Muklis tidak pernah menyenangkan. "Maaf, Bu, boleh kami masuk?" Kali ini yang bertanya adalah sopir Pak Muklis. "Oh, iya ... bo--boleh. Silakan, Pak." Wanita itu menepi agar tamunya masuk. Sabrina menuntun Alifa, hendak menghindari pertemuan itu dengan alasan ingin menjaga warung. Namun, Pak Muklis menahannya. "Mbak Sabrina boleh di sini sebentar? Saya ada perlu.
"Izinkan aku merantau ke luar negeri." Sabrina mengucapkannya dengan mata berkaca-kaca.Di satu sisi, dia tidak tega meninggalkan anak dan orang tuanya di Indonesia. Selain rindu, dia juga pasti akan lebih sering mengkhawatirkan kondisi kesehatan mereka.Namun, utang nyaris seratus juta ke Adam bukanlah perkara sepele. Jika dia hanya mampu mencicil 500 ribu per bulan, dia butuh waktu selama 16 tahun untuk melunasi seluruh utang tersebut.Dalam kurun waktu 16 tahun itu, pasti akan banyak hal yang berubah. Orang tuanya akan makin berumur. Alifa pun harus bersekolah di SD, SMP, hingga SMA yang pastinya butuh biaya lebih besar. Sabrina juga bercita-cita ingin menguliahkan putri semata wayangnya.Lebih dari itu semua, siapa yang menjamin dirinya masih ada umur? Alangkah sedihnya jika membawa utang hingga liang lahat. Maka, merantau menjadi TKW menjadi pilihan yang paling mungkin Sabrina ambil."Kalau kamu pergi, Alifa gimana, Sab?" tanya Bu Retno hati-hati. Dia paham betul kegelisahan anak
"Alhamdulillah, semua pesanan sudah jadi. Bu, tolong bantu cocokkan jumlahnya, ya," pinta Sabrina kepada Bu Retno. Dia sendiri tengah sibuk menghitung sisa pembayaran yang harus dilunasi Salim. Jumlah itu setara dengan keuntungan bersih yang akan dia peroleh."Jahitannya rapi, Sab. Masing-masing juga udah disetrika, jadi meringankan pekerjaan kita. Bisa aja kamu cari konveksi yang bagus.""Iya, Bu. Yang bikin makin kagum, mereka mempekerjakan orang-orang yang cacat fisik. Aku jadi makin termotivasi buat mengikuti jejaknya."Sabrina menghentikan pekerjaannya sejenak. Matanya menerawang jauh sedangkan bibirnya tersenyum manis. Terbayang seperti apa bahagianya jika impian tersebut bisa terwujud."Ya ... Ya ... Tapi bikin konveksi juga modalnya nggak sedikit, Sab. Apalagi kamu masih ada utang sama Ustadz Adam."Bibir Sabrina langsung kembali seperti semula. Ucapan ibunya sangat realistis."Bapak sama Ibu nggak bisa bantu banyak. Tapi nanti, kalau kami sudah meninggal, kamu boleh jual ruma
"Sudah siap, Ma?" tanya Adam setelah memasukkan tiga koper dan beberapa kardus besar ke dalam bagasi mobil. "Sudah, Dam." Bu Ami menghela napas. Hatinya serasa sesak dan badannya penat. Hari itu, mereka memutuskan untuk pindah rumah. Rumah tersebut akan disewakan kepada teman Om Adib.Sebenarnya rumah itu baru mereka tempati selama setahun. Namun, semenjak Adam batal menikah dengan Sofia, Bu Ami tidak lagi merasakan kenyamanan di sana. Penyebabnya tak lain adalah mulut-mulut tetangga yang selalu merasa paling tahu urusan orang lain.Sekali dua kali, Bu Ami tidak terlalu memusingkan omongan tetangga yang menggunjing batalnya pernikahan Adam. Namun, cerita tersebut berulang terus dan ditambah bumbu-bumbu lain. Ada yang bilang, Adam itu pembawa tulah atau kutukan. Entah siapa yang pertama kali tahu, tetapi kabar bahwa dia sudah tiga kali gagal menikah sudah menyebar luas. Dampaknya tidak hanya pada psikologis Bu Ami, tetapi juga TPA yang dikelola Adam. Banyak walisantri yang memindah
"Ma, capek, ya? Mau aku pijitin?" tanya Alifa pada suatu malam menjelang tidur.Dia melihat Sabrina kepayahan bangun dari kasur sebab pinggangnya terlalu letih. Duduk terlalu lama di depan mesin jahit memang kurang baik untuk kesehatan. Apalagi Sabrina terkadang lupa minum air putih atau meregangkan otot barang sebentar."Mau, Sayang. Terima kasih ya, anak baik. Mama sangat bersyukur memiliki anak yang solehah seperti Alifa," jawabnya seraya tersenyum.Alifa dengan senang hati memijit tangan dan kaki Sabrina. Meskipun tenaganya tidak seberapa dan dia belum paham titik-titik yang mesti dpijit, Sabrina merasakan hatinya hangat. Tangan mungil itulah yang secara tidak langsung telah menguatkannya selama ini.Meski letih, Sabrina merasa Allah sangat memudahkan usahanya ketika memulai proses produksi pesanan Salim. Selain doa yang dia panjatkan seusai salat, Sabrina juga rutin melaksanakan salat Tahajjud dan salat Dhuha.Dia tidak bisa berkeluh kesah kepada sembarang orang. Jadi, salat adal