“Di undangan bukannya Hania yang nikah sama Alif. Kok nikahnya malah sama Maya, Rit?”
Celetukan seorang wanita yang duduk bersama Hania di satu meja itu berhasil membuat semua orang di sana saling diam. Bibir Hania merapat. Buru-buru ia menarik ujung kerudungnya, menutupi bibirnya, tak mau jika ada yang melihat ekspresinya.
“Oh … itu … salah cetak, Mbak.” Bu Rita, ibu tiri Hania sekaligus ibu kandung Maya yang duduk tepat di samping wanita itu membalas cepat.
Tepat ketika itu Maya dan Alif datang menghampiri. Menyapa seluruh sanak keluarga terdekatnya yang berada di satu meja. Tak terkecuali Hania. Tapi, perempuan itu bahkan tak membalas sapaan Maya.
“Bukan salah cetak, Tan,” celetuk Hania, “tapi, karena Maya hamil sama tunangannya Hania.” Ia melirik Maya yang tampak melotot padanya. “Jadinya mereka terpaksa nikah.”
“Hah? Hamil duluan maksudnya?”
“Bener itu, Mbak?”
“Kok bisa?”
“Ini gimana ceritanya bisa jadi gini?”
“Maya! Kamu main serong sama calon iparmu?”
“Kok kamu malah nikahin mereka sih, Rita. Aib ini!!! Aib buat keluarga kita!!!”
Orang-orang yang ada di meja itu ribut. Saling menerka dan menuduh.
“Diaaaammm!!!” Teriakan Maya berhasil menyita perhatian seluruh tamu di sana.
Bu Rita tergesa-gesa menghampiri, mencoba menenangkannya padahal di sana ada Alif. Tapi, laki-laki itu hanya diam saja seperti patung. Tak sedikit pun bertindak atau mencoba menenangkan istrinya yang kini tengah murka.
“Ini fitnah, Tan! Hania fitnah aku karena dia gak terima kalau Alif sebenarnya sejak dulu udah suka sama aku. Sebelum mereka tunangan, Alif udah suka sama aku!!!”
Hania menggebrak meja, lalu berdiri tepat di depan Maya. “Suka dari mana? Aku ngenalin kalian setelah tunangan, Maya! Ngaku aja kalau emang kamu emang main serong sama tunangan saudara kamu sendiri!”
Para tamu yang melihat pertengkaran itu mulai merangsek berkerumun. Beberapa mengacungkan ponsel, mengabadikan momen itu lewat kamera. Diam-diam tentu saja.
Maya tiba-tiba terisak. Saat itu Alif menarik Hania untuk menjaga jarak darinya.
“Sudah, Han. Cukup!” lerai Alif.
“Lepas!” tepis Hania.
“Kamu tega, Mbak.”
Maya menarik Alif yang menghalangi antara ia dan Hania. Kini giliran Maya yang menghampiri Hania. Dengan isak tangis.
“Terus kenapa kalau sekarang Alif nikah sama aku? Dia ngelakuin itu karena dia mau tanggung jawab, Mbak. Kalau dia jadi nikah sama Mbak, Mbak emang gak kasihan kalau orang-orang gosipin aku yang hamil tanpa suami? Mbak mau anakku yang gak berdosa ini nanggung kesalahanku? Mbak mau bahagia sendiri, sementara aku harus menderita? Gitu?”
Kening Hania sampai mengerut mendengar pembelaan diri Maya yang tidak masuk akal di kepalanya.
“Kamu ngerebut tunanganku, Maya!” Hania berteriak saking jengkelnya. “Harusnya kamu udah tahu risikonya! Kenapa malah nyalahin aku?”
“Terus aku harus gimana sekarang? Balikin Mas Alif ke Mbak Hania? Ambil! Ambil, Mbak! Aku gak apa-apa kalau emang harus jadi janda setelah sehari nikah. Kalau emang itu bisa bikin Mbak bahagia! Ambil, Mas Alif! Ambil!!!”
“Sudah, Maya. Sudah, Hania! Ini mungkin udah takdir. Gak ada salahnya berkorban demi keluarga kamu sendiri?” kata wanita tadi yang pertama kali menyinggung soal pernikahan Alif dan Maya.
“Bener. Harusnya kamu itu cerita Mbak sama kita.” Timpal yang lain sambil menepuk bahu Bu Rita. “Apa gunanya saudara kalau kamu sembunyiin fakta ini? Sebusuk-busuknya bangkai, baunya pasti kecium juga.”
“Kami tak memberitahu karena kami belum siap.” Tiba-tiba saja Pak Rudi, ayah kandung Hania sekaligus ayah tiri Maya angkat suara yang tadinya hanya duduk diam di meja. “Kami ingin menyelesaikannya seperti ini. Berharap tidak ada siapapun yang bertanya-tanya kenapa malah Maya yang menikah hari ini. Tapi—”
“Sudah. Sudah. Semua sudah terjadi. Kamu juga harus ikhlas, Hania. Ini demi kebaikan keluarga kita. Udah! Gak usah berantem! Malu sama tamu!”
“Keluarga apa maksudnya, Tan?”
Hania enggan berhenti bicara. Kepalanya terasa seperti meledak jika ia harus menangis lagi seperti saat mengetahui Alif dan Maya ternyata berselingkuh darinya.
Tidak! Hania sudah tak tahan! Dadanya sesak menghadapi kenyataan yang ada! Apalagi melihat Alif dan Maya sekarang dari dekat sudah resmi menjadi sepasang suami-istri.
“Sebuah keluarga yang membenarkan adanya perselingkuhan, hamil di luar nikah, dan zina? Maya dan Alif menikah karena zina! Aku gak mau mengaku sebagai bagian dari keluarga kayak gini! Kalian itu cum–”
Plak!
Hania seketika membisu. Satu tangannya mengelus pipi kanannya yang baru saja terkena tamparan Bu Rita yang tak sempat Hania sadari.
“Cukup, Nia! Mau sampai kapan kamu mempermalukan Maya dan keluarga kamu sendiri? Kamu membuat semua tamu tahu kebenaran ini!”
Hania menatap sekeliling. Para tamu tengah menjadikannya pusat perhatian.
“Kamu harusnya bersyukur karena aku sudah ikhlas merawat kamu sejak kecil. Perempuan mana memangnya yang mau menikah Bapak kamu yang duda itu kalau bukan aku? Huh! Apa harus kamu mempermasalahkan hubungan Maya dan Alif sampai segininya? Kamu gak inget pengorbananku buat jadi ibu sambung kamu itu selama ini seperti apa? Ini balasan kamu atas semua pengorbananku? Huh! Anak tak tahu diuntung!”
“Pengorbanan?” Hania hendak menyela lagi, namun sanak saudara dari pihak Maya kembali angkat bicara.
“Benar, Nia. Sudahlah! Ikhlas …. Kalau bukan karena Rita dan Maya, belum tentu kehidupan kamu sekarang seenak ini? Pengorbanan Rita dan Maya gak bisa kamu bandingkan dengan apapun. Kamu bisa cari laki-laki lain selain Alif.”
“Jadi orang itu harus tahu diri, Nia. Jangan ngerasa paling tersakiti! Maya yang harusnya ngerasa tersakiti karena kasih sayang ibunya terpaksa harus ia bagi sejak dulu. Dia masih kecil waktu itu, tapi udah berkorban banyak buat kamu dan ayah kamu!”
“Nah! Denger! Kamu itu–”
Telinga Hania mendadak berdengung. Mulut-mulut keluarganya –lebih tepatnya keluarga Maya– sibuk saling membalas percakapan satu sama lain. Saling membela pendapat. Berpusat hanya untuk menyudutkannya.
Mata Hania yang tadi melotot penuh amarah, sekarang lebih sering berkedip dan tatapannya berubah sayu. Sempat ia melihat ke arah Alif. Laki-laki itu tampak menggelengkan kepala entah bermakna apa. Di sampingnya ada Maya yang tengah menyeringai sinis ke arahnya. Tampak begitu puas melihat Hania sedang disudutkan seluruh keluarganya.
“Aaarrrggghhh!!! Cukup!!!” Teriakan Hania berhasil membungkam semuanya. Para tamu kini bahkan kini semakin berkerumun di sekitar mereka. “Kalian semua orang-orang jahat! Jelas Maya yang salah, tapi kalian semua masih belain dia? Maya udah jelas-jelas zina! Dia merebut tunanganku! Dia cewek murahan yang gak punya harga diri!”
Maya tiba-tiba meraih gelas berisi minuman, membenturkannya ke pinggiran meja hingga sebagian pecahannya berjatuhan ke lantai. Hal itu berhasil membuat semua mata tertuju padanya.
“Diam kamu, anak sial!”
Langkah cepat Maya yang berlari menuju ke arah Hania sambil mengacungkan sisa pecahan gelas yang ada di tangannya berhasil membuat ribut seisi ruangan. Hania yang terlalu terkejut hanya diam ketika ujung tajam gelas itu mengarah ke wajahnya. Hanya sisa beberapa senti.
Rupanya sebuah tangan menghentikan pergerakan Maya. Cengkeraman orang tersebut bukan hanya meredakan suara berisik dari para tamu, tapi juga mengalihkan perhatian Hania. Matanya membola sempurna melihat siapa sosok yang baru saja menghentikan aksi Maya itu.
“Kamu–” Maya terdengar gelagapan menyadari siapa laki-laki tak asing yang tengah mencengkeram pergelangan tangannya erat. Ia sampai kehabisan nafas hanya untuk bersuara.
“Menjauh dari wanitaku kalau kamu masih ingin hidup!”
Laki-laki itu mendorong tubuh Maya sampai perempuan itu nyaris terjatuh. Beruntung Alif sigap menangkapnya.
“Siapapun yang berani menyentuh apalagi menyakiti calon istriku, dia akan berhadapan denganku!” sambungnya lagi sambil menatap satu per satu orang-orang yang berkerumun.
“Calon istri?” Hania sampai bergumam bingung, mengulang kata itu dengan wajah terkejut.
Kenan tiba-tiba menghampiri Hania. “Kamu tidak terluka kan, Sayang?”
“Si bos gila ini apa-apaan sih?” batin Hania berisik sekali sekarang. Ia memain-mainkan keningnya, memberi isyarat pada Kenan bahwa sekarang ia sangat kebingungan.
Ketika Hania hendak menurunkan dua tangan Kenan yang masih menangkup wajahnya, laki-laki itu lebih cepat menurunkan tangannya. Tapi, salah satu tangan Kenan setelahnya malah menggenggam erat tangan Hania.
Erat sekali sampai Hania sulit melepaskan diri!
“Pak Ken—”
“Apa yang terjadi di sini?!” tanya Kenan dengan suara lantang.
“Anu, Pak– itu … jadi masalahnya–” Hania mencoba menanggapi, tapi ia malah mendadak gagap. Gugup dipelototin para tamu.
Bukan! Bukan! Bukan itu! Ia gugup karena genggaman tangan Kenan!
“Kenapa ada yang berani melukai calon istriku?” sambung Kenan kalah cepat.
Bukan perkara mudah menjadi asisten pribadi Kenan yang dikenal suka gonta-ganti pasangan. Eh, maksud Hania, suka gonta-ganti asisten pribadi. Katanya sih karena keseringan digoda sama si asisten.Siapa juga yang gak kepincut sama CEO muda dan tampan kayak Kenan coba? Hania saja harus sering mengelus dada sambil merapal istighfar setiap kali bertemu muka dengan Kenan demi menguatkan keimanannya agar tidak tergoda.Hania juga termasuk asisten pribadi yang paling lama bekerja dengan laki-laki itu dan berhasil mendapatkan julukan “Sang Penakluk” oleh karyawan Prince Property. Tentu saja! Hania tak mungkin terlibat cinta lokasi juga dengan Kenan!Bagaimana bisa Hania terlibat cinta lokasi dengan Kenan kalau ‘mantan kekasihnya’, Alif, bekerja di tempat yang sama dengannya. Hania harus menjaga martabatnya sebagai perempuan di depan semua orang. Ia tak mau dicap perempuan murahan yang berani berselingkuh dari kekasihnya.Yah… meskipun pada akhirnya justru Alif yang berselingkuh darinya. Naa
“Hebat sekali kamu bisa punya hubungan spesial dengan bosmu sendiri? Kamu merayu dia dengan cara apa? Huh!” sengit Bu Rita. “Jangan sampai kamu merendahkan diri kamu hanya karena dia atasan kamu, Nia. Ayah tak menginginkan apapun dari kamu kecuali kamu bekerja dengan baik saja.” Pak Rudi juga ikut memberikan peringatan keras.“Jangan-jangan ini alasan Mas memilihku. Karena Mbak malah bermain api dengan atasan sendiri. Iya kan, Mas?” tuduh Maya penuh curiga. Ia melirik Alif yang langsung tertegun mendengar perkataan istrinya barusan.“Bisa jadi itu. Laki-laki mana memangnya yang tahan kalau pasangannya selingkuh? Gak ada, Nia! Jadi, berhenti menyalahkan Maya yang kamu tuduh menggoda Alif. Ini pasti kesalahan kamu karena gak bisa jaga diri. Jadinya Alif memilih Maya yang tulus sayang sama dia!”Perkataan Bu Rita diangguki oleh Maya dengan cepat.“Gak akan api kalau gak ada bara, Mbak. Mbak bener-bener gak bersyukur yah punya cowok baik modelan Mas Alif. Dia udah tulus loh sama Mbak!”“
Bima menaruh kembali lembaran berkas ke hadapan Kenan yang sedang memijit pelipisnya. Tampak sekali laki-laki itu begitu frustasi.“Jadi, Pak Kenan belum berkata jujur juga sama Bu Hania?”“Belum. Karena Hania tidak memberikan saya kesempatan untuk bicara jujur tadi. Kamu lihat sendiri bagaimana cerewetnya Hania jika sudah serius, kan?”“Itu artinya, Bu Hania menganggap serius ajakan Pak Kenan untuk menikah secara KON-TRAK!” Bima sengaja memberikan penekanan di akhir kalimatnya. Saking jengkelnya pada atasan yang super pengecut itu.Tingkahnya kalau di berhadapan dengan klien atau karyawan, bak singa yang sedang siap melahap mangsanya. Tapi kalau sedang berhadapan dengan Hania, atasannya ini akan berubah seperti kura-kura yang siap bersembunyi dalam tempurung kapan saja. “Tak perlu kamu tegaskan juga, Bima. Kamu mau mengolok-olok saya maksudnya?”“Itu agar Pak Kenan tidak lupa bahwa Bu Hania hanya mengikuti apa yang Pak Kenan lakukan. Ada sebab dan akibat dari semuanya.”“Berisik!”“
Kenan tak asal bicara!Lamaran terjadi selang dua hari saja. Semua serba penuh dengan kejutan! Baik untuk Hania, bahkan untuk seluruh keluarganya.Keluarga Kenan hadir di acara tersebut, termasuk Pak Rahwana dan Bu Sinta –Ibu Kenan yang lebih dikenal sebagai pemilik Prince Gallery–.Menjadikan Hotel Prince sebagai tempat acara tentu bukan perkara sulit. Hania tahu itu! Tapi, bagaimana bisa semua serba mudah begini?“Kata orang, kalau semua serba dimudahkan, itu artinya kalian beneran dijodohkan sama Allah.” Begitu kata Ratna. Tapi tentu saja Hania tak mau percaya. Karena pernikahannya ini memang rencana Kenan. Pastinya laki-laki itu sudah mempersiapkan segala hal secara matang agar rencana pernikahan kontrak mereka terjadi.Dijodohkan oleh Allah? Ah, mustahil. Hania jelas malu mengakui hal ini. Tapi, mungkinkah Allah memang merestui pernikahan kontrak mereka ini?Sehari setelah acara lamaran, pernikahan digelar di hotel yang sama. Kadang Hania merasa ini seperti mimpi di siang bolon
“Jadi, kamu dan Kenan akhirnya menikah. Kamu ingat tentang janjimu pada saya waktu itu, Hania?”Hania hanya bisa tertunduk, menatap tangannya sendiri yang sejak tadi saling berpilin. Beberapa menit lamanya ia duduk di sini untuk mendengarkan Pak Rahwana yang berdiri dekat jendela berbicara.Banyak hal. Di mana semuanya hanya tentang keluarga Prince.Hal yang sebenarnya sudah Hania ketahui dari Kenan. Selama bertahun-tahun bekerja dengannya, bukan hal yang aneh bukan jika ia tahu tentang seluk-beluk keluarga ini?Seberapa kaya, seberapa besar pengaruhnya, atau bahkan seberapa luas jangkauan bisnis mereka. Ah! Hania sudah hafal semua tentang keluarga Prince. Dari hal yang diketahui oleh umum, bahkan yang menjadi rahasia.“Ya. Saya masih ingat.”Bagaimana mungkin Hania tak ingat akan ancaman Pak Rahwana padanya. Kapan pastinya, itu terjadi setelah setahun bekerja dengan Kenan.“Profesional, tegas, dan cerdas. Mungkin itu yang bisa saya simpulkan tentang kamu dari apa yang saya ketahui.
Duduk bersebelahan dengan Kenan yang sedang tertidur saat pesawat lepas landas tentu bukan pertama kalinya dialami Hania. Saat Kenan terlelap, Hania tentu harus terjaga. Memastikan atasannya istirahat dengan baik, tak ada seorang pun mengusik apalagi sampai mencelakai.Tapi, itu dulu! Saat statusnya hanya seorang asisten pribadi.Sekarang situasinya jelas jauh berbeda! Hubungan komunikasi keduanya bisa dibilang tak baik setelah perdebatan pertama setelah sah menjadi suami-istri.Inikah rasanya bersitegang dengan Kenan sebagai sepasang kekasih?Tapi, dulu Alif tak seperti ini jika ada masalah dengannya. Pasti saja Alif lebih dulu meminta maaf, merayu, dan membujuk Hania untuk segera mengakhiri pertengkaran mereka. Berbeda sekali dengan Kenan yang malah mengabaikannya!Kan? Hania lagi-lagi malah mengingat Alif. Ya, Tuhan! Kenapa sulit sekali melupakan masa lalu? Apalagi Alif berselingkuh dari Hania. Bukankah harusnya Hania dapat dengan mudah melupakan mantan kekasih biadabnya itu?Kala
Hania terpaku cukup lama menatap ranjang besar yang ada di hadapannya. Bukan karena bunga-bunga yang membentuk pola hati atau dua kodok yang terbuat dari handuk sedang berciuman teronggok di atas ranjang besar itu. Tapi, ini tentang bagaimana caranya ia dan Kenan bisa tidur di ranjang yang sama untuk beberapa hari ke depan!“Harusnya pesan vila yang banyak kamarnya saja, Pak.”“Kamu mau kita kena gosip karena tidur di vila yang banyak kamarnya tapi kita ini hanya berdua di sini?”Itulah secuil pertengkaran Hania dan Kenan di lobi tadi. Berakhir dengan kekalahan di pihaknya. Tengok pihak yang menang sekarang! Dia tampak begitu asyik bercengkrama di balkon yang tepat menghadap laut dengan seseorang yang entah siapa di seberang telepon sana. Mungkin mantannya?Mantan yang mana nih?Bisa jadi. Karena raut wajah Kenan sekarang benar-benar tampak diliputi kebahagiaan. Senyumannya tak meredup barang sedikit pun!Jangan tanya bagaimana perasaan Hania sekarang. Selain bingung, dia juga cemas
“Hania! Berhenti! Hania!!!”Hania yang berjalan setengah berlari bukannya tak mendengar teriakan Kenan, ia hanya pura-pura tak mendengar! Malu bukan main! “Hania!”Bagaimana ia tak malu? Baru saja dirinya kepergok mengumpati atasan sekaligus suaminya ini. Hania tentu tahu diri kalau tindakannya tadi begitu berisiko. Padahal tadinya ia pikir, dengan berada di tengah lautan dan mengumpati Kenan sebagai pelampiasan, itu akan cukup membantunya untuk tenang.Setidaknya untuk menghadapi malam pertama dengan laki-laki yang sudah berstatus sebagai suaminya.Kenan sebenarnya tak salah. Hania sendiri yang belum siap menerima kenyataan ini sepenuhnya.Menjadi istri?Melaksanakan hak dan kewajiban sesuai yang sudah disepakati?Kenapa rasanya ini begitu cepat?“Hania!”Kenan tiba-tiba muncul sambil mencekal tangannya. Terkejut bukan main. Spontan menepis, namun cekalan Kenan begitu kuat hingga Hania hanya bisa mengerang kesakitan.“Pak! Lepasin tangan saya!”“Saya sudah berhak menyentuh kamu!”Be
Hania menggebrak pintu apartemen dengan wajah murka. Matanya dengan cepat menyelidik ke setiap sudut ruangan yang tampak kacau balau sebelum terakhir dia meninggalkan tempat ini karena terpaksa. “Maya! Di mana kamu?” teriak Hania lantang.Tujuannya kembali ke apartemen ini bukan untuk kembali tinggal di sini, melainkan untuk mencari Maya yang ia curigai sudah menyebarkan surat perjanjian nikah kontraknya dengan Kenan ke publik.Ya. Publik tiba-tiba gempar oleh selebaran surat perjanjian nikah kontraknya dengan Kenan yang sudah batal itu. Tersebar dengan cepat memenuhi berbagai media sosial. Bahkan sampai masuk berita gosip selebriti, padahal Kenan maupun Hania bukanlah publik figur!Nihil! Tak ada siapapun di tempat ini yang Hania duga sebagai tempat keberadaan Maya. Tersangka utama yang membuat kerusuhan seperti ini. Kalau bukan dia, memang siapa lagi yang berani membuat Hania selalu dalam kesulitan?Seolah apa yang selama ini Hania korbankan, tak cukup memuaskan Maya. Ada saja hal
“Karena aku mencintaimu, Hania! Aku menyukaimu! Aku jatuh cinta padamu! Aku ingin kamu menjadi milikku!”Kenan berteriak lantang sekencang-kencangnya, meledakkan segala hal yang selama ini dipendamnya. Tak perlu ditanya lagi seperti apa berisiknya jantungnya sekarang.Tapi, melihat Hania yang diam saja, muncul perasaan khawatir. Ini bukan reaksi yang ia harapkan!Setidaknya, katakan sesuatu! Menampakkan raut wajah terkejut sekaligus bahagia misalnya.Tapi, ini?Ekspresi Hania begitu datar. Bibir terkatup rapat dengan tatapan setajam singa yang tengah berhadapan dengan rivalnya. Apakah ungkapan Kenan barusan seperti sebuah bom berbahaya sampai Hania harus bereaksi demikian?Kenan berdecak sebal. “Kamu ini benar-ben–”“Kalau perkataan Mas itu benar, untuk apa Mas menerima tawaran Putri?” Hania menarik salah satu sudut bibirnya. “Untuk membuat aku cemburu?” serangnya sengit.Melihat Kenan yang diam saja, Hania tahu jika tebakannya tak meleset. Apalagi hal ini sempat suaminya itu singgun
“Bagaimana pendapatmu?” tanya Kenan sesaat setelah Putri menghilang dari pandangannya. Diliriknya Hania yang tak banyak bicara sejak mereka tiba di tempat ini. Hania membuang nafas sebelum menjawab pertanyaan itu tanpa sedikitpun menoleh pada Kenan.“Pendapat apa?” balas Hania sambil melemparkan pandangan kembali ke arah lapangan golf. Baginya, pemandangan yang didominasi warna hijau itu lebih menyenangkan dipandang daripada bersitatap sedetik saja dengan Kenan.Entahlah. Rasanya Hania enggan sekali melihat Kenan sekarang.“Tentang pernikahan kontrak Mas dengan Putri. Kamu tidak akan berpendapat apapun? Atau bertanya apapun misalnya?”Sungguh! Jika boleh jujur, isi kepala Hania sekarang benar-benar kosong. Ia tak tahu harus berbuat apa selain ingin segera pergi atau menghilang dari hadapan Kenan. “Gak ada,” jawab Hania singkat sambil melepaskan genggaman tangan Kenan yang terasa melonggar. Ada sedikit perasaan kesal setelahnya. Hania tiba-tiba melangkah menuju beberapa anak tangga,
Genggaman tangan Kenan terasa tak nyaman. Ingin sekali Hania menepisnya kasar, namun berkali-kali perasaan itu ia enyahkan. “Kamu hanya istri kontraknya, Nia!” Kalimat itu terus bergulir di kepalanya sekarang. Seperti pengingat akan semua tindakan yang hendak Kenan lakukan setelah ini, bukanlah hal penting untuk ia pedulikan.Termasuk ketika keduanya harus menemui Putri di lapangan golf ini sekarang. Bermaksud untuk membahas kelanjutan dari tawaran Putri yang ingin menjadi istri kedua Kenan. Hania tak berhenti menyadarkan dirinya bahwa posisinya saat ini sama sekali tak penting bagi Kenan, apalagi jika sampai ikut campur urusannya terlalu dalam.“Kamu hanya perlu memberikan Kenan anak dan setelah itu bercerai, Nia. Jangan pedulikan dia memiliki istri satu atau bahkan lebih. Itu bukan urusanmu!” batin Hania berbisik tak henti.Sambil menikmati secangkir teh hangat, sesekali mengalihkan pandangan ke arah hamparan rumput hijau yang membentang sejauh mata memandang, Hania lekat memperha
Tahu begini, Hania tak perlu menerima tawaran Kenan.Cara pria itu memegang pisau saat memotong wortel mirip seperti bocah kecil yang baru pertama kali menyentuh alat-alat dapur. Teledor, ceroboh, dan menimbulkan kecemasan bagi siapa saja yang melihatnya. Belum lagi, potongan wortel itu melebihi ukuran yang Hania inginkan. “Mas, wortelnya potong dadu. Bukannya segede jempol orang dewasa. Susah mateng dan gak bisa ditelan sekaligus nantinya.” Keluh Hania. Kali saja Kenan mendengar usulannya ini dan segera memperbaiki kesalahannya karena ia benar-benar merasa gemas sekali ingin mengusir Kenan dari sini.“Yang penting kepotong, kan? Ada kok masakan yang pake wortel utuh tanpa dipotong.” Balas Kenan tampak tak terima. Ia sedikit pun tidak menoleh pada Hania yang sedang menatapnya tajam. Tetap fokus memotong sisa wortel yang ada.“Tapi, ukurannya gak sesuai masakan yang mau aku buat, Mas.”“Buat masakan sesuai ukuran yang Mas buat aja kalau gitu.”Hania memijit pelipis. Kepalanya menda
“Kertas apa itu yang ada di tangan kamu?”Alif menelan salivanya dalam-dalam sambil meremas ujung-ujung kertas yang sangat ingin ia lenyapkan detik ini juga.“Ah! Ini–” Alif memutar otaknya untuk mencari jawaban. Ia tak ingin Maya melihat apa yang dilihatnya saat ini. “Aku butuh untuk mencatat sesuatu. Tadi ada beberapa kertas berserakan di lantai. Kupikir ini kertas yang tak Hania akan pakai. Isinya juga,” Alif mengacungkan sekilas kertas itu, “sudah aku baca dan bukan hal penting. Kamu tidur lagi saja, May.”Terburu-buru Alif keluar dari kamar. Lega karena Maya tak sampai melihat secara langsung isi kertas yang sekarang ada di tangannya.Tak mau melakukan keteledoran yang sama, Alif segera melipat beberapa lembar kertas itu dan menyembunyikannya di saku lagi. Ia terduduk di sofa sambil mengingat-ingat isi kertas yang berhasil ia baca sebagian.“Pernikahan kontrak? Apa mungkin Hania dan Pak Kenan menikah kontrak?” gumam hatinya.Berulang kali ia mencoba tak mempercayai isi kertas itu
“Kamu belum jawab pertanyaan Mas, Maya. Bagaimana bisa kamu tahu kalau Hania tinggal di sini?” tanya Alif sesaat setelah Hania pergi. Ia masih berdiri, enggan beranjak menuju sofa seperti apa yang Maya sedang lakukan sekarang.“Aku ini perempuan cerdas,” katanya sambil menjatuhkan dirinya di sofa perlahan, “jadi bukan hal sulit untuk menemukan dimana Hania tinggal selama ini. Yah … meskipun ini bukan sebuah kebetulan. Bersyukur banget dia dipanggil ke pengadilan. Jadinya, aku tahu harus memata-matai dia dari mana.”“Kamu memata-matai Hania?”“Ya ampun, Mas. Gak usah kaget gitu! Zaman sekarang ini bukan hal sulit kok buat mata-matai orang tanpa harus kita ikut capek ngikutin. Pake aja jasa ojol. Banyak tuh orang-orang pake jasa mereka buat mata-matai pacarnya yang selingkuh juga loh! Jadinya, siapapun gak bakalan ada yang curiga lagi diikutin karena emang kerjaan ojol mondar-mandir.”Entah harus bangga atau tidak akan apa yang dilakukan Maya. Tapi, Alif benar-benar bersyukur dapat mene
“Nia! Kamu mau ke mana?” tanya Maya yang tampak kaget ketika melihat Hania keluar dari sebuah kamar sambil menyeret koper.Hania menatap Maya dan Alif yang sedang duduk di sofa bergantian. “Menginaplah di sini kalau memang itu kemauan kalian.”Saat Hania mengiyakan keinginan Maya, bukan berarti ia tak memikirkan rencana lain. Mau bagaimana pun, akan terasa tak nyaman sekali jika harus menghabiskan malam bersama mantan sekaligus adik iparnya. Apa Maya tidak berpikir ke arah sana?Hah! Pasti tidak. Perempuan itu pasti hanya memikirkan kesenangan pribadinya saja. Tanpa memperdulikan kebaikan atau keburukan macam apa yang akan orang sekitarnya terima dari semua ulahnya.Alif juga tak kalah menyebalkannya. Ingin sekali Hania mengumpati pria yang berubah tak berdaya itu. Tapi, tidak! Hania tak mau membuang waktu hanya untuk melakukan hal tak penting. “Kamu mau biarin tamu kamu di sini? Gak sopan banget yah kamu, Mbak!” serbu Maya yang tampak tak terima. “Kalau emang kamu gak mau kita ngin
Kenan dan Hania berjalan beriringan di depan gedung hitam-putih itu. Mengekori Bu Sinta yang duduk di kursi rodanya, didorong oleh seseorang. Tampak para wartawan di tahan beberapa keamanan yang berusaha mendekati mereka. Beberapa ada yang tetap nekat mengarahkan kamera meski sudah dicegah.Mereka terburu-buru menuju keluar area gedung. Takut jika keamanan tak cukup melindungi mereka dari sorotan media. Kenan, Hania, dan Bu Sinta kini berada di mobil van yang sama. Menjauh dari para wartawan yang mulai mengejar mereka.Bu Sinta tampak menyemai senyum seperti ada sesuatu yang lucu baru saja terjadi. Sikap tenangnya berbanding terbalik dengan keadaan sidang tadi yang berlangsung cukup panas. Hania saja sampai gemetaran hingga detik ini. Baru kali ini ia menjadi salah satu bagian penting dalam sebuah sidang yang berhasil mengguncang penjuru Negeri.“Kemungkinan besar, Papahmu tetap akan di penjara, Ken.” Bu Sinta tampak santai mengutarakan berita itu.Kenan membalaskan dengan anggukan ta