Share

DIPAKSA JADI JODOH
DIPAKSA JADI JODOH
Author: Namiya

Calon Istri

“Di undangan bukannya Hania yang nikah sama Alif. Kok nikahnya malah sama Maya, Rit?”

Celetukan seorang wanita yang duduk bersama Hania di satu meja itu berhasil membuat semua orang di sana saling diam. Bibir Hania merapat. Buru-buru ia menarik ujung kerudungnya, menutupi bibirnya, tak mau jika ada yang melihat ekspresinya. 

“Oh … itu … salah cetak, Mbak.” Bu Rita, ibu tiri Hania sekaligus ibu kandung Maya yang duduk tepat di samping wanita itu membalas cepat.

Tepat ketika itu Maya dan Alif datang menghampiri. Menyapa seluruh sanak keluarga terdekatnya yang berada di satu meja. Tak terkecuali Hania. Tapi, perempuan itu bahkan tak membalas sapaan Maya.

“Bukan salah cetak, Tan,” celetuk Hania, “tapi, karena Maya hamil sama tunangannya Hania.” Ia melirik Maya yang tampak melotot padanya. “Jadinya mereka terpaksa nikah.”

“Hah? Hamil duluan maksudnya?”

“Bener itu, Mbak?”

“Kok bisa?”

“Ini gimana ceritanya bisa jadi gini?”

“Maya! Kamu main serong sama calon iparmu?”

“Kok kamu malah nikahin mereka sih, Rita. Aib ini!!! Aib buat keluarga kita!!!”

Orang-orang yang ada di meja itu ribut. Saling menerka dan menuduh.

“Diaaaammm!!!” Teriakan Maya berhasil menyita perhatian seluruh tamu di sana. 

Bu Rita tergesa-gesa menghampiri, mencoba menenangkannya padahal di sana ada Alif. Tapi, laki-laki itu hanya diam saja seperti patung. Tak sedikit pun bertindak atau mencoba menenangkan istrinya yang kini tengah murka.

“Ini fitnah, Tan! Hania fitnah aku karena dia gak terima kalau Alif sebenarnya sejak dulu udah suka sama aku. Sebelum mereka tunangan, Alif udah suka sama aku!!!”

Hania menggebrak meja, lalu berdiri tepat di depan Maya. “Suka dari mana? Aku ngenalin kalian setelah tunangan, Maya! Ngaku aja kalau emang kamu emang main serong sama tunangan saudara kamu sendiri!”

Para tamu yang melihat pertengkaran itu mulai merangsek berkerumun. Beberapa mengacungkan ponsel, mengabadikan momen itu lewat kamera. Diam-diam tentu saja.

Maya tiba-tiba terisak. Saat itu Alif menarik Hania untuk menjaga jarak darinya.

“Sudah, Han. Cukup!” lerai Alif.

“Lepas!” tepis Hania.

“Kamu tega, Mbak.” 

Maya menarik Alif yang menghalangi antara ia dan Hania. Kini giliran Maya yang menghampiri Hania. Dengan isak tangis. 

“Terus kenapa kalau sekarang Alif nikah sama aku? Dia ngelakuin itu karena dia mau tanggung jawab, Mbak. Kalau dia jadi nikah sama Mbak, Mbak emang gak kasihan kalau orang-orang gosipin aku yang hamil tanpa suami? Mbak mau anakku yang gak berdosa ini nanggung kesalahanku? Mbak mau bahagia sendiri, sementara aku harus menderita? Gitu?”

Kening Hania sampai mengerut mendengar pembelaan diri Maya yang tidak masuk akal di kepalanya. 

“Kamu ngerebut tunanganku, Maya!” Hania berteriak saking jengkelnya. “Harusnya kamu udah tahu risikonya! Kenapa malah nyalahin aku?”

“Terus aku harus gimana sekarang? Balikin Mas Alif ke Mbak Hania? Ambil! Ambil, Mbak! Aku gak apa-apa kalau emang harus jadi janda setelah sehari nikah. Kalau emang itu bisa bikin Mbak bahagia! Ambil, Mas Alif! Ambil!!!”

“Sudah, Maya. Sudah, Hania! Ini mungkin udah takdir. Gak ada salahnya berkorban demi keluarga kamu sendiri?” kata wanita tadi yang pertama kali menyinggung soal pernikahan Alif dan Maya.

“Bener. Harusnya kamu itu cerita Mbak sama kita.” Timpal yang lain sambil menepuk bahu Bu Rita. “Apa gunanya saudara kalau kamu sembunyiin fakta ini? Sebusuk-busuknya bangkai, baunya pasti kecium juga.”

“Kami tak memberitahu karena kami belum siap.” Tiba-tiba saja Pak Rudi, ayah kandung Hania sekaligus ayah tiri Maya angkat suara yang tadinya hanya duduk diam di meja. “Kami ingin menyelesaikannya seperti ini. Berharap tidak ada siapapun yang bertanya-tanya kenapa malah Maya yang menikah hari ini. Tapi—”

“Sudah. Sudah. Semua sudah terjadi. Kamu juga harus ikhlas, Hania. Ini demi kebaikan keluarga kita. Udah! Gak usah berantem! Malu sama tamu!”

“Keluarga apa maksudnya, Tan?” 

Hania enggan berhenti bicara. Kepalanya terasa seperti meledak jika ia harus menangis lagi seperti saat mengetahui Alif dan Maya ternyata berselingkuh darinya. 

Tidak! Hania sudah tak tahan! Dadanya sesak menghadapi kenyataan yang ada! Apalagi melihat Alif dan Maya sekarang dari dekat sudah resmi menjadi sepasang suami-istri. 

“Sebuah keluarga yang membenarkan adanya perselingkuhan, hamil di luar nikah, dan zina? Maya dan Alif menikah karena zina! Aku gak mau mengaku sebagai bagian dari keluarga kayak gini! Kalian itu cum–”

Plak!

Hania seketika membisu. Satu tangannya mengelus pipi kanannya yang baru saja terkena tamparan Bu Rita yang tak sempat Hania sadari.

“Cukup, Nia! Mau sampai kapan kamu mempermalukan Maya dan keluarga kamu sendiri? Kamu membuat semua tamu tahu kebenaran ini!”

Hania menatap sekeliling. Para tamu tengah menjadikannya pusat perhatian. 

“Kamu harusnya bersyukur karena aku sudah ikhlas merawat kamu sejak kecil. Perempuan mana memangnya yang mau menikah Bapak kamu yang duda itu kalau bukan aku? Huh! Apa harus kamu mempermasalahkan hubungan Maya dan Alif sampai segininya? Kamu gak inget pengorbananku buat jadi ibu sambung kamu itu selama ini seperti apa? Ini balasan kamu atas semua pengorbananku? Huh! Anak tak tahu diuntung!”

“Pengorbanan?” Hania hendak menyela lagi, namun sanak saudara dari pihak Maya kembali angkat bicara.

“Benar, Nia. Sudahlah! Ikhlas …. Kalau bukan karena Rita dan Maya, belum tentu kehidupan kamu sekarang seenak ini? Pengorbanan Rita dan Maya gak bisa kamu bandingkan dengan apapun. Kamu bisa cari laki-laki lain selain Alif.”

“Jadi orang itu harus tahu diri, Nia. Jangan ngerasa paling tersakiti! Maya yang harusnya ngerasa tersakiti karena kasih sayang ibunya terpaksa harus ia bagi sejak dulu. Dia masih kecil waktu itu, tapi udah berkorban banyak buat kamu dan ayah kamu!”

“Nah! Denger! Kamu itu–”

Telinga Hania mendadak berdengung. Mulut-mulut keluarganya –lebih tepatnya keluarga Maya– sibuk saling membalas percakapan satu sama lain. Saling membela pendapat. Berpusat hanya untuk menyudutkannya.

Mata Hania yang tadi melotot penuh amarah, sekarang lebih sering berkedip dan tatapannya berubah sayu. Sempat ia melihat ke arah Alif. Laki-laki itu tampak menggelengkan kepala entah bermakna apa. Di sampingnya ada Maya yang tengah menyeringai sinis ke arahnya. Tampak begitu puas melihat Hania sedang disudutkan seluruh keluarganya.

“Aaarrrggghhh!!! Cukup!!!” Teriakan Hania berhasil membungkam semuanya. Para tamu kini bahkan kini semakin berkerumun di sekitar mereka. “Kalian semua orang-orang jahat! Jelas Maya yang salah, tapi kalian semua masih belain dia? Maya udah jelas-jelas zina! Dia merebut tunanganku! Dia cewek murahan yang gak punya harga diri!”

Maya tiba-tiba meraih gelas berisi minuman, membenturkannya ke pinggiran meja hingga sebagian pecahannya berjatuhan ke lantai. Hal itu berhasil membuat semua mata tertuju padanya. 

“Diam kamu, anak sial!”

Langkah cepat Maya yang berlari menuju ke arah Hania sambil mengacungkan sisa pecahan gelas yang ada di tangannya berhasil membuat ribut seisi ruangan. Hania yang terlalu terkejut hanya diam ketika ujung tajam gelas itu mengarah ke wajahnya. Hanya sisa beberapa senti.

Rupanya sebuah tangan menghentikan pergerakan Maya. Cengkeraman orang tersebut bukan hanya meredakan suara berisik dari para tamu, tapi juga mengalihkan perhatian Hania. Matanya membola sempurna melihat siapa sosok yang baru saja menghentikan aksi Maya itu. 

“Kamu–” Maya terdengar gelagapan menyadari siapa laki-laki tak asing yang tengah mencengkeram pergelangan tangannya erat. Ia sampai kehabisan nafas hanya untuk bersuara.

“Menjauh dari wanitaku kalau kamu masih ingin hidup!”

Laki-laki itu mendorong tubuh Maya sampai perempuan itu nyaris terjatuh. Beruntung Alif sigap menangkapnya.

“Siapapun yang berani menyentuh apalagi menyakiti calon istriku, dia akan berhadapan denganku!” sambungnya lagi sambil menatap satu per satu orang-orang yang berkerumun.

“Calon istri?” Hania sampai bergumam bingung, mengulang kata itu dengan wajah terkejut.

Kenan tiba-tiba menghampiri Hania. “Kamu tidak terluka kan, Sayang?”

“Si bos gila ini apa-apaan sih?” batin Hania berisik sekali sekarang. Ia memain-mainkan keningnya, memberi isyarat pada Kenan bahwa sekarang ia sangat kebingungan.

Ketika Hania hendak menurunkan dua tangan Kenan yang masih menangkup wajahnya, laki-laki itu lebih cepat menurunkan tangannya. Tapi, salah satu tangan Kenan setelahnya malah menggenggam erat tangan Hania. 

Erat sekali sampai Hania sulit melepaskan diri!

“Pak Ken—”

“Apa yang terjadi di sini?!” tanya Kenan dengan suara lantang. 

“Anu, Pak– itu … jadi masalahnya–” Hania mencoba menanggapi, tapi ia malah mendadak gagap. Gugup dipelototin para tamu.

Bukan! Bukan! Bukan itu! Ia gugup karena genggaman tangan Kenan!

“Kenapa ada yang berani melukai calon istriku?” sambung Kenan kalah cepat.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status