“Di undangan bukannya Hania yang nikah sama Alif. Kok nikahnya malah sama Maya, Rit?”Celetukan seorang wanita yang duduk bersama Hania di satu meja itu berhasil membuat semua orang di sana saling diam. Bibir Hania merapat. Buru-buru ia menarik ujung kerudungnya, menutupi bibirnya, tak mau jika ada yang melihat ekspresinya. “Oh … itu … salah cetak, Mbak.” Bu Rita, ibu tiri Hania sekaligus ibu kandung Maya yang duduk tepat di samping wanita itu membalas cepat.Tepat ketika itu Maya dan Alif datang menghampiri. Menyapa seluruh sanak keluarga terdekatnya yang berada di satu meja. Tak terkecuali Hania. Tapi, perempuan itu bahkan tak membalas sapaan Maya.“Bukan salah cetak, Tan,” celetuk Hania, “tapi, karena Maya hamil sama tunangannya Hania.” Ia melirik Maya yang tampak melotot padanya. “Jadinya mereka terpaksa nikah.”“Hah? Hamil duluan maksudnya?”“Bener itu, Mbak?”“Kok bisa?”“Ini gimana ceritanya bisa jadi gini?”“Maya! Kamu main serong sama calon iparmu?”“Kok kamu malah nikahin m
Bukan perkara mudah menjadi asisten pribadi Kenan yang dikenal suka gonta-ganti pasangan. Eh, maksud Hania, suka gonta-ganti asisten pribadi. Katanya sih karena keseringan digoda sama si asisten.Siapa juga yang gak kepincut sama CEO muda dan tampan kayak Kenan coba? Hania saja harus sering mengelus dada sambil merapal istighfar setiap kali bertemu muka dengan Kenan demi menguatkan keimanannya agar tidak tergoda.Hania juga termasuk asisten pribadi yang paling lama bekerja dengan laki-laki itu dan berhasil mendapatkan julukan “Sang Penakluk” oleh karyawan Prince Property. Tentu saja! Hania tak mungkin terlibat cinta lokasi juga dengan Kenan!Bagaimana bisa Hania terlibat cinta lokasi dengan Kenan kalau ‘mantan kekasihnya’, Alif, bekerja di tempat yang sama dengannya. Hania harus menjaga martabatnya sebagai perempuan di depan semua orang. Ia tak mau dicap perempuan murahan yang berani berselingkuh dari kekasihnya.Yah… meskipun pada akhirnya justru Alif yang berselingkuh darinya. Naa
“Hebat sekali kamu bisa punya hubungan spesial dengan bosmu sendiri? Kamu merayu dia dengan cara apa? Huh!” sengit Bu Rita. “Jangan sampai kamu merendahkan diri kamu hanya karena dia atasan kamu, Nia. Ayah tak menginginkan apapun dari kamu kecuali kamu bekerja dengan baik saja.” Pak Rudi juga ikut memberikan peringatan keras.“Jangan-jangan ini alasan Mas memilihku. Karena Mbak malah bermain api dengan atasan sendiri. Iya kan, Mas?” tuduh Maya penuh curiga. Ia melirik Alif yang langsung tertegun mendengar perkataan istrinya barusan.“Bisa jadi itu. Laki-laki mana memangnya yang tahan kalau pasangannya selingkuh? Gak ada, Nia! Jadi, berhenti menyalahkan Maya yang kamu tuduh menggoda Alif. Ini pasti kesalahan kamu karena gak bisa jaga diri. Jadinya Alif memilih Maya yang tulus sayang sama dia!”Perkataan Bu Rita diangguki oleh Maya dengan cepat.“Gak akan api kalau gak ada bara, Mbak. Mbak bener-bener gak bersyukur yah punya cowok baik modelan Mas Alif. Dia udah tulus loh sama Mbak!”“
Bima menaruh kembali lembaran berkas ke hadapan Kenan yang sedang memijit pelipisnya. Tampak sekali laki-laki itu begitu frustasi.“Jadi, Pak Kenan belum berkata jujur juga sama Bu Hania?”“Belum. Karena Hania tidak memberikan saya kesempatan untuk bicara jujur tadi. Kamu lihat sendiri bagaimana cerewetnya Hania jika sudah serius, kan?”“Itu artinya, Bu Hania menganggap serius ajakan Pak Kenan untuk menikah secara KON-TRAK!” Bima sengaja memberikan penekanan di akhir kalimatnya. Saking jengkelnya pada atasan yang super pengecut itu.Tingkahnya kalau di berhadapan dengan klien atau karyawan, bak singa yang sedang siap melahap mangsanya. Tapi kalau sedang berhadapan dengan Hania, atasannya ini akan berubah seperti kura-kura yang siap bersembunyi dalam tempurung kapan saja. “Tak perlu kamu tegaskan juga, Bima. Kamu mau mengolok-olok saya maksudnya?”“Itu agar Pak Kenan tidak lupa bahwa Bu Hania hanya mengikuti apa yang Pak Kenan lakukan. Ada sebab dan akibat dari semuanya.”“Berisik!”“
Kenan tak asal bicara!Lamaran terjadi selang dua hari saja. Semua serba penuh dengan kejutan! Baik untuk Hania, bahkan untuk seluruh keluarganya.Keluarga Kenan hadir di acara tersebut, termasuk Pak Rahwana dan Bu Sinta –Ibu Kenan yang lebih dikenal sebagai pemilik Prince Gallery–.Menjadikan Hotel Prince sebagai tempat acara tentu bukan perkara sulit. Hania tahu itu! Tapi, bagaimana bisa semua serba mudah begini?“Kata orang, kalau semua serba dimudahkan, itu artinya kalian beneran dijodohkan sama Allah.” Begitu kata Ratna. Tapi tentu saja Hania tak mau percaya. Karena pernikahannya ini memang rencana Kenan. Pastinya laki-laki itu sudah mempersiapkan segala hal secara matang agar rencana pernikahan kontrak mereka terjadi.Dijodohkan oleh Allah? Ah, mustahil. Hania jelas malu mengakui hal ini. Tapi, mungkinkah Allah memang merestui pernikahan kontrak mereka ini?Sehari setelah acara lamaran, pernikahan digelar di hotel yang sama. Kadang Hania merasa ini seperti mimpi di siang bolon
“Jadi, kamu dan Kenan akhirnya menikah. Kamu ingat tentang janjimu pada saya waktu itu, Hania?”Hania hanya bisa tertunduk, menatap tangannya sendiri yang sejak tadi saling berpilin. Beberapa menit lamanya ia duduk di sini untuk mendengarkan Pak Rahwana yang berdiri dekat jendela berbicara.Banyak hal. Di mana semuanya hanya tentang keluarga Prince.Hal yang sebenarnya sudah Hania ketahui dari Kenan. Selama bertahun-tahun bekerja dengannya, bukan hal yang aneh bukan jika ia tahu tentang seluk-beluk keluarga ini?Seberapa kaya, seberapa besar pengaruhnya, atau bahkan seberapa luas jangkauan bisnis mereka. Ah! Hania sudah hafal semua tentang keluarga Prince. Dari hal yang diketahui oleh umum, bahkan yang menjadi rahasia.“Ya. Saya masih ingat.”Bagaimana mungkin Hania tak ingat akan ancaman Pak Rahwana padanya. Kapan pastinya, itu terjadi setelah setahun bekerja dengan Kenan.“Profesional, tegas, dan cerdas. Mungkin itu yang bisa saya simpulkan tentang kamu dari apa yang saya ketahui.
Duduk bersebelahan dengan Kenan yang sedang tertidur saat pesawat lepas landas tentu bukan pertama kalinya dialami Hania. Saat Kenan terlelap, Hania tentu harus terjaga. Memastikan atasannya istirahat dengan baik, tak ada seorang pun mengusik apalagi sampai mencelakai.Tapi, itu dulu! Saat statusnya hanya seorang asisten pribadi.Sekarang situasinya jelas jauh berbeda! Hubungan komunikasi keduanya bisa dibilang tak baik setelah perdebatan pertama setelah sah menjadi suami-istri.Inikah rasanya bersitegang dengan Kenan sebagai sepasang kekasih?Tapi, dulu Alif tak seperti ini jika ada masalah dengannya. Pasti saja Alif lebih dulu meminta maaf, merayu, dan membujuk Hania untuk segera mengakhiri pertengkaran mereka. Berbeda sekali dengan Kenan yang malah mengabaikannya!Kan? Hania lagi-lagi malah mengingat Alif. Ya, Tuhan! Kenapa sulit sekali melupakan masa lalu? Apalagi Alif berselingkuh dari Hania. Bukankah harusnya Hania dapat dengan mudah melupakan mantan kekasih biadabnya itu?Kala
Hania terpaku cukup lama menatap ranjang besar yang ada di hadapannya. Bukan karena bunga-bunga yang membentuk pola hati atau dua kodok yang terbuat dari handuk sedang berciuman teronggok di atas ranjang besar itu. Tapi, ini tentang bagaimana caranya ia dan Kenan bisa tidur di ranjang yang sama untuk beberapa hari ke depan!“Harusnya pesan vila yang banyak kamarnya saja, Pak.”“Kamu mau kita kena gosip karena tidur di vila yang banyak kamarnya tapi kita ini hanya berdua di sini?”Itulah secuil pertengkaran Hania dan Kenan di lobi tadi. Berakhir dengan kekalahan di pihaknya. Tengok pihak yang menang sekarang! Dia tampak begitu asyik bercengkrama di balkon yang tepat menghadap laut dengan seseorang yang entah siapa di seberang telepon sana. Mungkin mantannya?Mantan yang mana nih?Bisa jadi. Karena raut wajah Kenan sekarang benar-benar tampak diliputi kebahagiaan. Senyumannya tak meredup barang sedikit pun!Jangan tanya bagaimana perasaan Hania sekarang. Selain bingung, dia juga cemas
Tahu begini, Hania tak perlu menerima tawaran Kenan.Cara pria itu memegang pisau saat memotong wortel mirip seperti bocah kecil yang baru pertama kali menyentuh alat-alat dapur. Teledor, ceroboh, dan menimbulkan kecemasan bagi siapa saja yang melihatnya. Belum lagi, potongan wortel itu melebihi ukuran yang Hania inginkan. “Mas, wortelnya potong dadu. Bukannya segede jempol orang dewasa. Susah mateng dan gak bisa ditelan sekaligus nantinya.” Keluh Hania. Kali saja Kenan mendengar usulannya ini dan segera memperbaiki kesalahannya karena ia benar-benar merasa gemas sekali ingin mengusir Kenan dari sini.“Yang penting kepotong, kan? Ada kok masakan yang pake wortel utuh tanpa dipotong.” Balas Kenan tampak tak terima. Ia sedikit pun tidak menoleh pada Hania yang sedang menatapnya tajam. Tetap fokus memotong sisa wortel yang ada.“Tapi, ukurannya gak sesuai masakan yang mau aku buat, Mas.”“Buat masakan sesuai ukuran yang Mas buat aja kalau gitu.”Hania memijit pelipis. Kepalanya menda
“Kertas apa itu yang ada di tangan kamu?”Alif menelan salivanya dalam-dalam sambil meremas ujung-ujung kertas yang sangat ingin ia lenyapkan detik ini juga.“Ah! Ini–” Alif memutar otaknya untuk mencari jawaban. Ia tak ingin Maya melihat apa yang dilihatnya saat ini. “Aku butuh untuk mencatat sesuatu. Tadi ada beberapa kertas berserakan di lantai. Kupikir ini kertas yang tak Hania akan pakai. Isinya juga,” Alif mengacungkan sekilas kertas itu, “sudah aku baca dan bukan hal penting. Kamu tidur lagi saja, May.”Terburu-buru Alif keluar dari kamar. Lega karena Maya tak sampai melihat secara langsung isi kertas yang sekarang ada di tangannya.Tak mau melakukan keteledoran yang sama, Alif segera melipat beberapa lembar kertas itu dan menyembunyikannya di saku lagi. Ia terduduk di sofa sambil mengingat-ingat isi kertas yang berhasil ia baca sebagian.“Pernikahan kontrak? Apa mungkin Hania dan Pak Kenan menikah kontrak?” gumam hatinya.Berulang kali ia mencoba tak mempercayai isi kertas itu
“Kamu belum jawab pertanyaan Mas, Maya. Bagaimana bisa kamu tahu kalau Hania tinggal di sini?” tanya Alif sesaat setelah Hania pergi. Ia masih berdiri, enggan beranjak menuju sofa seperti apa yang Maya sedang lakukan sekarang.“Aku ini perempuan cerdas,” katanya sambil menjatuhkan dirinya di sofa perlahan, “jadi bukan hal sulit untuk menemukan dimana Hania tinggal selama ini. Yah … meskipun ini bukan sebuah kebetulan. Bersyukur banget dia dipanggil ke pengadilan. Jadinya, aku tahu harus memata-matai dia dari mana.”“Kamu memata-matai Hania?”“Ya ampun, Mas. Gak usah kaget gitu! Zaman sekarang ini bukan hal sulit kok buat mata-matai orang tanpa harus kita ikut capek ngikutin. Pake aja jasa ojol. Banyak tuh orang-orang pake jasa mereka buat mata-matai pacarnya yang selingkuh juga loh! Jadinya, siapapun gak bakalan ada yang curiga lagi diikutin karena emang kerjaan ojol mondar-mandir.”Entah harus bangga atau tidak akan apa yang dilakukan Maya. Tapi, Alif benar-benar bersyukur dapat mene
“Nia! Kamu mau ke mana?” tanya Maya yang tampak kaget ketika melihat Hania keluar dari sebuah kamar sambil menyeret koper.Hania menatap Maya dan Alif yang sedang duduk di sofa bergantian. “Menginaplah di sini kalau memang itu kemauan kalian.”Saat Hania mengiyakan keinginan Maya, bukan berarti ia tak memikirkan rencana lain. Mau bagaimana pun, akan terasa tak nyaman sekali jika harus menghabiskan malam bersama mantan sekaligus adik iparnya. Apa Maya tidak berpikir ke arah sana?Hah! Pasti tidak. Perempuan itu pasti hanya memikirkan kesenangan pribadinya saja. Tanpa memperdulikan kebaikan atau keburukan macam apa yang akan orang sekitarnya terima dari semua ulahnya.Alif juga tak kalah menyebalkannya. Ingin sekali Hania mengumpati pria yang berubah tak berdaya itu. Tapi, tidak! Hania tak mau membuang waktu hanya untuk melakukan hal tak penting. “Kamu mau biarin tamu kamu di sini? Gak sopan banget yah kamu, Mbak!” serbu Maya yang tampak tak terima. “Kalau emang kamu gak mau kita ngin
Kenan dan Hania berjalan beriringan di depan gedung hitam-putih itu. Mengekori Bu Sinta yang duduk di kursi rodanya, didorong oleh seseorang. Tampak para wartawan di tahan beberapa keamanan yang berusaha mendekati mereka. Beberapa ada yang tetap nekat mengarahkan kamera meski sudah dicegah.Mereka terburu-buru menuju keluar area gedung. Takut jika keamanan tak cukup melindungi mereka dari sorotan media. Kenan, Hania, dan Bu Sinta kini berada di mobil van yang sama. Menjauh dari para wartawan yang mulai mengejar mereka.Bu Sinta tampak menyemai senyum seperti ada sesuatu yang lucu baru saja terjadi. Sikap tenangnya berbanding terbalik dengan keadaan sidang tadi yang berlangsung cukup panas. Hania saja sampai gemetaran hingga detik ini. Baru kali ini ia menjadi salah satu bagian penting dalam sebuah sidang yang berhasil mengguncang penjuru Negeri.“Kemungkinan besar, Papahmu tetap akan di penjara, Ken.” Bu Sinta tampak santai mengutarakan berita itu.Kenan membalaskan dengan anggukan ta
“Kenalkan. Ini Selia. Dia asisten pribadi, Mas. Dia yang bertugas menggantikanmu, Sayang.”“Asisten pribadi kamu?” Hania tanpa sengaja menaikkan nada bicaranya. Ia terlalu terkejut atas kata-kata Kenan barusan!Kenan memberi anggukan dengan seulas senyum lebar. Tampak tak terusik oleh perubahan nada bicara Hania, bahkan raut wajah tak bersahabatnya. Apa Kenan tak menyadari ketidaksukaannya ini?“Halo, Bu Hania. Perkenalkan, aku Selia.” Kata perempuan berambut sebahu itu dengan senyum ramah dari bibir tipisnya.Mata Hania memindari Selia dari ujung kaki hingga kepala. Pakaian serba tertutup dan polesan bedak serba tipis itu cukup membuatnya takjub akan kecantikan alami yang dimiliki Selia. Terlihat natural dan menarik perhatian.“Kamu membawanya?” tanya Kenan.“Ya, Pak. Ini!”Selia tampak menyerahkan beberapa tas belanja pada Kenan yang entah isinya apa. “Terima kasih. Kamu boleh pergi.”Selia berpamitan dan pergi setelah itu. Kedatangannya yang sangat singkat benar-benar seperti sebu
Sayup-sayup Hania mendengar suara Kenan. Ia mengucek matanya sambil menatap sekeliling kamar. Tak ada Kenan di sini. Itu berarti sekarang Kenan sedang berada di luar, tebak Hania.Dan benar saja. Laki-laki itu tengah berbicara melalui telepon sambil memandangi laptop di depannya. Tampak serius sekali entah bicara dengan siapa. Hania tak langsung menghampiri. Enggan mengusik Kenan yang tampak sedang sibuk dengan pekerjaannya. Bukannya Hania tak ingin membantu, hanya saja sejak ia tinggal di tempat ini, komunikasinya dengan Kenan tak lebih dari sekedar menanyakan kabar. Tak ada pembicaraan tentang pekerjaan di Prince Property sedikit pun. Hania benar-benar tidak tahu kesibukan macam apa yang tengah Kenan lakukan sekarang. Tak mau mengusik, Hania memilih berjalan ke area dapur. Sambil menunggu mesin kopi bekerja, ia membuat roti bakar dengan selai cokelat. Di tempat ini memang tak ada siapapun yang mengurus urusan rumah. Semua Hania lakukan sendiri. Dan Hania tak keberatan akan hal itu
Kenan ingin sekali berdiri, berlari, lalu mencekik leher Putri yang sekarang sedang duduk sambil menyandarkan kepalanya di kursi. Tersenyum lebar sekali meski suara-suara bising di luar sana lantang memaki namanya. Tapi sayang, kursi roda ini seperti menguncinya. Satu kakinya masih terluka parah. Jika Kenan nekat, hal lebih buruk bisa saja terjadi padanya.Pria itu tentu tak mau menanggung rugi berlipat.“Jika kamu ingin kerjasama ini berlanjut, lakukan sesuai perintahku!” tegas Kenan memberi peringatan.“Bukan. Bukan. Bukan begitu, Mas.” Putri mengacungkan jarinya ke udara. “Yang benar itu, Mas yang harus mengikuti perintahku atau … Mas mau–”“Mau apa?” Kenan tampak tak gentar. “Kamu mau melaporkan ayahku yang terlibat kasus pencucian uang dengan ayahmu? Begitu maksudmu?”Putri terkekeh dengan tatapan sinis. “Berani sekali kamu mengatakannya disini, Mas? Tidak takut dilaporkan orang-orang yang menyaksikannya disini?”“Tidak masalah. Cepat atau lambat, semua orang akan tahu masalah in
Kenan nyaris saja terguling dari ranjang ketika tiba-tiba Hania mendorongnya. Perempuan itu sendiri menjaga jarak darinya sekarang dengan wajah yang tampak kebingungan.“Ini bukan kali pertama untuk kita, kan?”Kenan harus pastikan jika Hania tak akan menghindar darinya lagi hanya karena perkara begini. Waktu itu Hania pergi dengan alasan ingin membeli makan yang justru ujungnya malah berduaan dengan Alif.Sekarang, Kenan tak bisa membiarkan perempuan itu menjaga jarak darinya sedikitpun. Apalagi sampai kabur dengan alasan apapun! Tak akan Kenan biarkan.“Jadi, kemarilah. Duduk disini dan kita bisa bicara dengan tenang.” Kenan menepuk area ranjang tepat di samping ia duduk sekarang. Satu tangan yang lain terulur pada Hania, berharap perempuan itu mau menerimanya karena Kenan sedang kesulitan menghampiri. Kakinya masih di perban!“Mas, a–aku ….” Hania tampak terengah-engah mengeluarkan suara.“Duduk, Nia!”Hania menatap Kenan dari kejauhan lekat-lekat sambil mengingat kembali alasan u