“Hania! Berhenti! Hania!!!”Hania yang berjalan setengah berlari bukannya tak mendengar teriakan Kenan, ia hanya pura-pura tak mendengar! Malu bukan main! “Hania!”Bagaimana ia tak malu? Baru saja dirinya kepergok mengumpati atasan sekaligus suaminya ini. Hania tentu tahu diri kalau tindakannya tadi begitu berisiko. Padahal tadinya ia pikir, dengan berada di tengah lautan dan mengumpati Kenan sebagai pelampiasan, itu akan cukup membantunya untuk tenang.Setidaknya untuk menghadapi malam pertama dengan laki-laki yang sudah berstatus sebagai suaminya.Kenan sebenarnya tak salah. Hania sendiri yang belum siap menerima kenyataan ini sepenuhnya.Menjadi istri?Melaksanakan hak dan kewajiban sesuai yang sudah disepakati?Kenapa rasanya ini begitu cepat?“Hania!”Kenan tiba-tiba muncul sambil mencekal tangannya. Terkejut bukan main. Spontan menepis, namun cekalan Kenan begitu kuat hingga Hania hanya bisa mengerang kesakitan.“Pak! Lepasin tangan saya!”“Saya sudah berhak menyentuh kamu!”Be
Hania menggigit bibir bawahnya sambil melemparkan tatapan sengit pada Kenan. Tangannya ragu-ragu mengarahkan potongan daging ke mulut laki-laki itu yang membuka perlahan. Kenan langsung melahap potongan daging itu saat sudah di dekatnya.“Melon,” kata Kenan yang masih mengunyah makanannya.Wajah Hania langsung kusut mesut. Mau tak mau ia mengambil potongan melon yang tersaji dan kembali mengarahkannya ke mulut Kenan.“Tangan saya sakit karena dijadikan bantal oleh kamu. Sulit digerakkan. Kaku. Dan itu membuat saya kesulitan untuk makan. Kamu tentu tak mau membiarkan suami kamu ini kelaparan, bukan?”“Masih ada tangan kiri, Pak Kenan.”“Makan itu paling bagus pakai tangan kanan. Kamu sendiri yang bilang waktu itu kalau dalam agama kita sangat dianjurkan melakukan segala hal baik dengan tangan kanan. Ingat?”“Tapi, kalau darurat, gak masalah kok. Pak Kenan boleh pakai tangan kiri buat makan. Kalau udah sembuh, baru pake tangan kanan lagi. Allah itu Maha Memudahkan.”“Maka dari itu, tak
“Hari ini, kamu hampir membunuh saya sebanyak dua kali, Hania!” serbu Kenan yang sedang sambil mengacungkan dua jarinya ke depan wajah Hania.Perempuan itu langsung menarik mundur kepalanya. “Salah Pak Kenan sendiri. Saya cuma bela diri takut diapa-apain sama Pak Kenan!”“Saya ini sudah menjadi suami kamu! Mau saya apa-apakan, harusnya kamu tidak perlu bertindak berlebihan! Kita sudah membuat kesepakatan, kan?”“Kesepakatan sih kesepakatan. Biar Pak Kenan tahu, meskipun sudah menjadi suami saya, saya sebagai istri punya kewajiban juga untuk membela diri dari kelakuan suami yang merugikan.”“Merugikan katamu? Mengorbankan lengan saya jadi sandaran kepala kamu itu merugikan siapa? Kepala saya barusan kamu bentur keras juga merugikan siapa? Saya atau kamu?”“Daripada saya kena sial, mending saya bela diri dong. Apalagi barusan Pak Kenan lagi mabuk. Masa iya saya diem-diem aja kayak orang bego, kan? Saya bela diri lah! Kalau soal tangan Pak Kenan tadi yah … itu … yah ….”“Yah-itu-yah-itu
“Hania, buat reservasi di Restoran A malam ini! Saya ada acara makan malam dengan pacar saya.”“Hania, belikan bunga dan kirimkan atas nama saya ke pacar saya.”“Hania, belikan sebuah tas merk Hermes dan kirimkan pada perempuan jalang itu. Jangan lupa buat catatan kecil yang isinya KITA PUTUS.”“Hania, pesankan tiket untuk pacar baru saya!”“Hania, pesankan kamar di Hotel B untuk pacar saya.”“Hania, carikan mobil merk A dan kirimkan ke pacar saya. Sekarang! Buatkan catatan kecil DASAR JALANG!”“Hania! Pesankan! Buatkan! Kirimkan! Belikan!”Hania menggelengkan kepalanya setelah beberapa ingatan itu hinggap di kepalanya. Ingatan kecil tentang segala perintah Kenan yang pernah ia lakukan untuk pacar-pacarnya. Mengosongkan sebuah Restoran seperti sekarang? Tentu saja hal biasa. Kalau mau, mungkin Kenan bisa mengosongkan Vila ini dan seluruh isinya. Untung saja tidak karena jika iya, maka saat itu mungkin Kenan sedang dalam keadaan gila!“Ayo makan! Jangan sampai perut kamu itu berbunyi
“Pak Kenan gila?!”Hania segera melepaskan tangannya dari genggaman Kenan. Ia langsung mengambil langkah mundur, menjaga jarak dari laki-laki yang begitu berbahaya. Ada saja gebrakan aneh yang dibuat oleh laki-laki itu untuk membuat Hania mengumpatinya.Jangan salahkan Hania. Ini semua karena perilaku gila suaminya ini! Ya! Suami gila!Baru sehari menyandang jadi istri Kenan, Hania sudah merasa ingin segera bercerai saja.“Kamu tuh yah! Apa tidak bisa menghentikan kebiasaan buruk dengan mengatai saya gila? Huh! Sekarang ini saya sudah menjadi suami kamu. Harusnya kamu tahu cara memperlakukan suami kamu dengan benar itu seperti apa?”“Hah! Pak Kenan itu justru harusnya diperlakukan kayak gini. Apa Pak Kenan gak bisa bersikap kayak manusia normal gitu? Semenit aja. Atau kayaknya emang lebih enak kalau kita jaga jarak deh, Pak. Kayak tadi. Pak Kenan kemana, saya di mana. Jauhan gitu! Masing-masing aja. Biar pernikahan kontrak kita ini bisa bertahan agak lamaan. Soalnya baru sehari aja, s
“Aaarrrggghhh!!!”Hania seketika berteriak mendapati Kenan tengah memelototinya sesaat setelah ia membuka mata. Terkejut bukan main!“Tidak perlu berteriak.” Kenan bicara dengan santai. “Lebih baik kamu segera bangun dan cepat lepaskan tangan saya sekarang juga.”Sejenak Hania tertegun setelah mendengar perkataan Kenan. Matanya mulai mengedar, spontan matanya membeliak ketika mendapati dua tangannya begitu erat menggenggam tangan laki-laki itu. Hania seketika bangkit sambil menepis tangan Kenan. “Pak Kenan mau ngapain lagi sih?!” ketus Hania. Kenan tak menggubris. Ia malah sibuk memijit tangannya yang baru saja ditepis Hania.“Saya baru saja membantu kamu agar bisa tidur dengan tenang semalaman. Tidak ada kata terima kasih?” sengit Kenan.“Maksudnya?”“Ah, benar. Saya tebak, mantan kamu pasti tidak tahu kebiasaan tidur kamu seperti apa?”“Apaan sih, Pak?”“Ah, benar juga. Kamu tak mungkin tidur dengannya.” Kenan beringsut merebahkan diri sambil menarik selimut. “Jadi, kalau kamu be
Suara tangisan menggema di tengah rumahnya kala itu. Hania berjalan dikerumunan dengan tubuh kecilnya. Matanya mengedar ke sekeliling dengang raut bingung. Ada wajah-wajah yang dikenalnya tampak menangis, entah menangisi apa.Tubuh Hania pasrah ketika seseorang menariknya, menundukkan tubuhnya hingga terduduk di depan sesuatu yang tertutupi kain cokelat bercorak. Kerumunan menjadikannya pusat perhatian.“Wanti ….”“Mbak Wanti ….”Terdengar orang-orang memanggil nama Ibunya sambil melihat ke arah sesuatu yang tertutupi kain itu yang entah apa. Hania berusaha memaknai situasi. Matanya ikut tertuju di sana juga. Cukup lama.Sampai tiba-tiba tubuhnya bergerak tanpa ia sadari. Rasa penasaran yang bertumpuk menggerogoti sekujur tubuhnya. Tubuhnya perlahan mendekati sesuatu itu. Tangannya spontan menyingkap sebagian kain itu sampai muncullah wajah Ibunya yang wajahnya penuh dengan luka-luka tak berdarah. “I–ibu–” Kerongkongan Hania rasanya tercekat saat mengatakan kata itu. Tangannya perla
Kenan mengekori Hania yang tiba-tiba sibuk mengemasi kopernya. Caranya menjejalkan barang-barang ke dalam koper asal-asalan membuat Kenan keheranan sendiri. Perempuan itu bertingkah seperti orang yang sedang bersiap melarikan diri dari sebuah bencana.“Ada apa ini sebenarnya, Nia?”“Saya harus pulang, Pak!” tegas Hania. “Tapi kenapa? Ada masalah?”Hania tak menggubris. Ia melangkah cepat ke setiap sudut ruangan, mengambil barang-barangnya yang kemudian ia masukkan ke dalam tas.“Saya harus pulang. Saya harus ke Jakarta sekarang jua, Pak!”“Nia … kamu belum menjawab pertanyaan saya. Ada apa? Kenapa kita harus pulang sekarang? Ada masalah apa?”“Aku harus pulang.” Hania bergumam sendiri. “Tiket! Aku harus pesen tiket dulu!” Hania duduk di bibir ranjang, memegang ponselnya dengan tangan gemetaran. Kini ia memilih mengabaikan Kenan dengan sibuk berbicara sendiri. “Aku harus pulang. Aku harus pulang,” gumamnya tanpa henti.Kenan yang memperhatikan gelagat aneh Hania langsung menghampiri p