Langit malam membentang dengan keindahan yang memikat. Gelap pekat namun bertabur cahaya bintang yang berkilauan bak berlian di hamparan beludru hitam. Bulan menggantung megah. Memancarkan sinar keperakan yang lembut. Awan tipis melayang perlahan terkadang melintas di depannya, menciptakan bayangan halus yang menari-nari di langit.
Angin malam berhembus. Di kejauhan, kerlap-kerlip lampu kota terlihat seperti lautan cahaya yang tak berujung. Di bawah naungan langit malam, mobil Bang Fahad melaju, membelah jalanan kota yang tidak begitu padat.Selesai dari toko florist tadi, Bang Fahad mengajakku makan malam di luar karena kebetulan ia ingin menikmati makanan ala resto. Selesai dari resto, ia juga mampir dulu ke masjid di pusat kota sehingga kami baru pulang pukul delapan malam.Setibanya di rumah, Bang Fahad tidak melepaskan rangkulan tangannya dari pinggangku sejak turun dari mobil dan meninggalkan teras garasi. Seakan aku tidak boleh pergiNamun, dengan sisa kesadaran yang kupunya, aku memberanikan diri untuk menahan dada Bang Fahad, mencoba menciptakan jarak di antara kami. Nafasku terengah saat bibirnya akhirnya menjauh, tetapi ia masih menatapku dengan mata yang menyala penuh perasaan.Bang Fahad tidak langsung menjawab. Tangannya yang masih menyentuh pipiku perlahan turun, menelusuri rahang hingga akhirnya ia menyingkirkan beberapa helai rambut yang jatuh ke wajahku. "Maaf. Saya terlalu terbawa suasana," katanya lembut, suaranya penuh penyesalan, meski matanya menunjukkan sesuatu yang lain.Aku hanya mampu menelan ludah. Tidak bisa berkata apa-apa."Ayo tidur. Besok kita harus bangun pagi," lanjutnya sambil perlahan berbaring kembali ke posisinya semula.Aku mengangguk kecil, mencoba mengatur napas. Namun, tubuhku masih terasa bergetar, bukan karena takut, melainkan karena efek dari sentuhan dan ciuman tadi. Aku berbaring membelakangi Bang Faha
Si pemuda remaja masjid itu terlihat kaget melihatku yang tersedak. Ia pun buru-buru pamit dengan sopan, meninggalkan aku dan Bang Fahad. Aku yang masih terbatuk-batuk, mencoba menenangkan diri dengan meminum sisa es cendol. Sementara itu, Bang Fahad hanya menatapku dengan tenang, seolah apa yang baru saja ia katakan bukanlah sesuatu yang mengejutkan.“Pelan-pelan makannya, Chi,” ucapnya sambil menepuk punggungku dengan lembut.Aku menoleh padanya, wajahku memerah, entah karena malu atau kesal. “Bang, kok bilang gitu ke orang lain?”“Bilang apa?” jawabnya polos sambil kembali menikmati mi baksonya.Aku memelototinya, meskipun tahu reaksiku ini mungkin tidak berpengaruh apa-apa padanya. “Soal doa tadi!”“Oh, soal kamu bisa segera hamil?” tanyanya santai. “Kenapa? Salah?”“Bukan salah, tapi...” Aku menunduk, bingung harus menjawab apa. Rasanya ingin marah, tapi aku juga tidak bisa memungkiri ada sesuatu di hatiku yang terasa hangat saat mendengar ucapannya. Seolah ada harapan yang sungg
Mobil Bang Fahad berhenti di depan kampus. Dia mengantarku untuk mengikuti tes hari Sabtu ini."Selesai jam berapa nanti, Chi?""Belum tahu, Bang.""Ya sudah, nanti kamu telpon saya aja kalau sudah keluar. Jangan pulang naik ojeg atau taksi online. Pokoknya, saya akan jemput kamu. Sekarang saya mau ngecek kantor dulu."Aku mengangguk. "Aku masuk dulu, Bang." Tanganku terulur untuk membuka pintu mobil, tapi ternyata masih terkunci. "Bang, ini masih dikunci," ucapku sambil menoleh padanya.Bang Fahad memutar tubuhnya hingga menghadapku. "Lagian kamu main mau turun aja. Gak mau gitu ngasih saya ucapan apa dulu sebelum kita berpisah?" tanyanya yang tidak aku mengerti. Keningku mengernyit seketika."Maksudnya?" Aku benar-benar tidak mengerti.Terdengar Bang Fahad menarik napas panjang. Kedua tangannya dengan cepat menahan rahang dan langsung menyambar bibirku. Tentu saja aku terkesiap, tapi juga tidak ingin melepaskan diri. Membiarkan Bang Fahad melakukan apa yang dia mau."Gak peka!" cetu
Bang Fahad mendengkus. "Kamu terlalu percaya diri. Pergilah sebelum Abang benar-benar kehilangan kesabaran."Dengan langkah berat, akhirnya Rakana melangkah mundur dan masuk ke mobilnya sampai benar-benar pergi. Barulah aku bisa menghela napas panjang."Kamu baik-baik aja 'kan, Chi?" tanya Bang Fahad sambil memegangi kedua bahuku. Memastikan keadaanku dengan sorot mata lembut tapi juga menyimpan kekhawatiran.Aku hanya mengangguk pelan sebagai jawaban."Ayo, sekarang ke mobil. Maaf sudah membuat kamu menunggu," ucap Bang Fahad dan langsung membimbingku menuju mobil bahkan membukakan pintunya.Seakan mengerti kegelisahan yang terjadi padaku, Bang Fahad menyodorkan air mineral yang siap diminum. Aku meneguknya hingga membasahi tenggorokan dan membuatku merasa lebih baik."Lebih tenang?" tanyanya seolah bisa membaca gerak-gerikku.Aku hanya mengangguk. Mobil lantas melaju, menjauh dari hal
Bang Fahad menarik diri. Sempat pandangan kami bertemu sebelum kemudian ia mengecup keningku begitu dalam. "Maaf, Chi. Dekat dengan kamu membuat saya selalu melewati batas," ucapnya seakan menyesal. Kedua tangannya masih menangkup pipiku dengan lembut.Aku menggeleng. "Melewati batas seperti apa, Bang? Bukankah kita suami istri? Bukankah aku ini sudah halal buat Abang? Batasan mana yang Abang lewati?""Saya khawatir kamu enggak nyaman."Aku kembali menggeleng. "Kalau enggak nyaman, mungkin aku udah kabur dari tadi, Bang."Laki-laki itu tersenyum manis. Jari jemarinya mengusap pipiku hati-hati. "Saya gak tahu kapan semua ini bermula, Chi. Saya enggak mengerti apa yang terjadi pada diri saya. Saya gak bisa berhenti memikirkan kamu saat kita berjauhan. Saya gak bisa tenang saat kita harus terpisah. Sampai akhirnya saya mengerti, kalau saya terlalu naif dan mungkin cemen untuk menyadari kalau apa yang saya rasakan itu ternyata cinta."
Rumah besar dan megah itu seperti disulap, bak aula hotel dengan dekorasi cukup mewah. Acara berlangsung cukup meriah. Banyak kerabat dan kolega Mama Papanya Bang Fahad yang hadir dan meramaikan acara. Tamu-tamu yang hadir mengenakan pakaian formal juga elegan.Usai sambutan, potong kue lalu penyerahan kado, acara berlanjut dengan makan-makan. Bang Fahad mengajakku makan di meja yang berbeda. Tidak bergabung dengan keluarganya serta Mama Papaku yang juga datang, karena dia tahu, di meja makan itu pasti akan terjadi obrolan.Barulah setelah kami selesai makan, kami mencari tempat duduk untuk menikmati kudapan lain atau bercengkrama dengan para tamu lain yang turut hadir. "Abang enggak makan yang lain?" tanyaku pada Bang Fahad yang duduk tepat di sampingku.Bang Fahad menggeleng. "Saya sudah kenyang, Chi."Aku kembali menikmati dessert yang tadi kupilih. Ujung mata lalu melirik pada tangan Bang Fahad yang melingkar
Hari demi hari berlalu. Hubunganku dan Bang Fahad terasa kian membaik. Aku bahkan selalu tidur di kamar utama bersamanya. Selalu ada pillow talk di antara kami sebelum tidur. Namun meski begitu, Bang Fahad seolah tidak ingin tahu perasaanku terhadapnya. Dia tidak menuntut balasan perasaannya. Tidak menuntut juga haknya sebagai suami, padahal pernikahan kami sudah masuk di usia tiga bulan. Hingga aku sadar, kalau aku tidak lagi memiliki alasan untuk terus mengulur waktu dan menahan haknya sebagai seorang suami. Malam ini, aku menunggunya pulang dari kantor seperti biasa. Duduk di sofa panjang ruangan televisi ditemani layarnya yang menyala. Jam dinding sudah menunjukkan di angka delapan, tapi belum ada tanda-tanda ia akan segera pulang. Aku masih menunggunya. Berbalut jubah satin hitam yang menutup lingerie berwarna senada, meski bukan memakai garter belt yang dibelinya waktu itu. Tapi aku rasa, pakaian ini pun cukup untuk menjadi sedikit surprise. "Hoooam ...." Aku menahan kantuk,
Bang Fahad menatapku dengan sorot tak percaya. Aku melangkah, hingga ujung kaki beradu dengan kakinya. Wajahku mendongak, kedua tangan bergerak menyentuh bahu Bang Fahad lalu mendarat tepat di dadanya."Chi ... kamu ... sangat seksi," ucapnya pelan. Kembali kulihat bagaimana ia kesusahan menelan salivanya."Bukankah ini yang Abang mau?" tanyaku dengan suara tak kalah pelan.Bang Fahad tak bersuara. Sepasang matanya seakan sibuk memperhatikan penampilanku saat ini. Lingerie hitam yang tidak sepenuhnya menutupi tubuhku, seakan benar-benar menarik perhatiannya. Bayangkan saja, hanya ada tali tipis di kedua bahu. Bagian depannya begitu rendah sedangkan bagian belakangnya tidak menutupi punggungku sedikit pun. Belum lagi panjangnya yang hanya dua jengkal menutupi paha."Kalau seperti ini, kamu benar-benar menggoda saya, Chi. Saya—gak yakin bisa menahan diri lagi," ujarnya lalu menelan saliva. "Lebih baik, kamu pakai lagi penutupnya, ya?"Aku memandangnya dengan seulas senyum tersungging di
Malam hari hujan turun cukup deras. Aku duduk di sofa ruang santai tepat di balik jendela dengan gorden yang dibiarkan terbuka. Menatap tiap tetesan air hujan yang berjatuhan dan mengenai kaca jendela dari luar.Cuaca malam ini begitu syahdu, menggali lubang rindu dalam hatiku akan sosok Bang Fahad yang kini membentangkan jaraknya. Aku sangat berharap dia akan datang ke rumah ini lagi lalu mengajakku untuk pulang. Kembali merenda mahligai rumah tangga kami yang membuat hidupku menjadi lebih indah.Namun, tiga hari aku di sini pun, dia tidak menampakkan batang hidungnya sama sekali. Dia pun sepertinya tidak peduli dengan keadaanku yang tengah sakit kemarin-kemarin.Jujur saja, aku begitu merindukannya. Bau keringatnya sepulang bekerja, wangi tubuhnya saat bangun tidur, dekapan hangatnya, wangi napasnya, semua tentangnya yang kini menjadi candu buatku namun tak bisa kurasakan. Hanya meninggalkan sesak yang menggerogoti hati."Chi
Entah berapa lama aku tertidur, demam di tubuhku sudah mulai turun. Badanku terasa lebih ringan saat membuka mata. Namun, hawa di sekitarku terasa jauh lebih dingin. Pun dengan keadaan yang begitu hening dan senyap. Hanya deru napasku yang terdengar memenuhi kamar saat ini.Aku membawa tubuh terlentang. Mengecek ponsel dan ternyata baru jam dua malam. Aku kembali berbaring miring dan memeluk guling. Menatap dinding kamar dengan perasaan tak menentu.Kamar ini pernah menjadi tempat di mana aku sangat ingin kembali sebelumnya, karena awal-awal pernikahan yang sulit diterima. Sekarang, setelah aku mantap melabuhkan hati dan segenap perasaanku terhadapnya, ia malah meragukanku tanpa mau percaya sedikit pun. Dia malah membiarkanku di sini tanpa ingin membicarakan masalah ini berdua. Membiarkanku berkubang dalam kesedihan atas kejadian yang aku sendiri tidak merasa melakukannya.***Tiga hari sudah aku di rumah Mama. Kedua orang tuaku ser
Aku membuka mata. Rasanya tubuhku makin tidak karuan saja. Aku mengedarkan pandangan, dan ternyata aku berada dalam kamarku di lantai atas. Mungkin Papa yang sudah membawaku, karena usai Bang Fahad pergi, tubuhku limbung tak terkendali.Aku meraba dahi, mendapati kompres instan yang menempel. Menyentuh leher dan tubuhku memang lebih hangat dari biasanya."Mba sudah sadar?" tanya pembantu rumah yang duduk di sampingku terbaring.Aku mengangguk lemah sebagai jawaban. "Sekarang jam berapa?""Jam delapan malam, Mba.""Mama sama Papa mana?""Bapak sama Ibu pergi dulu katanya.""Ke mana?""Tidak bilang, Mba. Bapak sama Ibu berpesan, kalau Mba sudah sadar, Mba harus makan. Tadi sudah diperiksa dokter yang datang, Mba Chia demam, makanya dipasang kompres instan."Aku pun hanya mengangguk. Kondisi tubuhku rasanya naik turun dan tidak juga membaik. Aku lantas meminta pembantu rumah untuk membuatku bangkit sampai akhirnya duduk bersandar. Ketika duduk, pusing di kepalaku kembali terasa. Rasanya
Tidak tinggal diam, aku berjalan cepat keluar dari ruangan depan rumah Mama. Menyusul Bang Fahad yang melangkah begitu lebar dan sudah sampai di halaman. Aku berlari menuruni teras seraya meneriakkan namanya. Langkahnya tampak melambat, sedangkan aku mempercepat langkah kaki.Sampai aku berhasil memeluknya dari belakang. Kepalaku rebah di punggung lebarnya. "Bang, jangan seperti ini. Kenapa Abang gak percaya sama aku?" tanyaku dengan suara lirih. Jujur saja, sebenarnya aku tidak begitu bertenaga. Tubuhku rasanya lelah sekali, tapi aku tidak mungkin membiarkan Bang Fahad pergi begitu saja.Laki-laki yang tengah kupeluk ini hanya bergeming tanpa reaksi. Tidak ada pula yang keluar dari mulutnya.Air mataku sudah tidak bisa dibendung. Hingga kubiarkan jebol dan membasahi pipi. "Aku hanya mencintai Abang. Sedikitpun aku gak pernah terpikirkan untuk kembali pada Raka apalagi sampai berselingkuh dengan dia. Tolong, percaya padaku, Bang," ucapku coba menjelaskan kembali. Kuharap, dia mau mend
"A—apa maksudnya?" Napasku rasanya tercekat di tenggorokan. Suaraku melemah. Tidak mengerti dan mencoba mencerna apa yang disampaikan penjaga rumah.Mungkinkah Bang Fahad mengusirku? Atau ... dia ingin menyudahi mahligai rumah tangga kami?"Saya tidak tahu, Mba. Tuan hanya berpesan sebelum pergi, untuk menyampaikan pada Mba Chiara, kalau Mba tidak diizinkan masuk ke dalam rumah. Dan menyampaikan kalau Tuan ada di rumah orang tuanya Mba," jawab si penjaga rumah menambah keresahan dalam hatiku.Aku mengusap wajah dengan kedua tangan. Kakiku sebenarnya lemas sekali, tapi dipaksa kuat karena keadaan yang membingungkan dan harus kuhadapi.Kutarik napas panjang, melirik pada koper-koper milikku yang sudah berada di luar pagar. "Pak, titip dulu kopernya. Aku ke rumah orang tuaku dulu pakai ojeg online," pintaku pada si penjaga rumah."Baik, Mba."Aku menjauh dari depan pagar. Memesan ojeg online dengan cepat melalui ponsel. Menunggunya dengan perasaan tak menentu. Hingga berselang sepuluh me
Aku tidak tahu apa yang sudah terjadi, tapi yang kurasakan tubuhku rasanya begitu lemas. Kesadaranku mulai pulih. Aku membuka mata yang rasanya teramat berat. Langit-langit kamar yang putih membuatku merasa ingin kembali memejam, karena artinya aku sudah di rumah.Meski mataku terpejam, aku bisa merasakan kalau sekarang tubuhku sudah terbaring di atas kasur empuk dengan selimut yang menutupi. Hingga turut kurasakan, tangan yang membelai rambutku lalu kecupan yang mendarat di kening. Namun karena keadaan, aku enggan membuka mata.Aku memilih mengubah posisi, membawa tubuhku berbaring miring lalu memeluk pinggang Bang Fahad. Merasakan kehangatan yang menjalari tubuh, meski hawa tubuhku sendiri rasanya panas. Aku membawa wajah ini tenggelam di dadanya. Menelusup mencari tempat paling nyaman yang selalu kudapatkan darinya.Tangannya kembali mengusap kepalaku, membelai rambutku, sentuhannya begitu lembut dan membuatku merasakan nyaman berkali lip
Dua Minggu berlalu, Bang Fahad benar-benar menepati ucapannya. Dia selalu menungguku hingga selesai kelas dan baru pergi ke kantornya setelah mengantarku dengan aman sampai ke rumah. Aku seperti anak TK yang harus ditunggui tiap jam belajar. Tapi dengan seperti itu, aku benar-benar terbebas dari gangguan Rakana. Sejak Bang Fahad dengan setia menungguiku, Rakana memang tidak pernah lagi menemuiku. Membuat hidup ini terasa lebih tentram kembali.Pagi ini seperti biasanya aku tengah menyiapkan sarapan untuk kami berdua. Dua cangkir teh hangat beserta sandwich roti panggang sudah tersaji. Aku menunggu di meja makan, menatap cangkir teh di depanku yang masih mengepulkan asapnya.Tanganku mengarah ke belakang, menyentuh leher lalu mengusap pundak dan memijatnya pelan. Rasanya tubuhku meriang dan sedikit lemas, entah kenapa tapi kemarin aku masih baik-baik saja."Kenapa, Chi?" Bang Fahad datang dan langsung bertanya.Aku menggerakkan kepala ke kanan serta kiri. "Tiba-tiba aku meriang, Bang,"
Aku menatapnya heran. Penampilannya siang ini mirip eksekutif muda. Aku heran karena penampilannya kali ini benar-benar jauh berbeda dari sebelumnya, saat bertemu terakhir dengannya di toko florist hari itu.Trek!!!Aku tersentak saat Rakana menjentikkan jarinya di depan wajahku."Chi? Gak usah terkesima gitu lah lihatin aku," ucapnya dengan senyuman yang terukir. "Ayo, aku antar kamu pulang."Aku menggeleng cepat. "Gak usah ge-er kamu! Dan gak perlu repot-repot, aku gak mau dianter kamu!" tegasku lalu bergeser, ingin segera berlalu darinya.Namun tiba-tiba pergelangan tanganku dicekal, hingga langkahku terhenti. Aku coba menariknya agar terlepas, tapi Rakana menahannya kuat."Lepas, Raka!" Bukannya melepaskan, Raka menarik tubuhku hingga berhadapan lagi dengannya. "Jutek banget sih, Chi? Aku udah gak jadi OB lagi. Mobil aku punya, kerjaanku juga sekarang jauh lebih bagus, kamu lihat p
Bang Fahad sudah merebahkan tubuhku mengisi kursi belakang mobil saat ini. Dia masih menciumku dengan seduktif. Kedua tanganku menahan dadanya. Pikiran serta respon tubuhku mulai bertolak belakang. Pikiran ini menolak tapi respon tubuhku justru berkhianat."Bang ...," bisikku saat ia melepaskan bibirnya. Namun itu tidak lama, karena dia menciumku kembali. Kali ini bahkan lebih dalam. Tubuhku panas dingin dibuatnya."Bang, jangan di sini," ucapku saat ciumannya sudah berpindah ke leher."Terus di mana, Sayang?" balasnya dengan suara parau, namun ia tidak menghentikan aktivitasnya itu."Di rumah," jawabku dengan napas tersengal."Saya maunya di sini," timpal Bang Fahad yang sudah merambat turun ke dadaku."Tapi ... ini di jalan, Bang. Malu nanti kepergok orang," sahutku coba menyadarkannya. Walau aku sendiripun sudah terpancing dengan sentuhan liarnya itu."Gak masalah, kita bukan pasangan mesum, kita suami istri kok," jawabnya tak mau kalah."Tapi, Bang——" Ucapanku tertahan, saat Bang