Malam itu, Sekar berdiri di depan meja makan yang telah ia susun dengan sempurna. Hidangan kesukaan suaminya, mulai dari ayam panggang hingga sup sayuran segar, sudah tertata rapi.
“Akhirnya, malam ini dia pulang,” gumamnya penuh harap.
Bel pintu berbunyi. Sekar buru-buru menuju pintu dengan langkah penuh semangat. Namun begitu pintu terbuka, senyumnya langsung memudar.
Berdiri di depannya, Wira tidak sendirian. Di sampingnya, seorang wanita cantik dengan rambut panjang lurus berdiri dengan senyum tipis.
“Sekar...” suara Wira terdengar tenang, tanpa ragu. “Ini Amara,” katanya. “Dia hamil. Kami sudah menikah secara siri.”
Sekar mematung. Dunia seakan berhenti berputar. Matanya menatap tak percaya ke arah Wira, lalu ke Amara, dan kembali ke Wira.
“Mas… apa maksudnya ini?” tanyanya dengan suara bergetar.
“Aku sudah menikahinya, Sekar. Anak yang dia kandung adalah anakku, dan aku akan bertanggung jawab.”
Sekar merasa dadanya sesak. Ia menatap Wira dengan air mata yang mulai menggenang.
“Apa? Kamu menikah lagi tanpa memberitahuku, Mas?”
Amara, yang sejak tadi diam, akhirnya buka suara. “Mbak Sekar, saya minta maaf. Tapi saya juga punya hak atas Mas Wira. Kami ingin hidup bersama.”
Sekar mengalihkan pandangannya ke Amara. Sorot matanya tajam, penuh dengan kemarahan yang membuncah.
“Hak? Kau pikir aku akan menerima kalian setelah semua ini?”
Wira mendengus pelan. “Sekar, jangan berlebihan. Ini bukan akhir dunia. Kau masih istriku.”
Sekar tertawa getir. Seluruh tubuhnya terasa kebas. Bagaimana bisa, suaminya berkata semudah itu?
“Mas, kamu pikir aku akan berbagi suami? Kamu pikir aku akan menyambut wanita lain yang kamu bawa ke rumah ini dengan senang hati?”
“Kau harus menerima ini,” Wira berkata tegas. Raut wajahnya tampak begitu dingin. Sekar nyaris tidak mengenali pria yang berdiri di hadapannya ini.
“Aku ingin kalian hidup berdampingan. Aku akan adil.”
Sekar menatapnya tak percaya. Dadanya seolah terhimpit oleh beban berat mendengar ucapan Wira.
“Mas, kamu sudah memutuskan segalanya tanpa memberitahuku! Dan sekarang kamu masih bicara soal adil?”
Wira menghela napas, seolah lelah dengan sikap Sekar. Seolah-olah apa yang dirasakan Sekar bukan hal penting.
“Aku tidak punya waktu untuk ini. Aku dan Amara akan tinggal di sini mulai sekarang.”
Darah Sekar berdesir. Ia menatap Wira lekat. “Tidak. Kalian tidak akan bisa tinggal di sini. Ini rumah warisan orang tuaku!”
“Kamu lupa?” sahut Wira mulai kesal. “Rumah ini sudah dipindahkan atas namaku. Jadi aku berhak atas rumah ini!”
Sekar terdiam, ia merasakan dadanya membara.
Setelah menikah dengan Wira, hak kepemilikan atas rumah itu memang tercatat atas nama suaminya. Itulah bukti betapa Sekar sangat cinta dan percaya pada suaminya.
Namun, ia tidak menyangka hal seperti ini akan terjadi.
Amara kemudian melangkah maju, menatap Sekar dengan tatapan penuh perhitungan.
“Mbak Sekar, kalau boleh jujur, saya kasihan melihat Mbak seperti ini. Menolak kenyataan hanya akan membuat hidup Mbak semakin sulit. Mas Wira mencintai saya. Kami akan punya anak bersama. Bukankah lebih baik Mbak menerima kami?”
Sekar mengepalkan tangan. “Kalau dia mencintaimu, kenapa dia tetap tinggal bersamaku selama ini?”
Amara tersenyum miring. “Mbak tahu jawabannya. Mas Wira tetap di sini karena rasa tanggung jawab. Lagi pula bukankah selama ini Mbak belum bisa memberinya anak? Masih untung lho aku mau berbagi suami. Aku yakin kalau Mas Wira akan bersikap adil untuk kita. Lagi pula anakku nanti akan jadi anak Mbak juga kan? Harusnya Mbak berterima kasih sama aku karena sekarang aku sedang mengandung anaknya Mas Wira.”
Wira hanya diam, membiarkan Amara mengambil alih kendali. Sekar menatap pria yang selama ini ia cintai dengan penuh kebencian.
“Kamu bahkan tidak bisa berbicara untuk dirimu sendiri, Mas? Atau memang kamu memang lebih memilih wanita ini?”
Amara menggenggam lengan Wira lebih erat, seolah ingin memastikan dominasi dirinya.
“Mas Wira sudah memilih saya, Mbak. Dan sebaiknya Mbak menerimanya, karena saya tidak akan pergi.”
Sekar menatapnya tajam. “Kau pikir aku sudi membiarkanmu tinggal di rumah ini?”
Amara tersenyum puas. “Mas Wira yang memutuskan, bukan Mbak.”
Sekar merasakan kepalanya berdenyut hebat. Napasnya memburu. Ini terlalu sakit. Amara tahu betul cara menusuknya di tempat yang paling dalam.
Wira akhirnya buka suara. “Sekar, aku ingin kita membicarakan ini dengan baik.”
“Setelah kamu menghancurkan semuanya, Mas?” Sekar menatap suaminya nanar. Raut wajahnya menyiratkan luka dan kecewa mendalam.
Namun, Amara menghela napas panjang, lalu berbisik pelan, meski cukup tajam untuk melukai.
“Mbak Sekar, saya hanya ingin yang terbaik untuk semua. Mas Wira adalah ayah dari anak saya. Kami keluarga sekarang.”
“Kau benar-benar tidak tahu malu ya? Kau mencuri suamiku. Beraninya kau bicara soal keluarga?”
Amara tersenyum tipis. “Cinta datang dengan cara yang tidak terduga, Mbak. Lagi pula kami sudah saling mencintai jauh sebelum Mas Wira mengenal Mbak.”
Kesabaran Sekar habis. Ia meraih gelas di meja dan melemparkannya ke arah Amara. Amara terkejut, mundur selangkah, tapi tetap menampilkan senyum kemenangan.
“Sudah cukup!” bentak Sekar. “Kalian tidak akan tinggal di sini! Pergi sekarang!”
Wira belum sempat melakukan apapun, tapi Amara dengan wajah basah dan dagu terangkat, mendorong tubuh Sekar yang tidak siaga hingga ia terhuyung menjauh dari pintu.
Wanita hamil itu berjalan dengan gemulai memasuki rumah. “Ayo, Mas. Ini juga rumah kita,” katanya.
Sekar terlalu terkejut untuk bereaksi saat Amara dan Wira masuk ke dalam rumah seolah tidak terjadi apa-apa.
Dada Sekar bergemuruh hebat. Tapi ia tahu tidak ada yang bisa ia lakukan saat ini.Ia lantas masuk kembali ke dalam rumah dengan napas memburu.Dengan kasar, ia membanting pintu kamar hingga bergetar, lalu menguncinya dari dalam. Ia bersandar di pintu, air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan.Sepanjang malam itu, Sekar sama sekali tidak bisa tidur. Hatinya terlalu sakit.Ia akhirnya memutuskan untuk mengambil air wudhu, mengenakan mukena, lalu berdiri di atas sajadah—menegakkan shalat tahajud dalam kesunyian malam.Tangisnya kembali pecah saat ia bersujud.Sekar menengadahkan tangan, berdoa dengan segenap hati. Ia percaya, Allah tidak akan memberikan cobaan melebihi batas kemampuan hamba-Nya.Usai berdoa, ia masih duduk bersimpuh di atas sajadah. Hatinya sedikit lebih tenang, meskipun pedih itu belum sepenuhnya hilang.Lelah karena air mata yang terus mengalir, Sekar akhirnya tertidur begitu saja di atas sajadahnya, dengan mukena masih membalut tubuhnya.Malam yang terasa panjang itu ak
Pukul sembilan pagi.Sinar matahari menembus celah jendela, menyinari lantai yang masih dingin. Sekar melangkah keluar dari kamarnya dengan raut wajah tanpa ekspresi.Ia sudah mandi, berusaha menyegarkan tubuhnya yang lelah, tapi tak ada air yang mampu membersihkan luka batinnya.Langkahnya terhenti di tengah ruangan. Matanya menyapu seluruh isi rumah. Berantakan. Sama seperti hatinya.Piring-piring kotor masih berserakan di meja makan. Pemandangan yang masih sama seperti yang ia lihat subuh tadi.Sekar menghela napas panjang.“Ini rumahku. Aku yang membangun rumah ini, aku yang membersihkannya, aku yang menjaga kenyamanannya,” lirih Sekar.Tapi kenapa ia merasa seperti orang asing di rumahnya sendiri?Sekar menutup matanya sejenak. Ia mengingat pesan ibunya dulu.“Jangan biarkan rumahmu kotor, Nak. Jangan biarkan suamimu kelaparan. Jangan biarkan suamimu menunggu jika ia membutuhkan kehangatan.”Sekar menggigit bibirnya.Ia ingin mengabaikan semuanya. Ingin membiarkan rumah ini dalam
“Mas, aku lapar. Mau makan nasi goreng. Tapi kepalaku masih sakit, belum kuat untuk masak,” ucap Amara dengan nada lembut, mendayu sepeninggal Sekar.Wira menghela napas. “Ya sudah, kita delivery saja. Kamu istirahat saja di kamar. Aku akan pesankan makanan untuk kita. Sekalian nanti aku mau bawa kamu ke dokter.”Mendengar kata “dokter”, raut wajah Amara langsung berubah.“Ke dokter? Nggak usah, Mas. Aku masih punya obat yang diberikan dokter kandungan tempat aku memeriksakan diri beberapa hari yang lalu. Kata dokter, kondisi seperti ini wajar terjadi. Di awal kehamilan, ibu memang lebih sering mual, muntah dan sakit kepala. Aku hanya butuh vitamin, istirahat dan perhatian.”Amara terlihat manja. Ia rekatkan tubuhnya pada Wira, lalu ia daratkan sebuah ciuman manis ke bibir pria itu.Sayangnya, Sekar harus menyaksikan semua itu dari balik daun pintu. Rasa penasaran dan sakit hati, membuat rasa keingintahuannya memuncak.Sekar segera merapatkan kembali pintu kamar, membalik tubuhnya dan
Keesokan paginya, Sekar terjaga dan tidak mendapati suaminya di dalam kamar. Yang ia ingat, semalam ia masih tidur dengan Wira.Setelah puas melampiaskan hasratnya, Wira terlelap begitu saja. Sementara Sekar berusaha mengais hatinya yang hancur berkeping-keping, hingga jatuh tertidur karena lelah.Sekar awalnya ingin mencari. Namun urung karena ia yakin kalau Wira pasti ada di kamar Amara.Dengan kondisi tubuh yang masih lemah, Sekar tetap berupaya untuk bangun membereskan kamar itu sebelum ia berangkat ke sekolah—untuk mengabdikan ilmunya kepada anak-anak SD yang sangat ia cintai.Jam sudah menunjukkan pukul enam pagi saat Sekar keluar dari kamar. Masih ada waktu untuk menyiapkan sarapan untuknya dan suaminya, seperti yang biasa ia lakukan sebelum berangkat bekerja.Namun, lagi-lagi kedua matanya terbelalak melihat dapur dan ruang makan yang sangat kotor, dengan sisa kantong belanjaan dan bekas makanan siap saji yang tergeletak begitu saja.Sekar tidak akan pernah terbiasa dengan pem
“Assalamu’alaikum…,” ucap Sekar dengan senyum yang terlihat sangat dipaksakan di depan semua anak-anak didiknya.“Wa’alaikumussalam, Bu,” jawab mereka serentak.Sekar tersenyum. Rasa lelah di hatinya seolah sirna di depan anak-anak didik yang sangat ia cintai. Dua puluh anak kelas tiga yang ada di hadapannya kini, tersenyum manis tanpa beban. Ia pun harus bisa mengimbangi sikap dan senyuman itu tanpa peduli hatinya yang saat ini sedang tercabik-cabik.Detik-demi detik pun terus berlalu, hingga pagi yang cerah kini berubah menjadi sore yang cerah. Cahaya matahari yang tadinya bersinar di ufuk timur, kini mulai turun.Sekar melirik jam tangannya, sudah menunjukkan pukul tiga sore. Tugasnya sebagai tenaga pendidik hari ini sudah selesai. Saatnya ia pulang dan Kembali dengan rutinitasnya sebagai ibu rumah tangga.Namun hari ini terasa sangat berbeda. Untuk pertama kalinya Sekar enggan melangkahkan kakinya meninggalkan ruang guru. Untuk pertama kalinya ruang guru itu lebih nyaman disbandin
Sekar masih terpana. Air matanya nyaris membanjiri wajah cantik alami itu, namun Sekar susah payah menahannya. Ia memang rapuh, tapi tidak ingin terlihat lemah di depan Wira dan Amara.“Sekar, aku lelah. Segera bereskan dapur itu dan siapkan makanan. Atau aku akan mencari makanan di luar bersama Amara.”“Kenapa mas tidak mencari pembantu saja, Mas? Bukankah mas Wira mampu menafkahi dua istri. Jadi pasti mas Wira juga mampu membayar pembantu di rumah ini,” jawab Sekar, masih dengan nada sopan.Kedua bola mata Wira menatap tajam istrinya itu. Tidak pernah selama ini Sekar melihat pandangan tajam seperti itu dari kedua mata suaminya.“Apa kamu mulai membantah perintah suamimu, ha? Kamu lupa pesan-pesan mendiang ibu?”Ibu?Ya, ibu Sekar sebelum meninggal memang banyak memberikan wejangan hidup kepada wanita itu. Wejangan-wejangan baik khususnya untuk suami.Ibu Sekar dulunya adalah pribadi yang sangat taat pada agama. Ia juga sangat taat pada suaminya. Tapi untungnya, mendiang ayahnya Seka
“Sekar, buka pintunya!” gema suara terdengar. Suara yang sangat khas yang selama ini begitu dirindukan oleh Sekar. Namun kini pemilik suara itu balik menyakitinya.Sekar segera bangkit, menyeka air matanya dan kini berdiri di depan daun pintu. Sekar menghela napas sejenak sebelum tangan kanannya benar-benar menekan gagang pintu lalu menariknya.“Mas Wira, ada apa?” tanya Sekar.“Kamu sudah makan?” tanya Wira.Sekar menggeleng.“Ayo makan bareng.”Sekar mengangguk. Kali ini ia benar-benar tidak ingin ribut, jadi ia tidak membantah perintah Wira.Terlihat Amara menggandeng Wira dengan manja menuju meja makan.Lagi-lagi, Sekar hanya bisa menghela napas.“Silakan duduk, Mas,” ucap Amara, memundurkan sebuah kursi makan untuk Wira.“Terima kasih,” balas Wira.Amara duduk tepat di samping Wira sementara Sekar duduk di depan suaminya. Tidak ada
“Malam ini aku ingin bersama Sekar,” ucap Wira.Amara tidak senang, namun ia berusaha sembunyikan perasaan itu dari Wira.“Tentu saja, Mas. Bukankah Sekar adalah istri pertama kamu dan wajar saja kalau kamu juga menginginkannya. Aku tidak keberatan,” balas Amara.Wira keluar dari kamar. Langkah kakinya membawanya ke ruang dapur, di mana saat ini Sekar sedang membereskan bekas makanan dirinya dan Amara. Sementara Sekar? Ia tidak makan malam sama sekali.Diam-diam, Amara mengintip aktivitas suaminya dengan Sekar di ruang dapur. Ada yang membara di hatinya. Terlebih ketika melihat Wira memperlakukan Sekar dengan sangat lembut.Melihat Wira mencumbu Sekar dengan penuh nafsu, Amara pun tidak tahan. Ia tidak ingin membiarkan Sekar menikmati malam ini dengan Wira. Bagaimanapun juga, ia harus menguasai hati, jiwa, tubuh dan harta Wira. Itulah tujuan utamanya.“AUCH!!” Amara berteriak. Kakinya memijak pecahan kaca yang sudah ia siapkan sendiri hingga berdarah.Suara teriakan itu seketika membua
“Mas… Mas, tolong aku…,” rintih Amara sambil menatap layar ponselnya dengan wajah panik dan suara bergetar.Wira, yang sedang berada di luar kota untuk urusan proyek, langsung terdiam. Tatapan cemasnya terpaku pada layar. “Ada apa, Amara? Kenapa kamu menangis? Apa yang terjadi?”“Mas, lihat ini…” Amara mengangkat tangannya ke layar ponsel, menunjukkan noda merah yang menempel di jemarinya. Ia kemudian menggeser kamera ke lantai, tempat cairan merah seperti darah terlihat berserakan. Napasnya memburu, tangisnya pecah.“Astaga… Itu darah? Amara, kamu kenapa?” suara Wira terdengar panik dan serak.“Aku nggak tahu, Mas… barusan Mbak Sekar dorong aku. Perutku terbentur sudut meja, terus pas aku sampai kamar, tiba-tiba keluar darah ini. Aku takut, Mas… Aku takut banget. Jangan-jangan… aku keguguran,” ujarnya di antara isak tangis yang mengiba.“Apa?! Sekar mendorongmu? Kenapa bisa sampai segitunya?”“Tadi aku cuma nggak sengaja nyenggol mangkuk lauk dan jatuh ke lantai, Mas. Terus dia marah
Jam istirahat siang ini, Sekar tampak sibuk di depan laptopnya. Ia duduk tegak di meja kerja, pandangannya fokus ke layar yang memantulkan cahaya biru samar ke wajahnya. Tangan kanannya menggerakkan mouse, sementara tangan kirinya menopang dagu. Di layar itu, ia tengah memantau pesan-pesan dari ponsel Amara yang sudah berhasil ia sadap.Dengan seksama, Sekar membaca satu per satu isi chat. Ia mencari bukti—apapun yang bisa mengonfirmasi dugaannya tentang kehamilan Amara, juga ke mana saja wanita itu pergi selama Wira tidak berada di rumah.“Sekar, kamu kelihatan serius sekali,” sapa sebuah suara lembut dari belakang.Sekar tersentak. Dengan gerakan cepat, ia meminimalkan jendela sadapan dan membuka file presentasi sebagai kamuflase.“Eh, Bu Aisyah! Iya, saya sedang memeriksa laporan beberapa siswa,” jawab Sekar dengan senyum yang dipaksakan.“Maaf kalau mengganggu. Aku cuma khawatir, kamu akhir-akhir ini terlihat berbeda. Tapi ya sudah, aku lanjut ngajar dulu, ya.” Aisyah tersenyum han
Amara memijat pelipisnya yang mulai terasa berat. Ia menguap lebar, terlihat sangat mengantuk.“Ada apa, Amara? Kamu baik-baik saja?” tanya Sekar sambil memerhatikan wajah pucat adik tirinya itu.Amara berusaha mengusir kantuk yang menyerang. “Entahlah. Kenapa aku tiba-tiba ngantuk banget, ya?”“Kamu begadang semalam? Kalau memang lelah, istirahat saja dulu. Aku nggak masalah kok merayakan ulang tahun sendirian,” ucap Sekar mencoba tersenyum, meski senyum itu terasa getir bagi dirinya sendiri.Amara mengangguk lemah. Ia mencoba berdiri dan berjalan menuju kamarnya, namun langkahnya terlihat limbung, seperti orang mabuk.“Kamu kelihatan nggak sehat. Mau aku antar ke rumah sakit?” tawar Sekar, memasang raut khawatir yang nyaris sempurna.Amara menggeleng pelan. “Enggak, cuma lelah dan ngantuk.”Setelah tiba di kamarnya, Amara langsung merebahkan diri di atas ranjang. Sekar berdiri mematung di depan pintu kamar selama beberapa menit, memastikan bahwa Amara benar-benar terlelap.Begitu na
Sekar tersenyum ramah saat Wira dan Amara akhirnya pulang. Mereka cukup lama di luar, sebab jam dinding sudah menunjukkan pukul lima sore. Padahal Sekar sendiri sudah berada di rumah sejak sebelum pukul empat, usai menyelesaikan tugas mengajarnya.“Bagaimana hasilnya, Mas? Bayinya sehat-sehat saja?” tanya Sekar, membuka obrolan. Sebenarnya, bukan kesehatan bayi yang ingin ia ketahui—melainkan kepastian apakah Amara benar-benar hamil atau hanya pura-pura.“Kami nggak jadi ke dokter,” jawab Wira datar. Wajahnya tampak lelah. Ia menjatuhkan diri ke sofa dengan gerakan kasar, memperlihatkan keletihan yang menumpuk. “Bisa tolong buatkan aku kopi?”Sekar mengangguk pelan, meski keningnya sedikit berkerut. Tanpa bertanya lagi, ia langsung ke dapur untuk membuatkan kopi panas. Begitu kopi siap, Sekar menyajikannya di meja, tepat di depan Wira."Maaf, Mas. Boleh aku tahu, kenapa kalian nggak jadi ke dokter?" tanyanya, nada suaranya terdengar hati-hati tapi jelas menyimpan kecurigaan.“Tadi, di
Pagi itu, Wira tampak berseri-seri. Ia berdiri di depan mobil dengan senyum lebar, menanti Amara yang bersiap di ambang pintu. Di benaknya sudah tergambar jelas hasil USG calon anak mereka nanti—gambar kecil janin yang sehat dan berkembang sempurna.“Ayo masuk, Sayang,” ucapnya seraya membukakan pintu mobil.Amara tersenyum tipis. Senyuman yang seolah dipaksakan. Keningnya berkerut, jelas menunjukkan pikirannya tengah berputar, mencari celah untuk bisa menghindar dari pemeriksaan dokter hari ini.Begitu memastikan semuanya siap, Wira pun melajukan mobilnya meninggalkan halaman rumah, menuju salah satu klinik kandungan.“Gimana perasaan kamu sekarang? Ada keluhan?” tanya Wira, memecah keheningan di dalam mobil.Amara menggeleng pelan. “Aku baik-baik saja, Mas.”“Syukurlah… Semoga pemeriksaan hari ini berjalan lancar. Aku cuma ingin memastikan kamu dan calon anak kita sehat dan berkembang
Amara terlihat begitu bahagia. Sejak Wira pulang dari Surabaya, wanita itu tak pernah melepaskan diri dari dekapan sang suami. Ia memonopoli kebersamaan mereka, duduk lengket di sisi Wira di ruang makan—seolah tak ingin membiarkan satu detik pun berlalu tanpa kehadirannya.Sementara itu, Sekar hanya bisa menahan perih. Duduk di seberang meja, memandangi adegan yang menghujam hatinya seperti sembilu.Mereka mulai makan malam. Berkali-kali Amara memuji masakan Sekar, mencoba menarik perhatian Wira, bersikap seolah ia sangat menghargai kakak madunya itu.Sekar hanya tersenyum kecil, dingin dan kaku. Tidak ada lagi kehangatan di balik senyumnya.“Mas,” ucap Sekar pelan, membuka pembicaraan yang lebih serius. “Aku perhatikan selama ini Amara belum pernah memeriksakan dirinya ke dokter atau bidan. Memangnya Mas nggak penasaran dengan perkembangan janinnya?”Wira yang sedang menyuap nasi terakhirnya, tiba-tiba berhenti. Tatap
Cahaya temaram menyelimuti kamar sebuah apartemen yang terletak di sudut kota. Lampu gantung berpendar redup, menyisakan bayangan samar di dinding. Di atas ranjang, dua tubuh saling menyatu dalam irama yang menggoda dosa—seorang wanita bersuami, dan seorang pria yang terikat janji suci dengan wanita lain.Mereka tak peduli pada sumpah pernikahan. Tak memikirkan luka yang akan tercipta. Dunia seolah terhenti di ruangan itu. Yang mereka tahu, hanya kenikmatan sesaat yang membakar.Rambut panjang sang wanita tergerai indah, menyapu wajah pria di bawahnya. Pinggang ramping itu meliuk gemulai, menghujam pelan namun pasti, menciptakan gelombang sensasi yang membuat tubuh keduanya bergetar dalam kehangatan yang terlarang.Desah lirih memenuhi ruangan. Ciuman demi ciuman berpindah tempat, berirama seperti denting jam yang kini tak terdengar. Dua lidah saling menjelajah, menari dalam kecupan yang tak mengenal malu.Amara, si wanita, terus bergerak. Seperti ucapannya lewat telepon tadi—bahwa ia
Sejak kepergian Wira ke luar kota, Sekar mulai mencium gelagat aneh dari Amara. Tidak sekalipun ia melihat wanita itu mual, muntah, atau merasa pusing. Amara terlihat sehat, bugar, bahkan terlalu ceria untuk ukuran seorang perempuan yang katanya sedang mengandung. Ia kerap pergi keluar rumah, makan sembarangan, bahkan minum minuman bersoda—kebiasaan yang jelas-jelas tidak baik untuk wanita hamil.Awalnya, Sekar berusaha cuek. Ia memilih untuk tidak ambil pusing. Namun, bisikan-bisikan dari para tetangga yang mulai berdatangan secara perlahan membuatnya gelisah. Kebisingan yang biasanya ia anggap sebagai angin lalu, kini terasa seperti pisau yang menusuk dari segala arah.“Jadi benar ya, kalau Wira menikah lagi?” tanya seorang wanita paruh baya, tetangganya yang rumahnya hanya berjarak satu pintu dari rumah Sekar.Sekar yang sedang memilih sayuran di depan gerobak tukang sayur hanya diam. Pertanyaan itu membuatnya merasa risih, dadanya seketika
“Ada apa, Mas?” tanya Sekar dengan nada datar, namun sorot matanya mengandung letih yang sulit disembunyikan.“Sekar, sudah aku bilang dari awal. Tolong jaga Amara dan kandungannya selama aku nggak ada. Tapi kenapa kamu malah terus membuat masalah? Kenapa kamu melempar Amara dengan kain basah?” Suara Wira meninggi, sarat emosi dan kekecewaan.Sekar menarik napas panjang, mencoba menahan gejolak dalam dadanya. “Apa Mas masih punya sedikit saja rasa percaya padaku?”“Jangan berusaha membela diri, Sekar,” balas Wira tegas, dingin.Sekar terdiam, akhirnya menyerah pada keadaan. “Sekarang, Mas mau aku apa?” Nada suaranya melemah. Ia tidak ingin memperpanjang keributan.“Buatkan makan untuk Amara,” perintah Wira.“Baiklah,” ucap Sekar lirih.“Dan berikan kembali ponselnya.”Tanpa sepatah kata, Sekar menyodorkan ponsel Amara lalu melangkah ke dapur dengan kepala tertunduk.Sementara itu, Amara menyeringai sinis, penuh kemenangan. Ia masih melanjutkan obrolannya dengan Wira dengan nada manja y