Insyaa Allah update dua kali sehari, setiap jam sembilan pagi dan jam delapan malam ya. Terima kasih ^_^
Pukul sepuluh pagi, di kediaman Sekar.Sebuah mobil minibus berhenti perlahan di halaman rumah sederhana itu. Dari dalamnya turun sepasang paruh baya—berpakaian rapi dan membawa sebuah bungkusan kecil. Wajah mereka tampak cerah, menyimpan senyum lebar seolah membawa kabar bahagia. Mereka berjalan perlahan menuju pintu rumah, langkah mereka penuh semangat.Sementara itu, Sekar baru saja kembali dari halaman belakang. Di tangannya tergenggam sebuah gembor kosong yang hendak ia isi ulang, karena belum semua tanaman yang ia siram.Saat pandangannya jatuh pada sepasang paruh baya yang sangat ia kenali itu, Sekar langsung menghentikan langkah. Ia meletakkan gembor di pinggir teras dan segera berjalan cepat menghampiri mereka.“Ibu, Bapak, kenapa nggak ngabarin dulu kalau mau datang?” sapanya dengan suara penuh kehangatan, seraya mengulurkan tangan. Ia menyalami keduanya dengan takzim dan penuh hormat.“Kamu apa kabar, Nduk?” sang Ibu membuka suara, masih dengan senyum lebar. “Ibu dan Bapak
Wira duduk di kursi samping ayahnya. Matanya tak henti melirik ke arah kamar tempat Amara bersembunyi. Gelas teh yang sejak tadi ia pegang sudah dingin, tapi belum juga disentuh. Di hadapannya, Sekar duduk berseberangan, pura-pura sibuk menyusun camilan di meja. Ia menyadari kegelisahan suaminya, namun memilih bungkam. Ia tahu, badai bisa datang sewaktu-waktu.“Ibu lihat kamu kok agak aneh, Wira?” tanya sang Ibu tiba-tiba, memecah keheningan yang menggantung di udara.Refleks, Wira menegakkan punggung. “Aneh gimana, Bu?”“Kelihatan tegang. Biasanya kalau kami datang, kamu santai. Tapi ini dari tadi kayak orang ketakutan.”Wira terkekeh kecil, meski terasa kaku. “Wira cuma kaget aja, Bu. Nggak nyangka Bapak dan Ibu datang mendadak. Padahal akhir pekan ini rencananya Wira mau beresin beberapa kerjaan.”“Kerjaan bisa diatur, Wira. Tapi keluarga itu tetap nomor satu,” ujar sang Ayah dengan nada lembut, sembari menepuk bahu anaknya.Sekar berdiri dengan senyum canggung. “Sekar ambilkan bua
Sekar masih terpaku di sudut kamarnya. Matanya menatap kosong ke dinding, tubuhnya terasa berat untuk sekadar berdiri. Ia tidak tahu apa yang sedang dibicarakan kedua orang tua Wira di ruang tamu. Namun yang pasti, hatinya semakin rapuh, nyaris tak mampu menanggung beban kenyataan yang menghimpit.Tiba-tiba, terdengar ketukan di pintu. Jantung Sekar berdetak kencang, menimbulkan dentuman cemas di dadanya. Ia enggan beranjak, tapi suara ketukan kembali terdengar, kali ini disertai dengan suara yang ia kenali: Dian, ibunda Wira.Dengan langkah pelan dan berat, Sekar mendekat. Ia menarik engsel pengunci pintu, lalu memutar gagangnya perlahan hingga pintu terbuka.“Ibu ingin bicara,” ucap Dian tanpa basa-basi.Sekar mengangguk, memberikan jalan agar wanita paruh baya itu bisa masuk ke dalam kamarnya.“Silakan duduk, Bu,” katanya pelan, seraya menarik sebuah kursi kayu mendekati ranjang.Dian duduk di kursi, sementara Sekar memilih duduk di tepi ranjang, menjaga jarak yang tetap terasa meny
Malam ini terasa asing. Ruang makan yang dulu penuh kehangatan, kini dingin sedingin es. Baru kali ini Sekar duduk di meja makan yang sama dengan Wira dan Amara. Bahkan Dian dan Suryo pun ada di sana. Atmosfernya kaku, seolah ada sesuatu yang menggantung di udara—tajam, menusuk.Makanan tersaji di atas meja, aromanya menggoda. Siapa lagi yang memasak kalau bukan Sekar?Ya, selain karena tanggung jawabnya sebagai istri, Sekar memang jago masak. Tidak pernah sekalipun Wira mengeluh soal masakannya. Apa pun yang ia buat, selalu cocok di lidah Wira. Selalu.“Tunggu apa lagi? Ayo makan,” ucap Suryo memecah keheningan yang mencekam.Sekar yang sedari tadi termenung, tersentak. Ia duduk di samping Wira, mengambil piring, dan seperti biasa menuang nasi secukupnya lalu menyerahkannya kepada suaminya. Gerakan yang telah ia lakukan ratusan kali selama bertahun-tahun. Dian pun melakukan hal serupa untuk Suryo.Sementara Amara? Ia terlihat canggung, seperti orang yang salah kostum di pesta resmi.
Usai mencuci piring, Amara meninggalkan dapur dan berjalan menuju kamarnya dengan langkah ringan. Namun, langkah itu terhenti seketika saat suara Dian memanggilnya dari ruang keluarga.“Amara, ke sini. Kami ingin bicara,” ucap Dian, tegas namun masih terdengar tenang.Amara menoleh, menahan napas sejenak, lalu melangkah mendekati Dian, Suryo, Sekar, dan Wira yang telah menunggunya di ruang keluarga. Suasana di ruangan itu terasa berat, seperti ada kabut tak kasatmata yang membebani udara.“Ada apa, Bu?” tanyanya ramah, meski sorot matanya menyiratkan kewaspadaan.“Duduk. Kami ingin berbicara baik-baik,” balas Dian.Tanpa banyak komentar, Amara menuruti. Ia duduk bersimpuh di atas karpet tebal yang empuk, bergabung dengan yang lain. Tatapan Wira sesekali mencuri pandang ke arah Sekar, lalu kembali menatap Amara dengan gelisah.“Amara, kamu tahu kalau rumah ini adalah milik Sekar,” Suryo memulai pembicaraan dengan nada datar namun tajam.Amara mengangguk lemah, menunduk dalam.“Rumah in
Malam ini, seperti biasa, Wira tidur di kamar Amara. Ia membiarkan Sekar sendiri, terkurung dalam sepi dan luka yang kian dalam di relung hatinya.“Mas, aku nggak peduli. Pokoknya aku nggak mau pergi dari rumah ini,” kata Amara lirih, tapi nada suaranya penuh ketegasan. Di dalam kamarnya, matanya menatap tajam pada Wira.“Kenapa kamu begitu keras kepala, Amara? Bukankah kamu sendiri yang bilang, kamu rela tinggal terpisah dari Sekar asal aku bersamamu? Aku penuhi itu. Lalu, kenapa kamu berubah pikiran sekarang?” Wira mencoba bersikap tenang, meski hatinya mulai panas.“Enggak, Mas. Aku tetap mau tinggal di sini. Lagi pula, apa salahnya aku dan Sekar tinggal satu atap? Kamu nggak akan ada terus untuk aku dua puluh empat jam, Mas. Bagaimana kalau kamu kerja? Atau harus dinas ke luar kota? Nanti aku sama siapa?” Amara kini terlihat seperti anak kecil yang menolak kenyataan.“Sekar juga mengajar siang hari. Jadi, kamu akan tetap sendiri di rumah ini.” Wira berusaha menjelaskan dengan suar
“Sekar, aku mau bicara,” ucap Wira sesaat setelah kedua orang tuanya menghilang dari pandangan.Sekar mengangguk tanpa menjawab, lalu mengikuti langkah kaki Wira menuju ruang tamu rumah itu.“Duduk,” ucap Wira tegas.Sekar menuruti tanpa kata. Ia duduk dengan hati waspada.“Sekar, aku sudah putuskan. Setuju atau tidak, Amara akan tetap tinggal di sini bersama kita. Aku tidak bisa membiarkannya tinggal seorang diri dalam kondisi seperti ini. Aku harap kamu mengerti.”Nada suara Wira begitu kokoh, seolah tidak bisa digugat. Sekar terdiam, bangkit dari tempat duduknya tanpa berkata apa pun. Ia melangkah menuju kamar. Namun baru beberapa langkah, langkahnya terhenti. Amara sudah berdiri di hadapannya.“Jangan kira kamu menang hanya karena dapat pembelaan dari orang tuanya Mas Wira,” bisik Amara dengan nada mengancam.Sekar menahan napas, mencoba mengendalikan gejolak amarah di dadanya. Namun
Sekar menghentikan mobilnya tepat di depan sebuah rumah sederhana. Halaman tak berpagar itu tampak bersih, dihiasi tanaman hias di pot-pot kecil yang berjajar rapi. Rumah satu lantai dengan gaya minimalis itu terlihat mungil namun menenangkan. Cahaya lampu dari dalam rumah menyiratkan bahwa penghuninya masih terjaga.Ia menarik napas panjang, berusaha menahan gejolak di dadanya sebelum turun dari mobil. Dengan langkah berat, ia menuju pintu depan dan mengetuknya pelan.Terdengar langkah kaki dari dalam, mendekat dengan irama tenang.Pintu terbuka. Seorang wanita muda dengan wajah teduh muncul di ambang. Tatapan matanya memancarkan wibawa dan kehangatan yang membuat dada Sekar langsung terasa sesak.“Sekar? Tumben malam-malam ke sini. Kamu nggak apa-apa?” tanya wanita itu, lembut namun penuh kekhawatiran.Sekar mengangguk pelan, bibirnya gemetar. “Boleh aku masuk?”“Tentu saja. Masuklah.” Wanita itu segera membuka pintu lebih lebar, memberi jalan.Sekar melangkah masuk, melepas tas sel
Jam istirahat siang ini, Sekar tampak sibuk di depan laptopnya. Ia duduk tegak di meja kerja, pandangannya fokus ke layar yang memantulkan cahaya biru samar ke wajahnya. Tangan kanannya menggerakkan mouse, sementara tangan kirinya menopang dagu. Di layar itu, ia tengah memantau pesan-pesan dari ponsel Amara yang sudah berhasil ia sadap.Dengan seksama, Sekar membaca satu per satu isi chat. Ia mencari bukti—apapun yang bisa mengonfirmasi dugaannya tentang kehamilan Amara, juga ke mana saja wanita itu pergi selama Wira tidak berada di rumah.“Sekar, kamu kelihatan serius sekali,” sapa sebuah suara lembut dari belakang.Sekar tersentak. Dengan gerakan cepat, ia meminimalkan jendela sadapan dan membuka file presentasi sebagai kamuflase.“Eh, Bu Aisyah! Iya, saya sedang memeriksa laporan beberapa siswa,” jawab Sekar dengan senyum yang dipaksakan.“Maaf kalau mengganggu. Aku cuma khawatir, kamu akhir-akhir ini terlihat berbeda. Tapi ya sudah, aku lanjut ngajar dulu, ya.” Aisyah tersenyum han
Amara memijat pelipisnya yang mulai terasa berat. Ia menguap lebar, terlihat sangat mengantuk.“Ada apa, Amara? Kamu baik-baik saja?” tanya Sekar sambil memerhatikan wajah pucat adik tirinya itu.Amara berusaha mengusir kantuk yang menyerang. “Entahlah. Kenapa aku tiba-tiba ngantuk banget, ya?”“Kamu begadang semalam? Kalau memang lelah, istirahat saja dulu. Aku nggak masalah kok merayakan ulang tahun sendirian,” ucap Sekar mencoba tersenyum, meski senyum itu terasa getir bagi dirinya sendiri.Amara mengangguk lemah. Ia mencoba berdiri dan berjalan menuju kamarnya, namun langkahnya terlihat limbung, seperti orang mabuk.“Kamu kelihatan nggak sehat. Mau aku antar ke rumah sakit?” tawar Sekar, memasang raut khawatir yang nyaris sempurna.Amara menggeleng pelan. “Enggak, cuma lelah dan ngantuk.”Setelah tiba di kamarnya, Amara langsung merebahkan diri di atas ranjang. Sekar berdiri mematung di depan pintu kamar selama beberapa menit, memastikan bahwa Amara benar-benar terlelap.Begitu na
Sekar tersenyum ramah saat Wira dan Amara akhirnya pulang. Mereka cukup lama di luar, sebab jam dinding sudah menunjukkan pukul lima sore. Padahal Sekar sendiri sudah berada di rumah sejak sebelum pukul empat, usai menyelesaikan tugas mengajarnya.“Bagaimana hasilnya, Mas? Bayinya sehat-sehat saja?” tanya Sekar, membuka obrolan. Sebenarnya, bukan kesehatan bayi yang ingin ia ketahui—melainkan kepastian apakah Amara benar-benar hamil atau hanya pura-pura.“Kami nggak jadi ke dokter,” jawab Wira datar. Wajahnya tampak lelah. Ia menjatuhkan diri ke sofa dengan gerakan kasar, memperlihatkan keletihan yang menumpuk. “Bisa tolong buatkan aku kopi?”Sekar mengangguk pelan, meski keningnya sedikit berkerut. Tanpa bertanya lagi, ia langsung ke dapur untuk membuatkan kopi panas. Begitu kopi siap, Sekar menyajikannya di meja, tepat di depan Wira."Maaf, Mas. Boleh aku tahu, kenapa kalian nggak jadi ke dokter?" tanyanya, nada suaranya terdengar hati-hati tapi jelas menyimpan kecurigaan.“Tadi, di
Pagi itu, Wira tampak berseri-seri. Ia berdiri di depan mobil dengan senyum lebar, menanti Amara yang bersiap di ambang pintu. Di benaknya sudah tergambar jelas hasil USG calon anak mereka nanti—gambar kecil janin yang sehat dan berkembang sempurna.“Ayo masuk, Sayang,” ucapnya seraya membukakan pintu mobil.Amara tersenyum tipis. Senyuman yang seolah dipaksakan. Keningnya berkerut, jelas menunjukkan pikirannya tengah berputar, mencari celah untuk bisa menghindar dari pemeriksaan dokter hari ini.Begitu memastikan semuanya siap, Wira pun melajukan mobilnya meninggalkan halaman rumah, menuju salah satu klinik kandungan.“Gimana perasaan kamu sekarang? Ada keluhan?” tanya Wira, memecah keheningan di dalam mobil.Amara menggeleng pelan. “Aku baik-baik saja, Mas.”“Syukurlah… Semoga pemeriksaan hari ini berjalan lancar. Aku cuma ingin memastikan kamu dan calon anak kita sehat dan berkembang
Amara terlihat begitu bahagia. Sejak Wira pulang dari Surabaya, wanita itu tak pernah melepaskan diri dari dekapan sang suami. Ia memonopoli kebersamaan mereka, duduk lengket di sisi Wira di ruang makan—seolah tak ingin membiarkan satu detik pun berlalu tanpa kehadirannya.Sementara itu, Sekar hanya bisa menahan perih. Duduk di seberang meja, memandangi adegan yang menghujam hatinya seperti sembilu.Mereka mulai makan malam. Berkali-kali Amara memuji masakan Sekar, mencoba menarik perhatian Wira, bersikap seolah ia sangat menghargai kakak madunya itu.Sekar hanya tersenyum kecil, dingin dan kaku. Tidak ada lagi kehangatan di balik senyumnya.“Mas,” ucap Sekar pelan, membuka pembicaraan yang lebih serius. “Aku perhatikan selama ini Amara belum pernah memeriksakan dirinya ke dokter atau bidan. Memangnya Mas nggak penasaran dengan perkembangan janinnya?”Wira yang sedang menyuap nasi terakhirnya, tiba-tiba berhenti. Tatap
Cahaya temaram menyelimuti kamar sebuah apartemen yang terletak di sudut kota. Lampu gantung berpendar redup, menyisakan bayangan samar di dinding. Di atas ranjang, dua tubuh saling menyatu dalam irama yang menggoda dosa—seorang wanita bersuami, dan seorang pria yang terikat janji suci dengan wanita lain.Mereka tak peduli pada sumpah pernikahan. Tak memikirkan luka yang akan tercipta. Dunia seolah terhenti di ruangan itu. Yang mereka tahu, hanya kenikmatan sesaat yang membakar.Rambut panjang sang wanita tergerai indah, menyapu wajah pria di bawahnya. Pinggang ramping itu meliuk gemulai, menghujam pelan namun pasti, menciptakan gelombang sensasi yang membuat tubuh keduanya bergetar dalam kehangatan yang terlarang.Desah lirih memenuhi ruangan. Ciuman demi ciuman berpindah tempat, berirama seperti denting jam yang kini tak terdengar. Dua lidah saling menjelajah, menari dalam kecupan yang tak mengenal malu.Amara, si wanita, terus bergerak. Seperti ucapannya lewat telepon tadi—bahwa ia
Sejak kepergian Wira ke luar kota, Sekar mulai mencium gelagat aneh dari Amara. Tidak sekalipun ia melihat wanita itu mual, muntah, atau merasa pusing. Amara terlihat sehat, bugar, bahkan terlalu ceria untuk ukuran seorang perempuan yang katanya sedang mengandung. Ia kerap pergi keluar rumah, makan sembarangan, bahkan minum minuman bersoda—kebiasaan yang jelas-jelas tidak baik untuk wanita hamil.Awalnya, Sekar berusaha cuek. Ia memilih untuk tidak ambil pusing. Namun, bisikan-bisikan dari para tetangga yang mulai berdatangan secara perlahan membuatnya gelisah. Kebisingan yang biasanya ia anggap sebagai angin lalu, kini terasa seperti pisau yang menusuk dari segala arah.“Jadi benar ya, kalau Wira menikah lagi?” tanya seorang wanita paruh baya, tetangganya yang rumahnya hanya berjarak satu pintu dari rumah Sekar.Sekar yang sedang memilih sayuran di depan gerobak tukang sayur hanya diam. Pertanyaan itu membuatnya merasa risih, dadanya seketika
“Ada apa, Mas?” tanya Sekar dengan nada datar, namun sorot matanya mengandung letih yang sulit disembunyikan.“Sekar, sudah aku bilang dari awal. Tolong jaga Amara dan kandungannya selama aku nggak ada. Tapi kenapa kamu malah terus membuat masalah? Kenapa kamu melempar Amara dengan kain basah?” Suara Wira meninggi, sarat emosi dan kekecewaan.Sekar menarik napas panjang, mencoba menahan gejolak dalam dadanya. “Apa Mas masih punya sedikit saja rasa percaya padaku?”“Jangan berusaha membela diri, Sekar,” balas Wira tegas, dingin.Sekar terdiam, akhirnya menyerah pada keadaan. “Sekarang, Mas mau aku apa?” Nada suaranya melemah. Ia tidak ingin memperpanjang keributan.“Buatkan makan untuk Amara,” perintah Wira.“Baiklah,” ucap Sekar lirih.“Dan berikan kembali ponselnya.”Tanpa sepatah kata, Sekar menyodorkan ponsel Amara lalu melangkah ke dapur dengan kepala tertunduk.Sementara itu, Amara menyeringai sinis, penuh kemenangan. Ia masih melanjutkan obrolannya dengan Wira dengan nada manja y
Pukul sebelas malam.Meski bibirnya berkali-kali berkata bahwa ia tak peduli pada Amara, hati Sekar justru menunjukkan hal sebaliknya. Gelisah menyelimuti dirinya. Ia terus mondar-mandir di ruang keluarga, beberapa kali menoleh ke arah pintu sambil melirik jam dinding besar yang tergantung di sana.Kemana wanita itu? batinnya gelisah.Ponsel yang sempat retak karena ulah Amara kini sudah diperbaiki. Sekar telah membawanya ke pusat servis, memperbaiki semua kerusakan meski hatinya masih terasa remuk.Ia berusaha keras menahan diri untuk tidak memberitahu Wira, tapi setiap detik yang berlalu semakin menghantam kegelisahannya. Jarum panjang jam seolah bergerak lambat, menyiksa.Tepat pukul sebelas malam, Sekar tak sanggup lagi. Ia menekan nomor Wira.“Ada apa, Sekar?” suara berat suaminya terdengar dari seberang.“Mas, apa Amara menghubungimu?” tanya Sekar ragu.“Tidak. Memangnya kenapa?”Sekar menarik napas panjang. Kata-kata berputar di benaknya, tak tahu harus mulai dari mana.“Ada ap